Orang-orang
Kota Gede Refleksi Diri Darwis Khudori
Oleh: Indria Puspitasari
Orang-orang kota gede merupakan kumpulan cerita pendek yang
ditulis oleh Darwis Khudori. Cerpen-cerpen yang dibuat samapai beberapa tahun
yang setiap tahunnya seperti menceritakan kehidupan Darwis pada masa itu.
Cerpen-cerpen ini juga seakan merangkum ingatan tentang tempatnya tumbuh dewasa
dengan imajinasinya yang dituangkan dalam cerita-cerita pendeknya di kumpulan
cerpen ini. Merefleksikan ingatan masa lalunya seolah menceritakan kehidupan
yang sebenarnya pada saat itu.
Sebagian besar cerita dalam kumpulan cerpen Orang-Orang
Kotagede ini adalah segala yang berhubungan dengan Darwis saat dia tumbuh dan
bermukim di Kotagede. Kotagede merepukan kota kecil yang letaknya sekita 6
meter dari Yogyakarta, dimana Darwis tumbuh berkembang di kota itu. Nuansa,
waktu, setting, tokoh, karakter, dan semua faktor pedukung cerita muncul atas
dukaungan memori masa lalunya di Kotagede.
Semuanya itu tercermin dari cerita-cerita yang ada pada
kumpulan cerpen ini. Sesuai dengan judul kumpulan cerpen ini yaitu Orang-Orang
Kotagede: Darwis banyak menceritakan sosok tokoh yang dia kenal di masa
lalunya. Seperti Parno, Baong, Kino, Monil, Nenek Koyah,Yu Mama, Bu Tuti,
Warti, Sukir dan Sumi,Atun, dan Lik Kariyo. Darwis coba mentranformasikan
setiap tokoh-tokoh yang ada dalam cerpennya sebagai simbol-simbol karakter
masyarakat yang ada di Kotagede pada zamannya saat itu.
Darwis serasa ingin mengenalkan bagaimana Kotagede
sebenarnya lewat cerpennya. Seperti yang dikatakan pada pengantarnya di atas:
dia menceritakan bermacam fenomena dan karakter yang ada dan berkembang di
Kotagede. Dia ingin memberikan suguhan cerita yang menyeluruh tentang bagaimana
mengenali budaya yang ada dalam sebuah daerah dari orang-orang yang ada di
dalamnya. Mungkin karena itulah dia selalu menghadirkan tokoh sentral dalam
setiap ceritanya untuk membangun suasana, dan dilihat dari sudut pandang akuan
Darwis sebagai tokoh pelaku utama maupun hanya sebagai saksi cerita di
dalamnya.
Salah satu contoh , Darwis menjadi tokoh langsung pelaku
utama dalam ceritanya adalah pada cerpennya yang berjudul “Dalam Sakit” yang
menceritakan kehidupannya secara tidak langsung dan menceritakan latar belakang
kehidupan keluargannya saat dia kerasukan yang dianggapnya sakit. Contoh yang
lain bukti ketika Darwis ada dalam sudut pandangnya sebagai saksi yang
bercerita adalah ketika ia mencoba menceritakan kehidupan sahabat kecilnya yang
berubah gila yaitu pada cerpen yang berjudul “Kino”
Darwis juga lebih banyak mengangkat cerita-cerita pendeknya
berasal dari realita. Dia berkata pada pengantarnya bahwa biarpun
cerita-ceritanya berupa karya fiksi olahan imajinasi, namun tetap didasarkan
atas contoh-contoh permasalahan dan perwatakan yang ada dalam masyarakat
Kotagede yang ia kenal.
Hampir semua cerpen-cerpen yang ada pada kumpulan cerpen
Orang-Orang Kotagede ini memang mempunyai kekuatan cerita dalam konflik dan
perwatakkan lokal seperti yang Darwis pernah katakan. Permasalahan atau konflik
lokal yang diangkat menjadi cerita sungguhlah khas.Sebab pada zamannya tumbuh
besar dulu, Kotagede memang sebuah kota kecil di pinggiran kota Jogja.
Sebuah kedigdayaan Kerajaan Mataram yang mulai terkikis hilang. Namun di
dalamnya masih terdapat kerekatan masyarakat yang luar biasa bisa terbaca. Hal
itu bisa terbaca dari beberapa cerita Darwis yang dia bisa memaparkan
secara gamblang cerita dan tokoh yang dia kenal di kotanya itu sebagai
representasi karakter-kareakter yang ada di Kotagede.
Selain menguatkan dari segi tokoh yang mempunyai peran
sentral dalam ceritanya, Darwis juga memberikan gambaran setting waktu yang
nyata yaitu Kotagede pada zaman sebelum tahun 1965. Banyak bukti tentang
setting waktu adalah salah satu penguat dari banyak cerita dari cerpen-cerpen
Darwis, yaitu ketika ia menggambarkan suasana sebelum kemerdekaan, atau ketika
Darwis memaparkan waktu pasca pembubaran PKI atau dengan ia
menceritakan beberapa tokoh yang menjadi pendukung cerita dalam kisahnya
telah mati ditembak penjajah yaitu Belanda pada masa itu menjadi simbol setting
waktu yang kuat.
Lumrah, bisa disebut demikian karena Darwis memang
memposisikan cerpen-cerpennya untuk melampiaskan kerinduaannya terhadap masa
lalunya dan kerinduaannya untuk menulis.
Kerinduaan Darwis nampak ketika dia bukan hanya menceritakan
kisah-kisah tentang orang-orang yang ada dalam kisah hidupnya namun tentang
sejarah hidupnya sendiri. Dia rindu dengan suasana yang ada di kota itu.Dia
rindu dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian hidupnya. Cerpen yang
nyata-nyata dia mengenang kisahnya sendiri dan mengatasnamakan “aku” ada pada
beberapa cerpen yaitu pada cerpen Dalam Sakit, Potong Rambut, Tangisku untuk
Bapak, Terima Kasih, Bu Tuti, Seperangkat Meja-Kursi Tamu untuk Ibu, dan Gadis
dalam Lukisan.
Tangisku untuk Bapak, Darwis menceritakan bagaimana kenangan
yang dia miliki dengan bapaknya, Seperangkat Meja-Kursi Tamu untuk Ibu
menceritakan bagaimana sisi lain kenangannya dengan ibunya. Sementara dalam
cerpen-cerpen dengan judul Potong Rambut, Dalam Sakit, Gadis dalam Lukisan, dan
Terima Kasih, Bu Tuti merupakan sebuah cerita dari penjelajahan kreatif memori
Darwis yang ingat di masa sekolah dulu.
Dari sekian banyak pemaparan yang ada di atas, bisa dilihat
bahwa Darwis dalam cerpennya hanya ingin menceritakan hal yang
ringan tapi bisa diambil hikmah atau pelajaran oleh pembaca. Akan tetapi
cerpen-cerpennya belum sampai ranah kesadaran Darwis sendiri tentang sejarah
dan politik. Kejadian – kejadian dramatik dalam cerpen-cerpennya masih
merupakan kejadian secara individual yang mungkin dia anggap menarik, tapi
belum menunjukkan adanya mata rantai sejarah, bahwa kejadian-kejadian tersebut
merupakan bagian dari suatu sistem sosial, ekonomi, politik, kultural yang
lebih besar, hasil suatu proses sejarah yang panjang.
0 komentar:
Posting Komentar