Keteladanan dan Rasa Tanggungjawab Seorang Wanita
Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto
Karya: Febri Dwi Hariyanto
I.
Pendahuluan
Wanita
dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak mempunyai kedudukan tertinggi dalam
struktur kemasyarakatan. Dengan adanya anggapan seperti itu lalu muncullah gerakan
emansipasi. Gerakan emansipasi ini muncul karena dirasa adanya rasa
ketidakadilan terhadap kaum wanita. Pelopor emansipasi wanita pertama kali ialah
R.A Kartini. Kaum wanita dianggap kurang dapat berkembang karena mereka hanya
diperbolehkan mengurusi rumah tangga, seperti memasak dan mengasuh anak, tanpa
harus bekerja di luar rumah. Secara
otomatis wanita tidak boleh bekerja di luar tugas domestik tersebut. Wanita
tidak dapat bekerja di luar rumah sebagaimana seorang pria. Oleh karena itu,
wanita lebih kurang berpengalaman dalam berbagai bidang daripada pria.
Novel
Canting merupakan karya Arswendo Atmowiloto yang isinya cukup menarik untuk dibaca.
Dalam penulisan novelnya ini, Arswendo Atmowiloto berupaya mengungkapkan
tradisi yang secara turun temurun dijaga oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Alur ceritanya dipaparkan dari awal hingga
akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya terletak pada
bagaimana dia menceritakan kehidupan Bu Bei sebelum menjadi Bu Bei
seorang istri Raden Ngabehi Sestrokusumo. Dalam artian masih menjadi Tuginem,
seorang gadis desa yang masih lugu hingga menjadi Bu Bei istri seorang Raden di
Kraton Kasunanan Surakarta. Novel yang sarat akan penceritaan tentang hubungan
kekeluargaan dan keterkaitannya dengan materialisme yang dimiliki oleh keluarga
Kraton Kasunanan Surakarta dapat membuka kacamata kita tentang hidup kaum
priyayi, dalam hal ini ialah seorang pengusaha kain batik.
Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto juga
sangat bagus untuk dibaca oleh semua kalangan baik remaja maupun dewasa. Cerita
kekeluargaan yang dikemas dalam kemasan yang sangat menarik membuat kedudukan
novel ini semakin banyak diminati oleh semua kalangan. Gaya penceritaan yang
membahas mengenai feminisme seorang ibu dalam mengemban tugasnya sebagai wanita
yang merawat anak-anaknya dan menjalankan bisnis usaha batik milik suaminya
sangat patut dicontoh dan kita teladani.
Novel
Canting karya Arswendo Atmowiloto ini
menceritakan kisah dua orang wanita yang begitu tegar, sabar, dan mau berusaha
memperjuangkan tanggungjawabnya sebagai wanita karir, disamping sebagai istri
dan ibu rumah tangga. Novel ini mengungkapkan kehidupan keluarga Jawa yang
mengalami banyak konflik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Jawa mulai
dari etika sampai pada ekonomi.Transformasi kebudayaan Jawa tergambarkan dengan
luwes dan kritis.
Canting
merupakan alat tradisional yang berupa carat tembaga yang digunakan dalam
membatik. Pada cerita dalam novel yang cukup terkenal di zamannya ini, canting
digambarkan sebagai lambang perusahaan batik yang dimiliki oleh keluarga Ngabehi
Sestrokusumo yang nantinya diperebutkan oleh masing-masing anggota keluarga di
dalamnya. Canting juga digambarkan sebagai penggambar sifat dan karakteristik
pada masing-masing anggota keluarga di dalamnya. Bagi Bu Bei, canting adalah
sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Meskipun hanya berbentuk kecil dan
sama sekali tidak ada hal khusus yang menyokongnya, tetapi bagi Bu Bei memiliki
makna yang begitu mendalam.
Awal
kisah cerita dalam novel Canting ialah semua keluarga keraton Surakarta dikejutkan
dengan pengakuan Raden Ngabehi Sastrokusumo yang ingin menikahi Tuginem, seorang
buruh pabrik batik milik keluarga Raden Ngabehi Sastrokusumo. Sedangkan Raden
Ngabehi Sastrokusumo adalah seorang pengusaha batik
tradisional merek Canting di Solo, keturunan darah biru, kaya, setia, serta
dihormati dan disegani oleh banyak orang. Maka tidak heran jika dalam pernikahan
mereka banyak keluarga yang menentangnya. Meskipun demikian, pernikahan itu
tetap dilaksanakan. Dalam menjalani biduk rumah tangganya, mereka terlihat bahagia. Selain itu,
kebahagiaan mereka selalu terjaga dengan adanya kerukunan dan sikap saling
pengertian diantara keduanya. Hal tersebut terlihat dari kesetiaan Ibu Bei dalam
membantu menjalankan usaha batik milik suaminya, Raden Ngabehi Sastrokusumo,
hingga hasilnya usaha batik merk Canting milik mereka mampu berkembang pesat. Meskipun
sibuk dalam usaha batik, Ibu Bei tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai
ibu rumah tangga untuk melayani suami dan anak-anaknya dengan baik. Keenam
anaknya tersebut ialah Wahyu Dewabrata menjadi Dokter, Lintang Dewanti menjadi
istri Kolonel, Bayu Dewasunu menjadi seorang Dokter Gigi, Ismaya Dewakusuma
menjadi seorang Insinyur, Wening Dewamurti menjadi Dokter dan kemudian menjadi
Kontraktor yang sukses, serta Subandini Dewaputri anak bungsu yang menjadi
Sarjana Farmasi.
Teknologi
semakin lama makin modern dan banyaknya persaingan dari pengusaha lain.
Kesuksesan batik canting lama kelamaan merosot. Selain itu, kekuatan Bu Bei
dalam mengurus batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya semakin lama
semakin berkurang karena usianya yang tak lagi muda. Canting produk mereka
mulai mendapat saingan berat dari perusahaan pabrik besar dan modern. Penjualan
batik yang begitu sulit dan hasil yang sangat kurang dan juga tidak ada satupun
dari anak-anaknya yang mau meneruskan usaha batik tersebut, dengan terpaksa Bu
Bei menutup usaha batik cantingnya. Akan tetapi, anak bungsu
Raden Ngabehi Sastrokusumo, Subandini Dewa Putri atau biasa dipanggil Ni merasa
tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak rela jika usaha
keluarganya hancur begitu saja. Dia ingin membangkitkan kembali usaha
keluarganya dengan cara yang modern.
Usaha
pembenahan yang dilakukan oleh Ni, anak bungsu Pak Bei dan Bu Bei dengan
prinsip-prinsip ekonomi modern tidak membawa hasil, meskipun sudah mengorbankan
banyak biaya, sampai dimusuhi kakak-kakaknya dan saudara-saudara ayahnya
sendiri karena sikap dan tindakan yang dilakukannya. Sikap dan tindakan Ni malah
menimbulkan perselisihan diantara mereka, namun perselisihan tersebut dapat diselesaikan
oleh Pak Bei dengan bijaksana. Di satu sisi Pak Bei sebenarnya mampu berfikir
dan bersikap rasional sesuai dengan tuntutan ekonomi modern yang kapitalis
meskipun masih dihinggapi rasa gamang, mendua, dan bimbang, sebaliknya Ni malah
bersikap sesuai tuntutan ekonomi modern meskipun menanggung “ongkos” sosial
cukup mahal (difitnah oleh saudara-saudara ayahnya). Akan tetapi, di sisi lain
Bu Bei tidak mampu bersikap dan bertindak seperti Pak Bei dan Ni. Sampai pada
akhirnya Bu Bei sakit karena memikirkan masalah yang semakin rumit dan akhirnya
Bu Bei meninggal dunia.
Sepeninggal
bu Bei, usaha batik canting tersebut diambil alih oleh Subandini atau Ni. Ia
berusaha menghadapi persaingan dengan batik-batik dari pabrik-pabrik besar,
tetapi ia kalah bersaing karena penjualan yang semakin merosot. Hingga ia
frustasi dan akibatnya menjadi sakit bahkan hampir meninggal dunia karena sakit
yang dideritanya. Akan tetapi, dengan
sakitnya itu justru menimbulkan kesadaran dalam dirinya untuk memahami mengapa
usaha batiknya kalah bersaing dengan produk keluaran pabrik lain. Hal itu
disebabkan oleh masalah merk. Akhirnya dia memutuskan untuk mengubah merk
canting menjadi Canting Daryono. Dengan nama baru itu, Ni meneruskan usaha
batik tradisional milik keluarganya. Ia kembali bangkit dan terus berjuang demi
menaikkan lagi pamor batik yang dulu sempat “redup”. Usaha batik pun secara
perlahan mampu bersaing di pasaran dengan bantuan dari kakak-kakaknya, mereka
saling bekerja sama, hingga batik mereka tidak hanya terkenal di dalam negeri,
tetapi mulai dikenal hingga mancanegara.
Sekilas
itulah cerita singkat dalam novel Canting. Melihat cerita singkat novel Canting,
tampak terlihat bahwa tokoh yang menjadi pusat perhatian dan sekaligus tokoh utama
ialah seorang wanita yang sabar, tekun serta telaten dalam menjalani usaha
batik suaminya, dia adalah bu Bei istri dari Raden Ngabehi Sastrokusumo. Dari
awal hingga akhir cerita sosok wanita memang mendominasi peran utama. Dengan kata lain, unsur feminisme dalam novel
ini sangat kental. Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal
dengan nama kritik sastra feminis, yaitu salah satu kajian sastra yang
mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam
memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya
sastra-karya sastranya. Selain itu, dalam mengkaji novel ini juga digunakan
pendekatan yang berusaha memahami suatu hasil karya sastra dengan realitas atau
kenyataan dalam kehidupan, pendekatan yang dimaksud ialah pendekatan mimetik. Alasan
digunakannya pendekatan mimetik karena di dalam karya sastra tidak dapat kita
pisahkan dengan kehidupan masyarakat yang ada, pada dasarnya penulis adalah
bagian dari sebuah struktur masyarakat.
Berdasarkan
peryataan di atas, dapat kita lihat bahwa unsur feminisme dalam novel Canting
begitu nampak. Unsur feminisme tersebut ditunjukkan oleh sosok bu Bei. Unsur
feminisme tersebut terlihat dari cara pandang dan pemikiran bu Bei betapa gigihnya
perjuangan yang dilakukan oleh seorang wanita dari kalangan wong cilik yang kemudian
menjadi istri seorang Raden pada Kraton Kasunanan Surakarta dan memiliki tanggungjawab
dalam mengelola bisnis batik yang diembankan kepadanya sampai akhir hayat, disamping
perannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Kepandaian Bu Bei dalam
mengelola bisnis batik dan menjaga keutuhan rumah tangganya menjadikan rumah
tangganya tetap harmonis. Hal tersebut dibuktikan dengan suksesnya bisnis batik
yang ia jalani serta berhasilnya bu Bei dalam mendidik dan menyekolahkan
anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi.
Selain pada bu Bei, peran feminisme
tampak pada tokoh Ni yang merupakan seorang wanita yang tegar, ia mampu
menyelesaikan setiap masalah yang sedang dihadapinya. Sebagai anak sulung Ni
merasakan suatu kewajiban untuk memajukan bisnis batik milik orang tuanya yang
mulai “redup”.
Meskipun sedang sakit Ni beruaha sekuat tenaga untuk tetap berkorban demi
mengembalikan dan memajukan usaha batik orang tuanya. Pengorbanan Ni yang luar biasa itu akhirnya
membuahkan hasil. Batik canting miliknya mampu bersaing lagi dengan batik-batik
produksi lain. Hanya dengan mengganti sebuah merk usaha bisnis batik miliknya.
Selain itu, sebagai seorang ibu rumah tangga Ni tetap menjalankan kewajibannya,
yaitu mengurusi anaknya yang masih bayi, seperti apa yang telah dilakukan oleh
ibunya dulu ketika masih hidup. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam
cerita novel Canting, yakni Bu Bei dan Ni
adalah contoh suri tauladan yang sangat baik dan patut diteladani oleh para
wanita di seluruh dunia karena sikapnya yang pantang menyerah dalam menghadapi
suatu permasalahan yang rumit dan dapat membagi peranannya dalam kehidupan
rumah tangga sebagai istri yang mengurusi suami dan anak-anaknya serta sebagai
wanita karir yang mengelola dan menjalankan usaha batik.
Selain itu, dalam mengkaji dan
menganalisis cerita novel ini juga digunakan pendekatan mimetik. Pendekatan
mimetik merupakan pendekatan yang berusaha memahami suatu hasil karya sastra
dengan realitas atau kenyataan dalam kehidupan. Secara tidak langsung
pendekatan mimetik dalam cerita novel ini terlihat dari sosok wanita, yakni bu
Bei dan Ni. Apabila kita lihat di dalam
realitas kehidupan saat ini, sosok wanita menjadi sosok yang bisa dibilang
paling mendominasi daripada kaum pria, bahkan pada zaman sekarang, wanita sudah bisa menjadi sosok pemimpin bagi
negaranya. Dari kisah dalam novel Canting, sosok wanita memegang peranan
penting, sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir yang menjalankan bisnis
batik milik suaminya. Sebagai wanita yang mempunyai peran ganda, sosok wanita
dalam novel ini dapat membagi peran dan mengatur waktu di dalam kehidupan
keluarganya.
III. Penilaian
Dengan
membaca dan menghayati seluruh serangkaian isi novel tersebut, sudah sepatutnya
kita sebagai pembaca sekaligus penikmat sastra memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap novel Canting karya Arswendo Atmowiloto. Apresiasi yang tinggi
tersebut sudah sepatutnya diberikan karena ada beberapa alasan yang mendasari pertama, novel yang sarat akan
penceritaan tentang hubungan kekeluargaan dan keterkaitannya dengan materialisme
yang dimiliki oleh keluarga Kraton Kasunanan Surakarta dapat membuka kacamata kita
tentang hidup kaum priyayi, dalam hal ini ialah seorang pengusaha kain batik, kedua, alur penceritaannya dipaparkan
dari awal hingga akhir dengan sangat kompleks. Kekompleksitasannya terletak
pada bagaimana dia menceritakan tentang kehidupan bu Bei sebelum menjadi istri
Raden Ngabehi Sastrokusumo, dan ketiga
mengungkapkan tradisi yang secara turun temurun dijaga oleh Kraton Kasunanan
Surakarta.
Novel
tersebut menceritakan kehidupan kekeluargaan yang dikemas sangat menarik dan
membuat kedudukan novel ini semakin banyak diminati oleh semua kalangan. Gaya
penceritaan yang membahas mengenai feminisme seorang ibu dalam mengemban
tugasnya sebagai wanita karir yang merawat anak-anaknya dan menjalankan bisnis
usaha batik milik suaminya sangat patut untuk kita contoh dan teladani. Oleh
karena itu, peran wanita dalam sosok ini sangat patut untuk kita jadikan
teladan yang baik, khususnya para wanita yang berperan sebagai ibu rumah tangga
dan bekerja sebagai wanita karir. Sekiranya dari cerita tersebut, dapat kita
kaitkan dengan zaman sekarang yang mengharuskan seorang wanita tidak lagi
menjadi wanita yang hanya menjadi “pajangan” di rumah dan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Akan tetapi, pada zaman sekarang ini para wanita di Indonesia yang
dipandang sebagai wanita modern cenderung suka berkarir (bekerja) daripada
mengurus rumah tangga, dalam artian mengurus anak-anak dan pekerjaan rumah
tangga. Hal tersebut terlihat dari banyaknya ibu-ibu rumah tangga yang masih
muda lebih memilih mempunyai pembantu dan babysitter
untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak-anak mereka yang masih
kecil.
Dari sekian paparan mengenai hasil analisis dan
penilaian tentang novel Canting tersebut, maka diharapkan kita dapat mencontoh sikap
keteladanan dan rasa tanggungjawab yang besar seorang wanita, dalam hal ini
seorang wanita yang berperan ganda, dalam artian berperan sebagai istri dan ibu
bagi anak-anaknya serta sebagai wanita karir yang menjalankan usaha batik milik
suaminya. Semoga dengan membaca dan
memahami keseluruhan isi cerita dan pesan yang terkandung didalamnya dapat
menjadi cermin bagi wanita-wanita Indonesia saat ini, yang diharapkan dapat
membagi peran dan waktunya dalam kehidupan berkeluarga, seperti apa yang
terlihat dari sosok wanita dalam cerita novel Canting.
0 komentar:
Posting Komentar