Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Menyibak Sisi Gelap Jepang melalui Kucing Kiyoko



Menyibak Sisi Gelap Jepang melalui Kucing Kiyoko
Oleh: Wisnu Bramantyo

                Karya sastra selalu menjadi makhluk dunia perbatasan. Di satu sisi ia selalu mengulang pola-pola yang sama, namun dituntut untuk menawarkan sesuatu yang baru. Dia lahir dari individualitas pengarangnya, tapi menjadi konsumsi publik dengan multitafsirnya. Karya sastra juga merupakan hasil mimetisasi langsung dunia sekitar, namun sadar ataupun tak sadar juga mengandung simbol-simbol yang lebih dalam. Inilah yang membuat karya sastra yang unggul menjadi berbeda dengan karya sastra lainnya. Dalam pembacaan sekilas, ia akan menjadi sebuah hiburan. Selanjutnya, saat dibaca dengan lebih dalam, makna simbol-simbolnya akan terungkap lapis demi lapis, hingga menjadi sebuah karya yang memberikan pesan hidup dan perenungan yang penuh arti. Kucing Kiyoko, sebuah cerpen karya Rama Dira J ialah salah satu contoh karya sastra yang berlapis, sebuah karya yang menarik untuk dikupas lebih lanjut.
            Kucing Kiyoko mengisahkan seorang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Jepang. Suatu saat, ia menemukan seorang kucing di depan flatnya. Kucing tersebut berbelang tiga, montok, terlihat terawat, namun kedinginan dan terluka cukup parah. Mahasiswa tersebut segera memberikannya makanan, susu, dan mengobatinya. Selanjutnya diketahui bahwa kucing tersebut, Takeshi, ialah kucing milik Kiyoko, tetangga flatnya, seorang wanita yang diam-diam dikagumi oleh mahasiswa tersebut. Hubungan mahasiswa tersebut dan Kiyoko dengan cepat terjalin karena faktor Takeshi. Suatu saat, ketika sedang dijamu oleh Kiyoko dengan sukiyaki di flatnya, mahasiswa tersebut menyadari sesuatu: Takeshi hilang. Ketika ia bertanya, Kiyoko menjawab bahwa Takeshi telah menjadi kulit di shamisennya. Lebih menyedihkan lagi, sukiyaki yang baru saja dimakannya juga dari daging Takeshi. Mendengar hal itu, mahasiswa tersebut merasa sangat sedih dan menyadari bahwa Takeshi adalah bagian Kiyoko yang paling ia cintai.
           
Rama Dira J. sebenarnya adalah seorang penerjemah untuk novel dan buku-buku luar negeri, namun dia juga membuat beberapa cerpen sendiri. Kucing Kiyoko ditulisnya setelah mendapat pengalaman menarik bersama seekor kucing kecil terluka dan kedinginan yang ia temukan di dekat rumahnya. Kucing kecil itu ia bawa ke rumahnya, lalu dirawat dan diberi makan bersama istrinya. Setelah sedikit sembuh, ia segera menjadi kesukaan kedua anaknya yang masih kecil. Sayangnya, setelah seminggu di rumah, tiba-tiba kucing tersebut hilang, dan hal itu membuat sedih istri dan anak-anaknya. Perasaan sentimental itulah yang ia tuangkan dalam Kucing Kiyoko, ditambah beberapa pengetahuannya tentang shamisen yang penutupnya terbuat dari kulit anjing atau kucing, dan beberapa penglaman temannya yang studi di Jepang. Hal-hal detail seperti latar tempat dan suasana diciptakan Rama Dira dengan bantuan google. Semuanya itu dirangkum dan disatukannya menjadi sebuah cerpen memikat, Kucing Kiyoko.
            Kucing Kiyoko adalah sebuah cerpen yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Alasan pertama ialah plotnya yang unik. Pengarang bercerita dengan alur yang mengalir lambat, namun pasti, tetapi lalu mengagetkan dan mencekam pembacanya dengan teror di akhir cerita. Rama Dira menciptakan sebuah kejutan di akhir dengan membuat seorang Kiyoko yang digambarkan begitu memesona, tiba-tiba tega menyembelih Takeshi dan menjadikannya shamisen dan sukiyaki. Alur yang unik ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menelaah karya ini lebih lanjut. Tetapi, kekuatan cerpen ini tidak berhenti sampai di kejutan itu. Ternyata, makna Kucing Kiyoko lebih dalam dari sekedar itu. Cerita ini mengandung simbol-simbol yang berisi pesan lebih dalam mengenai kenyataan sosial masyarakat Jepang, arti kehidupan (baca: arti kematian), dan apa yang harus diperbuat dengan hidup ini.
            Cerpen ini menyajikan simbol-simbol mengenai kehidupan dan kematian, dan hal ini akan jelas terlihat bila dilihat secara khusus dari pemilihan karakteristik tokoh-tokoh utamanya. Yang pertama ialah Kiyoko sendiri. Kiyoko ialah sebuah nama yang sekarang kurang populerdi Jepang. Umumnya orang akan lebih memakai nama Kyoko daripada Kiyoko dengan huruf ‘i’. Nama Kiyoko sendiri di Jepang akan langsung membawa ingatan masyarakat Jepang menuju sebuah tragedi di 12 Februari 1933. Kala itu, seorang wanita muda berumur 21 tahun bernama Kiyoko Matsumoto bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke kawah Gunung Mihara. Kiyoko bunuh diri karena merasa kebingungan dengan identitas dan hidupnya setelah ia jatuh cinta dengan temannya sesama wanita. Kejadian tragis ini melahirkan gelombang bunuh diri besar di tahun itu (944 orang bunuh diri di spot yang sama di tahun 1933). Kejadian ini sangat besar dan berpengaruh, hingga menjadi bahasan di berbagai film dan lagu di Jepang dan di luar Jepang. Nama Kiyoko sebagai tokoh cerpen dipilih dengan sengaja oleh Rama Dira untuk mewakili masalah bunuh diri di Jepang dan sisi gelap masyarakat Jepang yang dekat dengan kematian. Budaya samurai di Jepang dahulu juga sangat menjunjung tinggi kematian. Mereka tidak takut mati demi tugas, tuannya, atau demi kehormatannya sebagai samurai.
            Tokoh kedua yang harus dianalisis ialah Takeshi, seekor kucing berbelang tiga. Kucing berbelang tiga adalah fenomena genetis yang langka, dan biasanya harganya sangat mahal. Walaupun tidak berbelang tiga pun kucing di Jepang diyakini sebagai pembawa keberuntungan. Maneki-neko, misalnya, ialah patung kucing penarik pelanggan yang biasa dijumpai di toko-toko di Jepang. Tentu saja tidak logis jika digambarkan bahwa wanita Jepang yang sangat mengerti budaya seperti Kiyoko dengan sadis menyembelih Takeshi. Di sini bisa dilihat bahwa pembacaan secara mimetis harus ditinggalkan, beranjak ke pembacaan secara simbolis dan semiotis. Takeshi dapat diartikan sebagai simbol keberuntungan, dan lebih lanjut jika dikaitkan dengan pembunuhannya oleh Kiyoko, dapat juga diartikan sebagai wakil kehidupan itu sendiri. Jepang, sebagai negeri dengan sinkritisme Shinto – Buddha, masih percaya dengan reinkarnasi. Setiap jiwa yang hidup sebagai manusia saat ini bisa dikatakan beruntung, karena bisa saja ia reinkarnasi menjadi makhluk lain (misalnya binatang atau tumbuhan).
            Tokoh ketiga ialah si mahasiswa. Mahasiswa di sini mewakili pengamat, atau masyarakat pada umumnya, sebagai seorang pekerja keras. Hal lain yang harus diperhatikan adalah latar tempat, yakni Kyoto. Rama Dira sengaja memilih Kyoto, tentu saja karena ada sesuatu tentang kota tersebut yang akan mendukung ceritaya. Kyoto adalah ibukota Jepang kuno sebelum dipindahkan ke Edo/Tokyo.  Sejarah kota Kyoto dipenuhi oleh pertarungan-pertarungan samurai dan pembunuhan-pembunuhan berdarah. Di kota ini pun berkali-kali terjadi kebakaran besar yang menewaskan banyak orang. Pendeknya, Kyoto ialah sebuah kota dengan sejarah yang penuh dengan kematian, sangat cocok dengan symbol dan makna yang ingin disampaikan oleh pengarang.
            Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan ialah interaksi antar tokoh tersebut. Seperti dalam cerita, dikisahkan bahwa mahasiswa tertarik pada Kiyoko, dan Kiyoko membunuh Takeshi, lalu dalam kesedihannya mahasiswa sadar bahwa ia lebih suka pada Takeshi daripada Kiyoko. Cerita ini menunjukkan bahwa masyarakat Jepang secara alami tertarik pada kematian yang begitu memesona bagai seorang wanita. Masalah bunuh diri juga sampai sekarang masih menjadi problem tersendiri di negeri sakura tersebut. Meskipun begitu, pengarang ingin mengatakan bahwa pada dasarnya kecintaan masyarakat Jepang (dan manusia pada umumnya) pada kehidupan juga sama besarnya. Sikap pengarang di sini berada di tengah-tengah (myth of concern – freedom). Di satu sisi, ia menjelaskan makna-mitos  kematian dan masalah bunuh diri, namun dia juga memberikan kenyataan bahwa sesungguhnya kehidupan itu sangat berharga dan dicintai. Singkatnya, Kucing Kiyoko  memaparkan sebuah renungan tentang masalah bunuh diri sekaligus ingin menyadarkan pada pembacanya bahwa kehidupan ini sangat berharga dan patut disyukuri.
            Sebagai sebuah cerpen, Kucing Kiyoko ialah cerpen yang cukup baik dan memiliki plot yang unik dan menghibur. Pembaca biasanya akan merasa terpukau di akhir, lalu membaca ulang untuk mencari petunjuk-petunjuk mengenai perbuatan Kiyoko. Namun jika tidak melakukan penelaahan lebih dalam, pembaca awam akan cenderung berhenti pada kesimpulan bahwa cerpen ini ialah cerpen yang menarik karena memberikan kejutan di akhir. Hal ini ialah kelebihan sekaligus kekurangan, karena makna-maknanya yang dalam akan menjadi tidak tersampaikan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar