Menyibak Sisi
Gelap Jepang melalui Kucing Kiyoko
Oleh: Wisnu Bramantyo
Karya
sastra selalu menjadi makhluk dunia perbatasan. Di satu sisi ia selalu
mengulang pola-pola yang sama, namun dituntut untuk menawarkan sesuatu yang
baru. Dia lahir dari individualitas pengarangnya, tapi menjadi konsumsi publik
dengan multitafsirnya. Karya sastra juga merupakan hasil mimetisasi langsung
dunia sekitar, namun sadar ataupun tak sadar juga mengandung simbol-simbol yang
lebih dalam. Inilah yang membuat karya sastra yang unggul menjadi berbeda
dengan karya sastra lainnya. Dalam pembacaan sekilas, ia akan menjadi sebuah
hiburan. Selanjutnya, saat dibaca dengan lebih dalam, makna simbol-simbolnya
akan terungkap lapis demi lapis, hingga menjadi sebuah karya yang memberikan
pesan hidup dan perenungan yang penuh arti. Kucing Kiyoko, sebuah cerpen karya
Rama Dira J ialah salah satu contoh karya sastra yang berlapis, sebuah karya
yang menarik untuk dikupas lebih lanjut.
Kucing Kiyoko mengisahkan seorang
mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Jepang. Suatu saat, ia menemukan
seorang kucing di depan flatnya. Kucing tersebut berbelang tiga, montok,
terlihat terawat, namun kedinginan dan terluka cukup parah. Mahasiswa tersebut
segera memberikannya makanan, susu, dan mengobatinya. Selanjutnya diketahui
bahwa kucing tersebut, Takeshi, ialah kucing milik Kiyoko, tetangga flatnya,
seorang wanita yang diam-diam dikagumi oleh mahasiswa tersebut. Hubungan
mahasiswa tersebut dan Kiyoko dengan cepat terjalin karena faktor Takeshi.
Suatu saat, ketika sedang dijamu oleh Kiyoko dengan sukiyaki di flatnya,
mahasiswa tersebut menyadari sesuatu: Takeshi hilang. Ketika ia bertanya,
Kiyoko menjawab bahwa Takeshi telah menjadi kulit di shamisennya. Lebih menyedihkan
lagi, sukiyaki yang baru saja dimakannya juga dari daging Takeshi. Mendengar
hal itu, mahasiswa tersebut merasa sangat sedih dan menyadari bahwa Takeshi
adalah bagian Kiyoko yang paling ia cintai.
Kucing Kiyoko adalah sebuah cerpen
yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Alasan pertama ialah plotnya yang
unik. Pengarang bercerita dengan alur yang mengalir lambat, namun pasti, tetapi
lalu mengagetkan dan mencekam pembacanya dengan teror di akhir cerita. Rama
Dira menciptakan sebuah kejutan di akhir dengan membuat seorang Kiyoko yang
digambarkan begitu memesona, tiba-tiba tega menyembelih Takeshi dan
menjadikannya shamisen dan sukiyaki. Alur yang unik ini saja sebenarnya sudah
cukup untuk menelaah karya ini lebih lanjut. Tetapi, kekuatan cerpen ini tidak
berhenti sampai di kejutan itu. Ternyata, makna Kucing Kiyoko lebih dalam dari
sekedar itu. Cerita ini mengandung simbol-simbol yang berisi pesan lebih dalam
mengenai kenyataan sosial masyarakat Jepang, arti kehidupan (baca: arti
kematian), dan apa yang harus diperbuat dengan hidup ini.
Cerpen ini menyajikan simbol-simbol mengenai kehidupan
dan kematian, dan hal ini akan jelas terlihat bila dilihat secara khusus dari
pemilihan karakteristik tokoh-tokoh utamanya. Yang pertama ialah Kiyoko
sendiri. Kiyoko ialah sebuah nama yang sekarang kurang populerdi Jepang.
Umumnya orang akan lebih memakai nama Kyoko daripada Kiyoko dengan huruf ‘i’.
Nama Kiyoko sendiri di Jepang akan langsung membawa ingatan masyarakat Jepang
menuju sebuah tragedi di 12 Februari 1933. Kala itu, seorang wanita muda
berumur 21 tahun bernama Kiyoko Matsumoto bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke
kawah Gunung Mihara. Kiyoko bunuh diri karena merasa kebingungan dengan
identitas dan hidupnya setelah ia jatuh cinta dengan temannya sesama wanita.
Kejadian tragis ini melahirkan gelombang bunuh diri besar di tahun itu (944
orang bunuh diri di spot yang sama di tahun 1933). Kejadian ini sangat besar
dan berpengaruh, hingga menjadi bahasan di berbagai film dan lagu di Jepang dan
di luar Jepang. Nama Kiyoko sebagai tokoh cerpen dipilih dengan sengaja oleh
Rama Dira untuk mewakili masalah bunuh diri di Jepang dan sisi gelap masyarakat
Jepang yang dekat dengan kematian. Budaya samurai di Jepang dahulu juga sangat
menjunjung tinggi kematian. Mereka tidak takut mati demi tugas, tuannya, atau
demi kehormatannya sebagai samurai.
Tokoh kedua yang harus dianalisis ialah Takeshi, seekor
kucing berbelang tiga. Kucing berbelang tiga adalah fenomena genetis yang
langka, dan biasanya harganya sangat mahal. Walaupun tidak berbelang tiga pun
kucing di Jepang diyakini sebagai pembawa keberuntungan. Maneki-neko, misalnya,
ialah patung kucing penarik pelanggan yang biasa dijumpai di toko-toko di
Jepang. Tentu saja tidak logis jika digambarkan bahwa wanita Jepang yang sangat
mengerti budaya seperti Kiyoko dengan sadis menyembelih Takeshi. Di sini bisa
dilihat bahwa pembacaan secara mimetis harus ditinggalkan, beranjak ke
pembacaan secara simbolis dan semiotis. Takeshi dapat diartikan sebagai simbol
keberuntungan, dan lebih lanjut jika dikaitkan dengan pembunuhannya oleh
Kiyoko, dapat juga diartikan sebagai wakil kehidupan itu sendiri. Jepang,
sebagai negeri dengan sinkritisme Shinto – Buddha, masih percaya dengan
reinkarnasi. Setiap jiwa yang hidup sebagai manusia saat ini bisa dikatakan
beruntung, karena bisa saja ia reinkarnasi menjadi makhluk lain (misalnya
binatang atau tumbuhan).
Tokoh ketiga ialah si mahasiswa. Mahasiswa di sini
mewakili pengamat, atau masyarakat pada umumnya, sebagai seorang pekerja keras.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah latar tempat, yakni Kyoto. Rama Dira
sengaja memilih Kyoto, tentu saja karena ada sesuatu tentang kota tersebut yang
akan mendukung ceritaya. Kyoto adalah ibukota Jepang kuno sebelum dipindahkan
ke Edo/Tokyo. Sejarah kota Kyoto
dipenuhi oleh pertarungan-pertarungan samurai dan pembunuhan-pembunuhan
berdarah. Di kota ini pun berkali-kali terjadi kebakaran besar yang menewaskan
banyak orang. Pendeknya, Kyoto ialah sebuah kota dengan sejarah yang penuh
dengan kematian, sangat cocok dengan symbol dan makna yang ingin disampaikan
oleh pengarang.
Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan ialah interaksi
antar tokoh tersebut. Seperti dalam cerita, dikisahkan bahwa mahasiswa tertarik
pada Kiyoko, dan Kiyoko membunuh Takeshi, lalu dalam kesedihannya mahasiswa
sadar bahwa ia lebih suka pada Takeshi daripada Kiyoko. Cerita ini menunjukkan
bahwa masyarakat Jepang secara alami tertarik pada kematian yang begitu
memesona bagai seorang wanita. Masalah bunuh diri juga sampai sekarang masih
menjadi problem tersendiri di negeri sakura tersebut. Meskipun begitu,
pengarang ingin mengatakan bahwa pada dasarnya kecintaan masyarakat Jepang (dan
manusia pada umumnya) pada kehidupan juga sama besarnya. Sikap pengarang di
sini berada di tengah-tengah (myth of
concern – freedom). Di satu sisi, ia menjelaskan makna-mitos kematian dan masalah bunuh diri, namun dia
juga memberikan kenyataan bahwa sesungguhnya kehidupan itu sangat berharga dan
dicintai. Singkatnya, Kucing Kiyoko memaparkan sebuah renungan tentang masalah
bunuh diri sekaligus ingin menyadarkan pada pembacanya bahwa kehidupan ini
sangat berharga dan patut disyukuri.
Sebagai sebuah cerpen, Kucing Kiyoko ialah cerpen yang
cukup baik dan memiliki plot yang unik dan menghibur. Pembaca biasanya akan
merasa terpukau di akhir, lalu membaca ulang untuk mencari petunjuk-petunjuk
mengenai perbuatan Kiyoko. Namun jika tidak melakukan penelaahan lebih dalam,
pembaca awam akan cenderung berhenti pada kesimpulan bahwa cerpen ini ialah
cerpen yang menarik karena memberikan kejutan di akhir. Hal ini ialah kelebihan
sekaligus kekurangan, karena makna-maknanya yang dalam akan menjadi tidak
tersampaikan.
0 komentar:
Posting Komentar