Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Orang-orang Kota Gede Refleksi Diri Darwis Khudori



Orang-orang Kota Gede Refleksi Diri Darwis Khudori
Oleh: Indria Puspitasari
 
Orang-orang kota gede merupakan kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh Darwis Khudori. Cerpen-cerpen yang dibuat samapai beberapa tahun yang setiap tahunnya seperti menceritakan kehidupan Darwis pada masa itu. Cerpen-cerpen ini juga seakan merangkum ingatan tentang tempatnya tumbuh dewasa dengan imajinasinya yang dituangkan dalam cerita-cerita pendeknya di kumpulan cerpen ini. Merefleksikan ingatan masa lalunya seolah menceritakan kehidupan yang sebenarnya pada saat itu.
Sebagian besar cerita dalam kumpulan cerpen Orang-Orang Kotagede ini adalah segala yang berhubungan dengan Darwis saat dia tumbuh dan bermukim di Kotagede. Kotagede merepukan kota kecil yang letaknya sekita 6 meter dari Yogyakarta, dimana Darwis tumbuh berkembang di kota itu. Nuansa, waktu, setting, tokoh, karakter, dan semua faktor pedukung cerita muncul atas dukaungan memori masa lalunya di Kotagede.
Semuanya itu tercermin dari cerita-cerita yang ada pada kumpulan cerpen ini. Sesuai dengan judul kumpulan cerpen ini yaitu Orang-Orang Kotagede: Darwis banyak menceritakan sosok tokoh yang dia kenal di masa lalunya. Seperti Parno, Baong, Kino, Monil, Nenek Koyah,Yu Mama, Bu Tuti, Warti, Sukir dan Sumi,Atun, dan Lik Kariyo. Darwis coba mentranformasikan setiap tokoh-tokoh yang ada dalam cerpennya sebagai simbol-simbol karakter masyarakat yang ada di Kotagede pada zamannya saat itu.
Dalam pengantarnya, Darwis menulis: “Saya sudah mencoba menceritakan dalam kumpulan cerpen ini bagaimana orang-orang Kotagede hidup, terutama rakyat kecil, kaum buruh, dan pedagang gurem, yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Kotagede: suka-duka…, kepoloson,…kecerdikan-kecerdikan…, kelucuan-kelucuan…, cinta-kasih…, juga kebrutalan-kebrutalan…dan tragedi-tragedi mereka. Tapi saya belum mengungkapkan bagaimana semua itu bisa terjadi. Saya belum bercerita bagaimana para juragan Kotagede mengeruk keuntungan dari upah buruh yang sangat rendah; bagaimana ajaran Islam digunakan, …langsung  atau tidak langsung, untuk keuntungan para juragan santri (…); bagaimana golongan PKI, …mengambil peran dalam perubahan sosial di Kotagede sebelum tahun 1965. …bagaimana…. kota suci dan peziarahan orang Jawa, pusat Kejawen, pusat kaum abangan, bisa berubah menjadi pusat kaum santri…”
Darwis serasa ingin mengenalkan bagaimana Kotagede sebenarnya lewat cerpennya. Seperti yang dikatakan pada pengantarnya di atas: dia menceritakan bermacam fenomena dan karakter yang ada dan berkembang di Kotagede. Dia ingin memberikan suguhan cerita yang menyeluruh tentang bagaimana mengenali budaya yang ada dalam sebuah daerah dari orang-orang yang ada di dalamnya. Mungkin karena itulah dia selalu menghadirkan tokoh sentral dalam setiap ceritanya untuk membangun suasana, dan dilihat dari sudut pandang akuan Darwis sebagai tokoh pelaku utama maupun hanya sebagai saksi cerita di dalamnya.
Salah satu contoh , Darwis menjadi tokoh langsung pelaku utama dalam ceritanya adalah pada cerpennya yang berjudul “Dalam Sakit” yang menceritakan kehidupannya secara tidak langsung dan menceritakan latar belakang kehidupan keluargannya saat dia kerasukan yang dianggapnya sakit. Contoh yang lain bukti ketika Darwis ada dalam sudut pandangnya sebagai saksi yang bercerita adalah ketika ia mencoba menceritakan kehidupan sahabat kecilnya yang berubah gila yaitu pada cerpen yang berjudul “Kino”
Darwis juga lebih banyak mengangkat cerita-cerita pendeknya berasal dari realita. Dia berkata pada pengantarnya bahwa biarpun cerita-ceritanya berupa karya fiksi olahan imajinasi, namun tetap didasarkan atas contoh-contoh permasalahan dan perwatakan yang ada dalam masyarakat Kotagede yang ia kenal.
Hampir semua cerpen-cerpen yang ada pada kumpulan cerpen Orang-Orang Kotagede ini memang mempunyai kekuatan cerita dalam konflik dan perwatakkan lokal seperti yang Darwis pernah katakan. Permasalahan atau konflik lokal yang diangkat menjadi cerita sungguhlah khas.Sebab pada zamannya tumbuh besar dulu, Kotagede memang sebuah kota kecil di pinggiran kota Jogja.  Sebuah kedigdayaan Kerajaan Mataram yang mulai terkikis hilang. Namun di dalamnya masih terdapat kerekatan masyarakat yang luar biasa bisa terbaca. Hal itu bisa terbaca  dari beberapa cerita Darwis yang dia bisa memaparkan secara gamblang cerita dan tokoh yang dia kenal di kotanya itu sebagai representasi karakter-kareakter yang ada di Kotagede.
Selain menguatkan dari segi tokoh yang mempunyai peran sentral dalam ceritanya, Darwis juga memberikan gambaran setting waktu yang nyata yaitu Kotagede pada zaman sebelum tahun 1965. Banyak bukti tentang setting waktu adalah salah satu penguat dari banyak cerita dari cerpen-cerpen Darwis, yaitu ketika ia menggambarkan suasana sebelum kemerdekaan, atau ketika Darwis memaparkan waktu pasca pembubaran PKI atau   dengan ia menceritakan  beberapa tokoh yang menjadi pendukung cerita dalam kisahnya telah mati ditembak penjajah yaitu Belanda pada masa itu menjadi simbol setting waktu yang kuat.
Lumrah, bisa disebut demikian karena Darwis memang memposisikan cerpen-cerpennya untuk melampiaskan kerinduaannya terhadap masa lalunya dan kerinduaannya untuk menulis. 
Kerinduaan Darwis nampak ketika dia bukan hanya menceritakan kisah-kisah tentang orang-orang yang ada dalam kisah hidupnya namun tentang sejarah hidupnya sendiri. Dia rindu dengan suasana yang ada di kota itu.Dia rindu dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian hidupnya. Cerpen yang nyata-nyata dia mengenang kisahnya sendiri dan mengatasnamakan “aku” ada pada beberapa cerpen yaitu pada cerpen Dalam Sakit, Potong Rambut, Tangisku untuk Bapak, Terima Kasih, Bu Tuti, Seperangkat Meja-Kursi Tamu untuk Ibu, dan Gadis dalam Lukisan.
Tangisku untuk Bapak, Darwis menceritakan bagaimana kenangan yang dia miliki dengan bapaknya, Seperangkat  Meja-Kursi Tamu untuk Ibu menceritakan bagaimana sisi lain kenangannya dengan ibunya. Sementara dalam cerpen-cerpen dengan judul Potong Rambut, Dalam Sakit, Gadis dalam Lukisan, dan Terima Kasih, Bu Tuti merupakan sebuah cerita dari penjelajahan kreatif memori Darwis yang ingat di masa sekolah dulu.
Dari sekian banyak pemaparan yang ada di atas, bisa dilihat bahwa Darwis  dalam cerpennya  hanya ingin menceritakan hal yang ringan tapi bisa diambil hikmah  atau pelajaran oleh pembaca. Akan tetapi cerpen-cerpennya belum sampai ranah kesadaran Darwis sendiri tentang sejarah dan politik. Kejadian – kejadian dramatik dalam cerpen-cerpennya masih merupakan kejadian secara individual yang mungkin dia anggap menarik, tapi belum menunjukkan adanya mata rantai sejarah, bahwa kejadian-kejadian tersebut merupakan bagian dari suatu sistem sosial, ekonomi, politik, kultural yang lebih besar, hasil suatu proses sejarah yang panjang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar