Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Potret Sejarah dalam Puisi-puisi Taufik Ismail



Potret Sejarah dalam Puisi-puisi Taufik Ismail
Oleh: Indria Puspitasari
 
            Pengetahuan sejarah merupakan suatu kebutuhan untuk memahami sebuah budaya, bangsa, dan negara. Perjalanan sebuah negara, dari lahirnya sampai masa kini, membentuk keadaan dan pandangan masyarakat serta menentukan kedudukan negara tersebut dalam tatanan masyarakat dunia tempat ia berada.
            Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair pelopor Angkatan ’66 yang mampu menyuarakan kritik sosial melalui puisi. Kritik terhadap kepincangan sosial dan berbagai peristiwa yang menimpa masyarakat diungkapkan Taufiq secara lugas dan jelas, menohok, dan jujur. Terkadang puisi-puisi Taufik Ismail mampu memotret peristiwa bersejarah, yang oleh generasi berikutnya, dapat dikaji dan dianalisis kembali. Kepekaan dengan sejarah dan keterlibatan penuh di dalam sejarah itulah salah satu alasan utama mengapa puisi Taufik Ismail melukiskan berbagai peristiwa sejarah Indonesia dengan begitu asyik dan indah. Didukung oleh penggunaan bahasanya yang seringkali berbentuk sederhana dan mudah dimengerti, kandungan sejarah yang terdapat dalam puisi Taufik Ismail terasa mudah dijangkau dan dihayati. Selain itu, peristiwa-peristiwa sejarah seolah-olah mengikuti runtutan perjuangan dalam sejarah.
Sebelum menulis puisi bertemakan sejarah Taufiq juga telah menulis puisi yang mengangkat tema kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, angan-angan, cita-cita, dan tekad.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan Taufiq sendiri yang pernah menyaksikan tragedi kelaparan pada masa itu. Berikut salah satu puisi yang menggambarkan peristiwa kelaparan tersebut.


Syair Orang Lapar
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
            Risau
Lapar lautan
pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
            Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk
kubur
Kauulang jua
            Kalau
                1964
                Sumber : Tirani dan Benteng

Emosi meledak-ledak dapat kita rasakan ketika memotret peristiwa demonstrasi mahasiswa pada1966. Aksi tersebut meneriakan tiga tuntutan rakyat (tritura) yang pada masa itu PKI sangat berkuasa setelah melakukan gerakan yang dikenal dengan G 30 S/ PKI  pada 1965. Berikut salah satu puisi yang memotret peristiwa tersebut.

Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis
senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk
bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli
pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
                        1966
                        Sumber: Tirani dan Benteng

Taufiq Ismail tetap konsisten dengan puisi-puisi kritik sosialnya sampai sekarang. Hal ini ia buktikan dengan memotret peristiwa yang hampir sama dengan peristiwa 1966, yakni aksi demontrasi mahasiswa pada 1998 untuk melengserkan rezim orde baru.
Pada aksi demonstrasi tersebut telah gugur empat demonstran sebagai pahlawan reformasi. Peristiwa itu dikenang oleh Taufiq dalam puisi berikut.

12 Mei, 1998
mengenang elang Mulya, Hery Hartanto,
Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan
Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke
tanah kuburan
dan simaklah itu sedu sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri, mengukr reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian pemberani
mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.

            Taufik melihat orang-orang di dalam puisinya itu sebagai pelaku sejarah. Perbuatan mereka melukis sejarah apa yang mereka katakana mengukir sejarah dan menghadang tantangan-tantangan yang menjadi bagian dari perjuangan bangsa dan negara ini dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, Taufik Ismail sendiri menganggap bahwa apa yang dituangkannya dalam puisinya adakalanya memanglah bagian dari perjalanan sejarah Indonesia. Simaklah puisi “La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini” (Ismail, 1966) berikut ini :

La Strada
Kini anak-anak itu telah berpawai pula
Dipanggang panas matahari ibukota
Setiap lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka berteriak dengan suara tinggi
“Hidup kakak-kakak kami!”

Mereka telah direlakan ibu bapa
Warganegara biasa negeri ini
Yang melepas dengan doa
Setiap pagi!

Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah
Kini telah melangkahkan sejarah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar