Nuansa Sosial dan Religiusitas dalam Kumpulan
Puisi Lautan Jilbab
karya Emha Ainun Nadjib
Oleh: Fryskatana
Wira
Pada sejumlah
kumpulan puisi karya Emha Ainun Nadjib memang tak lepas dari nuansa islami di
setiap larik maupun baitnya, selain itu kumpulan puisinya juga bernuansa sosial
yang dimunculkan secara tersirat maupun tersurat. Pada pandangan-pandangan Emha
banyak memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk menjalankan agama bukan
hanya sebagai ritual, tetapi harus termanifestasi dalam sikap sosial. Pada
kritik ini pendekatan yang digunakan ialah pendekatan ekspresif, dimana
pendekatan yang menfokuskan perhatiannya pada sastrawan sebagai pencipta atau
pengarang karya sastra, sehingga pada kritik ini akan mengulas tentang sosok
Emha Aiun Nadjib dengan karya-karyanya yang sangat kental dengan nuansa islami
serta sosial. Pada kritik ini juga akan mengulas bagaimana proses kreatif
penyair terhadap penciptaan sebuah puisi-puisi dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab.
Karya
sastra tidak akan lahir pada keadaan kosong. Karya sastra lahir karena adanya
sang pengarang atau penyair. Terciptanya sebuah karya sastra dapat dilihat dari
seluk beluk pengarang atau pun biografi pengarang atau kepribadian pengarang
tersebut. Biografi di sini akan sangat membantu sebab, dengan adanya biografi
kita akan dapat mempelajarari kehidupan seseorang. Di situlah kita akan
mempelajari sikap atau perilaku seorang pengarang. Biografi dapat dianggap
sebagai pembelajaran yang sistematis tentang proses keatif penciptaan karya
sastra yang sebenarnya.
Emha Ainun Nadjib
yang lebih akrab dengan panggilan Cak Nun merupakan budayawan dan intelektual
muslim asal Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Cak Nun yang ketika masih muda
dipanggila Ainun dibesarkan orang tuanya yang sibuk oleh urusan madrasah,
langgar, dan berbagai kegiatan sosial dengan penduduk di dusunnya. Dalam
kesehariannya, Emha terjun langsung di
masyarakat dan melalukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan
dinamika kesenian, agama, pendidikan politik guna menumbuhkan pontensialitas
rakyat.
Pada tahun 1993,
Emha Ainun Nadjib mengibarkan group musik Kiai
Kanjengyang kemudian bersama-sama berkeliling ke penjuru tanah air. Bersama
group musiknya, beliau memiliki jadwal rutin bulanan di seluruh Nusantara. Di
Jombang, Jawa Timur setiap tanggal 15 Qomariyah dalam Pengajian Padhang Mbulan. Di Yogyakarta Mocopat Syafaat setiap tanggal 17 M, di Semarang setiap tanggal 25
dalam Gambang Syafaat, Bandung Tali Kasih, Jakarta “Kenduri Cinta”, dan lain-lain.
Pengalaman-pengalaman
tersebut dapat memberikan sumbangsih kreatif kepada Emha Ainun Nadjib dalam
menulis karya sastranya sampai saat ini. Dari pengalaman tersebut, Emha Ainun
Nadjib dalam proses kreatifnya menjalani berbagai pendidikan kesenian serta
keagamaan yang cukup lama. Sehingga disitulah bekal ide-ide kreatifnya
mengalamai proses pematangan sampai saat ini. Tidak hanya karya sastra yang
sifatnya umum, namun banyak karya sastra yang bernuansa keIslaman. Pada tahun
1991 beliau menerbitkan kumpulan puisi yang bernuansa keIslaman dengan judul Lautan
Jilbab. Karya-karya Emha itu dilandasi kesadaran keagamaannya. beliau merefleksikan kesadaran keagamaannya tersebut melalui puisi-puisi yang
ditulisnya.
Lautan
Jilbab merupakan kumpulan puisi yang memiliki nilai-nilai agama. Di
dalamnya mengandung nilai moral yang religius. Dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab ini juga menggambarkan
tentang fenomena-fenomena lingkungan pada saat itu dalam wujud kehidupan sosial
yang mempunyai nilai religi. Kumpulan puisi Lautan
Jilbab sangat menggambarkan sikap religius pengarang yang islami serta di
dalamnya mengandung nilai ekstrinsik agama, psikologi, dan sosial
kemasyarakatan. Disamping itu perilaku religiusitas Emha Ainun Nadjib sangat
mempengaruhi hadirnya puisi tersebut.
Di dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab juga terdapat satu puisi yang berjudul Di Awang Uwung, puisi tersebut merupakan
imajinasi Emha Ainun Nadjib dalam melukiskan situasi sosial pada saat itu.
Di Awang Uwung
Di awang
uwung, seolah dua malaikat, duduk
Termangu di kursi hampa, sambil menyandarkan
Kepalanya di segumpal satelit
Yang satu menggamit pundak rekannya dan
berkata:
Lihatlah, beribu jilbab, lihatlah gejala
alam.
Mungkin belum sepenuhnya merupakan gejala
kesadaran manusia, tapi siapa berani
meremehkannya?
Lihatlah jilbab-jilbab itu.
Ada yang nekad hendak
menguak kabut sejarah. Ada yang hanya sibuk
berdoa saja. Adayang tiap hari bertuding
bagaimana membelah tembok di hadapannya.
Ada yang berjam-jam merenungkan warna dan
model jilbab mana yang paling tampak ceria
dan
trend. Ada
ang berduyun-duyun menyerbu
wilayah-wilayah gelap yang disembunyikan
oleh generasi tua mereka. Ada yang sekedar
bergaya. Ada yang mengepalkan tangan dan
seperti hendak memberontak. Ada yang
menghabiskan waktu untuk bersenda gurau. Ada
yang tak menoleh ke kiri ke kanan karena
terlalu
erat mendekap pinggang kekasih-nya di dalam
kendaraan. Lihatlah, apakah kau tau meraka
ini
generasi jilbab dari jaman apa?
Rekannya menjawab: Mereka tinggal di
kepulauan mutiara. Di Negeri amat kaya raya.
yang aneh. Dialamnya terdapat orang terkaya
di
dunia sekaligus orang termiskin di dunia. Di
negeri yang paling kaya kemungkinan untuk
berpura-pura. Negeri di mana penindas
dipuja-puja pahlawan diejek hingga putus
asa. Negeri di mana kebaikan dan kejahatan
bisa
di rakit menjadi suatu bentuk keselarasan. Di
mana orang yang diperkosa malah tertawa. Di
mana ketidakjujuran dipelihara bersama. Di
mana
agama tidak mengatur manusia melainkan diatur
oleh manusia. Di mana masyarakatnya hidup
rukun dan penuh maaf. Jika seseorang
kelaparan, tetangganya bingung memanfaatkan
uang. Jika seorang sakit jiwa karena selalu
gagal memperoleh pekerjaan, tetangganya sibuk
menyiapkan lomba siul dan kones betis indah.
Jika beribu penduduk suatu perkampungan
diusir oleh pembangunan, orang lain
mendiskusikan bagaimana memahami tuyul. Jika
sekumpulan manusia diberondong oleh peluru,
orang lain bingung ganti mobil baru dan makan
jembatan.
yang satunya tertawa dalam kesedihan: Luar
biasa! Siapa yang mengarang? Tuhan tak pernah
mentakdiran model masyarakat yang demikian.
Sesudah penciptaan, Tuhan menganugerahkan
kemerdekaan kepada manusia. Namun rupanya
manusia memahami kemerdekaan hanya melalui
pintu hak. Manusia tidak belajar mendengarkan
ucapan Tuhan yang memancar pada tradisi alam,
hukum jagat raya serta diri manusia sendiri.
Mereka tak bisa paham bahwa manusia adalah
ucapan Tuhan. Mereka merebut manusia dari
hakekatnya.
Di awang
awung, terpantul hati kecil manusia,
jiwa sejati kehidupan, yang di muka bumi
hampir
tak boleh bersemayam.
Pada puisi Di Awang Awung di atas, di mana puisi ini menggambarkan dengan
indah yang di asosiasikan sebagai dua malaikat yang berada jauh. Malaikat
tersebut memandang dari jarak jauh ke suabuah negeri di mana terlihat perilaku
manusia terutama kaum berjilbab yang tak lain ialah perempuan berjilbab yang
sedang melakukan segala aktivitasnya. Ada yang tulus berdoa kepada Tuhannya,
ada yang sibuk menggunjing tetangga sebelahnya, ada pula yang sedang merumuskan
bagaimana esok mengais rizki, dan yang terakhir ada yang sedang sibuk memilih
warna jilbab apa cocok untuknya agar bisa menjadi trend zaman kala itu. Ada
yanng hanya sekedar bergaya, menghabiskan waktu bersenda gurau. Ada juga yang
mendekap erat pinggang kekasihnya di dalam kendaraan.
Puisi Di Awang Awung di atas menjelaskan tentang perilaku wanita di
berbagai sudut kehidupan. Jiwa wanita yang lebih mendominasi nafsu semata,
sehingga terbentuklah sikap yang keluar dari norma agama serta norma yang
berlaku di masyarakat. Sesungguhnya pada puisi tersebut merupakan gambaran hal
yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sosial. Wanita yang berjilbab tetapi
tidak menunjukkan kemuslimannya, sehingga menggunakan jilbab hanya sebagai
hiasan saja.
Pada dasarnya puisi di atas
setidaknya dapat menjadi cerminan kepribadian manusia, yang mampu memberikan
kitrik dalam kehidupan kita. Banyak tipe yang beragam di tampakkan Emha Ainun
Nadjib dalam puisi di atas tersebut. Pada puisi di atas Emha Ainun Nadjib
selain menggambarkan potret kehidupan wanita berjilbab, di samping itu beliau
juga menyindir kepada wanita-wanita yang berjilbab yang memiliki kepribadian
seperti puisi di atas.
Jilbab bukan merupakan sebuah aspek
yang terisolasi dalam kekhidupan wanita muslim, namun harus sesuai dan
menguatkan sistem sosial yang Islami, khususnya pada wanita. Wanita muslim
haruslah menjadi seorang muslim yang sesungguhnya serta dapat merefleksikan
ajaran-ajaran agama Islam serta hukum Islam. Jilbab bukan saja sekedar baju
untuk menutupi tubuh, namun yang lebih penting ialah sesuatu yang harus dijaga
oleh wanita muslim, yaitu tangan, mulut, telinga, serta perbuatan mereka juga
harus melaraskan kemuslimannya.
Proses kretif Ainun Nadjib tidak
berhenti pada puisi Di Awang Awung
saja, namun pada puisi-puisi lainnya yang memperlihatkan sososk pribadi Emha
Ainun Nadjib. Di dalam kumpulan puisi Lautan
Jilbab ini terdiri atas 33 puisi yang bertemakan Lautan Jilbab, namun hanya ada beberapa yang akan diulas di sini.
Dalam puisi-puisi tersebut sangatlah nampak sosok Emha Ainun Nadjib yang
sosialis serta religius. Berikut merupakan puisi yang berjudul “Merawat
Rahasia”.
Merawat Rahasia
Wanita
yang memamerkan pahanya
Hendaklah
jangan tersinggung
Kalau
para lelaki memandanginnya
Sebab
demikianlah hakekat tegur sapa
Siapa
ingin tak menyapa tak disapa
Tinggallah
di balik yang tertutup pintunya
Sebab
begitu pintu di buka
Orang
berhak mengetuk dan memasukinya
Maka
dengan menonjolkan auratnya
Wanita
member hak kepada laki-laki siapa saja
Untuk
menatapi benda indah suguhannya
Serta
membayangkan betapa nikmat rasanya
Hendaklah
wanita punya rasa sayang
Kepada
ratusan lelaki di sepanjang jalan
Dengan
tidak menyodorkan godaan
Yang
tak ada manfaatnya kecuali untuk
dipandang
Adapun
lelaki, sampai habis usia
Hanya
bisa berkata: betapa indah wanita!
Maka
bantulah ia merawat rahasia
Yang
hanya boleh dikuakkan oleh isterinya.
Puisi berjudul Merawan Rahasia tersebut merupakan salah satu potret sosial. Di
sinilah penyair menggambarkan peristiwa sosial yang terjadi pada masa itu.
Puisi yang juga berisikan tentang sindiran atau dapat juga diartikan sebagai
nasehat bagi kaum wanita yang berpakaian tidak sepantasnya di depan para lelaki
yang bukan suaminya. Di sini penyair juga mengasosiasikan dengan sebuah pintu,
berikut kutipannya.
“Siapa
ingin tak menyapa tak disapa
Tinggallah
di balik yang tertutup pintunya
Sebab
begitu pintu di buka
Orang
berhak mengetuk dan memasukinya”
Pada
kutipan tersebut memiliki arti yang ditulis oleh penyair pada bait selanjutnya,
yaitu.
“Maka
dengan menonjolkan auratnya
Wanita
member hak kepada laki-laki siapa saja
Untuk
menatapi benda indah suguhannya
Serta
membayangkan betapa nikmat rasanya”
Pada intinya, puisi ini berisikan
tentang himbauan kepada wanita agar dapat menjaga auratnya dari
pandangan-pandangan laki-laki yang bukan
suaminya, serta agar wanita dapat berpakaian yang sepantasnya, juga agar
menjaga dari pandangan-pandangan laki-laki yang bukan suaminya, sebab dalam
kehidupan masyarakat individu sangat eratkaitannya dengan keterkaitan sosial,
maka diperlukan etika, jika keduanya bertemu dengan kondisi yang “tidak
keberatan” maka akan terjadi sesuatu yang akan melanggar norma, terutama norma
agama. Secara ekstrinsik pula puisi ini juga mencerminkan tentang kereligiusan
Emha Ainun Nadjib melalui karyanya yang terselip dalam puisi-puisi Emha Ainun
Nadjib.
Menurut Islam sudah dibenarkan
bahwa, kaum wanita hendaknya memakai pakaian yang pantas, sopan serta tidak
terlalu menarik perhatian kaum pria, dan kaum wanita sebaiknya berhijab atau
sesuai dengan ketentuan Islam. Islam tidak membenarkan kaum wanita berpakaian
hingga memamerkan pahanya serta menyodorkan godaan. Sebab jika seperti itu akan
memberi kesempatan untuk kaum pria menikmati keindahan tubuhnya yang sebenarnya
pantas dilakukan kepada istrinya. Selain
puisi Merawat Rahasia ada juga puisi
Emha Ainun Nadjib yang masih berkaitan dengan puisi tersebut, yaitu puisi yang
berjudul Cahaya Aurat.
Cahaya Aurat
Ribuan
jilbab berwajah cinta
Membungkus
rambut, tumbuh sampai ujung
kakinya
karena
hakekat cahaya Allah
lalah
terbungkus di selubung rahasia
siapa
bisa menemukan cahaya?
lalah
suami, bukan asal manusia
jika
aurat dipamerkan di Koran dan di jalanan
Allah
mengambil kembali cahayaNya
Tinggal
paha mulus dan leher jenjang
Tinggal
bentuk pinggul dan warna buah dada
Para
lelaki yang memelototkan mata
Hanya
menemukan benda
Jika
wanita bangga sebagai benda
Turun
ke tingkat batu derajat kemakhlukannya
Jika
lelaki terbius oleh keayuan dunia
Luntur manusianya, tinggal syahwatnya.
Pada puisi terdapat nilai religius
yang sangat kuat, walaupun tidak dituliskan secara langsung, namun pada makna akan
sangat nampak. Secara ekstrinsik puisi di atas menggambarkan betapa besar
anugerah yang diberikan Allah kepada manusia terutama kepada wanita, Allah
menciptakan keindahan bagi sorang wanita. Pada bait pertama,
Ribuan
jilbab berwajah cinta
Membungkus
rambut, tumbuh sampai ujung
kakinya
menunjukkan
bahwa terdapat sebuah jilbab yang membungkus rambutnya, tubuh sampai ujung
kaki. Anugerah tersebut merupakan ibarat bahwa petunjuk Allah tersirat di balik
larik-larik tersebut. Emha Ainun Nadjib menyampaikannya dengan sindiran yang
sangat halus untuk kaum wanita supaya memakaikan jilbabnya untuk menutup
auratnya. Aurat di sini diibaratkan sebagai cahaya kaum wanita atau juga
disebut sebagai kehormatan, dan yang berhak menemukan cahaya itu ialah suaminya
bukan orang lain yang bukan suaminya. Pada puisi ini dijelaskan bahwa, jika
kaum wanita memamerkan auratnya di koran maupun di jalanan, maka Allah akan
mengambil kembali cahayanya. Allah tidak segan-segan mengambil kembali
hidayahNya atau kehormatannya sebagai seorang wanita muslim yang hendaknya berpakaian
seperti hukum Islam.
Puisi ini seharusnya menjadi pukulan
kepada kaum wanita yang belum tersadar akan pentingnya menjaga suatu kehormatan
sebagai wanita Islam. Jika kaum wanita belum tersadar pula hingga memamerkan
auratnya kepada pria yang bukan suaminya maka luntur manusianya, tinggal
syahwatnya atau dengan kata lain jika wanita dalam bersikap hanya menggunakan
akal dan nafsu semata, maka fitrah sebagai wanita akan hilang.
Putih, Putih, Putih
Meratap bagai bayi
Terkapar bagai si tua renta
Di padang Mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji penantian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab!
Samudera putih
\Lautan cinta kasih
Gelombang sejarah
Pengembaraan amat panjang
Di padang Mahsyar
Menjelang hari perhitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa suci
Bersujud
Memanggil Allah, satu-satunya nama
Bersujud
Putih, putih, putih
Bersujud
Menyeru belaian tangan kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagat segala jagat
Bintang-bintang dan ruang kosong
Mendengar panggilan itu
Dengan telinga ilmu seratus abad:
- Wahai jiwa
bening!
wahai mut\ma’innah
Kembalikan kepada Tuhanmu
Dengan rela dan direlakan
Masuklah ke pihakKu
Masukilah sorgaKu
Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa!
Wahai telaga
Yang hening
Hingga tiada!
Larik pertama diawali dengan
sebuah perumpamaan Meratap
bagai bayi, terkapar bagai si tua renta adalah
bentuk ratapan seorang
hamba yang (dalam perumpamaannya) seperti
bayi. Ratapan itu merupakan
bentuk penghambaan kepada sang kholiq sang pencipta jagad raya. Di
padang Mahsyar, di padang penantian di
depan pintu gerbang
janji penantian, saksikan
beribu-ribu jilbab merupakan gambaran
tentang kehidupan setelah hari kiamat karena menyebutkan padhang mahsyar
yang merupakan suatu tempat dikumpulkannya manusia setelah
kiamat. Pada kalimat saksikan beribu-ribu
jilbab ini adalah sebuah perintah di mana di padang
mahsyar Allah SWT mengumpulkan mereka kaum
berjilbab. Pada larik, Hamparan jiwa suci,
bersujud, Memanggil (nama) Allah,
satu-satunya nama disebutkan
kata jiwa suci yang
berarti jiwa yang putih, dan terhindar dari dosa-dosa besar. Jiwa suci ini setidaknya merujuk
pada qalbun salim atau hati
yang selamat dari dosa. Bersujud berarti
jiwa tersebut melakukan sujud dengan menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT, Putih,
putih, putih merujuk pada beribu-ribu jilbab yang
mempunyai jiwa suci Bersujud melakukan sujud kepada Allah SWT Menyeru belaian tangan
kekasih melafldz seruan
dengan kasih sayang
Allah yang diberikan
kepadanya. Kemudian dengan
sujud dari jiwa yang
suci ini mengisyaratkan pada panggilan yang didengar
oleh Allah SWT dan Allah menjawab sujud para
hamba yang beriman tersebut serta menyeru melalui kalimat Wahai
jiwa bening! wahai mutma’innah
isyarat panggilan kepada setiap jiwa
yang terbebaskan dari segala dosa semasa hidupnya, Kembalikan
kepada Tuhanmu Dengan rela dan
direlakan, masuklah ke pihakKu, masukilah sorgaKu, wahai jiwa,wahai yang telah jiwa! wahai telaga Yang hening, hingga
tiada!.
Puisi
Putih, Putih, Putih di atas berisikan
tentang panggilan Allah kepada setiap jiwa yang suci, panggilan untuk kembali
kepada Allah dengan membawa jiwa serta hati yang suci dan diridhai, artinya
setelah manusia menjalani kehidupan di dunia dengan segala aturan Allah yang
tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an, maka di kehidupan selanjutnya Allah telah
mempersilahkan mereka ke dalam golongan kekasih Allah yaitu golongan penghuni
surga. Puisi di atas sesuai dengan Q.S Al-Fajr, 89:27-30 yang berbunyi.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah
hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Karya sastra tidaklah lahir dari kosong,
di sinilah Emha Ainun Nadjib menciptakan puisi Putih, Putih, Putih tersebut berdasarkan penggalan ayat-ayat kitab
suci Al-Qur’an. Pada puisi tersebut menandakan bahwa Emba Ainun Nadjib memang
benar-benar mengetahui tentang ajaran agama Islam. Lewat kumpulan puisi Lautan Jilbab ini Emha Ainun Nadjib
ingin mengingatkan kepada kita khususnya kaum wanita hendaknya memiliki sikap
dan sifat selayaknya wanita. Di sinilah nuansa-nuansa Islam sangatlah kental
melalui bait demi bait yang Emha ciptakan.
Nuansa-nuansa sosial serta religi
dalam kumpulan puisi Lautan Jilbab
tidak hanya berhenti dari puisi Putih,
Putih, Putih tersebut. Melalui puisi yang berjudul Kambing Hitam Emha Ainun Nadjib seolah memberikan gambaran sisi
negatif manusia dengan segala perilaku yang menyimpang dari tataan nilai di
masyarakat. Dalam Puisi ini Emha Ainun Nadjib mengibaratkannya dengan konotasi Bahasa Kambing Hitam.
Bahasa Kambing Hitam
Seseorang, dari beribu jilbab, berkata
Bicaralah dengan bahasa badan!
Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata
Tabir belum dikuakkan
Hijab belum disingkap seluruhnya
Ruh tak bicara kecuali hanya kepada
dirinya
Bicaralah dengan bahasa badan
Dengan bahasa kehidupan yang bersahaja
Perhitungan sejarah belum selesai
Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap
Bicaralah dengan bahasa keringat
Bahasa got dan selokan
Dusun-dusun suram dan sawah ladang
Yang entah siapa sekarang pemiliknnya
Anak-anak antri cari sekolah dan kerja
Dendam kepada kesempitan, terusir dan
Tertepikan
Pasar yang sumpeg, dikangkangi monopoli
Jilbab-jilbab bertaburan tidak di langit
tinggi
Melainkan di bumi, tanah-tanah becek
Teori pembangunan yang aneh
Kemajuan yang menipu
Jilbab-jilbab terserimpung di kubangan
sejarah
Melayani cinta palsu dan kecurigaan
Cekikan yang samar
Dan tekanan yang tak habis-habisnya
Jilbab-jilbab dikambinghitamkan
Bicaralah dengan bahasa kambing hitam!
Kutipan puisi di atas memberikan
isyarat perintah bahwa Seseorang, dari
beribu jilbab, berkata merupakan suatu uangkapan perumpamaan kaum wanita
yang penggambarannya melalui seribu
jilbab dengan nada tinggi berkata Bicaralah
dengan bahasa badan!, bahasa badan ini bisa saja berupa anggota badan yang
idak hanya mulut yang berbicara, namun hati ataupun indera yang lain pada diri
manusia. Kalimat tersebut dituliskan dengan tanda seru (!), seolah-olah
merupakan perintah yang penting karena bahasa badan adalah bahasa kejujuran
setelah mulut terbiasa berbohong. Sunyi
belum sempurna. Ini dunia nyata mengisyaratkan pada sunyi yang belum
sempurna. Ini artinya bahwa dunia ini benar-benar nyata dan belum sempurna. Tabir belum dikuakkan, masih berkaitan
dengan kalimat sebelumnya bahwa dunia nyata adalah di mana tabir/rahasia hidup
belum dibuka untuk dimintai pertanggungjawabannya, Hijab belum disingkap seluruhnya, salah dan benar ataupun hijab
belum seluruhnya diketahui. Ruh tak
bicara, kecuali hanya kepada dirinya, ruh hanya berputar pada dirinya
sendiri, berbicara kepada dirinya yang menyatu pada jasad seseorang. Bicaralah dengan bahasa badan, maksudnya
bahwa bahasa badan ini sangatlah penting, Dengan
bahasa kehidupan yang bersahaja, merujuk pada nilai-nilai kehidupan yang
madani dan penuh makna, Perhitungan
sejarah belum selesai, bahwa hidup belum sepenuhnya selesai atau sejarah
masih bisa dirubah untuk meluruskan untuk hidup di masa depan. Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap,
penegasan kembali bahwa sang wanita berbicara tentang realitas dunia yang
benar-benar nyata dan bukan padang mahsyar, padang yang sunyi senyap yang
dimaksud ialah alam barzah.
Bicaralah
dengan bahasa keringat, perintah berbicara yang ketiga ini menggunakan
bahasa keringat, maksud dari bahasa keringat ini merupakan simbol bahasa dalam
pola kehidupan manusia dari segala aspek, Bahasa
got dan selokan yaitu sisi kehidupan pinggiran manusia yang penuh dengan
segala keterbatasan dalam dunia yang keras, Dusun-dusun
suram dan sawah ladang, yang entah siapa sekarang pemiliknya, merupakan
kondisi masyarakat yang memprihatinkan, tidak tahu siapa yang memiliki dan ini
akibat dari perbuatan manusia sendiri, ketika ladang dan sawah semakin hilang
oleh kerakusan penguasa kemudian dijadikannya pabrik-pabrik sebagai lahan
industri, Anak-anak antri kesulitan cari
sekolah dan kerja, Dendam kepada kesempitan, terusir dan tertepikan,
kutipan diatas merupakan sebuah kondisi, sebuah realitas pendidikan di mana
anak-anak di negeri ini kesulitan untuk mengenyam bangku sekolahan, serta makin
sempitnya lapangan kerja bagi para pemuda, terlalu sering kesulitan hingga
muncul rasa dendam terhadap kemiskinan, Pasar
yang terasa sumpeg, dikangkangi monopoli, keadaan ekonomi yang sulit dengan
sistem yang begitu menjerat, perdagangan yang penuh dengan monopoli perdagangan
dan hanya menguntungkan para penguasa. Dari beberapa kutipan dalam paragraf ini
sangatlah nampak wajah-wajah kondisi masyarakat yang sengsara, ekonomi yang
sulit, dan sistem yang hanya menguntungkan penguasa, dalam bait-bait tersebut
sangatlah nampak kesenjangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat antara
miskin dengan penguasa. Di sinilah letak konflik atau permasalahan yang hendak
diungkap oleh Emha. Meski sangatlah kental nilai sosial pada kutipan tersebut
namun Emha Ainun Nadjib tetap membungkusnya dengan larik-larik yang bernafas
religi.
Jilbab-jilbab
bertaburan tidak di langit tinggi, yakni tidak berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku sebagai
fitrahnya wanita, sebab norma-norma tersebut seperti diagungkan, dalam
bahasanya tidak di langit tinggi. Melainkan di bumu, tanah-tanah becek,
melainkan derajatnya begitu rendah, bahkan teramat rendah seperti tanah-tanah
becek yang selalu mengibarkan aib di masyarakat. Teori pembangunan yang aneh, kemajuan yang menipu, kondisi tersebut
menganggambarkan sebagai cermin pembangunan yang begitu aneh, mengingat
kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum perempuan tidak dihiraukan oleh kaum
berjilbab yaitu kaum wanita. Jilbab-jilbab
tersimpung di kubangan sejarah, Melayani cinta palsu dan kecurigaan, pada
bait ini menunjukkan bahwa kaum wanita dianggap telah tersesat dalam kehinaan
yang begitu rendah dalam perjalanan sejarah manusia, dengan keluar dari
fitrahnya yang hanya sebagai makanan kaum laki-laki hidung belang yang hanya
memberikan cinta sesaat. Cekikan yang
samar, dan tekanan yang tak habis-habisnya, kaum wanita dalam realita
kehidupan yang sebenarnya mengalami penyiksaan yang menyakitkan dan tekanan
yang tak habis-habisnya. Siksaan yang diperoleh tersebut merupakan akibat dari
perbuatan yang ditimbulkan dari perbuatannya selama di dunia. Jilbab-jilbab dikambinghitamkan, jilbab
yang mereka kenakan hanyalah sebagai kambing hitam untuk menutupi perbuatan
atau kepribadian yang buruk. Bicaralah
dengan bahasa kambing hitam!, pada bait ini merupakan perintah untuk
berbicara pada kaum wanita dengan bahasa kambing hitam.
Puisi Bahasa Kambing Hitam merupakan sebuah gambaran realitas kehidupan
umat manusia, yang menyinggung mereka kaum wanita beribu jilbab dengan perintah untuk berbicara dengan bahasa badan,
bahwa kondisi masyarakat yang bobrok
moralnya memang benar-benar terjadi dalam kehidupan era modern, di mana
kebenaran dipandang sebagai angan-angan semata. Borbroknya moral tersebut
akibat dari ulah manusia sendiri, kondisi ekonomi masyarakat yang sulit serta
adanya penguasa yang memonopoli juga merupakan hasil dari hawa nafsu mereka
untuk jauh dari cahaya Tuhan. Sehingga yang terjadi ialah anak-anak dari
keluarga kurang mamapu sulit mengenyam bangku pendidikan, pemuda pengangguran
yang sulit mendapatkan pekerjaan. Semuanya akibat dari nafsu manusia yang
selalu ingin berkuasa di atas penderitaan orang lain.
Kumpulan puisi Lautan
jilbab karya Emha Ainun Nadjib berisi tentang pesan moral yang secara
implisit maupun eksplisit mengandung nilai religi sebagai seorang wanita
muslim. Kumpulan puisi ini memberikan gambaran tentang potret sosial manusia.
Pada kumpulan puisi ini mengarah pada sisi kepribadian kaum wanita dengan
segala bentuk perilaku serta berpakaiannya sehari-hari yang tidak sesuai dengan
syariat Islam. Seorang wanita akan dianggap hina karena mengikuti akal nafsunya
dalam berpakaian. Pada kumpulan puisi Lautan
Jilbab ini Emha Ainun Nadjib menggunakan proses kreatifnya dengan melihat
potret sosial apa yang sedang terjadi pada kaum wanita yang berjilbab dengan
menggunakan pengetahuan tentang Islam yang dimilikinya. Dalam puisi-puisinya
Emha Ainun Nadjib juga memberikan nasihat serta peringatan kepada wanita agar
berperilaku sesuai agama Islam, serta menjadi muslim yang sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar