Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEHARUAN YANG DIBUAT-BUAT DALAM CERPEN SEPOTONG TANGAN KARYA RATIH KUMALA



KEHARUAN YANG DIBUAT-BUAT DALAM CERPEN SEPOTONG TANGAN KARYA RATIH KUMALA

Oleh: Windy Tiarasari Budiono


Membaca judul cerpen ini saja sudah menakutkan. Sepotong Tangan. Seperti menonton film horor. Namun berbeda dengan film atau novel horor. Ini adalah cerpen karya Ratih Kumala yang pernah dimuat di harian Republika pada tanggal 18 Mei 2007. Dari judulnya memang menimbulkan sebuah misteri. Efek ngeri yang ditimbulkan setelah membaca cerpen ini karena memang terdapatnya peristiwa yang sebenarnya sudah kerap terjadi akhir-akhir ini, yaitu mutilasi. Namun efeknya lain saat peristiwa itu dibuat lain dalam kemasan untuk baca.
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya. Laki-laki itu bingung setelah secara tiba-tiba ditinggal mati oleh sang istri. Kebingungan itu lebih dikarenakan suami yang selalu dimanjakan oleh istri setiap harinya. Pernikahan mereka selama tiga puluh tujuh tahun pun tidak dikaruniai seorang anak. Oleh karena itu, saat sang istri meninggal ia bingung atas apa yang harus dia lakukan, termasuk mengurusi mayat istrinya sendiri. Ia menginginkan istrinya dikuburkan dengan layak tapi tidak tahu bagaimana caranya. Saat ia meminta pertolongan kepada saudara istrinya, kelakuannya malah membuat takut orang-orang yang melihatnya. Itu semua karena ia pergi mencari pertolongan dengan membawa tangan kanan istrinya yang telah ia potong dengan gergaji mesin.
Secara keseluruhan sepertinya pengarang ingin menampakkan sisi lain laki-laki yang ditinggal mati oleh istrinya. Menunjukkan bagaimana kondisi dan ekspresi yang timbul pada laki-laki yang sendiri tanpa istri maupun anak. Pengarang mengambil latar di kehidupan nyata dengan sedikit mengulas kehidupan sepasang suami istri. Namun setelahnya hal-hal yang kemudian terjadi seperti di luar akal pikiran manusia. Lelaki memotong tangan istrinya sendiri dengan alasan untuk menguatkan dirinya. Perbuatannya itu seolah berlainan dengan kecintaannya yang sangat besar kepada sang istri. Pengarang kurang menggambarkan secara detil seberapa besar cintanya kepada istri. Lelaki atau sang suami tidak melakukan perbuatan besar yang menggambarkan rasa cinta.
Bahkan dengan dialog pun, rasa cinta itu tidak dinampakkan. Secara instan, pengarang hanya mengungkapkannya. Apa lagi keinginan lelaki untuk menguburkan jasad istrinya secara layak, saya rasa itu hanya ungkapan klise. Bagaimana bisa keinginan itu terwujud dengan kondisi tangan istrinya yang telah ia potong sendiri? Menurut sepahaman saya, dikuburkan dengan layak itu tidak hanya dengan upacara, dihadiri orang-orang sekitar untuk membantu mengurus, mengubur, tapi juga kondisi jasad itu sendiri. Jasad orang yang sangat dicintai harusnya dijaga bukan malah dimutilasi seperti itu. Saya merasa kondisi kejiwaan si lelaki sedikit terguncang dengan kematian istrinya secara mendadak. Kondisi psikisnya belum siap untuk menerima kematian sang istri sehingga berdampak seperti itu.
            Keharuan yang dinampakkan lelaki juga kurang meyakinkan. Hanya selang beberapa jam dari kesedihannya karena telah ditinggal mati, ia seperti sudah bisa menguasai diri. Bisa jadi itu dikarenakan lelaki yang lebih mengandalkan logika daripada perasaannya sehingga ia bergegas untuk mencari bantuan kepada iparnya. Namun seberapa besar penguasaan lelaki itu untuk memainkan logika kala orang terpenting dalam hidupnya dan juga satu-satunya telah meninggal dunia?
            Efek kesepian dan kesunyian bisa muncul saat membaca cerpen di awal. Lelaki yang hidup hanya berdua dengan istrinya itu dirasa kesepian. Mereka yang tidak punya anak, memiliki banyak kucing yang tiap hari keluar masuk rumahnya. Kesan sepi dan kesepian itu terlalu menonjol sehingga saat lelaki itu mencari bantuan ke rumah iparnya yang tidak diketahui rumahnya itu jauh ataukah dekat, terasa timpang. Ditambah dengan tidak diceritakan bagaimana ia bisa langsung sampai di rumah sang ipar. Setelah itu juga langsung dibawa ke kantor polisi. Keramaian yang tiba-tiba saat berada di rumah ipar dan kantor polisi, sangat aneh untuk dirasakan. Terasa kedua tempat itu seperti hanya khayal keberadaannya dalam cerita karena masih terbawa oleh kesepian dan keharuan oleh lelaki tersebut. Pada akhirnya, keharuan ataupun kesedihan yang dinampakkan dalam cerpen seolah tidak ada. Itu hanya dibuat-buat dan memang itu dibuat-buat karena ini adalah sebuah cerpen.
Cerpen adalah salah satu genre sastra di samping puisi dan novel. Sebagai genre termuda dibandingkan puisi dan novel, cerpen yang dilahirkan sekarang berbeda dengan cerpen-cerpen dulu yang banyak diciptakan untuk kepentingan politik sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Layaknya cerpen-cerpen modern lainnya, Sepotong Tangan karya Ratih Kumala ini dibuat dengan tumpuan yang berbeda. Indonesia yang kini lebih dikenal sebagai bangsa yang primitif, terbelakang, dan brutal karena banyaknya teror, korupsi, dan praktek-praktek politik, tidak membuat Ratih mengangkat fakta yang menghancurkan diri bangsa itu ke dalam cerpennya.
            Korupsi tidaklah sebagai satu topik yang dia angkat seperti dalam berita yang sedang marak. Dia tetap memilih konflik batin dalam kehidupan rumah tangga yang ada dalam keseharian. Kepiawaiannya dalam memilah dan memilih bahasa juga ide dalam cerpennya, tidak kalah dengan persoalan-persoalan korupsi oleh pejabat publik dalam pemenuhan rasa lapar perut mereka. Cerita cinta itu masih tidak habis-habis untuk dibicarakan. Entah dari cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta tak direstui, cinta mati, dan cinta yang posesif. Tidak ada matinya dan terus mengalir.
            Membaca cerpen Sepotong Tangan ini membuat saya membaca lebih sering lagi. Membaca sekali dua kali tidak cukup untuk memahami cerpen ini. Butuh sedikit pemahaman bagi orang normal atau awam untuk membaca cerpen yang dikira tokohnya psikopat ini. Tokoh ini bisa dinilai psikopat bagi pembaca karena tokoh Lelaki yang di cerpen bersifat antisosial. Tidak begitu banyak orang yang bisa dikenal dalam kehidupannya yang digambarkan dalam cerpen. Dikisahkan kalau keluarga yang dibina oleh tokoh utama, Lelaki, tidak mengenal baik orang-orang yang ada di sekitarnya. Terbukti dengan kebingungan yang ditunjukkan oleh tokoh saat mengetahui istri yang dicintainya itu meninggal.
            Alasan lain yang menimbulkan penilaian psikopat pada diri tokoh adalah sifat tokoh yang egosentris. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri dalam menghadapi kesepiannya dengan memotong tangan istrinya. Ia takut jika berjalan sendiri. Ia tidak kuat menahan sedihnya sendiri. Kesendiriannya lebih dikarenakan sifatnya yang antisosial. Jadi, antisosial dan egosentris yang ada pada tokoh tersebut membuat saya menilai bahwa tokoh Lelaki adalah psikopat. Ditambah lagi dengan kematian istrinya, makin menambah keanehan perilakunya.
            Nilai yang bisa diambil dari cerpen ini adalah kesetiaan tulus yang ada pada diri tokoh Lelaki. Kesetiaan atau posesif yang hendak dimunculkan adalah sifat sebelas dua belas. Rasa memiliki. Setia yang membuat tokoh merasa memiliki sang istri seutuhnya. Lain daripada kesetiaan, saya belum menemukan hal-hal positif yang bisa diambil dari tokoh Lelaki. Tindakan memutilasi atas nama sayang juga bukan satu contoh yang bisa dibenarkan. Apa lagi pembenaran diri dari segala tindakannya itu diperlihatkan di depan seorang anak kecil yang belum bisa memfilter hal-hal positif atau negatif. Hal-hal yang bisa diambil nilai baiknya adalah contoh-contoh perbuatan seorang istri yang melayani sang suami setiap harinya. Melayani dengan sepenuh hati, ikhlas, meski mereka tidak dikarunia seorang anak.
            Sekali lagi, cerpen ini adalah cerita cinta yang melahirkan sifat posesif tokohnya. Bukan cerita yang mengangkat bahasan korupsi dengan segala sindiran-sindirannya. Bukan pula cerita yang telah ketinggalan zaman karena menjadikan cinta sebagai topiknya. Cinta ada dalam hidup dan mati tokohnya.
Cerpen ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur yang membangunnya. Cerpen diawali dengan cerita lelaki yang mendapati istrinya telah tidak bernyawa lagi. Kenyataan dalam cerpen tersebut seolah ditutupi oleh kisah flashback yang diberikan pengarang. Saat sang istri tiap pagi menyiapkan segala keperluan sang suami. Namun, kalimat pertama yang mengawali cerpen seharusnya sudah jelas menandakan bahwa sang istri telah meninggal. Pagi saat sang istri tak lagi bangun dari tidur, ia menunggu cukup lama di samping perempuan tua itu. Pengarang malah membuat tokoh lelaki itu sendiri tidak tahu menahu kalau istrinya telah meninggal. Padahal sejak awal sudah ada kalimat pembuka seperti itu. Ada kata “tak lagi bangun” yang mengindikasikan bahwa sang istri memang tidak akan bangun lagi karena sudah meninggal. Berbeda kalau pengarang menggunakan kata “tak juga bangun” yang bisa membuat penilaian kepada pembaca bahwa sang istri mungkin hanyalah tidur dan tidak bisa bangun seperti biasanya karena disebabkan hal lain.
            Selain itu, orang bersalah yang akan diharapkan pengakuannya harusnya ditempatkan langsung di ruang interogasi. Polisi akan menjaga secara ketat orang yang dianggap tersangka  dalam suatu kasus. Lain halnya dengan keadaan yang ada dalam cerpen. Si Lelaki yang telah dianggap tersangka, bahkan terdakwa, hanya diberi keterangan telah dibawa  ke kantor polisi. Ditambah lagi banyaknya wartawan yang tiba-tiba ada, menambah kejanggalan kondisi tersebut. Tempat krusial seperti kantor polisi biasanya jarang-jarang para petugas mempersilakan wartawan untuk masuk. Bisa jadi hal itu akan mengganggu jalannya pemeriksaan. Keterangan akan suatu perkara biasanya akan diinfokan oleh pihak humasnya saja. Atau bahkan, suatu permasalahan tersebut tidak bisa dijadikan konsumsi umum oleh masyarakat.
            Di akhir cerpen, gadis kecil yang merupakan keponakan si Lelaki, menanyainya tentang alasan telah membunuh istrinya sendiri. Si Lelaki memberikan penjelasan panjang lebar layaknya ia memberikan penjelasan kepada petugas interogasi di kantor polisi. Bicara dengan gadis yang masih kecil kenapa harus disamakan dengan memberikan penjelasan kepada petugas kepolisian? Dalam cerpen tersebut, seorang anak kecil dipaksa mengerti bagaimana penderitaan atau beban seorang suami yang ditinggal oleh istri tercintanya. Hal itu menunjukkan betapa kesepiannya si Lelaki karena tidak ada orang yang bisa diajaknya berbagi cerita dan mampu mempercayainya. Tetap saja, gadis kecil hanya gadis kecil yang belum bisa dipasoki omongan yang frontal. Apakah tujuannya membeberkan semua itu demi mengajak si gadis kecil memilih laki-laki seperti pamannya untuk dinikahinya kelak? Mungkin saja.
Menurut saya pribadi, membaca cerpen ini tentunya akan menimbulkan prespektif pemikiran yang berbeda dari setiap pembacanya. Justru disitulah letak keunikan cerpen ini. Cerpen ini menyajikan sebuah kesedihan dengan gaya yang berbeda. Tentunya tidak ada larangan bagi siapapun maupun penulis sendiri dengan upayanya untuk menggambarkan sebuah hal yang mungki bagi sebagian orang adalah hal yang biasa, namun Ratih Kumala seolah ingin mengajak kita melihat dengan gaya pandang yang berbeda pula. Cerpen yang menarik, dengan gaya penulisan yang dimiliki oleh Ratih Kumala..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar