Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Carut Marut Kinerja Pegawai Pemerintahan dalam Cerpen “Pelamar” Karya AA Navis



Carut Marut Kinerja Pegawai Pemerintahan dalam Cerpen “Pelamar” Karya AA Navis
Oleh: Sera Senggani
 
            Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis dan biasa dikenal dengan AA Navis. Seorang AA Navis tentu gaungnya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Seorang sastrawan tersohor yang melahirkan sebuah cerpen fenomenal berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen tersebut telah meraih hadiah kedua majalah Kisah. Sampai akhir hayatnya, pada 23 Maret 2003 di Padang, lelaki kelahiran Padang Panjang , 17 November 1924 ini, termasuk satu diantara sedikit sastrawan Indonesia yang tetap setia dan secara terus menerus menggeluti proses kreatifnya di bidang penulisan karya sastra. Sedikitnya sudah 11 buku karya AA Navis yang telah diterbitkan. Bagi AA Navis menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. Ketika ia ditanya mengapa ia menulis sepanjang hidup, ia menjawab “Soalnya, senjata saya hanya menulis” (Kompas, Minggu, 7 Desember 1997). Dengan prinsip itulah, sastrawan ini mampu melahirkan karya-karya terkenal seperti, “Bianglala(1963)”, “Hujan Panas(1964)”, “Kemarau(1967)”, “Jodoh(1966)”. Berbagai tema muncul dalam cepen AA Navis. Tema keagamaan seperti dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Kemarau”. Tema historis melekat pada antologi cerpen Hujan Panas dan Kabut Musim. Lalu sorotan terhadap situasi kehidupan berbangsa secara sinis dari orde ke orde hingga zaman reformasi terdapat pada antologi cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati. Salah satu cerpen yang menarik karya AA Navis adalah “Pelamar”. Meskti tidak sefenomenal karya yang lain, namun karya ini memberikan pandangan lain tentang kondisi sistem pemerintahan kecil di Indonesia. Ide cerpen “Pelamar” tersebut muncul ketika Navis melihat seorang anak muda tamatan SMA yang mencari pekerjaan di kantor tempat kerjanya.
            Banyak hal menarik yang disuguhkan Navis melalui cerpen “Pelamar” ini. Suatu realita sosial yang disaksikan oleh penulisnya itu sendiri, lalu dituangkan dalam sebuah karya sastra. Kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh sebuah keluarga, membuat seorang Bidin, harus berjuang keras untuk menamatkan jenjang SMAnya demi mendapatkan pekerjaan yang berpangkat di kantor desa. Dari cerpen ini terdapat sebuah paradigma kehidupan, yang dianut oleh tokoh Bidin, bahwa seseorang akan hidup senang jika ia memiliki pangkat atau kedudukan. Kedudukan dan pangkat tesebut bisa ia peroleh jika ia berpendidikan tinggi. Sebuah paradigma yang masih bertahan hingga sekarang. Untuk itulah Bidin bersusah payah menamatkan SMA nya, karena pada masa itu jarang sekali orang yang bisa melanjutkan sampai jenjang SMA.  Hal itu tampak pada kutipan cerpennya.

Menurut pendapat Bidin, hidup senang harus dicapai dengan martabat yang tinggi. Dapatnya martabat tinggi itu, haruslah bekerja agar supaya pangkat tinggi. Dan pangkat tinggi dapat dirangkul via pendidikan tinggi pula.
Paradigma unik lain yang dimiliki tokoh Bidin pada cerpen ini adalah mengistimewakan hari Jumat sebagai hari baik, sehingga ia akan mendapat kelancaran pada hari itu. Bidin memiliki harapan yang besar untuk menjadi pegawai pemerintah, karena rata-rata mereka yang telah bekerja adalah tamatan sekolah rakyat. Nilai moral berupa kebaktian pada seorang ibu diungkap melalui pikiran-pikiran tokoh Bidin melalui narasi dalam cerpen ini.
Dengan demikian dapatlah ia mengangkat kehidupan ibunya. Tak perlu ibunya bangun di pagi buta lagi. Ibunya tentu akan dapat duduk-duduk di sofa sambil mendengar radio. Tidak sampai bergantung ke langit cita-citanya Bidin. Hanya sederhana saja. Untuk menyenangkan hati ibunya, kalau ia berpangkat.
Dari sini dapat dilihat bahwa sebenarnya cita-cita Bidin sangatlah sederhana, yaitu membahagiakan ibunya. Akan tetapi, dari cita-cita yang sederhana tersebut justru akhirnya berbuntut panjang. Cerpen ini menunjukkan sebuah realitas yang mencengangkan di kalangan lembaga pemerintah. Bidin yang telah berangan-angan tinggi akan diterima sebagai pegawai pemerintah, ternyata harus menelan kenyataan yang pahit. Sejak awal kedatangannya di kantor pemerintahan, ia sudah dipersulit oleh aturan-aturan konyol yang pada intinya hanya untuk menyenangkan hati calon atasannya. Seorang pegawai yang bertugas menerima pegawai baru, menasehatinya dengan sederetan “ritual” yang harus dilakukannya saat bertemu dengan kepala Kantor. Di antaranya, ia harus  menunggu di luar pintu, sebelum ia dipersilahkan masuk. Setelah ia diizinkan masuk, baru ia mengetuk pintunya secara pelan-pelan. Ia tidak boleh mendehem atau mengetuk dengan keras. Setelah ia dipersilahkan masuk, ia tidak boleh langsung masuk. Ia harus menyebut merdeka atau assalamualaikum atau selamat pagi, baru ia boleh mendekat pada kepala kantor. Ironisnya setelah memberikan wejangan itu, si pegawai mengharapkan balas jasa jika Bidin nantinya diterima, meski itu diungkapkan secara implisit dalam cerpen ini. Tidak berhenti sampai di situ, Bidin masih harus menunggu kepala kantor bercakap-cakap dengan rekannya. Dalam proses menunggu itulah, AA Navis melalui tokoh Bidin menunjukkan realita yang terjadi di kantor pemerintahan. Pada saat jam kerja, ada dua orang pekerja yang tekun dengan setumpuk pekerjaannya, namun ironisnya ada seorang pegawai yang sibuk membaca sebuah majalah, bahkan seorang pegawai wanita juru tik justru lebih asik dengan kuku-kukunya yang dilapisi kutek.
Penderitaan Bidin  tidak berakhir sampai disitu. Ia harus menunggu Pak Kantor yang menghabiskan waktunya untuk berbicara omong kosong dengan para tamunya. Navis menunjukkan secara gamblang, bagaimana Pak Kantor mengobrolkan sesuatu yang sangat tidak penting, sementara ada orang yang benar-benar memiliki kepentingan sedang menunggunya berjam-jam.
Tapi ketika Bidin melihat orang-orang itu terhenti di halaman kantor di dekat mobilnya dan omong-omong lagi, Bidin yakin tentunya Pak Kantor takkan pergi. Tapi alangkah lambatnya segala urusan selesainya. Waktu mereka habis oleh tawa dan omong-omong yang sedikit cabul. Omongan yang tidak ada tertulis dalam tugas-tugas kantor pemerintah yang mana pun juga.
Inilah bentuk kritik Navis terhadap kinerja kepala kantor. Jika kepala kantornya saja tidak bisa disiplin, apalagi dengan para pegawainya. Hal yang menarik disini adalah mengenai pergeseran paradigma tokoh Bidin yang menganggap bahwa hari Jumat adalah hari yang baik.
Bidin merasa kecewa benar. Ia berpikir, lebih baik ia pergi saja ke kantor lain. Padahal hari Jumat itu, kantor ditutup setengah dua belas. Alangkah baiknya, kata hatinya, jika bukan hari Jumat hari yang terbaik dalam seminggu, akan banyaklah waktu baginya untuk melamar pekerjaan ke berbagai kantor.
            Berawal setelah Bidin akhirnya dipersilakan masuk oleh Pak Kantor, konflik mulai memuncak. Bidin yang ingin menarik simpati Pak Kantor agar diterima menceritakan keadaan ibunya yang menyedihkan. Namun, itu tidak terlalu mendapatkan respons. Pak Kantor yang mengetahui bahwa Bidin lulusan SMA dan nilainya bagus-bagus, amat menyayangkan keputusan Bidin untuk melamar di kantornya. Betapa ia menggambarkan sekolah-sekolah yang lebih tinggi, yang harusnya dilanjutkan oleh Bidin. Semua itu pada intinya adalah menolak Bidin yang berijazah SMA. Sementara, kantor itu justru menerima tamatan SR. Padahal ijazah SR Bidin telah hilang. Melalui tokoh Pak Kantor Navis mengkritisi betapa kakunya birokrasi pada saat itu. Birokrasi yang masih tepaku oleh sistem kolonial.
Peraturan pegawai juga kolonial. Coba. Masa seorang tamatan SMA tidak boleh jadi juru tulis. Seorang juru tulis tidak boleh pula punya diploma SMA. Kalau dengan cara begitu, mana bisa prestasi kantor pemerintah bisa tinggi.
            Pada akhir cerpen inipun masih disuguhkan betapa tidak bersihnya kinerja pegawai pemerintahan. Seorang pegawai yang bertugas menerima pegawai baru memberikan nasehat kepada Bidin, setelah mengetahui alasannnya ditolak.
Tapi ketika ia tahu Bidin ditolak karena punya diploma SMA, lalu Lebong berkata, “Begini saja, Nak. Kalau diploma SMA tidak laku, datanglah ke sini besok dengan membawa ijazah sekolah rakyat. Supaya tidak dikenal Pak Kantor lagi, cukur kepala anak licin-licin.”
Dari kutipan tersebut tampak bahwa seorang pegawai pemerintahan justru memberikan solusi dengan mengakali atasannya sendiri. Suatu hal yang sudah tidak memenuhi syarat, namun dipaksakan dan dibuat sebisa mungkin agar dapat terpenuhi.
Cerpen ini merupakan kritik terhadap pemerintah yang menciptakan sebuah peraturan yang tidak masuk akal tentang penerimaan pegawai. Suatu peraturan yang akan menimbulkan permasalahan baru. Jika pada saat itu lulusan SMA sudah terlampau banyak, sementara lapangan pekerjaan dibatasi sebegitu ketatnya, maka dapat menimbulkan angka pengangguran semakin meningkat. Selain itu jika sistem tersebut terus diberlakukan, kualitas kinerja kantor pemerintah tidak akan meningkat. Mengingat kondisi pegawai kantor yang hanya ongkang-ongkang, menunjukkan ketidakseriusannya dalam berkerja. Meskipun pendidikan tinggi tidak sepenuhnya menentukan kinerja seseorang, jika tidak disertai dedikasi yang tinggi, namun setidaknya para pekerja tersebut memiliki kompetensi yang memadai untuk melayani masyarakat. Namun pada cerpen ini, kenyataannya orang yang bersekolah tinggi, justru tidak memperoleh pekerjaan yang diinginkannya. Orang yang bersekolah tinggi, yang terbilang langka pada saat itu, yang melebihi kriteria persyaratan tamatan, tetapi tidak diizinkan memperoleh pekerjaan di kantor pemerintahan yang seluruh pegawainya tamatan sekolah rakyat.
AA Navis memberikan kritikannya terhadap pemerintah melalui cerpen ini secara gamblang dan jelas melalui pikiran-pikiran tokoh serta menghidupkannya dalam karakter tokoh. Pembangunan konflik dalam cerpen ini berawal dari masalah yang sangat sederhana, yaitu keinginan tokoh untuk melamar sebagai pegawai pemeritah. Akan tetapi, karena alurnya disusun sedemikian rupa, sehingga pembaca diajak untuk larut dalam konflik yang sebenarnya lebih rumit dan luas dari sekdar mencari pekerjaan. Meski cerpen ini dikemas tanpa menggunakan simbol-simbol yang terlalu rumit, bahkan lebih mendekati pada gaya penceritaan yang apa adanya, namun cerpen ini memiliki daya tarik tersendirinya. Amanat dan kritik terhadap kinerja pemerintah, amat ditonjolkan AA Navis dalam cerpen ini. Bahasanya yang sederhana dan ungkapan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, membuat cepen ini mudah dipahami, tanpa mengurangi unsur keindahannya sebagai karya sastra.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar