Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Dulu Bangga Sekarang Merana: Wujud Kekecewaan Pada Bangsa dalam Sajak “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” Taufik Ismail



Dulu Bangga Sekarang Merana: Wujud Kekecewaan Pada Bangsa dalam Sajak “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” Taufik Ismail

Oleh: Gamal Kusuma Zamahsari

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan sedikit kisah, ketika para mahasiswa berkumpul berteriak menyerukan satu kata di depan DPR pada malam bulan mei tahun 1998. Menuliskan kata bernada kasar pada papan-papan di tangan mereka. Semangat berkobar menyampaikan aspirasi, berlari mengepalkan tangan tak peduli ujian semester kala itu, bersama ribuan kawan dari berbagai penjuru tak peduli dikejar tertembus peluru, jatuh tersungkur di halaman kampus dihantam para penjaga yang bersenjatakan bedil dan kawannya. Hanya menginginkan satu kata, satu kata yang merubah keadaan, satu kata indah bagi mereka yang memperjuangkannya. Aspirasi rakyat yang menginginkan eksistensi diri mereka, tidak terkekang dalam kurungan bernada otoriter pemimpin mereka. Kebebasan agar dapat menghirup udara segar demi masa depan negara dan bangsa, reformasi pemerintahan Indonesia. Namun, apakah itu dapat berjalan mulus jika masih ada sisa lubang-lubang yang mungkin susah untuk menambalnya karena banyak jumlahnya, menutup satu lubang dengan menggali tanah di sampingnya sehingga melahirkan lubang baru. Kini rasa percaya diri kurang tumbuh pada diri anak bangsa, karena mewarisi kebiasaan gali lubang tutup lubang dengan meminjam sen demi sen yang menjadi warisan.
Warisan yang seharusnya diharapkan kebanyakan ahli waris, namun ini justru menyakitkan karena ahli warislah yang harus berjuang menutupi seluruh hutang bapaknya. Sungguh, harta kekayaan bangsa ini tak ternilai baik yang terbentang di atas buminya, yang terkandung dalam perutnya serta yang berenang di dalam samudranya. Namun, kekayaan itu seakan sirna karena kekayaan itu tergantung dalam pegadaian dunia dan jatuh pada negara-negara besar multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi, mereka ibarat melakukan kenduri bersama. Bisa dikatakan dengan berat hati dari penjajahan berbau mesiu, desingan, serta ledakan memasuki era penjajahan baru yang halus dan harmoni.  
Dulu bangsa ini harum namanya karena negara-negara lain kagum akan revolusinya. Perjuangan anak bangsa, contohnya Bung Tomo dengan semangatnya berteriak menggelora di telinga pemuda Surabaya di kala itu berjuang demi kemerdekaan dan revolusi bangsa Indonesia.
                                               
***
             I 
 Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
               Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
               Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
               Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
               Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
               Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
               Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
               Whitefish Bay kampung asalnya
               Kagum dia pada revolusi Indonesia
               Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
               Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
               Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
               Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
               Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
               Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
               Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
               Mengapa sering benar aku merunduk kini

Dari penggalan sajak Malu (Aku) Jadi orang Indonesia  di atas dapat kita hubungkan dengan biografi Tauif Ismail. Beliau menempuh pendidikan tidak hanya di satu daerah saja, ketika beliau SD beliau menempuh sekolah rakyat atau disingkat SR di Semarang kemudian melajutkan  ke jenjang SMP di Bukit Tinggi Sumatra Barat, pada jenjang SMA beliau tempuh di Pekalongan Jawa Tengah. Selanjutnya beliau menempuh pendidikan menengah atas yang kedua di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS melalui jalur beasiswa pada tahun 1956—1957. Setelah pulang ke Indonesia beliau menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963.
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
1956 dalam penggalan sajak di atas merupakan tahun ketika beliau mendapatkan beasiswa, namun terasa janggal ketika membaca “Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia” jika dihitung dari tahun kemerdekaan Indonesia  1945 jaraknya sebelas tahun namun dalam sajak di atas tertulis enam tahun. Saya sebagai pembaca mengalami kebingungan apa arti dari Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia”. Apakah terjadi kesalahan dalam menghitung ataukah memang disengaja dan enam tahun tersebut merupakan tahun spesial. Namun, beliau adalah seorang yang pintar dari sisi pembaca saya berasumsi enam tahun dalam sajak Malu (aku) Jadi Orang Indonesia ini memiliki arti tersendiri. Memang benar, pada tahun 1950 Indonesia baru diakui kedaulatannya  tepatnya pada KMB (Konferensi Meja Bundar) berlangsung. Secara keseluruhan penggalan sajak di atas menceritakan betapa bangganya beliau sebagai orang Indonesia, beliau bangga bangsanya berhasil merdeka, beliau bangga menceritakannya kepada orang asing yakni teman sekelasnya Thomas Stone. Namun pada dua larik terakhir penggalan di atas mulai menunjukkan bahwa beliau malu, “Dulu dadaku tegap bila aku berdiri, Mengapa sering benar aku merunduk kini.”

               II
               Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
               Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
               Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
               Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
               Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
               Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
               Dan kubenamkan topi baret di kepala
               Malu aku jadi orang Indonesia.

Dari penggalan sajak bagian II  beliau, saya dapat menangkap betapa malunya beliau, ketika dulu dengan PD (percaya diri) beliau ceritakan kepada temannya, inilah bangsaku yang sanggup merdeka dari jajahan Belanda, namun kini “Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak, Hukum tak tegak, doyong berderak-derak” dan di akhiri “Dan kubenamkan topi baret di kepala, Malu aku jadi orang Indonesia”. Beliau malu dengan negara-negara lain sebagaimana tercermin dalam “Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,  Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza, Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia, Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata, Dan kubenamkan topi baret di kepala”.

III

               Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
               Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi 
               berterang-terang curang susah dicari tandingan,
               Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu 
               dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek 
               secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
               Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, 
               senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan 
               peuyeum dipotong birokrasi 
               lebih separuh masuk kantung jas safari,
               Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, 
               anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, 
               menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, 
               agar orangtua mereka bersenang hati,
               Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum 
               sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas 
               penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
               Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan 
               sandiwara yang opininya bersilang tak habis 
               dan tak utus dilarang-larang,
               Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata 
               supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
               Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, 
               ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, 
               sekarang saja sementara mereka kalah, 
               kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka 
               oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
               Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia 
               dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, 
               kabarnya dengan sepotong SK 
               suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
               Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, 
               lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
               Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, 
               fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
               Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat 
               jadi pertunjukan teror penonton antarkota 
               cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita 
               tak pernah bersedia menerima skor pertandingan 
               yang disetujui bersam
a
   Di negeriku rupanya sudah diputuskan 
               kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, 
               lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
               karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, 
               sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
               Di negeriku ada pembunuhan, penculikan 
               dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, 
               Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, 
               Nipah, Santa Cruz dan Irian, 
               ada pula pembantahan terang-terangan 
               yang merupakan dusta terang-terangan 
               di bawah cahaya surya terang-terangan, 
               dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai 
               saksi terang-terangan,
               Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, 
               tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang 
               menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Pada penggalan sajak bagian III tercermin betapa kacaunya bangsa ini, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) meraja lela, suap menyuap baik di pengadilan bahkan perhitungan suara pada pemilu yang seakan-akan hanya gurauan anak TK. Beliau geram atas tingkah polah para pejabat dan yang berwenang yang melakukan tindak kriminal kelas kakap yang terselubung dalam jas safari mereka. Beliau berdoa dan yakin bahwa mereka yang melakukan hal keji itu akan masuk neraka. Pada akhir penggalan sajak di atas Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,  tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang,   menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.menggambarkan bahwa bangsa ini sudah kehilangan akhlak mereka memiliki agama dan kitab suci sebagai pedoman hidup namun tidak dalam kehidupan sehari-hari apakah ini yang disebut agama di atas KTP. Saya megibaratkan bahwa barang elektronik saja memiliki buku panduan penggunaan, begitu juga manusia jika salah membaca pedoman atau panduan dalam hidupnya pasti akan rusak berantakan.

               IV
               Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
               Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
               Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
               Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza 
               Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
               Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
               Dan kubenamkan topi baret di kepala
               Malu aku jadi orang Indonesia.

Akhlak lah yang patut digaris bawahi dan ditebalkan, beliau mengulang kata-kata di atas dalam bait ke II dan ke IV, menunjukkan betapa malunya beliau menjadi orang Indonesia.

***
Demikianlah, sajak Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufik Ismail menggambarkan betapa malu beliau mejadi orang Indonesia. Pada mulanya beliau bangga. Namun, di masa kini beliau melihat betapa buruk dan kacaunya bangsa ini karena kelakuan putra bangsa yang keji yang tidak menghargai dan melihat bagaimana dulu para pejuang merebut dan mempertahankan kehormatan bangsanya. Akhlak mulia sangat dibutuhkan bangsa ini, bangsa ini membutuhkan generasi yang berakhlak sesuai dengan ajaran agama dalam kitab suci.

DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia. Tragedi Trisakti. (on line). Wikipedia.co.id, diakses 21 Maret 2013
Wikipedia. Taufik Ismail. (on line). Wikipedia.co.id, diakses 21 Maret 2013
Wikipedia. Perempuran Surabaya 10 November. (on line). Wikipedia.co.id, diakses 21 Maret 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar