Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Manunggaling Kawula Gusti dalam Drama “Kiblat Tanah Negeri” Karya Gondhol Sumargiyono



Manunggaling Kawula Gusti dalam Drama “Kiblat Tanah Negeri” Karya Gondhol Sumargiyono
Oleh: Johan Slamet Raharjo

            Drama merupakan gambaran kehidupan manusia dalam sebuah pementasan. Apakah itu kejadian yang secara real terjadi, hanya dalam imajinasi, atau bahkan bentuk perwujudan dari gejolak batin manusia. Tidak jarang pula berbentuk sindiran pada keganjilan terjadi dalam kehidupan.
            Sebuah drama berjudul “Kiblat Tanah Negeri” karya Gondhol Sumargiyono dapat dibilang sebagai sebuah parodi sejarah. Jika dicermati dengan baik naskah drama “Kiblat Tanah Negeri” menggambarkan sebuah kisah yang sangat terkenal pada masyarakat Jawa, khususnya bagi mereka yang beragama Islam. Kisah tersebut berhubungan dengan tokoh yang terkenal ajaran pantheisme yaitu Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar yang digambarkan oleh tokoh Ki Gedhe Lemah Kuning.
Manunggaling Kawula Gusti
            Paham pantheime atau yang lebih dikenal dengan Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya telah ada sebelum zaman Syekh Siti Jenar di tanah Jawa. Paham Manunggalinng Kawula Gusti (pantheime) atau dalam istilah lain disebut Wahdatul Wujud merupakan ajaran yang sebenarnya bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan makhluknya, melainkan Tuhan adalah tempat kembali semua makhluk. Tokoh ulama’ yang terkenal dengan paham Wahdatul Wujud ini adalah Al-Hallaj (Abu Mansur Al-Hallaj) yang hidup pada sekitar tahun 244—309 hijriah atau 957—922 masehi. Berikut cuplikan wejangan ki gedhe lemah kuning.
Gedhe Lemah Kuning
Bila ada manusia yang punya keinginan untuk mendapatkan hidup abadi, dia harus memiliki ilmu kamukswan. Tapi apalah gunanya? Punya umur panjang, tapi tidak bisa sumarah, berserah diri kepada gusti. Tidak bisa hidup dengan ikhlas. Apalagi, wadhagnya akan kasat mata.


Kebo Kenanga
Lalu bagaimana seharusnya manusia hidup itu, Guru?

Gedhe Lemah Kuning
Manusia hidup harus berani mati. Bukan keterpaksaan mati seperti halnya manusia kebanyakan. Manusia harus mencari jalan kematian menurut kehendaknya sendiri. Bukan kematian yang disebabkan oleh sesuatu apapun, kecuali kehendaknya sendiri.
            Paham Manunggaling Kawula Gusti merupakan pencapaian tertinggi seseorang yang telah melampaui tingkatan keilmuan. Sebagaimana telah diketahui tingkatan-tingkatan dikenal dengan istilah syariat,thariqat,haqiqat,dan makrifat. Keempat hal ini merupakan suatu sistem yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Agar lebih mudah dipahami secara sederhana dapat dianalogikan syariat sebagai sebuah jalan, tharekat adalah cara menempuh jalan tersebut, hakekat adalah tujuan dari perjalanannya, dan yang terakhir yang disebut makrifat adalah siapa yang ingin ditemui di tempat yang akan dituju.
            Seseorang yang telah mencapai paham Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya jiwanya telah mencapai suatu tingkat kerohanian di atas orang awam. Mereka mengetahui dan mengetahui hal-hal yang masih menjadi sebuah misteri daripada orang biasa atau disebut waskita. Karena didorong maksud baik untuk berbagi hal-hal yang telah dirasakan tersebut, maka tokoh seperti Ki Gedhe Lemah (bentuk penggambaran tokoh Syekh Siti Jenar dalam drama “Kiblat Tanah Negeri”) berusaha untuk mengajarkan pada masyarakat. Namun, seringkali tidak dijelaskan dengan kata-kata yang mudah dipahami dan bersifat simbolis.Seseorang mencapai tingkatan kerohanian tersebut seperti dalam kondisi “mabuk” dan hilang kesadaran. Karena beliau memperoleh suatu kenikmatan batin yang luar biasa, tenggelam dalam memanifestasikan kebesaran Sang Pencipta.
Syekh Lemah Abang
            Ki Gedhe Lemah Kuning seorang tokoh dalam drama berjudul “Kiblat Tanah Negeri” seperti pewayangan dari Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang. Asal-usul Syekh Siti Jenar sendiri tidak banyak yang tahu pastinya. Namun, ada semacam cerita yang sudah lama dan turun-temurun menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari seekor cacing lur.
            Dikisahkan suatu ketika para wali mengadakan pertemuan di Giri Kedhaton yang dipimpin oleh Sunan Giri. Dalam pertemuan tersebut membahas pembentukan dewan wali sebagai media pemersatu dan musyawarah dalam mengembangkan Islam di Nusantara. Atas usulan Sunan Bonang maka diputuskan untuk melengkapi wali yang telah berjumlah delapan, maka ditunjuklan Sunan Kalijaga sebagai penutup.
            Sunan Kalijaga bersedia, akan tetapi beliau merasa ada satu hal yang membuat beliau memohon kepada para wali agar diberikan petunjuk. Sunan Ampel menyarankan agar Sunan Bonang membimbing Sunan Kalijaga. Kemudian keduanya pergi ke sebah telaga dengan menaiki sebuah perahu. Akan tetapi sebelum berangkat ternyata diketahui perahu yang akan digunakan bocor. Sunan Bonang menyuruh Sunan Kalijaga menambalnya. Oleh Sunan Kalijaga kemudian ditambal dengan tanah liat berwarna merah.
            Sunan Kalijaga diwejang Sunan Bonang sebuah kaweruh gaibatau ilmu rahasia. Sunan Bonang mewanti-wanti agar jangan sampai ilmu tersebut terdengar makhluk lain. Jika wejangan tersebut terdengar dan dimengerti, apapun wujudnya asalkan dapat mengerti  maksudnya ia akan menjadi manusia sempurna. Kemudian diketahui ada cacing lur yang sedari tadi menempel pada tanah liat yang digunakan sebagai penyumbat perahu mendengarkan dan memahami apa yang diwejangkan Sunan Bonang. Atas Karomah Sunan Bonang kemudian cacing lur diambil kemudian berubah menjadi manusia dan diberi nama Syekh Lemah Abang.
 Gedhe Lemah Kuning
            “Kiblat Tanah Negeri” mengisahkan seorang Tokoh bernama Ki Gedhe Lemah Kuning yang menyebarkan ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Namun, ajaran yang mulia tersebut menjadi ternoda akibat tingkah laku muridnya yang salah dalam menafsirkan hingga berlaku menentang pemerintah. Sampai ada seorang utusan pemerintah yang diusir secara paksa oleh murid-murid Ki Gedhe Lemah Kuning.
            Keadaan yang demikian membuat Panembahan Purwa sebagai Sultan Purwa memohon kepada para penasehat agar menyelesaikan masalah ini. Sebetulnya ajaran Ki Gedhe Lemah Kuning itu tidak salah. Tokoh Jalak Manitis yang menurut saya merupakan penggambaran dari tokoh Sunan Kalijaga memberikan pendapat bahwa tidak dinafikan, ajaran itu sudah semestinya diketahui oleh mereka yang manembah pada Gusti Kang Akarya Jagad.
Gondhol Sumargiyono dalam dramanya tersebut menegaskan kekhawatiran para sesepuh adalah apabila masyarakat meninggalkan syariat. Alasan mendasar yang menjadi kekhawatiran adalah rakyat masih tabu dengan ajaran tersebut, alam pikiran dan angan-angan mereka masih dipenuhi rimbunnya semak belukar. Mereka tidak sepenuhnya memahami kawruh yang kawedhar oleh Ki Gedhe Lemah Kuning.
Senada dengan hal itu sebenarnya apa yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar tidak disalahkan oleh para wali. Akan tetapi yang dikhawatirkan ajaran tersebut membuat seseorang menjadi salah paham. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti pada hakikatnya adalah sebuah anugrah bagi mereka yang telah mendapat hidayah. Tidak dapat diajarkan seperti ilmu wadag, sebab jika penerima tidak memiliki pondasi dasar kuat maka justru akan kehilangan kiblat.
Gagak Rimang
Bahayanya adalah jika para pengikut itu tidak mampu memahami dengan benar. Ini menjadi seperti ajaran yang sesat.
Glathik Pamikat
Aku setuju dengan pendapatmu, adhi Gagak Rimang. Akan sangat mengkhawatirkan apabila wewadining jagat, kawruh jatining urip lan kawruh sangkan paraning dumadi kawedhar untuk sembarang orang. Padahal, tiap orang belum pasti mampu menerima ajaran itu.

Jalak Manitis
Maaf, Ki Ageng, apalah gunanya mempersulit diri untuk mendapatkan ilmu. Tidak dapat dinafikan, ajaran itu sudah semestinya diketahui dan dipahami oleh mereka yang manembah kepada Gusti Kang Akarya Jagat.
Bonang Panuntun
Benar, Jalak Manitis. Memang benar. Namun untuk dapat menerima kawruh itu, bukanlah tanpa syarat. Sungguh, itu merupakan anugerah bagi mereka yang sudah mendapat hidayah. Tidak dapat diajarkan begitu saja seperti halnya ilmu wadag. Jika si penerima tidak kuat, justru akan kehilangan kiblat.
Podang Binorehan
Benar. Sebab ilmu yang diajarkan Ki Gedhe Lemah Kuning dapat menjadikan orang salah paham. Dia medhar kawruh, bahwa sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini ada karena kawruh budi, bukan dari Riptaning Gusti kang Murbeng Dumadi. Itu bisa ditafsirkan secara mentah, Sehingga akhirnya para pengikut itu tidak lagi manembah kepada sang Khaliq. Lupa kewajibannya. Apa keadaan seperti itu masih bisa membuat kita diam menunggu?
Gagak Rimang
Mereka akan menghilangkan syariat. Sungguh kerusakan yang parah.

            Pertemuan para sesepuh itu melahirkan keputusan untuk menghentikan dakwah Ki Gedhe Lemah Abang dengan mengutus Nila Ambara untuk membawanya ke Unggul Pamenang. Namun kedatangan Nila Ambara kurang bagi murid-murid Ki Gedhe, dan menimbulkan pertempuran. Ketika pertempuan berlangsung, para sesepuh datang kemudian menghentikan peperangan tersebut. Dengan diwakili Podang Binorehan dan Jalak Manitis sebagai juru bicara para sesepuh ingin mengajak untuk jalan bersama dalam membina rakyat. Ki Gedhe tidak mau karena menganggap ada semacam perbedaan antara apa yang diajarkannya dengan yang telah dilakukan oleh para sesepuh. Jalak Manitis meminta agar Ki Gedhe memutuskan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat. Sementara Podang Binorehan meminta membuktikan keilmuannya. Ki Gedhe mengetahui maksud isyarat yang dikemukakan dua tokoh itu, seperti halnya Syekh Siti Jenar kemudian muksa.

Jalak Manitis
Dhi, kamu hidup di alam hidup Dhi. (dengan nada haru yang dalam)
Podang Binorehan
Oo… Jadi kamu sudah bisa hidup di dalam mati, mati dalam hidup?
Gedhe Lemah Kuning
Bisa.
Podang Binorehan
Seperti apa? Yang mati tak akan berbuat apa-apa. Tak ada takut, eman dan tak pula berkehendak lagi. Apa kamu juga bisa?
Gedhe Lemah Kuning
Bisa! Dan kali inipun akan kutinggalkan semua. Mustahil aku takut. Sehelai rambut terbelah sejuta, tiada gentar menghadapi maut. Meski jiwa raga bercampur tanah dengan bumi menyatu. Aku takkan menghindar. Takdir tiada kenal mundur yang menguasai segala kejadian. Orang mati tiada merasa sakit, yang merasa sakit itu hidup yang ada di dalam raga. Bila tugas jiwa telah tunai, maka alam Aning Anung tempat kembalinya. Alam yang tentram dan bahagia. Aman damai sejahtera. Selamanya tiada ketakutan terhadap bahaya.
Kehendak pribadiku…
Mengembalikan segala yang dari Gustiku…
Kutinggalkan alam raga
Pribadiku, kembali pada Ywang Mukswaku…

            Ada satu hal yang tidak ada dalam drama karya Gondhol ini yaitu bagaimana para wali atau sesepuh membuat keputusan bijak setelah muksanya Syekh Siti Jenar agar para pengikutnya berhenti mengamalkan ajarannya. Salah satu versi menceritakan para wali memutuskan untuk membuat kiasan dengan cara mengambil seekor babi yang telah disembelih kemudian diperlihatkan pada masyarakat awam. Setelah itu masyarakar awam tersebut dijelaskan kalau orang ingin mencapai tingkatan tertinggi dalam keilmuan tanpa didasari pondasi yang kuat. Maka akan berakhir seperti babi karena tidak dapat melihat kanan dan kiri, akhirnya orang tersebut akan kehilangan arah atau kiblat. Kesamaan antara drama “Kiblat Tanah Negeri” dengan cerita Syekh Lemah Abang memberikan kesebuah kesimpulan bahwa ini adalah drama yang sangat bagus, penuh dengan makna serta pesan-pesan baik yang bersifat moral, maupun spiritual.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

kesimpulan nya

Posting Komentar