Potret Sejarah dalam Puisi-puisi Taufik Ismail
Oleh: Indria Puspitasari
Pengetahuan
sejarah merupakan suatu kebutuhan untuk memahami sebuah budaya, bangsa, dan
negara. Perjalanan sebuah negara, dari lahirnya sampai masa kini, membentuk
keadaan dan pandangan masyarakat serta menentukan kedudukan negara tersebut
dalam tatanan masyarakat dunia tempat ia berada.
Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair pelopor Angkatan ’66 yang mampu
menyuarakan kritik sosial melalui puisi. Kritik terhadap kepincangan sosial dan
berbagai peristiwa yang menimpa masyarakat diungkapkan Taufiq secara lugas dan
jelas, menohok, dan jujur. Terkadang puisi-puisi
Taufik Ismail mampu memotret peristiwa bersejarah, yang oleh generasi
berikutnya, dapat dikaji dan dianalisis kembali. Kepekaan dengan sejarah dan
keterlibatan penuh di dalam sejarah itulah salah satu alasan utama mengapa
puisi Taufik Ismail melukiskan berbagai peristiwa sejarah Indonesia dengan
begitu asyik dan indah. Didukung oleh penggunaan bahasanya yang seringkali
berbentuk sederhana dan mudah dimengerti, kandungan sejarah yang terdapat dalam
puisi Taufik Ismail terasa mudah dijangkau dan dihayati. Selain itu,
peristiwa-peristiwa sejarah seolah-olah mengikuti runtutan perjuangan dalam
sejarah.
Sebelum menulis puisi bertemakan sejarah Taufiq juga telah
menulis puisi yang mengangkat tema kecemasan, kesangsian, kebebasan, harapan, angan-angan,
cita-cita, dan tekad.
Hal
ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan Taufiq sendiri yang pernah
menyaksikan tragedi kelaparan pada masa itu. Berikut salah satu puisi yang
menggambarkan peristiwa kelaparan tersebut.
Syair
Orang Lapar
Lapar
menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau
1964
Sumber : Tirani dan Benteng
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau
1964
Sumber : Tirani dan Benteng
Emosi
meledak-ledak dapat kita rasakan ketika memotret peristiwa demonstrasi mahasiswa pada1966. Aksi tersebut meneriakan
tiga tuntutan rakyat (tritura) yang pada masa itu PKI sangat berkuasa setelah melakukan
gerakan yang dikenal dengan G 30 S/ PKI pada 1965. Berikut salah satu
puisi yang memotret peristiwa tersebut.
Sebuah
Jaket Berlumur Darah
Sebuah
jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Spanduk
kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu
telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
1966
Sumber: Tirani dan Benteng
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
1966
Sumber: Tirani dan Benteng
Taufiq
Ismail tetap konsisten dengan puisi-puisi kritik sosialnya sampai sekarang. Hal
ini ia buktikan dengan memotret peristiwa yang hampir sama dengan peristiwa 1966, yakni aksi demontrasi
mahasiswa pada 1998 untuk melengserkan rezim orde baru.
Pada aksi
demonstrasi tersebut telah gugur empat demonstran sebagai pahlawan reformasi. Peristiwa itu dikenang
oleh Taufiq dalam puisi berikut.
12
Mei, 1998
mengenang
elang Mulya, Hery Hartanto,
Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan
Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan
Empat
syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu sedan,
tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu sedan,
Mereka
anak muda pengembara tiada sendiri, mengukr reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu
mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi
malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian pemberani
mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian pemberani
mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Tapi
peluru logam telah kami patahkan dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
Taufik melihat orang-orang
di dalam puisinya itu sebagai pelaku sejarah. Perbuatan mereka melukis sejarah
apa yang mereka katakana mengukir sejarah dan menghadang tantangan-tantangan
yang menjadi bagian dari perjuangan bangsa dan negara ini dalam menjalani
kehidupannya. Selain itu, Taufik Ismail sendiri menganggap bahwa apa yang
dituangkannya dalam puisinya adakalanya memanglah bagian dari perjalanan
sejarah Indonesia. Simaklah puisi “La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini”
(Ismail, 1966) berikut ini :
La Strada
Kini
anak-anak itu telah berpawai pula
Dipanggang
panas matahari ibukota
Setiap
lewat depan kampus berpagar senjata
Mereka
berteriak dengan suara tinggi
“Hidup
kakak-kakak kami!”
Mereka
telah direlakan ibu bapa
Warganegara
biasa negeri ini
Yang
melepas dengan doa
Setiap
pagi!
Kaki-kaki
kecil yang tak kenal lelah
Kini telah
melangkahkan sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar