Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Keteladanan dan Rasa Tanggungjawab Seorang Wanita Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto



Keteladanan dan Rasa Tanggungjawab Seorang Wanita Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto
Karya: Febri Dwi Hariyanto

I.     Pendahuluan
Wanita dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak mempunyai kedudukan tertinggi dalam struktur kemasyarakatan. Dengan adanya anggapan seperti itu lalu muncullah gerakan emansipasi. Gerakan emansipasi ini muncul karena dirasa adanya rasa ketidakadilan terhadap kaum wanita. Pelopor emansipasi wanita pertama kali ialah R.A Kartini. Kaum wanita dianggap kurang dapat berkembang karena mereka hanya diperbolehkan mengurusi rumah tangga, seperti memasak dan mengasuh anak, tanpa harus bekerja di luar rumah.  Secara otomatis wanita tidak boleh bekerja di luar tugas domestik tersebut. Wanita tidak dapat bekerja di luar rumah sebagaimana seorang pria. Oleh karena itu, wanita lebih kurang berpengalaman dalam berbagai bidang daripada pria.
Novel Canting merupakan karya Arswendo Atmowiloto yang isinya cukup menarik untuk dibaca. Dalam penulisan novelnya ini, Arswendo Atmowiloto berupaya mengungkapkan tradisi yang secara turun temurun dijaga oleh Kraton Kasunanan Surakarta.  Alur ceritanya dipaparkan dari awal hingga akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya  terletak pada  bagaimana dia menceritakan kehidupan Bu Bei sebelum menjadi Bu Bei seorang istri Raden Ngabehi Sestrokusumo. Dalam artian masih menjadi Tuginem, seorang gadis desa yang masih lugu hingga menjadi Bu Bei istri seorang Raden di Kraton Kasunanan Surakarta. Novel yang sarat akan penceritaan tentang hubungan kekeluargaan dan keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga Kraton Kasunanan Surakarta dapat membuka kacamata kita tentang hidup kaum priyayi, dalam hal ini ialah seorang pengusaha kain batik.
Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto juga sangat bagus untuk dibaca oleh semua kalangan baik remaja maupun dewasa. Cerita kekeluargaan yang dikemas dalam kemasan yang sangat menarik membuat kedudukan novel ini semakin banyak diminati oleh semua kalangan. Gaya penceritaan yang membahas mengenai feminisme seorang ibu dalam mengemban tugasnya sebagai wanita yang merawat anak-anaknya dan menjalankan bisnis usaha batik milik suaminya sangat patut dicontoh dan kita teladani.
II.  Analisis
Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto ini menceritakan kisah dua orang wanita yang begitu tegar, sabar, dan mau berusaha memperjuangkan tanggungjawabnya sebagai wanita karir, disamping sebagai istri dan ibu rumah tangga. Novel ini mengungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang mengalami banyak konflik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Jawa mulai dari etika sampai pada ekonomi.Transformasi kebudayaan Jawa tergambarkan dengan luwes dan kritis.
Canting merupakan alat tradisional yang berupa carat tembaga yang digunakan dalam membatik. Pada cerita dalam novel yang cukup terkenal di zamannya ini, canting digambarkan sebagai lambang perusahaan batik yang dimiliki oleh keluarga Ngabehi Sestrokusumo yang nantinya diperebutkan oleh masing-masing anggota keluarga di dalamnya. Canting juga digambarkan sebagai penggambar sifat dan karakteristik pada masing-masing anggota keluarga di dalamnya. Bagi Bu Bei, canting adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Meskipun hanya berbentuk kecil dan sama sekali tidak ada hal khusus yang menyokongnya, tetapi bagi Bu Bei memiliki makna yang begitu mendalam.
Awal kisah cerita dalam novel Canting ialah semua keluarga keraton Surakarta dikejutkan dengan pengakuan Raden Ngabehi Sastrokusumo yang ingin menikahi Tuginem, seorang buruh pabrik batik milik keluarga Raden Ngabehi Sastrokusumo. Sedangkan Raden Ngabehi Sastrokusumo adalah seorang pengusaha batik tradisional merek Canting di Solo, keturunan darah biru, kaya, setia, serta dihormati dan disegani oleh banyak orang. Maka tidak heran jika dalam pernikahan mereka banyak keluarga yang menentangnya. Meskipun demikian, pernikahan itu tetap dilaksanakan. Dalam menjalani biduk rumah tangganya,  mereka terlihat bahagia. Selain itu, kebahagiaan mereka selalu terjaga dengan adanya kerukunan dan sikap saling pengertian diantara keduanya. Hal tersebut terlihat dari kesetiaan Ibu Bei dalam membantu menjalankan usaha batik milik suaminya, Raden Ngabehi Sastrokusumo, hingga hasilnya usaha batik merk Canting milik mereka mampu berkembang pesat. Meskipun sibuk dalam usaha batik, Ibu Bei tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga untuk melayani suami dan anak-anaknya dengan baik. Keenam anaknya tersebut ialah Wahyu Dewabrata menjadi Dokter, Lintang Dewanti menjadi istri Kolonel, Bayu Dewasunu menjadi seorang Dokter Gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi seorang Insinyur, Wening Dewamurti menjadi Dokter dan kemudian menjadi Kontraktor yang sukses, serta Subandini Dewaputri anak bungsu yang menjadi Sarjana Farmasi.
Teknologi semakin lama makin modern dan banyaknya persaingan dari pengusaha lain. Kesuksesan batik canting lama kelamaan merosot. Selain itu, kekuatan Bu Bei dalam mengurus batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya semakin lama semakin berkurang karena usianya yang tak lagi muda. Canting produk mereka mulai mendapat saingan berat dari perusahaan pabrik besar dan modern. Penjualan batik yang begitu sulit dan hasil yang sangat kurang dan juga tidak ada satupun dari anak-anaknya yang mau meneruskan usaha batik tersebut, dengan terpaksa Bu Bei menutup usaha batik cantingnya. Akan tetapi, anak bungsu Raden Ngabehi Sastrokusumo, Subandini Dewa Putri atau biasa dipanggil Ni merasa tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan kembali usaha keluarganya dengan cara yang modern.
Usaha pembenahan yang dilakukan oleh Ni, anak bungsu Pak Bei dan Bu Bei dengan prinsip-prinsip ekonomi modern tidak membawa hasil, meskipun sudah mengorbankan banyak biaya, sampai dimusuhi kakak-kakaknya dan saudara-saudara ayahnya sendiri karena sikap dan tindakan yang dilakukannya. Sikap dan tindakan Ni malah menimbulkan perselisihan diantara mereka, namun perselisihan tersebut dapat diselesaikan oleh Pak Bei dengan bijaksana. Di satu sisi Pak Bei sebenarnya mampu berfikir dan bersikap rasional sesuai dengan tuntutan ekonomi modern yang kapitalis meskipun masih dihinggapi rasa gamang, mendua, dan bimbang, sebaliknya Ni malah bersikap sesuai tuntutan ekonomi modern meskipun menanggung “ongkos” sosial cukup mahal (difitnah oleh saudara-saudara ayahnya). Akan tetapi, di sisi lain Bu Bei tidak mampu bersikap dan bertindak seperti Pak Bei dan Ni. Sampai pada akhirnya Bu Bei sakit karena memikirkan masalah yang semakin rumit dan akhirnya Bu Bei meninggal dunia.
Sepeninggal bu Bei, usaha batik canting tersebut diambil alih oleh Subandini atau Ni. Ia berusaha menghadapi persaingan dengan batik-batik dari pabrik-pabrik besar, tetapi ia kalah bersaing karena penjualan yang semakin merosot. Hingga ia frustasi dan akibatnya menjadi sakit bahkan hampir meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Akan tetapi,  dengan sakitnya itu justru menimbulkan kesadaran dalam dirinya untuk memahami mengapa usaha batiknya kalah bersaing dengan produk keluaran pabrik lain. Hal itu disebabkan oleh masalah merk. Akhirnya dia memutuskan untuk mengubah merk canting menjadi Canting Daryono. Dengan nama baru itu, Ni meneruskan usaha batik tradisional milik keluarganya. Ia kembali bangkit dan terus berjuang demi menaikkan lagi pamor batik yang dulu sempat “redup”. Usaha batik pun secara perlahan mampu bersaing di pasaran dengan bantuan dari kakak-kakaknya, mereka saling bekerja sama, hingga batik mereka tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi mulai dikenal hingga mancanegara.
Sekilas itulah cerita singkat dalam novel Canting. Melihat cerita singkat novel Canting, tampak terlihat bahwa tokoh yang menjadi pusat perhatian dan sekaligus tokoh utama ialah seorang wanita yang sabar, tekun serta telaten dalam menjalani usaha batik suaminya, dia adalah bu Bei istri dari Raden Ngabehi Sastrokusumo. Dari awal hingga akhir cerita sosok wanita memang mendominasi peran utama.  Dengan kata lain, unsur feminisme dalam novel ini sangat kental. Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis, yaitu salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Selain itu, dalam mengkaji novel ini juga digunakan pendekatan yang berusaha memahami suatu hasil karya sastra dengan realitas atau kenyataan dalam kehidupan, pendekatan yang dimaksud ialah pendekatan mimetik. Alasan digunakannya pendekatan mimetik karena di dalam karya sastra tidak dapat kita pisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, pada dasarnya penulis adalah bagian dari sebuah struktur masyarakat.
Berdasarkan peryataan di atas, dapat kita lihat bahwa unsur feminisme dalam novel Canting begitu nampak. Unsur feminisme tersebut ditunjukkan oleh sosok bu Bei. Unsur feminisme tersebut terlihat dari cara pandang dan pemikiran bu Bei betapa gigihnya perjuangan yang dilakukan oleh seorang wanita dari kalangan wong cilik yang kemudian menjadi istri seorang Raden pada Kraton Kasunanan Surakarta dan memiliki tanggungjawab dalam mengelola bisnis batik yang diembankan kepadanya sampai akhir hayat, disamping perannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Kepandaian Bu Bei dalam mengelola bisnis batik dan menjaga keutuhan rumah tangganya menjadikan rumah tangganya tetap harmonis. Hal tersebut dibuktikan dengan suksesnya bisnis batik yang ia jalani serta berhasilnya bu Bei dalam mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi.
Selain pada bu Bei, peran feminisme tampak pada tokoh Ni yang merupakan seorang wanita yang tegar, ia mampu menyelesaikan setiap masalah yang sedang dihadapinya. Sebagai anak sulung Ni merasakan suatu kewajiban untuk memajukan bisnis batik milik orang tuanya yang mulairedup”. Meskipun sedang sakit Ni beruaha sekuat tenaga untuk tetap berkorban demi mengembalikan dan memajukan usaha batik orang tuanya.  Pengorbanan Ni yang luar biasa itu akhirnya membuahkan hasil. Batik canting miliknya mampu bersaing lagi dengan batik-batik produksi lain. Hanya dengan mengganti sebuah merk usaha bisnis batik miliknya. Selain itu, sebagai seorang ibu rumah tangga Ni tetap menjalankan kewajibannya, yaitu mengurusi anaknya yang masih bayi, seperti apa yang telah dilakukan oleh ibunya dulu ketika masih hidup. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam cerita novel Canting, yakni  Bu Bei dan Ni adalah contoh suri tauladan yang sangat baik dan patut diteladani oleh para wanita di seluruh dunia karena sikapnya yang pantang menyerah dalam menghadapi suatu permasalahan yang rumit dan dapat membagi peranannya dalam kehidupan rumah tangga sebagai istri yang mengurusi suami dan anak-anaknya serta sebagai wanita karir yang mengelola dan menjalankan usaha batik.
Selain itu, dalam mengkaji dan menganalisis cerita novel ini juga digunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik merupakan pendekatan yang berusaha memahami suatu hasil karya sastra dengan realitas atau kenyataan dalam kehidupan. Secara tidak langsung pendekatan mimetik dalam cerita novel ini terlihat dari sosok wanita, yakni bu Bei dan Ni.  Apabila kita lihat di dalam realitas kehidupan saat ini, sosok wanita menjadi sosok yang bisa dibilang paling mendominasi daripada kaum pria, bahkan pada zaman sekarang,  wanita sudah bisa menjadi sosok pemimpin bagi negaranya. Dari kisah dalam novel Canting, sosok wanita memegang peranan penting, sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir yang menjalankan bisnis batik milik suaminya. Sebagai wanita yang mempunyai peran ganda, sosok wanita dalam novel ini dapat membagi peran dan mengatur waktu di dalam kehidupan keluarganya.  
III.   Penilaian
Dengan membaca dan menghayati seluruh serangkaian isi novel tersebut, sudah sepatutnya kita sebagai pembaca sekaligus penikmat sastra memberikan apresiasi yang tinggi terhadap novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Apresiasi yang tinggi tersebut sudah sepatutnya diberikan karena ada beberapa alasan yang mendasari pertama, novel yang sarat akan penceritaan tentang hubungan kekeluargaan dan keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga Kraton Kasunanan Surakarta dapat membuka kacamata kita tentang hidup kaum priyayi, dalam hal ini ialah seorang pengusaha kain batik, kedua, alur penceritaannya dipaparkan dari awal hingga akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya terletak pada bagaimana dia menceritakan tentang kehidupan bu Bei sebelum menjadi istri Raden Ngabehi Sastrokusumo, dan ketiga mengungkapkan tradisi yang secara turun temurun dijaga oleh Kraton Kasunanan Surakarta.
Novel tersebut menceritakan kehidupan kekeluargaan yang dikemas sangat menarik dan membuat kedudukan novel ini semakin banyak diminati oleh semua kalangan. Gaya penceritaan yang membahas mengenai feminisme seorang ibu dalam mengemban tugasnya sebagai wanita karir yang merawat anak-anaknya dan menjalankan bisnis usaha batik milik suaminya sangat patut untuk kita contoh dan teladani. Oleh karena itu, peran wanita dalam sosok ini sangat patut untuk kita jadikan teladan yang baik, khususnya para wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga dan bekerja sebagai wanita karir. Sekiranya dari cerita tersebut, dapat kita kaitkan dengan zaman sekarang yang mengharuskan seorang wanita tidak lagi menjadi wanita yang hanya menjadi “pajangan” di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Akan tetapi, pada zaman sekarang ini para wanita di Indonesia yang dipandang sebagai wanita modern cenderung suka berkarir (bekerja) daripada mengurus rumah tangga, dalam artian mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah tangga. Hal tersebut terlihat dari banyaknya ibu-ibu rumah tangga yang masih muda lebih memilih mempunyai pembantu dan babysitter untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak-anak mereka yang masih kecil. 
Dari sekian paparan mengenai hasil analisis dan penilaian tentang novel Canting tersebut, maka diharapkan kita dapat mencontoh sikap keteladanan dan rasa tanggungjawab yang besar seorang wanita, dalam hal ini seorang wanita yang berperan ganda, dalam artian berperan sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya serta sebagai wanita karir yang menjalankan usaha batik milik suaminya.  Semoga dengan membaca dan memahami keseluruhan isi cerita dan pesan yang terkandung didalamnya dapat menjadi cermin bagi wanita-wanita Indonesia saat ini, yang diharapkan dapat membagi peran dan waktunya dalam kehidupan berkeluarga, seperti apa yang terlihat dari sosok wanita dalam cerita novel Canting.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar