PESAN MORAL DARI KADIS
Oleh: Hasan
Nugroho
Mengikuti suatu pengajian sudah menjadi
budaya bagi masyarakat muslim di Indonesia. Melalui pengajian seseorang akan
mendapatkan banyak ilmu mengnai kehidupan, mulai dari apa yang harus dilakukan
dalam hidup ini agar mendapatkan ridho dari yang maha kuasa, bagaimana
hendaknya seseorang bersikap ketika menghadapi cobaan, dan lain sebagainya.
Dengan mengikuti pengajian seseorang diharapkan akan mampu menerapkan ilmu-ilmu
yang didapatkan dalam kehidupan nyata. Sehingga membuat seseorang tersebut
memiliki aji di mata Tuhan dan orang lain. Aji yang dimaksud di sini adalah
memiliki kehormatan atau harga diri karena seseorang tersebut berilmu atau
berhasil menerapkan ilmu-ilmu kebaikan yang pernah ia dapatkan.
Namun apa jadinya jika seseorang salah
menafsirkan ilmu yang didapatkannya dari pengajian? Tentu hal ini tidak baik
bagi orang tersebut. Kesalahan dalam menafsirkan ilmu secara otomatis akan
berdampak pada penerapan ilmu yang salah. Sehingga membuat seseorang tidak
memiliki aji di mata orang lain. Orang lain akan kehilangan respek kepada
seseorang yang salah menafsirkan ilmu tadi, karena mereka tahu bahwa apa yang
dilkukan oleh orang tersebut adalah hal yang salah, atau bahkan dianggap tidak
memiliki norma-norma kemasyarakatan jika kesalahan penafsiran ilmu ini terjadi
dengan ekstrim. Hal seperti inilah yang terjadi pada seorang Kadis, tokoh utama
dari cerpen yang ditulis oleh Mohammad Diponegoro.
Jika ditanya mengapa harus Kadis?
Jawabnya adalah karena cerpen ini syarat dengan nilai-nilai moral yang
dibungkus ke dalam suasana religius. Cerpen ini memang sudah lama dimuat, yakni
tahun 1984, namun pada tahun 2009 cerpen ini dimuat kembali, hal ini mungkin karena
pesan-pesan yang terkandung di dalam cerpen ini masih dianggap sesuai dengan kondisi
masyarakat saat ini. Jika kita membaca cerpen ini, sebenarnya tidak ada yang
terlihat begitu kuno selain penggunaan
nilai rupiah yang masih sangat kecil, seperti yang tercermin dalam kutipan “kau kutinggali enam ribu, besuk aku pergi ke
Jakarta.”
Di jakarta Kadis justru semakin menjadi, tawaran
menginap dianggapnya sebgai isyarat bahwa rizki akan datang. Sepulang dari
Jakarta Kadis membawa beberapa uang dan diberikan kepada istrinya, namun
semuanya ditolak oleh istrinya meskipun Kadis mengatakan bahwa rizki tersebut
adalah halal. Dalijah kemudian mengatakan bahwa ia telah
bertemu dengan Kiai Dofir. Kadis kemudian datang ke rumah Kiai Dofir. Di
rumahnya, Kiai Dofir mengatakan kepada Kadis bahwa ia tak boleh mengikuti
pengajian lagi, baik di pengajiannya atau pengajian kiai yang lain. Kiai Dofir
memarahi Kadis karena ia mengikuti pengajian hanya untuk dalih agar ia tidak
bekerja, dan Kadis hanya memberikan nafkah dari harta hasil meminta-minta. Setelah peristiwa Kadis dimarahi oleh Kiai Dofir,
Kadis hanya sekali atau dua kali dalam sebulan mengikuti pengajian, karena ia
akhirnya sibuk dengan pekerjaan barunya, yakni menjadi tukang penyembelih
ternak.
Seperti yang telah dikatakan di
atas bahwa cerpen ini syarat akan nilai-nilai moral. Nilai moral adalah
nilai-nilai yang mengajarkan sesorang ke dalam hal-hal menuju kebaikan, mulai
dari perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila, dan lain
sebagainya. Nilai moral dalam suatu
karya sastra (prosa) tidak semuanya tersurat, ada juga beberapa nilai yang
tersirat. Seorang pembaca terkadang harus membaca sampai selesai terlebih
dahulu untuk memahami pesan yang ada di dalam sebuah karya sastra. Berikut ini
adalah beberapa kutipan dari cerpen berjudul ‘Kadis’ yang mengandung
pesan-pesan moral.
“Kemarin kau sudah ke kota, ngaji juga. Masa
tiap hari ke kota ngaji terus-terusan!”
Sekarang Kadis menghadapi istrinya, lalu menggunakan
gerak tangan untuk memberi tekanan pada jawabannya. “Kemarin Kiai Hamam,
sekarang Kiai Dofir. Kan lain?”
Kadis lalu menyebutkan beberapa nama kiai lainnya yang
ditangkap Dalijah dengan tidak sabar. Lalu Dalijah menukasnya dengan cepat.
“Bukan kiai siapa-siapa, tapi di rumah tidak ada beras. Uang sekolah anak-anak
juga belum di bayar.”
Dari kutipan di atas dapat diambil pesan bahwa sebagai
seorang kepala keluarga, hendaknya jangan meninggalkan tanggung jawab untuk
menafkahi keluarga, hanya demi hal-hal yang sifatnya lebih kepada kepuasan
pribadi. Selain itu, kutipan di atas juga mengandung pesan bahwa seorang kepala
keluarga seharusnya memiliki perhatian lebih kepada keluarganya, karena pada
hakikatnya keluarga lebih membutuhkan kehadirannya daripada orang lain.
“Nah, begitu kalau tidak pernah ngaji. Rizki Tuhan itu
tidak bisa diduga darimana dan kapan datangnya. Ngerti? Pokoknya aku nanti sore
pulang bawa duit.”
Apa yang disampaikan dalam kutipan diatas memang benar,
bahwa rizki Tuhan tidak dapat diduga darimana asalnya. Namun, dalam kutipan
yang diungkapkan oleh Kadis ini sudah mulai tampak bahwa ia sebenarnya salah
menafsirkan ilmu yang didapatkannya dari pengajian. Kadis beranggapan bahwa
hidup itu cukup hanya pasrah bongko’an
kepada Tuhan, artinya manusia tidak perlu terlalu bekerja dan berfikir keras,
karena jika memang rizki sudah waktunya datang maka akan datang pula, anggapan
inilah yang sebenarnya salah karena dapat menyebabkan seseorang menjadi
malas. Sebagai manusia beradap, tentunya
semua orang tahu bahwa manusia diwajibkan untuk berusaha terlebih dahulu untuk
mendapatkan apa yang diinginkan, masalah hasil akhir seperti apa, manusia
kembali menyerahkannya kepada Tuhan.
Ya, berapa saja pengajian di kota ini yang ia kunjungi?
Kadis menyoali pikirannya sendiri. Kiai Dofir setiap hari Sabtu, Kiai hamam
setiap hari Jumat. Kiai Sobron hari Rabu, Kiai hamim, Kiai Toha. Bukankah ini
amal saleh? Tuhan sudah berjanji dalam kitab suci, bahwa orang-orang beriman
dan beramal saleh akan mendapat pahala terus menerus. Falahum ajrun ghairu
mamnun.
Kutipan yang disampaikan diatas memanglah benar, bahwa
orang yang beramal saleh akan mendapatkan pahala terus menerus. Namun dalam konteks
cerpen ini, kembali lagi Kadis kurang tepat menafsirkan ilmu yang di dapatnya.
Ia hanya berfikir bahwa ia akan mendapatkan pahala terus menerus hanya dengan
mengikuti pengajian setiap hari, namun ia lupa bahwa memperhatikan dan
menafkahi keluarga juga merupakan amal saleh. Dalam cerpen ini diceritakan
bahwa Kadis sempat kurang perduli terhadap keluarganya hanya karena ingin
mengikuti pengajian setiap hari. Jadi sebenarnya kutipan ini secara tersirat
menyampaikan bahwa berbuat baik dan beramal saleh itu dapat dimulai dari
hal-hal yang paling kecil dan paling mudah seperti memperhatikan dan
menyenangkan orang-orang terdekat (keluarga).
Silaturahmi
ialah salah satu kunci rejeki, itu pelajaran dari Kiai Dofir. Dan Kadis sudah
terlalu sering membuktikan kebenaran rahasia itu.
Dalam cerpen ini dikisahkan bahwa Kadis bersilaturahmi ke
rumah rekan-rekannya dengan tujuan agar ia diberi uang oleh rekannya tersebut.
Dengan kata lain, Kadis sebenarnya mengemis secara halus ketika ia bertamu ke
rumah kerabat dan rekan-rekannya. Pandangan Kadis tentang pelajaran
bersilaturahmi ini yang sebenarnya paling fatal kesalahan pemahamannya,
gara-gara ini Kadis secara tersirat digambarkan sudah tidak memiliki rasa malu
dan dianggap tidak memiliki norma, bahkan ia dianggap lari dari tanggung jawab
untuk menafkahi keluarganya, dan hanya menghidupi keluarganya dari harta
meminta-minta. Namun dari kutipan di atas sebenarnya kita dapat memetik suatu
nilai atau pesan yang dapat dijadikan pelajaran. Kalimat ‘silaturahmi adalah salah satu kunci rejeki’ artinya dengan
bersilaturahmi, Tuhan akan membukakan pintu rejekinya. Yang dimaksud dengan rejeki tidak
hanya berupa harta atau uang, namun dapat juga berupa info penting yang
dibutuhkan, pekerjaan, teman dan hal-hal yang dapat membuat hati merasa
bahagia. Jadi ketika bersilaturahmi janganlah semata-mata untuk mendapatkan
uang atau harta, namun lebih karena kita ingin mendekatkan kekerabatan kita
dengan orang yang sedang kita kunjungi, mungkin saja dengan kedekatan tersebut
suatu saat kita ditawari pekerjaan oleh rekan kita ataupun mendapatkan suatu
hal yang tidak terduga.
“Markum yang sebnarnya sedang sibuk bekerja
tidak bisa menyembunyikan sikapnya yang tidak senang mendapat kunjungan sepagi
hari itu”
Dari kutipan diatas, kita dapat menangkap pesan bahwa
ketika bertamu seseorang harus mempunyai adab, harus tau situasi dan kondisi.
Seseorang harus mampu mengira-ngira kapan waktunya pantas untuk bertamu, agar
tidak mengganggu kegiatan orang yang sedang dikunjungi.
“Kau tahu, Kadis, nafkah yang kau dapat dari keringatmu
sendiri, meskipun hanya kecil, lebih besar nilai pahalanya dari hasil
meminta-minta, mengerti?”
Kutipan diatas adalah bagian dari penyelesaian cerpen ini,
dari kutipan tersebut dapat dipetik amanat bahwa, sebaik-baiknya harta
meminta-minta masih lebih baik harta yang didapat dari hasil jerih payah
sendiri.
Jadi, secara keseluruhan, cerpen ini ingin mengungkapkan
kepada pembacanya, bahwa seorang kepala keluarga haruslah lebih memperhatikan
keluarganya, mau menafkahi keluarganya dengan jerih payahnya sendiri, meskipun
hasilnya sedikit, pahalanya lebih banyak dan keluarga akan lebih bangga.
Kemudian cerpen ini juga ingin menyampaikan kepada pembacanya bahwa ketika
mendengarkan suatu ceramah, alangkah lebih baiknya ditelaah terlebih dahulu dan
tidak ditelan mentah-mentah, karena dapat menjadi bumerang untuk diri sendiri.
Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang terjadi
dan dialami oleh Kadis dalam cerpen ini juga ada dalam realita sosial di
masyarakat. Cerpen ini secara halus menyindir profesi pengemis yang sudah
terlalu banyak menghiasi pinggir-pinggir jalan di negeri ini. Kita tahu bahwa
mengemis adalah profesi yang mengajak seseorang untuk malas dan tidak mau
bekerja keras, sama seperti Kadis, mereka menghidupi keluarganya dari hasil
meminta-minta. Kemudian permasalahan kesalahan menafsirkan ilmu-ilmu itu
sendiri juga banyak terjadi di kalangan masyarakat. Dalam sekala yang lebih
besar, munculnya aliran-aliran sesat di negeri ini salah satunya juga dari
hasil kesalahan menafsirkan ilmu-ilmu, kemudian dari sekala yang lebih kecil
adalah munculnya kelompok-kelompok ataupun individu-individu yang gemar
membid’ah kan orang, atau mengharamkan orang melakukan sesuatu. Sama seperti
Kadis, mereka ini kemungkinan menelan mentah-mentah ilmu yang didapatkannya,
tanpa mengkajinya terlebih dahulu, sehingga mereka menjadi salah tafsir, dan
parahnya kesalahan tafsir ini disebarkan dan diturunkan kepada anak-anaknya.
Cerpen
berjudul ‘Kadis’ ini termasuk cerpen yang unik, cara penyampaian pesannya
justru bukan dengan kebaikan-kebaikan tokohnya, namun lebih menitikberatkan
pada kontroversi seorang Kadis sendiri. Penulis menggambarkan betapa
menjengkelkannya seorang Kadis yang ‘menghindari’ tanggung jawabnya untuk
bekerja mencari nafkah bagi keluarganya dan sering kurang tepat menafsirkan
ilmu-ilmu yang didapatkannya,
sehingga sosok Kadis sendiri tampak sudah kehilangan
rasa malu pada dirinya, seperti yang tercermin pada saat peristiwa Kadis pergi
ke rumah Markum dan menceritakan bahwa Ia ingin pergi ke Jakarta. Ia bercerita
panjang lebar dan akan pulang ketika sudah diberi uang.
Secara keseluruhan, ditinjau dari aspek pesan-pesan moral
yang disampaikan dalam cerpen ini dapat dikatakan bahwa cerpen ini cukup bagus
sebagai bahan bacaan di sekolah, terutama di SMP dan SMA, selain bahasanya
mudah dipahami, cerpen ini banyak sekali mengandung pesan-pesan yang
bermanfaat. Nuansa religius yang ada dalam cerpen ini juga menambah kuat
penyampaian pesannya.
0 komentar:
Posting Komentar