Manunggaling Kawula Gusti dalam Drama “Kiblat Tanah Negeri” Karya Gondhol
Sumargiyono
Oleh: Johan Slamet Raharjo
Drama
merupakan gambaran kehidupan manusia dalam sebuah pementasan. Apakah itu
kejadian yang secara real terjadi, hanya dalam imajinasi, atau bahkan bentuk
perwujudan dari gejolak batin manusia. Tidak jarang pula berbentuk sindiran
pada keganjilan terjadi dalam kehidupan.
Sebuah
drama berjudul “Kiblat Tanah Negeri” karya Gondhol Sumargiyono dapat dibilang
sebagai sebuah parodi sejarah. Jika dicermati dengan baik naskah drama “Kiblat
Tanah Negeri” menggambarkan sebuah kisah yang sangat terkenal pada masyarakat
Jawa, khususnya bagi mereka yang beragama Islam. Kisah tersebut berhubungan
dengan tokoh yang terkenal ajaran pantheisme
yaitu Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar yang digambarkan oleh tokoh Ki
Gedhe Lemah Kuning.
Manunggaling Kawula Gusti
Paham
pantheime atau yang lebih dikenal
dengan Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya
telah ada sebelum zaman Syekh Siti Jenar di tanah Jawa. Paham Manunggalinng
Kawula Gusti (pantheime) atau dalam
istilah lain disebut Wahdatul Wujud merupakan
ajaran yang sebenarnya bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan makhluknya,
melainkan Tuhan adalah tempat kembali semua makhluk. Tokoh ulama’ yang terkenal
dengan paham Wahdatul Wujud ini
adalah Al-Hallaj (Abu Mansur Al-Hallaj) yang hidup pada sekitar tahun 244—309
hijriah atau 957—922 masehi. Berikut cuplikan wejangan ki gedhe lemah kuning.
Gedhe Lemah Kuning
Bila ada manusia yang punya keinginan untuk
mendapatkan hidup abadi, dia harus memiliki ilmu kamukswan. Tapi apalah
gunanya? Punya umur panjang, tapi tidak bisa sumarah, berserah diri kepada
gusti. Tidak bisa hidup dengan ikhlas. Apalagi, wadhagnya akan kasat mata.
Kebo Kenanga
Lalu bagaimana seharusnya manusia hidup itu, Guru?
Gedhe Lemah Kuning
Manusia hidup harus berani mati. Bukan keterpaksaan
mati seperti halnya manusia kebanyakan. Manusia harus mencari jalan kematian
menurut kehendaknya sendiri. Bukan kematian yang disebabkan oleh sesuatu
apapun, kecuali kehendaknya sendiri.
Paham
Manunggaling Kawula Gusti merupakan pencapaian tertinggi seseorang yang telah
melampaui tingkatan keilmuan. Sebagaimana telah diketahui tingkatan-tingkatan
dikenal dengan istilah syariat,thariqat,haqiqat,dan
makrifat. Keempat hal ini merupakan suatu sistem yang saling berkaitan
antara satu dengan yang lain. Agar lebih mudah dipahami secara sederhana dapat
dianalogikan syariat sebagai sebuah jalan, tharekat
adalah cara menempuh jalan tersebut, hakekat
adalah tujuan dari perjalanannya, dan yang terakhir yang disebut makrifat adalah siapa yang ingin ditemui
di tempat yang akan dituju.
Seseorang
yang telah mencapai paham Manunggaling Kawula Gusti sebenarnya jiwanya telah
mencapai suatu tingkat kerohanian di atas orang awam. Mereka mengetahui dan
mengetahui hal-hal yang masih menjadi sebuah misteri daripada orang biasa atau
disebut waskita. Karena didorong
maksud baik untuk berbagi hal-hal yang telah dirasakan tersebut, maka tokoh
seperti Ki Gedhe Lemah (bentuk penggambaran tokoh Syekh Siti Jenar dalam drama
“Kiblat Tanah Negeri”) berusaha untuk mengajarkan pada masyarakat. Namun,
seringkali tidak dijelaskan dengan kata-kata yang mudah dipahami dan bersifat
simbolis.Seseorang mencapai tingkatan kerohanian tersebut seperti dalam kondisi
“mabuk” dan hilang kesadaran. Karena beliau memperoleh suatu kenikmatan batin
yang luar biasa, tenggelam dalam memanifestasikan kebesaran Sang Pencipta.
Syekh Lemah Abang
Ki
Gedhe Lemah Kuning seorang tokoh dalam drama berjudul “Kiblat Tanah Negeri”
seperti pewayangan dari Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang. Asal-usul
Syekh Siti Jenar sendiri tidak banyak yang tahu pastinya. Namun, ada semacam
cerita yang sudah lama dan turun-temurun menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar
berasal dari seekor cacing lur.
Dikisahkan
suatu ketika para wali mengadakan pertemuan di Giri Kedhaton yang dipimpin oleh
Sunan Giri. Dalam pertemuan tersebut membahas pembentukan dewan wali sebagai
media pemersatu dan musyawarah dalam mengembangkan Islam di Nusantara. Atas
usulan Sunan Bonang maka diputuskan untuk melengkapi wali yang telah berjumlah
delapan, maka ditunjuklan Sunan Kalijaga sebagai penutup.
Sunan
Kalijaga bersedia, akan tetapi beliau merasa ada satu hal yang membuat beliau
memohon kepada para wali agar diberikan petunjuk. Sunan Ampel menyarankan agar
Sunan Bonang membimbing Sunan Kalijaga. Kemudian keduanya pergi ke sebah telaga
dengan menaiki sebuah perahu. Akan tetapi sebelum berangkat ternyata diketahui
perahu yang akan digunakan bocor. Sunan Bonang menyuruh Sunan Kalijaga
menambalnya. Oleh Sunan Kalijaga kemudian ditambal dengan tanah liat berwarna
merah.
Sunan
Kalijaga diwejang Sunan Bonang sebuah kaweruh gaibatau ilmu rahasia. Sunan
Bonang mewanti-wanti agar jangan sampai ilmu tersebut terdengar makhluk lain.
Jika wejangan tersebut terdengar dan dimengerti, apapun wujudnya asalkan dapat
mengerti maksudnya ia akan menjadi
manusia sempurna. Kemudian diketahui ada cacing lur yang sedari tadi menempel
pada tanah liat yang digunakan sebagai penyumbat perahu mendengarkan dan
memahami apa yang diwejangkan Sunan Bonang. Atas Karomah Sunan Bonang kemudian
cacing lur diambil kemudian berubah menjadi manusia dan diberi nama Syekh Lemah
Abang.
Gedhe
Lemah Kuning
“Kiblat Tanah
Negeri” mengisahkan seorang Tokoh bernama Ki Gedhe Lemah Kuning yang
menyebarkan ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Namun, ajaran yang mulia tersebut
menjadi ternoda akibat tingkah laku muridnya yang salah dalam menafsirkan
hingga berlaku menentang pemerintah. Sampai ada seorang utusan pemerintah yang
diusir secara paksa oleh murid-murid Ki Gedhe Lemah Kuning.
Keadaan
yang demikian membuat Panembahan Purwa sebagai Sultan Purwa memohon kepada para
penasehat agar menyelesaikan masalah ini. Sebetulnya ajaran Ki Gedhe Lemah
Kuning itu tidak salah. Tokoh Jalak Manitis yang menurut saya merupakan
penggambaran dari tokoh Sunan Kalijaga memberikan pendapat bahwa tidak
dinafikan, ajaran itu sudah semestinya diketahui oleh mereka yang manembah pada
Gusti Kang Akarya Jagad.
Gondhol
Sumargiyono dalam dramanya tersebut menegaskan kekhawatiran para sesepuh adalah
apabila masyarakat meninggalkan syariat. Alasan mendasar yang menjadi
kekhawatiran adalah rakyat masih tabu dengan ajaran tersebut, alam pikiran dan
angan-angan mereka masih dipenuhi rimbunnya semak belukar. Mereka tidak
sepenuhnya memahami kawruh yang kawedhar oleh Ki Gedhe Lemah Kuning.
Senada dengan
hal itu sebenarnya apa yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar tidak disalahkan
oleh para wali. Akan tetapi yang dikhawatirkan ajaran tersebut membuat
seseorang menjadi salah paham. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti pada hakikatnya
adalah sebuah anugrah bagi mereka yang telah mendapat hidayah. Tidak dapat
diajarkan seperti ilmu wadag, sebab jika penerima tidak memiliki pondasi dasar
kuat maka justru akan kehilangan kiblat.
Gagak Rimang
Bahayanya adalah jika para pengikut itu tidak mampu
memahami dengan benar. Ini menjadi seperti ajaran yang sesat.
Glathik Pamikat
Aku setuju dengan pendapatmu, adhi Gagak Rimang. Akan sangat
mengkhawatirkan apabila wewadining jagat, kawruh jatining urip lan kawruh
sangkan paraning dumadi kawedhar untuk sembarang orang. Padahal, tiap orang
belum pasti mampu menerima ajaran itu.
Jalak Manitis
Maaf, Ki Ageng, apalah gunanya mempersulit diri untuk mendapatkan ilmu.
Tidak dapat dinafikan, ajaran itu sudah semestinya diketahui dan dipahami oleh
mereka yang manembah kepada Gusti Kang Akarya Jagat.
Bonang Panuntun
Benar, Jalak Manitis. Memang benar. Namun untuk dapat menerima kawruh
itu, bukanlah tanpa syarat. Sungguh, itu merupakan anugerah bagi mereka yang
sudah mendapat hidayah. Tidak dapat diajarkan begitu saja seperti halnya ilmu
wadag. Jika si penerima tidak kuat, justru akan kehilangan kiblat.
Podang
Binorehan
Benar. Sebab ilmu yang diajarkan Ki Gedhe Lemah Kuning dapat menjadikan
orang salah paham. Dia medhar kawruh, bahwa sesungguhnya kehidupan manusia di
dunia ini ada karena kawruh budi, bukan dari Riptaning Gusti kang Murbeng
Dumadi. Itu bisa ditafsirkan secara mentah, Sehingga akhirnya para pengikut itu
tidak lagi manembah kepada sang Khaliq. Lupa kewajibannya. Apa keadaan seperti
itu masih bisa membuat kita diam menunggu?
Gagak Rimang
Mereka akan menghilangkan syariat. Sungguh kerusakan yang parah.
Pertemuan
para sesepuh itu melahirkan keputusan untuk menghentikan dakwah Ki Gedhe Lemah
Abang dengan mengutus Nila Ambara untuk membawanya ke Unggul Pamenang. Namun
kedatangan Nila Ambara kurang bagi murid-murid Ki Gedhe, dan menimbulkan
pertempuran. Ketika pertempuan berlangsung, para sesepuh datang kemudian
menghentikan peperangan tersebut. Dengan diwakili Podang Binorehan dan Jalak
Manitis sebagai juru bicara para sesepuh ingin mengajak untuk jalan bersama
dalam membina rakyat. Ki Gedhe tidak mau karena menganggap ada semacam
perbedaan antara apa yang diajarkannya dengan yang telah dilakukan oleh para
sesepuh. Jalak Manitis meminta agar Ki Gedhe memutuskan sesuatu yang terbaik
bagi masyarakat. Sementara Podang Binorehan meminta membuktikan keilmuannya. Ki
Gedhe mengetahui maksud isyarat yang dikemukakan dua tokoh itu, seperti halnya
Syekh Siti Jenar kemudian muksa.
Jalak Manitis
Dhi, kamu hidup di alam hidup Dhi. (dengan nada haru yang dalam)
Podang
Binorehan
Oo… Jadi kamu sudah bisa hidup di dalam mati, mati dalam hidup?
Gedhe Lemah
Kuning
Bisa.
Podang
Binorehan
Seperti apa? Yang mati tak akan berbuat apa-apa. Tak ada takut, eman dan
tak pula berkehendak lagi. Apa kamu juga bisa?
Gedhe Lemah
Kuning
Bisa! Dan kali inipun akan kutinggalkan semua. Mustahil aku takut. Sehelai
rambut terbelah sejuta, tiada gentar menghadapi maut. Meski jiwa raga bercampur
tanah dengan bumi menyatu. Aku takkan menghindar. Takdir tiada kenal mundur
yang menguasai segala kejadian. Orang mati tiada merasa sakit, yang merasa
sakit itu hidup yang ada di dalam raga. Bila tugas jiwa telah tunai, maka alam
Aning Anung tempat kembalinya. Alam yang tentram dan bahagia. Aman damai
sejahtera. Selamanya tiada ketakutan terhadap bahaya.
Kehendak pribadiku…
Mengembalikan segala yang dari Gustiku…
Kutinggalkan alam raga
Pribadiku, kembali pada Ywang Mukswaku…
Ada
satu hal yang tidak ada dalam drama karya Gondhol ini yaitu bagaimana para wali
atau sesepuh membuat keputusan bijak setelah muksanya Syekh Siti Jenar agar
para pengikutnya berhenti mengamalkan ajarannya. Salah satu versi menceritakan
para wali memutuskan untuk membuat kiasan dengan cara mengambil seekor babi
yang telah disembelih kemudian diperlihatkan pada masyarakat awam. Setelah itu
masyarakar awam tersebut dijelaskan kalau orang ingin mencapai tingkatan
tertinggi dalam keilmuan tanpa didasari pondasi yang kuat. Maka akan berakhir
seperti babi karena tidak dapat melihat kanan dan kiri, akhirnya orang tersebut
akan kehilangan arah atau kiblat. Kesamaan antara drama “Kiblat Tanah Negeri” dengan
cerita Syekh Lemah Abang memberikan kesebuah kesimpulan bahwa ini adalah drama
yang sangat bagus, penuh dengan makna serta pesan-pesan baik yang bersifat
moral, maupun spiritual.
1 komentar:
kesimpulan nya
Posting Komentar