Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Antara Politik Sengkuni dan Anas Urbaningrum Telaah Cerpen berjudul “Sengkuni” karya Sri Wintala Achmad



Antara Politik Sengkuni dan Anas Urbaningrum
Telaah Cerpen berjudul “Sengkuni” karya Sri Wintala Achmad

Oleh: Johan Slamet Raharjo

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon  lir genjanging sang maweh gandrung ong... Suluk yang biasa dikumandangkan seorang seorang dalang untuk menggambarkan suasana dunia pewayangan dalam keadaan tidak tentram. Suluk tersebut tanpa sadar menjalar, melewati sekat-sekat pembatas diantara dua dunia. Kini perbawa suluk telah menyelelimuti bumi nusantara yang tidak lagi akan ada pergantian penguasa.
Serupa blencong, matahari yang tengah memamerkan sosoknya dari balik bentangan bukit timur kembali membuka kisah baru tentang kehidupan. Kisah baru yang sesungguhnya hanya pengulangan-pengulangan kisah lama. Berputar layaknya zin-yang. Lingkaran hitam-putih yang mengelabu hingga tak terlacak dengan pandangan mata wadhag dimana batas keduanya. Kejahatan dan kebajikan yang selalu dibenarkan menurut dasar kepentingan.
Hanya tinggal menunggu beberapa bulan saja, rakyat akan melihat bagaimana para tokoh agama, kaum bangsawan, negarawan, dan ksatria berjuang memperebutkan singgasana. Sang raja yang kini dalam masa akhir pemerintahan tentu tidak ingin pembangunan yang telah rintis selama dasawarsa ini terbuang percuma. Ia ingin pembangunan itu dilanjutkan oleh putra mahkota. Namun ada hal membuat raja gusar.
Kegusaran sang raja bersumber dari beberapa abdi dalem  yang oleh masyarakat diketahui tengah terlibat kasus korupsi. Abdi dalem yang diduga terlibat dalam kasus korupsi tersebut kebanyakan berasal dari kalangan partai yang selama ini menjadi tunggangan sang raja. Jika hal terus dibiarkan maka akan meruntuhkan citra baik dirinya sendiri, keluarga, serta partai tunggangannya.
Suhu politik yang memanas memuncul beberapa tokoh yang oleh publik layak untuk  menggantikan sang raja. Dalam cerpen berjudul “Sengkuni” Sri Wintala Achmad menggambarkan suasana negara yang tengah panas tersebut tidak lain karena pokal gawe seorang sutradara ulung bernama Sengkuni. Sebuah nama yang pada saat ini  begitu familiar setelah didengungkan oleh seorang politikus muda Anas Urbaningrum  karena merasakan sesuatu yang janggal dalam hal penetapan dirinya sebagai tersangka dalam mega proyek Hambalang.
Beberapa hari sebelum penetapan Anas Urbaningrum  dengan lantang menegaskan bahwa dirinyadipihak kebenaran dalam arti sama sekali tidak terlibat dalam kasus korupsi Hambalang. Bahkan ketika itu ia sempat berucap dengan tenang yang kurang lebih redaksional sebagai berikut: “Jika sepeser saja Anas terlibat, Gantung Anas di Monas.” Berbagai tanggapan beredar lebih-lebih saat bocornya surat Desprindik, serta penetapan dirinya sebagai terduga tersangka oleh KPK. Publik ingin Anas menepati suatu  hal yang telah diucapkannya.
Mega proyek Hambalang merupakan salah satu kasus yang saat ini marak diperbincangkan karena telah menyeret beberapa politisi masuk hotel prodeo Komisi Pemberantasan Korupsi. Proyek  yang semula direncanakan  untuk membangun wisma bagi para atlit olahraga agar dapat meningkatkan prestasi anak bangsa disalah gunakan oleh beberapa oknum untuk meraup pundi-pundi rupiah. Dalam dunia pewayangan dikenal pula mega proyek pembangunan wisma Bale Sigala-gala ditujukan untuk menghabisi para Pandawa.
“Tunjukkan dimana letak kejahatanku pada Astina?” tanya Bisma, Salya, dan Durna dengan serempak.
“Semut tampak di kejauhan, gajah tak tampak di pelupuk mata.” Sengkuni tersenyum dingin. “Kalian telah menerima uang korupsi sepuluh M dariku atas pembangunan Balai Sigalagala. Masihkan kalian ingat atas kejahatan kalian itu?”
Wajah Bisma, Salya, dan Durna sontak sepasi matahari tersaput awan tipis. Lantaran tak ada pilihan lain, mereka terpaksa mendukung tujuan Sengkuni. Sekalipun mereka harus menjilat ludah sendiri. Mencabut kesepakatan mereka atas penyerahan bumi Astina dari pihak Korawa pada pihak Pandawa.
Para pemuka yang pada awalnya menyuarakan kebenaran tidak dapat berkutik ketika sang patih Sengkuni berencana membocorkan kasus yang membelit mereka apabila tidak mengikuti rencana politiknya. Seperti halnya kasus Anas Urbaningrum, karena mungkin tidak sesuai dengan keinginan sang oknum maka beberapa orang dibeberkan  keterlibatannya dalam kasus korupsi seperti Mohamad  Nazarudin, Angelina Sondack, dan yang terakhir Anas Urbaningrum.
Setelah ia ditetapkan, secara implisit menjelaskan kepada publik melalui kicauan-kicauan yang menggunakan istilah jawa bernada menyindir pada akun pribadinya di jejaring sosial. Kicauan tersebut  seperti “Adigang, adigung, adiguna”, “Nabok nyilih tangan”.  Dan  pernyataan ketika ia menangguhkan jabatan sebagai ketua umum partai Demokrat bahwa “Ini baru halaman, ...” mengisyaratkan ada permainan oknum dibalik keputusan KPK tersebut.
Dua buah kicauan pendek namun  jika ditelusuri memiilki makna yang cukup dalam. “Adigang, adigung, adiguna” memiliki makna bahwa oknum yang membuat permainan poliltik ini adalah orang yang menggunakan jabatan, kekuasaan, serta pengaruh yang ia miliki saat in i. Sementara kicauan yang berbunyi  Nabok nyilih tangan” bermakna orang yang berbuat si oknum ini tidak bermain secara langsung, melainkan menyuruh pihak lain untuk melaksanakan rencananya.
Senada dengan kisah Anas, pada cerpen yang berjudul “Sengkuni” juga menggambarkan suhu  politik yang semakin memanas di negeri Hastina Pura. Sang Prabu Duryudana yang gelisah karena besok ia harus memberi keputusan  penting pada seorang tokoh pemimpin muda yang dapat  berpotensi menurunkan derajatnya dimata publik. Seorang yang memiliki tujuan mulia mengusung visi perubahan negara Hastina. Namun ada oknum yang tidak sependapat adanya perubahan. Oknum-oknum tersebut dipimpin seorang yang dikenal sebagai “maha julik”, yaitu sang Harya Suman atau lebih populer dengan  nama Sengkuni.
Beberapa hari sebelumnya ternyata ada kebocoran berita, publik sudah mengetahui bahwa negara Astina tidak akan diserahkan kepada para Pandawa. Entah darimana kabar angin itu berhembus, patih Sengkuni mengumpulkan beberapa pejabat yang memiliki wewenang memiliki suara dalam penentuan keputusan Duryudana.
Matahari telah melampaui puncak pepohonan. Tanpa sepengetahuan Korawa, Sengkuni menerima kehadiran beberapa petinggi Astina – Durna, Bisma, dan Salya – di rumahnya yang semegah istana di bilangan Plasajenar. Sesudah kembul bujana, mereka dibawa Sengkuni memasuki salah satu ruangan di rumah itu. Mereka menduduki setiap kursi yang mengelilingi meja bundar.
Tidak lain hanya sebagai formalitas saja, masyarakat telah mengetahui apa yang akan terjadi. Pemimpin muda yang tidak lain adalah Sri Kresna yang terkenal waskita telah mengetahui keputusan yang akan diambil oleh pemerintah Astina Pura.
Menjelang kehadiran duta agung Pandawa – Sri Kresna, Doryudana beserta seluruh petinggi melaksanakan pertemuan di balairung kerajaan. Lantaran bujuk-rayu Sengkuni yang didukung Bisma, Salya, dan Durna; Doryudana mencabut kesepakatan untuk menyerahkan bumi Astina pada Pandawa. Karenanya pada Sri Kresna yang baru hadir, Doryudana berucap lantang, “Bumi Astina akan aku serahkan pada Pandawa, bila Korawa telah menjadi tumbal Kurusetra!”
Halilintar meledak bersama hujan darah yang tumpah dari langit. Bersama Sri Kresna yang meninggalkan balairung tanpa pamit pada Doryudana dan seluruh petinggi Astina. Pulang ke Amarta untuk mengabarkan pada Pandawa, “Baratayuda akan segera digelar di Kurusetra!”
Kejanggalan demi kejanggalan masih menjadi sebuah misteri. Anas ketika mengundurkan diri sebagai ketua umum Partai Demokrat dengan berujar “Ini baru halaman, ...”, ini ibarat seperti sosok Kresna dalam cerpen berjudul “Sengkuni” tersebut. Kresna memiliki semacam kitab bernama Serat Jitabsara yang berisi naskah drama jalannya  perang barata yuda. Peristiwa sedang dialaminya sekarang sudah dijelaskan dalam  kitab tersebut pada bagian pendahuluan. Dan misteri tersebut akan terungkap seiring berjalannya perang di padang kurusetra.
Hari pertama Baratayuda, Korawa unggul di Kurusetra seusai gugurnya Seta di tangan Bisma. Hari ke dua, Bisma gugur di tangan Srikandi. Hari ke tiga, Bogadenta gugur di tangan Bima. Hari ke empat, Sarjakusuma gugur di tangan Abimanyu. Hari ke lima, Dursasana gugur di tangan Bima. Hari ke enam, separoh Korawa gugur tertimpa mayat Gatotkaca yang jatuh dari langit. Hari ke tujuh, Karna gugur di tangan Arjuna. Hari ke delapan; Durna gugur di tangan Trustajumena, dan Salya gugur di tangan Puntadewa.
Sri Wintala menggambarkan secara bagus bentuk aroma perpolitikan dalam cerpennya. Cerpen ini menarik, namun pembaca harus berhati-hati khususnya bagi pembaca yang awam dengan cerita pewayangan Jawa ataupun India. Jangan sampai menjadi anggapan bahwa cerita yang siguguhkan sama dengan cerita yang selama ini dipertunjukkan atau dipahami masyarakat.
Dari puncak bukit, Sengkuni menyaksikan pertarungan hidup-mati antara Doryudana dan Bima. Dalam hati berharap, keduanya gugur bersama di medan laga. Namun saat menyaksikan kepala Doryudana hancur dihantam Bima dengan Kyai Gada Rujakpala, Sengkuni memasuki hutan untuk mengatur siasat. Sekian lama tinggal di hutan; Sengkuni bertemu dengan Krepa, Kartamarma, dan Aswatama. Kepada mereka, Sengkuni yang memastikan kalau Pandawa telah singgah di Astina kemudian bersekutu. Berencana menghabisi keluarga Pandawa di waktu malam.
            Bertepatan gerhana bulan; Sengkuni, Krepa, Kartamarma, dan Aswatama menuju Ibukota Astina. Seusai mengerahkan aji Begananda, mereka memasuki kedhaton. Menghabisi keluarga Pandawa yang tengah terbuai dengan mimpi indah atas kemenangan Baratayuda. Mereka membasuh tubuhnya yang telanjang dengan darah Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Sri Kresna, Setyaki, Udawa, Trustajumena, dan Srikandi sebelum memperkosa Drupadi, Arimbi, dan Larasati. Seusai kematian Drupadi, Arimbi, dan Larasati yang gantung diri di tamansari, Sengkuni naik takhta sebagai raja Astina. Krepa menjabat sebagai penasihat raja. Kartamarma dinobatkan sebagai patih. Aswatama diangkat sebagai panglima.
***
            Kabar tentang penobatan Sengkuni sebagai raja Astina disampaikan Gareng, Petruk, dan Bagong pada Semar yang menyelamatkan seluruh cucu Pandawa di hutan Tikbrasara. Bersama cucu-cucu Pandawa Semar menuju Ibukota Astina. Memberontak pada pemerintahan Sengkuni yang telah membawa kesengsaraan pada seluruh rakyat Astina.
Pada cerita yang bersumber dari pakem Mahabarata baik dari Jawa maupun India dikisahkan dalam perang barata yuda patih Sengkuni mati ditangan Werkudara sebelum Duryudana. Sementara Kerpa, Aswatama, dan Kartamarta melarikan diri ke hutan. Ketiganya mati pada saat Parikesit masih bayi.
Cerpen yang sangat menarik ini adalah semacam  pagelaran wayang mbeling yang tidak secara utuh berorientasi pada pakem pakeliran Jawa atau India. Pekeliran yang lahir dari imaji penulis terinspirasi oleh gejolak realitas politik di Indonesia. Penulis pada akhir karyanya menggambarkan bahwa sifat julig yang dimiliki Sengkuni akan selalu ada berubah menjadi siluman yang singgah di sela-sela ruang dan waktu. Roh jahat yang bakal merasuk ke dalam jiwa setiap pendamba kedudukan dengan membenarkan segala cara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar