Carut
Marut Kinerja Pegawai Pemerintahan dalam Cerpen “Pelamar” Karya AA Navis
Oleh: Sera Senggani
Nama
lengkapnya adalah Ali Akbar Navis dan biasa dikenal dengan AA Navis. Seorang AA
Navis tentu gaungnya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Seorang sastrawan
tersohor yang melahirkan sebuah cerpen fenomenal berjudul “Robohnya Surau
Kami”. Cerpen tersebut telah meraih hadiah kedua majalah Kisah. Sampai akhir hayatnya, pada 23 Maret 2003 di Padang, lelaki
kelahiran Padang Panjang , 17 November 1924 ini, termasuk satu diantara sedikit
sastrawan Indonesia yang tetap setia dan secara terus menerus menggeluti proses
kreatifnya di bidang penulisan karya sastra. Sedikitnya sudah 11 buku karya AA
Navis yang telah diterbitkan. Bagi AA Navis menulis adalah salah satu alat
dalam kehidupannya. Ketika ia ditanya mengapa ia menulis sepanjang hidup, ia
menjawab “Soalnya, senjata saya hanya menulis” (Kompas, Minggu, 7 Desember
1997). Dengan prinsip itulah, sastrawan ini mampu melahirkan karya-karya
terkenal seperti, “Bianglala(1963)”, “Hujan Panas(1964)”, “Kemarau(1967)”,
“Jodoh(1966)”. Berbagai tema muncul dalam cepen AA Navis. Tema keagamaan
seperti dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Kemarau”. Tema historis melekat
pada antologi cerpen Hujan Panas dan
Kabut Musim. Lalu sorotan terhadap situasi kehidupan berbangsa secara sinis
dari orde ke orde hingga zaman reformasi terdapat pada antologi cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati. Salah satu
cerpen yang menarik karya AA Navis adalah “Pelamar”. Meskti tidak sefenomenal
karya yang lain, namun karya ini memberikan pandangan lain tentang kondisi
sistem pemerintahan kecil di Indonesia. Ide cerpen “Pelamar” tersebut muncul
ketika Navis melihat seorang anak muda tamatan SMA yang mencari pekerjaan di
kantor tempat kerjanya.
Banyak
hal menarik yang disuguhkan Navis melalui cerpen “Pelamar” ini. Suatu realita
sosial yang disaksikan oleh penulisnya itu sendiri, lalu dituangkan dalam
sebuah karya sastra. Kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh sebuah keluarga,
membuat seorang Bidin, harus berjuang keras untuk menamatkan jenjang SMAnya
demi mendapatkan pekerjaan yang berpangkat di kantor desa. Dari cerpen ini
terdapat sebuah paradigma kehidupan, yang dianut oleh tokoh Bidin, bahwa
seseorang akan hidup senang jika ia memiliki pangkat atau kedudukan. Kedudukan
dan pangkat tesebut bisa ia peroleh jika ia berpendidikan tinggi. Sebuah
paradigma yang masih bertahan hingga sekarang. Untuk itulah Bidin bersusah
payah menamatkan SMA nya, karena pada masa itu jarang sekali orang yang bisa
melanjutkan sampai jenjang SMA. Hal itu
tampak pada kutipan cerpennya.
Paradigma unik lain yang dimiliki tokoh Bidin pada
cerpen ini adalah mengistimewakan hari Jumat sebagai hari baik, sehingga ia
akan mendapat kelancaran pada hari itu. Bidin memiliki harapan yang besar untuk
menjadi pegawai pemerintah, karena rata-rata mereka yang telah bekerja adalah
tamatan sekolah rakyat. Nilai moral berupa kebaktian pada seorang ibu diungkap
melalui pikiran-pikiran tokoh Bidin melalui narasi dalam cerpen ini.
Dengan
demikian dapatlah ia mengangkat kehidupan ibunya. Tak perlu ibunya bangun di
pagi buta lagi. Ibunya tentu akan dapat duduk-duduk di sofa sambil mendengar
radio. Tidak sampai bergantung ke langit cita-citanya Bidin. Hanya sederhana
saja. Untuk menyenangkan hati ibunya, kalau ia berpangkat.
Dari sini dapat dilihat
bahwa sebenarnya cita-cita Bidin sangatlah sederhana, yaitu membahagiakan
ibunya. Akan tetapi, dari cita-cita yang sederhana tersebut justru akhirnya
berbuntut panjang. Cerpen ini menunjukkan sebuah realitas yang mencengangkan di
kalangan lembaga pemerintah. Bidin yang telah berangan-angan tinggi akan
diterima sebagai pegawai pemerintah, ternyata harus menelan kenyataan yang
pahit. Sejak awal kedatangannya di kantor pemerintahan, ia sudah dipersulit
oleh aturan-aturan konyol yang pada intinya hanya untuk menyenangkan hati calon
atasannya. Seorang pegawai yang bertugas menerima pegawai baru, menasehatinya
dengan sederetan “ritual” yang harus dilakukannya saat bertemu dengan kepala
Kantor. Di antaranya, ia harus menunggu
di luar pintu, sebelum ia dipersilahkan masuk. Setelah ia diizinkan masuk, baru
ia mengetuk pintunya secara pelan-pelan. Ia tidak boleh mendehem atau mengetuk
dengan keras. Setelah ia dipersilahkan masuk, ia tidak boleh langsung masuk. Ia
harus menyebut merdeka atau assalamualaikum atau selamat pagi, baru ia boleh
mendekat pada kepala kantor. Ironisnya setelah memberikan wejangan itu, si
pegawai mengharapkan balas jasa jika Bidin nantinya diterima, meski itu
diungkapkan secara implisit dalam cerpen ini. Tidak berhenti sampai di situ,
Bidin masih harus menunggu kepala kantor bercakap-cakap dengan rekannya. Dalam
proses menunggu itulah, AA Navis melalui tokoh Bidin menunjukkan realita yang
terjadi di kantor pemerintahan. Pada saat jam kerja, ada dua orang pekerja yang
tekun dengan setumpuk pekerjaannya, namun ironisnya ada seorang pegawai yang
sibuk membaca sebuah majalah, bahkan seorang pegawai wanita juru tik justru
lebih asik dengan kuku-kukunya yang dilapisi kutek.
Penderitaan Bidin tidak berakhir sampai disitu. Ia harus
menunggu Pak Kantor yang menghabiskan waktunya untuk berbicara omong kosong
dengan para tamunya. Navis menunjukkan secara gamblang, bagaimana Pak Kantor
mengobrolkan sesuatu yang sangat tidak penting, sementara ada orang yang
benar-benar memiliki kepentingan sedang menunggunya berjam-jam.
Tapi
ketika Bidin melihat orang-orang itu terhenti di halaman kantor di dekat
mobilnya dan omong-omong lagi, Bidin yakin tentunya Pak Kantor takkan pergi.
Tapi alangkah lambatnya segala urusan selesainya. Waktu mereka habis oleh tawa
dan omong-omong yang sedikit cabul. Omongan yang tidak ada tertulis dalam
tugas-tugas kantor pemerintah yang mana pun juga.
Inilah bentuk kritik Navis terhadap kinerja kepala
kantor. Jika kepala kantornya saja tidak bisa disiplin, apalagi dengan para
pegawainya. Hal yang menarik disini adalah mengenai pergeseran paradigma tokoh
Bidin yang menganggap bahwa hari Jumat adalah hari yang baik.
Bidin
merasa kecewa benar. Ia berpikir, lebih baik ia pergi saja ke kantor lain.
Padahal hari Jumat itu, kantor ditutup setengah dua belas. Alangkah baiknya,
kata hatinya, jika bukan hari Jumat hari yang terbaik dalam seminggu, akan
banyaklah waktu baginya untuk melamar pekerjaan ke berbagai kantor.
Berawal
setelah Bidin akhirnya dipersilakan masuk oleh Pak Kantor, konflik mulai
memuncak. Bidin yang ingin menarik simpati Pak Kantor agar diterima
menceritakan keadaan ibunya yang menyedihkan. Namun, itu tidak terlalu
mendapatkan respons. Pak Kantor yang mengetahui bahwa Bidin lulusan SMA dan
nilainya bagus-bagus, amat menyayangkan keputusan Bidin untuk melamar di
kantornya. Betapa ia menggambarkan sekolah-sekolah yang lebih tinggi, yang
harusnya dilanjutkan oleh Bidin. Semua itu pada intinya adalah menolak Bidin
yang berijazah SMA. Sementara, kantor itu justru menerima tamatan SR. Padahal ijazah
SR Bidin telah hilang. Melalui tokoh Pak Kantor Navis mengkritisi betapa
kakunya birokrasi pada saat itu. Birokrasi yang masih tepaku oleh sistem
kolonial.
Peraturan
pegawai juga kolonial. Coba. Masa seorang tamatan SMA tidak boleh jadi juru
tulis. Seorang juru tulis tidak boleh pula punya diploma SMA. Kalau dengan cara
begitu, mana bisa prestasi kantor pemerintah bisa tinggi.
Pada
akhir cerpen inipun masih disuguhkan betapa tidak bersihnya kinerja pegawai
pemerintahan. Seorang pegawai yang bertugas menerima pegawai baru memberikan
nasehat kepada Bidin, setelah mengetahui alasannnya ditolak.
Tapi
ketika ia tahu Bidin ditolak karena punya diploma SMA, lalu Lebong berkata,
“Begini saja, Nak. Kalau diploma SMA tidak laku, datanglah ke sini besok dengan
membawa ijazah sekolah rakyat. Supaya tidak dikenal Pak Kantor lagi, cukur
kepala anak licin-licin.”
Dari kutipan tersebut tampak bahwa seorang pegawai
pemerintahan justru memberikan solusi dengan mengakali atasannya sendiri. Suatu
hal yang sudah tidak memenuhi syarat, namun dipaksakan dan dibuat sebisa
mungkin agar dapat terpenuhi.
Cerpen ini merupakan kritik terhadap pemerintah yang
menciptakan sebuah peraturan yang tidak masuk akal tentang penerimaan pegawai.
Suatu peraturan yang akan menimbulkan permasalahan baru. Jika pada saat itu
lulusan SMA sudah terlampau banyak, sementara lapangan pekerjaan dibatasi
sebegitu ketatnya, maka dapat menimbulkan angka pengangguran semakin meningkat.
Selain itu jika sistem tersebut terus diberlakukan, kualitas kinerja kantor
pemerintah tidak akan meningkat. Mengingat kondisi pegawai kantor yang hanya
ongkang-ongkang, menunjukkan ketidakseriusannya dalam berkerja. Meskipun
pendidikan tinggi tidak sepenuhnya menentukan kinerja seseorang, jika tidak
disertai dedikasi yang tinggi, namun setidaknya para pekerja tersebut memiliki
kompetensi yang memadai untuk melayani masyarakat. Namun pada cerpen ini,
kenyataannya orang yang bersekolah tinggi, justru tidak memperoleh pekerjaan
yang diinginkannya. Orang yang bersekolah tinggi, yang terbilang langka pada
saat itu, yang melebihi kriteria persyaratan tamatan, tetapi tidak diizinkan
memperoleh pekerjaan di kantor pemerintahan yang seluruh pegawainya tamatan
sekolah rakyat.
AA Navis memberikan kritikannya terhadap pemerintah
melalui cerpen ini secara gamblang dan jelas melalui pikiran-pikiran tokoh
serta menghidupkannya dalam karakter tokoh. Pembangunan konflik dalam cerpen
ini berawal dari masalah yang sangat sederhana, yaitu keinginan tokoh untuk
melamar sebagai pegawai pemeritah. Akan tetapi, karena alurnya disusun
sedemikian rupa, sehingga pembaca diajak untuk larut dalam konflik yang
sebenarnya lebih rumit dan luas dari sekdar mencari pekerjaan. Meski cerpen ini
dikemas tanpa menggunakan simbol-simbol yang terlalu rumit, bahkan lebih
mendekati pada gaya penceritaan yang apa adanya, namun cerpen ini memiliki daya
tarik tersendirinya. Amanat dan kritik terhadap kinerja pemerintah, amat
ditonjolkan AA Navis dalam cerpen ini. Bahasanya yang sederhana dan ungkapan
yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, membuat cepen ini mudah
dipahami, tanpa mengurangi unsur keindahannya sebagai karya sastra.
0 komentar:
Posting Komentar