KEHARUAN YANG DIBUAT-BUAT DALAM CERPEN SEPOTONG TANGAN KARYA
RATIH KUMALA
Oleh: Windy Tiarasari Budiono
Membaca judul cerpen ini saja sudah menakutkan. Sepotong Tangan.
Seperti menonton film horor. Namun berbeda dengan film atau novel horor. Ini
adalah cerpen karya Ratih Kumala yang pernah dimuat di harian Republika pada
tanggal 18 Mei 2007. Dari judulnya memang menimbulkan sebuah misteri. Efek
ngeri yang ditimbulkan setelah membaca cerpen ini karena memang terdapatnya
peristiwa yang sebenarnya sudah kerap terjadi akhir-akhir ini, yaitu mutilasi.
Namun efeknya lain saat peristiwa itu dibuat lain dalam kemasan untuk baca.
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh
istrinya. Laki-laki itu bingung setelah secara tiba-tiba ditinggal mati oleh
sang istri. Kebingungan itu lebih dikarenakan suami yang selalu dimanjakan oleh
istri setiap harinya. Pernikahan mereka selama tiga puluh tujuh tahun pun tidak
dikaruniai seorang anak. Oleh karena itu, saat sang istri meninggal ia bingung
atas apa yang harus dia lakukan, termasuk mengurusi mayat istrinya sendiri. Ia
menginginkan istrinya dikuburkan dengan layak tapi tidak tahu bagaimana
caranya. Saat ia meminta pertolongan kepada saudara istrinya, kelakuannya malah
membuat takut orang-orang yang melihatnya. Itu semua karena ia pergi mencari
pertolongan dengan membawa tangan kanan istrinya yang telah ia potong dengan
gergaji mesin.
Secara keseluruhan sepertinya pengarang ingin menampakkan sisi lain
laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya. Menunjukkan bagaimana kondisi dan
ekspresi yang timbul pada laki-laki yang sendiri tanpa istri maupun anak. Pengarang
mengambil latar di kehidupan nyata dengan sedikit mengulas kehidupan sepasang
suami istri. Namun setelahnya hal-hal yang kemudian terjadi seperti di luar
akal pikiran manusia. Lelaki memotong tangan istrinya sendiri dengan alasan
untuk menguatkan dirinya. Perbuatannya itu seolah berlainan dengan kecintaannya
yang sangat besar kepada sang istri. Pengarang kurang menggambarkan secara
detil seberapa besar cintanya kepada istri. Lelaki atau sang suami tidak
melakukan perbuatan besar yang menggambarkan rasa cinta.
Keharuan
yang dinampakkan lelaki juga kurang meyakinkan. Hanya selang beberapa jam dari
kesedihannya karena telah ditinggal mati, ia seperti sudah bisa menguasai diri.
Bisa jadi itu dikarenakan lelaki yang lebih mengandalkan logika daripada
perasaannya sehingga ia bergegas untuk mencari bantuan kepada iparnya. Namun
seberapa besar penguasaan lelaki itu untuk memainkan logika kala orang
terpenting dalam hidupnya dan juga satu-satunya telah meninggal dunia?
Efek
kesepian dan kesunyian bisa muncul saat membaca cerpen di awal. Lelaki yang
hidup hanya berdua dengan istrinya itu dirasa kesepian. Mereka yang tidak punya
anak, memiliki banyak kucing yang tiap hari keluar masuk rumahnya. Kesan sepi
dan kesepian itu terlalu menonjol sehingga saat lelaki itu mencari bantuan ke
rumah iparnya yang tidak diketahui rumahnya itu jauh ataukah dekat, terasa
timpang. Ditambah dengan tidak diceritakan bagaimana ia bisa langsung sampai di
rumah sang ipar. Setelah itu juga langsung dibawa ke kantor polisi. Keramaian
yang tiba-tiba saat berada di rumah ipar dan kantor polisi, sangat aneh untuk
dirasakan. Terasa kedua tempat itu seperti hanya khayal keberadaannya dalam
cerita karena masih terbawa oleh kesepian dan keharuan oleh lelaki tersebut.
Pada akhirnya, keharuan ataupun kesedihan yang dinampakkan dalam cerpen seolah
tidak ada. Itu hanya dibuat-buat dan memang itu dibuat-buat karena ini adalah
sebuah cerpen.
Cerpen adalah salah satu genre sastra di samping puisi dan novel. Sebagai
genre termuda dibandingkan puisi dan novel, cerpen yang dilahirkan sekarang
berbeda dengan cerpen-cerpen dulu yang banyak diciptakan untuk kepentingan
politik sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Layaknya cerpen-cerpen modern
lainnya, Sepotong Tangan karya Ratih Kumala ini dibuat dengan tumpuan
yang berbeda. Indonesia yang kini lebih dikenal sebagai bangsa yang primitif,
terbelakang, dan brutal karena banyaknya teror, korupsi, dan praktek-praktek
politik, tidak membuat Ratih mengangkat fakta yang menghancurkan diri bangsa
itu ke dalam cerpennya.
Korupsi
tidaklah sebagai satu topik yang dia angkat seperti dalam berita yang sedang
marak. Dia tetap memilih konflik batin dalam kehidupan rumah tangga yang ada
dalam keseharian. Kepiawaiannya dalam memilah dan memilih bahasa juga ide dalam
cerpennya, tidak kalah dengan persoalan-persoalan korupsi oleh pejabat publik
dalam pemenuhan rasa lapar perut mereka. Cerita cinta itu masih tidak
habis-habis untuk dibicarakan. Entah dari cinta yang bertepuk sebelah tangan,
cinta tak direstui, cinta mati, dan cinta yang posesif. Tidak ada matinya dan
terus mengalir.
Membaca
cerpen Sepotong Tangan ini membuat saya membaca lebih sering lagi.
Membaca sekali dua kali tidak cukup untuk memahami cerpen ini. Butuh sedikit
pemahaman bagi orang normal atau awam untuk membaca cerpen yang dikira tokohnya
psikopat ini. Tokoh ini bisa dinilai psikopat bagi pembaca karena tokoh Lelaki
yang di cerpen bersifat antisosial. Tidak begitu banyak orang yang bisa dikenal
dalam kehidupannya yang digambarkan dalam cerpen. Dikisahkan kalau keluarga
yang dibina oleh tokoh utama, Lelaki, tidak mengenal baik orang-orang yang ada
di sekitarnya. Terbukti dengan kebingungan yang ditunjukkan oleh tokoh saat
mengetahui istri yang dicintainya itu meninggal.
Alasan
lain yang menimbulkan penilaian psikopat pada diri tokoh adalah sifat tokoh
yang egosentris. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri dalam menghadapi
kesepiannya dengan memotong tangan istrinya. Ia takut jika berjalan sendiri. Ia
tidak kuat menahan sedihnya sendiri. Kesendiriannya lebih dikarenakan sifatnya
yang antisosial. Jadi, antisosial dan egosentris yang ada pada tokoh tersebut
membuat saya menilai bahwa tokoh Lelaki adalah psikopat. Ditambah lagi dengan
kematian istrinya, makin menambah keanehan perilakunya.
Nilai
yang bisa diambil dari cerpen ini adalah kesetiaan tulus yang ada pada diri
tokoh Lelaki. Kesetiaan atau posesif yang hendak dimunculkan adalah sifat
sebelas dua belas. Rasa memiliki. Setia yang membuat tokoh merasa memiliki sang
istri seutuhnya. Lain daripada kesetiaan, saya belum menemukan hal-hal positif
yang bisa diambil dari tokoh Lelaki. Tindakan memutilasi atas nama sayang juga
bukan satu contoh yang bisa dibenarkan. Apa lagi pembenaran diri dari segala
tindakannya itu diperlihatkan di depan seorang anak kecil yang belum bisa
memfilter hal-hal positif atau negatif. Hal-hal yang bisa diambil nilai baiknya
adalah contoh-contoh perbuatan seorang istri yang melayani sang suami setiap
harinya. Melayani dengan sepenuh hati, ikhlas, meski mereka tidak dikarunia
seorang anak.
Sekali
lagi, cerpen ini adalah cerita cinta yang melahirkan sifat posesif tokohnya.
Bukan cerita yang mengangkat bahasan korupsi dengan segala
sindiran-sindirannya. Bukan pula cerita yang telah ketinggalan zaman karena
menjadikan cinta sebagai topiknya. Cinta ada dalam hidup dan mati tokohnya.
Cerpen ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur yang membangunnya. Cerpen
diawali dengan cerita lelaki yang mendapati istrinya telah tidak bernyawa lagi.
Kenyataan dalam cerpen tersebut seolah ditutupi oleh kisah flashback
yang diberikan pengarang. Saat sang istri tiap pagi menyiapkan segala keperluan
sang suami. Namun, kalimat pertama yang mengawali cerpen seharusnya sudah jelas
menandakan bahwa sang istri telah meninggal. Pagi saat sang istri tak lagi
bangun dari tidur, ia menunggu cukup lama di samping perempuan tua itu.
Pengarang malah membuat tokoh lelaki itu sendiri tidak tahu menahu kalau
istrinya telah meninggal. Padahal sejak awal sudah ada kalimat pembuka seperti
itu. Ada kata “tak lagi bangun” yang mengindikasikan bahwa sang istri memang
tidak akan bangun lagi karena sudah meninggal. Berbeda kalau pengarang
menggunakan kata “tak juga bangun” yang bisa membuat penilaian kepada pembaca
bahwa sang istri mungkin hanyalah tidur dan tidak bisa bangun seperti biasanya
karena disebabkan hal lain.
Selain
itu, orang bersalah yang akan diharapkan pengakuannya harusnya ditempatkan
langsung di ruang interogasi. Polisi akan menjaga secara ketat orang yang
dianggap tersangka dalam suatu kasus.
Lain halnya dengan keadaan yang ada dalam cerpen. Si Lelaki yang telah dianggap
tersangka, bahkan terdakwa, hanya diberi keterangan telah dibawa ke kantor polisi. Ditambah lagi banyaknya
wartawan yang tiba-tiba ada, menambah kejanggalan kondisi tersebut. Tempat
krusial seperti kantor polisi biasanya jarang-jarang para petugas mempersilakan
wartawan untuk masuk. Bisa jadi hal itu akan mengganggu jalannya pemeriksaan.
Keterangan akan suatu perkara biasanya akan diinfokan oleh pihak humasnya saja.
Atau bahkan, suatu permasalahan tersebut tidak bisa dijadikan konsumsi umum
oleh masyarakat.
Di
akhir cerpen, gadis kecil yang merupakan keponakan si Lelaki, menanyainya
tentang alasan telah membunuh istrinya sendiri. Si Lelaki memberikan penjelasan
panjang lebar layaknya ia memberikan penjelasan kepada petugas interogasi di
kantor polisi. Bicara dengan gadis yang masih kecil kenapa harus disamakan
dengan memberikan penjelasan kepada petugas kepolisian? Dalam cerpen tersebut,
seorang anak kecil dipaksa mengerti bagaimana penderitaan atau beban seorang
suami yang ditinggal oleh istri tercintanya. Hal itu menunjukkan betapa
kesepiannya si Lelaki karena tidak ada orang yang bisa diajaknya berbagi cerita
dan mampu mempercayainya. Tetap saja, gadis kecil hanya gadis kecil yang belum bisa
dipasoki omongan yang frontal. Apakah tujuannya membeberkan semua itu demi
mengajak si gadis kecil memilih laki-laki seperti pamannya untuk dinikahinya
kelak? Mungkin saja.
Menurut saya pribadi, membaca cerpen ini tentunya akan menimbulkan
prespektif pemikiran yang berbeda dari setiap pembacanya. Justru disitulah
letak keunikan cerpen ini. Cerpen ini menyajikan sebuah kesedihan dengan gaya
yang berbeda. Tentunya tidak ada larangan bagi siapapun maupun penulis sendiri
dengan upayanya untuk menggambarkan sebuah hal yang mungki bagi sebagian orang
adalah hal yang biasa, namun Ratih Kumala seolah ingin mengajak kita melihat
dengan gaya pandang yang berbeda pula. Cerpen yang menarik, dengan gaya
penulisan yang dimiliki oleh Ratih Kumala..
0 komentar:
Posting Komentar