Antara Politik Sengkuni
dan Anas Urbaningrum
Telaah Cerpen
berjudul “Sengkuni” karya Sri Wintala Achmad
Oleh: Johan Slamet Raharjo
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir genjanging sang maweh gandrung ong...
Suluk yang biasa dikumandangkan seorang seorang dalang untuk menggambarkan
suasana dunia pewayangan dalam keadaan tidak tentram. Suluk tersebut tanpa
sadar menjalar, melewati sekat-sekat pembatas diantara dua dunia. Kini perbawa suluk telah menyelelimuti bumi
nusantara yang tidak lagi akan ada pergantian penguasa.
Serupa blencong, matahari yang tengah memamerkan sosoknya dari balik
bentangan bukit timur kembali membuka kisah baru tentang kehidupan. Kisah baru
yang sesungguhnya hanya pengulangan-pengulangan kisah lama. Berputar layaknya
zin-yang. Lingkaran hitam-putih yang mengelabu hingga tak terlacak dengan
pandangan mata wadhag dimana batas keduanya. Kejahatan dan kebajikan yang
selalu dibenarkan menurut dasar kepentingan.
Hanya tinggal menunggu beberapa
bulan saja, rakyat akan melihat bagaimana para tokoh agama, kaum bangsawan,
negarawan, dan ksatria berjuang memperebutkan singgasana. Sang raja yang kini
dalam masa akhir pemerintahan tentu tidak ingin pembangunan yang telah rintis
selama dasawarsa ini terbuang percuma. Ia ingin pembangunan itu dilanjutkan
oleh putra mahkota. Namun ada hal membuat raja gusar.
Kegusaran sang raja bersumber
dari beberapa abdi dalem yang oleh masyarakat diketahui tengah
terlibat kasus korupsi. Abdi dalem
yang diduga terlibat dalam kasus korupsi tersebut kebanyakan berasal dari
kalangan partai yang selama ini menjadi tunggangan sang raja. Jika hal terus
dibiarkan maka akan meruntuhkan citra baik dirinya sendiri, keluarga, serta partai
tunggangannya.
Beberapa hari sebelum penetapan
Anas Urbaningrum dengan lantang
menegaskan bahwa dirinyadipihak kebenaran dalam arti sama sekali tidak terlibat
dalam kasus korupsi Hambalang. Bahkan ketika itu ia sempat berucap dengan
tenang yang kurang lebih redaksional sebagai berikut: “Jika sepeser saja Anas
terlibat, Gantung Anas di Monas.” Berbagai tanggapan beredar lebih-lebih saat
bocornya surat Desprindik, serta penetapan dirinya sebagai terduga tersangka
oleh KPK. Publik ingin Anas menepati suatu
hal yang telah diucapkannya.
Mega proyek Hambalang merupakan
salah satu kasus yang saat ini marak diperbincangkan karena telah menyeret
beberapa politisi masuk hotel prodeo Komisi Pemberantasan Korupsi. Proyek yang semula direncanakan untuk membangun wisma bagi para atlit
olahraga agar dapat meningkatkan prestasi anak bangsa disalah gunakan oleh
beberapa oknum untuk meraup pundi-pundi rupiah. Dalam dunia pewayangan dikenal
pula mega proyek pembangunan wisma Bale Sigala-gala ditujukan untuk menghabisi
para Pandawa.
“Tunjukkan dimana letak kejahatanku pada Astina?”
tanya Bisma, Salya, dan Durna dengan serempak.
“Semut tampak di kejauhan, gajah tak tampak di pelupuk
mata.” Sengkuni tersenyum dingin. “Kalian telah menerima uang korupsi sepuluh M
dariku atas pembangunan Balai Sigalagala. Masihkan kalian ingat atas kejahatan
kalian itu?”
Wajah Bisma, Salya, dan Durna sontak sepasi matahari
tersaput awan tipis. Lantaran tak ada pilihan lain, mereka terpaksa mendukung
tujuan Sengkuni. Sekalipun mereka harus menjilat ludah sendiri. Mencabut
kesepakatan mereka atas penyerahan bumi Astina dari pihak Korawa pada pihak
Pandawa.
Para pemuka yang pada awalnya
menyuarakan kebenaran tidak dapat berkutik ketika sang patih Sengkuni berencana
membocorkan kasus yang membelit mereka apabila tidak mengikuti rencana
politiknya. Seperti halnya kasus Anas Urbaningrum, karena mungkin tidak sesuai
dengan keinginan sang oknum maka beberapa orang dibeberkan keterlibatannya dalam kasus korupsi seperti
Mohamad Nazarudin, Angelina Sondack, dan
yang terakhir Anas Urbaningrum.
Setelah ia ditetapkan, secara
implisit menjelaskan kepada publik melalui kicauan-kicauan yang menggunakan
istilah jawa bernada menyindir pada akun pribadinya di jejaring sosial. Kicauan
tersebut seperti “Adigang, adigung, adiguna”, “Nabok
nyilih tangan”. Dan pernyataan ketika ia menangguhkan jabatan
sebagai ketua umum partai Demokrat bahwa “Ini
baru halaman, ...” mengisyaratkan ada permainan oknum dibalik keputusan KPK
tersebut.
Dua buah kicauan pendek
namun jika ditelusuri memiilki makna
yang cukup dalam. “Adigang, adigung,
adiguna” memiliki makna bahwa oknum yang membuat permainan poliltik ini
adalah orang yang menggunakan jabatan, kekuasaan, serta pengaruh yang ia miliki
saat in i. Sementara kicauan yang berbunyi
“Nabok
nyilih tangan” bermakna orang yang berbuat si oknum ini tidak bermain
secara langsung, melainkan menyuruh pihak lain untuk melaksanakan rencananya.
Senada dengan kisah Anas, pada
cerpen yang berjudul “Sengkuni” juga menggambarkan suhu politik yang semakin memanas di negeri
Hastina Pura. Sang Prabu Duryudana yang gelisah karena besok ia harus memberi
keputusan penting pada seorang tokoh
pemimpin muda yang dapat berpotensi
menurunkan derajatnya dimata publik. Seorang yang memiliki tujuan mulia
mengusung visi perubahan negara Hastina. Namun ada oknum yang tidak sependapat
adanya perubahan. Oknum-oknum tersebut dipimpin seorang yang dikenal sebagai “maha julik”, yaitu sang Harya Suman atau
lebih populer dengan nama Sengkuni.
Beberapa hari sebelumnya
ternyata ada kebocoran berita, publik sudah mengetahui bahwa negara Astina
tidak akan diserahkan kepada para Pandawa. Entah darimana kabar angin itu
berhembus, patih Sengkuni mengumpulkan beberapa pejabat yang memiliki wewenang
memiliki suara dalam penentuan keputusan Duryudana.
Matahari telah melampaui puncak pepohonan. Tanpa
sepengetahuan Korawa, Sengkuni menerima kehadiran beberapa petinggi Astina –
Durna, Bisma, dan Salya – di rumahnya yang semegah istana di bilangan
Plasajenar. Sesudah kembul bujana, mereka dibawa Sengkuni memasuki salah satu
ruangan di rumah itu. Mereka menduduki setiap kursi yang mengelilingi meja
bundar.
Tidak lain
hanya sebagai formalitas saja, masyarakat telah mengetahui apa yang akan
terjadi. Pemimpin muda yang tidak lain adalah Sri Kresna yang terkenal waskita
telah mengetahui keputusan yang akan diambil oleh pemerintah Astina Pura.
Menjelang kehadiran duta agung Pandawa – Sri Kresna, Doryudana beserta
seluruh petinggi melaksanakan pertemuan di balairung kerajaan. Lantaran
bujuk-rayu Sengkuni yang didukung Bisma, Salya, dan Durna; Doryudana mencabut
kesepakatan untuk menyerahkan bumi Astina pada Pandawa. Karenanya pada Sri
Kresna yang baru hadir, Doryudana berucap lantang, “Bumi Astina akan aku
serahkan pada Pandawa, bila Korawa telah menjadi tumbal Kurusetra!”
Halilintar meledak bersama hujan darah yang tumpah dari langit. Bersama
Sri Kresna yang meninggalkan balairung tanpa pamit pada Doryudana dan seluruh
petinggi Astina. Pulang ke Amarta untuk mengabarkan pada Pandawa, “Baratayuda
akan segera digelar di Kurusetra!”
Kejanggalan demi kejanggalan
masih menjadi sebuah misteri. Anas ketika mengundurkan diri sebagai ketua umum
Partai Demokrat dengan berujar “Ini baru
halaman, ...”, ini ibarat seperti sosok Kresna dalam cerpen berjudul
“Sengkuni” tersebut. Kresna memiliki semacam kitab bernama Serat Jitabsara yang berisi naskah drama jalannya perang barata yuda. Peristiwa sedang
dialaminya sekarang sudah dijelaskan dalam
kitab tersebut pada bagian pendahuluan. Dan misteri tersebut akan
terungkap seiring berjalannya perang di padang kurusetra.
Hari pertama Baratayuda, Korawa unggul di Kurusetra seusai gugurnya
Seta di tangan Bisma. Hari ke dua, Bisma gugur di tangan Srikandi. Hari ke
tiga, Bogadenta gugur di tangan Bima. Hari ke empat, Sarjakusuma gugur di
tangan Abimanyu. Hari ke lima, Dursasana gugur di tangan Bima. Hari ke enam,
separoh Korawa gugur tertimpa mayat Gatotkaca yang jatuh dari langit. Hari ke
tujuh, Karna gugur di tangan Arjuna. Hari ke delapan; Durna gugur di tangan
Trustajumena, dan Salya gugur di tangan Puntadewa.
Sri Wintala menggambarkan secara
bagus bentuk aroma perpolitikan dalam cerpennya. Cerpen ini menarik, namun
pembaca harus berhati-hati khususnya bagi pembaca yang awam dengan cerita
pewayangan Jawa ataupun India. Jangan sampai menjadi anggapan bahwa cerita yang
siguguhkan sama dengan cerita yang selama ini dipertunjukkan atau dipahami
masyarakat.
Dari puncak bukit, Sengkuni menyaksikan pertarungan
hidup-mati antara Doryudana dan Bima. Dalam hati berharap, keduanya gugur
bersama di medan laga. Namun saat menyaksikan kepala Doryudana hancur dihantam
Bima dengan Kyai Gada Rujakpala, Sengkuni memasuki hutan untuk mengatur siasat.
Sekian lama tinggal di hutan; Sengkuni bertemu dengan Krepa, Kartamarma, dan
Aswatama. Kepada mereka, Sengkuni yang memastikan kalau Pandawa telah singgah
di Astina kemudian bersekutu. Berencana menghabisi keluarga Pandawa di waktu
malam.
Bertepatan gerhana bulan; Sengkuni,
Krepa, Kartamarma, dan Aswatama menuju Ibukota Astina. Seusai mengerahkan aji
Begananda, mereka memasuki kedhaton. Menghabisi keluarga Pandawa yang tengah
terbuai dengan mimpi indah atas kemenangan Baratayuda. Mereka membasuh tubuhnya
yang telanjang dengan darah Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, Sri
Kresna, Setyaki, Udawa, Trustajumena, dan Srikandi sebelum memperkosa Drupadi,
Arimbi, dan Larasati. Seusai kematian Drupadi, Arimbi, dan Larasati yang
gantung diri di tamansari, Sengkuni naik takhta sebagai raja Astina. Krepa
menjabat sebagai penasihat raja. Kartamarma dinobatkan sebagai patih. Aswatama
diangkat sebagai panglima.
***
Kabar tentang penobatan Sengkuni
sebagai raja Astina disampaikan Gareng, Petruk, dan Bagong pada Semar yang
menyelamatkan seluruh cucu Pandawa di hutan Tikbrasara. Bersama cucu-cucu
Pandawa Semar menuju Ibukota Astina. Memberontak pada pemerintahan Sengkuni
yang telah membawa kesengsaraan pada seluruh rakyat Astina.
Pada cerita yang bersumber dari
pakem Mahabarata baik dari Jawa
maupun India dikisahkan dalam perang barata yuda patih Sengkuni mati ditangan
Werkudara sebelum Duryudana. Sementara Kerpa, Aswatama, dan Kartamarta
melarikan diri ke hutan. Ketiganya mati pada saat Parikesit masih bayi.
Cerpen yang sangat menarik ini
adalah semacam pagelaran wayang mbeling yang tidak secara utuh berorientasi
pada pakem pakeliran Jawa atau India. Pekeliran yang lahir dari imaji penulis
terinspirasi oleh gejolak realitas politik di Indonesia. Penulis pada akhir
karyanya menggambarkan bahwa sifat julig yang dimiliki Sengkuni akan selalu ada
berubah menjadi siluman yang singgah di sela-sela ruang dan waktu. Roh jahat
yang bakal merasuk ke dalam jiwa setiap pendamba kedudukan dengan membenarkan
segala cara.
0 komentar:
Posting Komentar