Puisi
“ISA” dalam Kumpulan Deru Campur Debu sebagai Gambaran Sikap Tenggang Rasa
Chairil Anwar
Oleh: Dieseta Silvi Palupi
Lahir di Medan, Sumatra
Utara, pada tanggal 22 juli 1922, dan merupakan anak terakhir dari dua
bersaudara, membuat Chairil tumbuh sebagai seorang anak yang mempunyai sifat
tidak mau mengalah dan selalu ingin menang sendiri. Chairil merupakan sosok
yang dimanjakan oleh orang tua dan lingkungan masyarakat, karena Ia merupakan
sosok yang tergolong pandai, cakap dan cerdas, sehingga banyak orang yang
menyukainya. Menurut Chairil, menulis sajak bukanlah perkara sambilan, iseng,
atau main-main karena kesenian harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Dalam
berkarya, Chairil tidak pernah diam dan hanya menunggu Ilham, Ia selalu ingin
terlibat dan terjun langsung ke dalam arus kehidupan nyata. Semua itu semua itu
dipraktikannya dalam pergaulan. Ia tidak segan bergaul dengan siapapun.
Abang-abang becak, tukang-tukang loak, dan bahkan pengemis-pengemis ia gauli.
Gang-gang sempit dan becek ia masuki, emperan-emperan toko Ia tiduri, dan
empok-empok di gubuk yang apak pun ia senda guraui. Mungkin dari situlah banyak
sajak-sajak yang ditulisnya menggambarkan kehidupan-kehidupan nyata yang pernah
ia jumpai. Sehingga sifat tenggang rasa Chairil yang muncul dari makna
sajak-sajaknya tersebut berasal dari latar belakang pergaulannya.
Dalam kumpulan puisi Deru
Campur Debu terdapat 28 puisi. Puisi-puisi tersebut di antaranya adalah Aku, Hampa, Selamat Tinggal,
Orang Berdua, Sia-sia, Doa, Sajak Putih, Penerimaan, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di
Pulau, Isa, Kepada Peminta-minta, Kesabaran, Kawanku dan Aku, Kepada Kawan,
Sebuah Kamar, Kabar dari Laut, Buat
Album D.S., Malam Di Pegunungan, dan Catetan Th. 1946. Dari sekian banyak
puisi Chairil yang terdapat dalam kumpulan puisi “Deru Campur Debu” tersebut, puisi
Isa memiliki daya tarik tersendiri
bagi saya. Penyair (Chairil Anwar) adalah orang Islam, tetapi ia memiliki
kepedulian terhadap agama lain atau dengan kata lain penyair adalah sosok yang
memiliki tenggang rasa yang tinggi. Hal ini saya nilai dari puisinya yang
berjudul Isa.
Pada judul esai di atas, saya menggunakan kata tenggang rasa, karena seperti yang sudah saya jelaskan sedikit di atas mengenai status agama penyair dengan syair yang ditulisnya. Selain puisi Isa ada beberapa puisi Chairil yang menggambarkan sikap tenggang rasa Chairil, salah satunya adalah Kepada Peminta-minta. Dilihat dari judulnya, tampak bahwa Chairil mempersembahkan puisi tersebut kepada peminta-minta atau pengemis. Persembahan puisi Chairil untuk orang lain, ternyata juga tidak hanya terdapat pada puisi “Kepada Peminta-minta” saja. Namun jika dilihat dari judulnya ada beberapa puisinya yang ditujukan kepada orang lain, diantaranya adalah Kepada Kawan, Kepada Pelukis Affandi, Buat Album D.S., Cerita Buat Dien Tamaela dan Kepada Penyair Bohang. Dengan demikian, sekilas terlihat bahwa Chairil menulis puisi tidak hanya berdasarkan gejolak dari dalam dirinya, namun ia juga menuangkan ungkapan yang Ia rasakan kepada seseorang ke dalam syair-syair puisinya.
Dalam
esai ini, saya tidak akan mengritik keseluruhan puisi Chairil dalam kumpulan
puisi Deru Campur Debu, namun yang akan saya bahas dalam kritik ini adalah
lebih ke sudut pandang saya terhadap makna dan unsur intrinsik puisi Isa yang menggambarkan Chairil mempunyai
sikap tenggang rasa, dan puisi-puisi lainnya yang mendukung sikap yang saya
anggap tenggang rasa tersebut. Berikut ini ulasan mengenai makna puisi Isa.
I S A
kepada
nasrani sejati
Itu
tubuh (1)
mengucur
darah (2)
mengucur
darah (3)
rubuh (4)
patah (5)
mendampar
tanya: aku salah? (6)
kulihat
tubuh mengucur darah (7)
aku
berkaca dalam darah (8)
terbayang
terang di mata masa (9)
bertukar
rupa ini segara (10)
mengatup
luka (11)
aku
bersuka (12)
Itu
tubuh (13)
mengucur
darah (14)
mengucur
darah (15)
Puisi
ini menggambarkan perasaan penyair terhadap sosok Isa yang menjadi Tuhan bagi
umat nasrani. Dalam kesuluruhan isi puisi ini penyair menggambarkan bagaimana
sosok Isa yang disalib. Diksi yang digunakan oleh penyair sangat lugas dan
tegas.
Pada
baris ke-1 penyair memilih memakai kata “tubuh” karena tubuh berbeda dari badan.
Tubuh diartikan sebagai keseluruhan jasad manusia yang kelihatan dari bagian
ujung kaki sampai ujung kepala. Sedangkan, kata “mengucur darah” pada baris
ke-2 dan ke-3 diulang dua kali oleh penyair, selain itu pada akhir puisi bait
ini juga ditulis kembali. Ini menggambarkan ketegasan penyair dalam
menggambarkan betapa besar pengorbanan Isa. Pada baris ke-4 sampai baris ke-6
penyair menggambarkan Isa yang telah rubuh atau mati. Kematiannya ini oleh
penyair dinilai sebagai kematian yang tidak semestinya. Penyair menggunakan
larik “mendampar tanya:aku salah?” untuk mengungkapkan apakah aku liris ini
bersalah hingga ia harus mati dengan pengorbanan seperti itu. Pada baris ke-7
dan ke-8 penyair menggambarkan aku liris iba terhadap pengorbanan Isa, penyair
berkaca atau dapat disebut berinstropeksi diri melalui pengorbanan yang telah
Isa lakukan. Pada baris ke-9 aku liris dapat melihat bayangan dirinya menjadi
lebih baik pada “mata masa” yang merupakan waktu atau masa depan. Pada baris
ke-10 aku liris melihat dirinya “bertukar rupa” atau akan menjadi seperti Isa. Pada
baris ke-11 penyair menggunakan kata mengatup luka yang menggambarkan keinginan
untuk “mengatup” atau menutup rapat-rapat “luka”. Dan kemudian aku liris
menjadi lebih bahagia dengan hidupnya.
Puisi
di atas, menggambarkan bahwa Chairil menghargai kepercayaan kaum Nasrani kepada
Isa yang telah berkorban untuk umatnya. Sikap tenggang rasa yang terlihat dari
sosok Chairil dalam puisi ini adalah, bahwa Ia menghargai kepercayaan kaun
nasrani terhadap Isa, sedangkan Ia bukan kaum nasrani. Ada beberapa puisi
Chairil yang juga menggambarkan sikap tenggang rasanya terhadap orang lain,
diantaranya adalah puisi-puisi berikut.
Puisi Kepada Peminta-minta yang menceritakan perasaan aku liris ketika
bertemu dengan peminta-minta. Keadaan peminta-minta itu sangat memprihatinkan.
Aku liris seolah diingatkan kepada Dia
(Tuhan) yang tampak pada “Baik, baik, aku
akan menghadap Dia”. Aku liris seolah menyadari kesalahannya dan ingin
bertaubat yang tampak pada “menyerahkan diri dan segala dosa”.
Puisi
Kepada Kawan memiliki diksi yang
lugas sehingga mudah untuk dimengerti maksudnya. Puisi ini bertemakan
perjuangan hidup. Penyair ingin mengingatkan kepada sesamanya bahwa kematian
itu tak perlu ditakuti. Kematian akan datang pada waktunya sendiri. Puisi ini
memiliki nada (tone) yang
menggebu-gebu, penuh keberanian dan ketegasan. Puisi ini tampak ditujukan
kepada seorang kawan, sehingga puisi ini termasuk puisi yang menggambarkan
kepedulian Chairil terhadap orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar