DEMOKRASI IDEAL ALA
AGUS R. SARJONO
DALAM SAJAK “DEMOKRASI
DUNIA KETIGA”
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari
Kalian
harus demokratis.
Baik, tapi jauhkan tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau tahu.
Tutup mulut!
Soal tinjuku mau kukepalkan,
kusimpan di saku atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Baik, tapi jauhkan tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau tahu.
Tutup mulut!
Soal tinjuku mau kukepalkan,
kusimpan di saku atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya
kamu harus demokratis.
Lagi pula kita tidak sedang bicara soal aku,
tapi soal kamu yaitu kamu harus demokratis!
Tentu saja
Lagi pula kita tidak sedang bicara soal aku,
tapi soal kamu yaitu kamu harus demokratis!
Tentu saja
saya
setuju, bukankah selama ini saya telah mencoba.
Sudahlah!
Kami tak mau dengar apa alasannya
Tak perlu berkilah dan buang waktu.
Aku perintahkan kamu untuk demokratis, habis perkara!
Sudahlah!
Kami tak mau dengar apa alasannya
Tak perlu berkilah dan buang waktu.
Aku perintahkan kamu untuk demokratis, habis perkara!
Ingat
gerombolan demokrasi yang kami galang akan melindasmu habis.
Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Awas
kalau tidak!
Puisi di atas merupakan
salah satu puisi Agus R. Sarjono yang dimuat di Tangan Besi, Antologi Puisi
Reformasi. Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi merupakan antologi
puisi dari beberapa pengarang seperti WS. Rendra, Acep Zamzam Noor, Ahda Imran,
Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari, Diro Aritonang, Eriyandi Budiman, Juniarso
Ridwan, Muhammad Ridlo ‘Eisy, Nenden Lilis A., Sonni Farid Maulana, Yessi Anwar,
dan Agus R. Sarjono (Rendra, 2005). Demokrasi Dunia Ketiga merupakan
puisi yang terlahir pada tahun 1998, dimana tahun tersebut alm. Bapak Soeharto
masih menjabat menjadi Presiden RI. Puisi di atas adalah salah satu puisi yang blak-blakan,
sesuai dengan gaya penulisan Agus R. Sarjono yang blak-blakan. Mengapa
Agus R. Sarjono menulis puisi seperti tersebut? Semasa kuliahnya di Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Bandung, Agus R. Sarjono terlibat aktif dalam
kelompok Diskusi Lingkar yang mendiskusikan berbagai isu sosial, politik,
budaya, dan ekonomi pada masa Orde Baru (Wikipedia, 2011). Maka tidak heran
jika sisi “pemberontak” dapat dilihat dari puisi Demokrasi Dunia Ketiga ini.
Lihat saja Sajak Palsu, Di Sebuah Restoran Indonesia Juni 1998, Air
Mata Hujan, dan lain sebagainya. Anda akan menemukan keliaran Agus dalam
menyampaikan kritik sosialnya secara dramatis di baris ke baris. Bagaimana Agus
menuliskan keliarannya itu dalam puisi Demokrasi Dunia Ketiga? Berikut
akan diuraikan bagian per bagian dari puisi tersebut.
Jika melihat latar
belakang masalahnya, maka puisi ini berisi kritikan dan sindiran terhadap
penerapan demokrasi di pemerintahan Indonesia tahun 1998. Di tahun 1998 terjadi
krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah (Wikipedia,
2013). Hal ini memperbesar ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan
pimpinan Soeharto. Hal inilah yang membuat mahasiswa dari berbagai organ aksi
mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Agus sendiri, sebagai aktivis
politik, sosial, dan budaya dari kelompok Diskusi Lingkar, menyikapi masalah
tersebut dengan mengkritik penerapan demokrasi yang belum benar. Demokrasi yang
ditetapkan di tahun 1998 adalah demokrasi Pancasila. Sayangnya, muncul kesan
bahwa demokrasi ini tercipta hanya untuk menjaga citra “negara demokrasi”. Hal
ini terbukti dari praktik demokrasi diktatorial yang masih diterapkan dan digencarkan.
Hingga muncullah krisis moneter yang memperburuk kondisi keuangan masyarakat
Indonesia. Setiap baris puisi yang ia tulis merupakan pemberontakannya terhadap
praktik demokrasi di tahun 1998 kepada pemerintah.
Kalian harus demokratis.
Baik, tapi jauhkan tinju yang kau
kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau tahu
Tutup mulut!
Soal tinjuku mau kukepalkan,
kusimpan di saku atau kutonjokkan ke
hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Kekuatan pemberontakan Agus dapat dirasakan pada kata-kata penegasan dan
perintah seperti harus, tutup mulut, kukepalkan, kutonjokkan
ke hidungmu, terserah padaku. Agus berani menuntut pemerintah (kalian)
untuk berdemokratis, walaupun ia tahu bahwa ia bisa mendapatkan sanksi tinju (dipukul
atau dibunuh), ia tetap berjuang melawan pemerintah. Memang, karena
diktaktorship, siapapun yang melawan Presiden akan mendapatkan perlakuan yang
tidak pantas seperti dihilangkan, dipukul, dipenjara, dan lain sebagainya.
Namun, hal itu tidak menjadi kendala bagi Agus. Bahkan, ia juga berani untuk
mengirim balik tinju itu kepada pemerintah. Sikap ini menunjukkan bahwa Agus,
dan mungkin demonstran lainnya, sudah mencapai titik puncak emosi. Mereka siap
untuk melawan juga. Dari baris pertama ini hingga baris ketujuh dapat dirasakan
sikap Agus yang tegas dan tidak takut untuk melawan pemerintah.
Bagaimana dengan baris-baris berikutnya?
Pokoknya kamu harus demokratis.
Lagipula kita tidak sedang bicara
soal aku,
Tapi soal kamu yaitu kamu harus
demokratis!
Pemberontakan
Agus terhadap pemerintah semakin ditegaskan di baris kedelapan hingga
kesepuluh. Penggunaan kata kamu yang ditujukan kepada pemerintahan
menjadi simbol bahwa Agus tidak takut untuk memberi peringatan kepada
pemerintah. Ditambah pemilihan kata harus yang lebih berarti pemaksaan
atau penuntutan. Penggunaan frasa harus demokratis diulang dua kali pada
baris kedepalan dan kesepuluh. Memang tujuan utama Agus dari puisi ini adalah
menuntut pemerintah untuk melakukan demokrasi yang benar. Sikap tegas dan keras
Agus juga ditunjukkan pada baris-baris berikutnya
Tentu saja
saya setuju, bukankah
selama ini saya telah mencoba.
Sudahlah!
Kami tak mau dengar apa alasannya
Tak perlu berkilah dan buang waktu.
Sudahlah!
Kami tak mau dengar apa alasannya
Tak perlu berkilah dan buang waktu.
Aku perintahkan kamu
untuk demokratis, habis perkara!
Pada baris ketigabelas hingga keenambelas, Agus mulai mengungkapkan latar
belakang mengapa ia memaksa pemerintah untuk melakukan sikap demokratis yang
benar. Demokrasi yang benar, bila dilaksanakan dengan baik, dapat menyelesaikan
kasus (perkara) yang sedang terjadi. Kasus yang sedang terjadi
saat itu adalah krisis moneter yang menyengsarakan masyarakat, dimana nilai
mata uang sangat tinggi sehingga yang kaya menjadi lebih kaya dan yang miskin
menjadi lebih miskin. Ia menuliskan gagasannya secara lantang dan tegas,
sehingga menimbulkan kesan yang berani, tidak takut. Di baris-baris berikutnya,
Agus menggunakan diksi yang lebih berani dan lebih tegas untuk mengungkapkan
gagasannya.
Ingat gerombolan demokrasi yang kami
galang akan melindasmu habis.
Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis
Awas kalau tidak!
Keberanian Agus untuk melakukan pemberontakan akan menjadi lebih liar,
seperti yang ia tulis pada baris ketujuhbelas. Gerombolan demokrasi yang
kami galang merupakan ungkapan dari mahasiswa yang berbondong-bondong
melakukan demo demi menuntut adanya penegakan demokrasi yang benar dari
pemerintah. Bahkan mungkin tidak hanya mahasiswa saja, melain demonstran lain
yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Sekali lagi, Agus menekankan
kata “demokratis” untuk pemerintah dengan mengulang frasa kamu harus
demokratis. Pengulangan frasa kamu harus demokratis itu sebenarnya
membuat tanda tanya besar. Bagaimana demokrasi yang ideal menurut Agus sendiri?
Tentu saja demokrasi yang ideal
adalah demokrasi yang sesuai dengan sistemnya, yaitu memberikan kebebasan
berpendapat bagi rakyat. Dengan begitu, kekuasaan absolut satu pihak melalui
tirani, kediktatoran pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Namun,
praktiknya di masa kepemimpinan Soeharto, demokrasi itu tidak terjadi. Malah
demokrasi hanya menjadi formalitas dan tidak diterapkan dengan baik. Otoriter
dan diktaktor masih menjadi identitas utama dalam negara Indonesia waktu itu. Agus,
menilai bahwa demokrasi yang dilakukan Indonesia belum terlaksana. Dalam puisi Demokrasi
Dunia Ketiga ini, ia menyindir habis-habisan pemerintah yang belum bisa
berdemokrasi. Bukankah hal yang memalukan bagi negara, melihat seorang aktivis
dan budayawan yang berani menggunakan kata kamu menunjuk kepada pemerintahan
atau pejabat negara (Presiden) untuk melakukan demokrasi yang benar? Bukankah
hal yang memalukan bagi negara bila rakyatnya sendiri berani untuk mengancam
dan melawan pemimpinnya sendiri? Semua itu telah ditulis secara liar oleh Agus
R. Sarjono dalam puisi ini. Ia, sebagai aktivis dan salah satu saksi kasus Orde
Baru di tahun 1998, menuliskan betapa liar dan beraninya mahasiswa di tahun
itu. Hal ini juga menandakan bahwa
memang pemerintah di tahun itu belum bisa demokratis. Mereka tidak bisa
memahami dan menerapkan definisi demokrasi dengan baik.
Agus menuliskan puisi Demokrasi
Dunia Ketiga dengan kata-kata yang tegas dan lugas seperti kamu, tutup mulut!,
tinjuku, kutonjokkan, harus, sudahlah!, perintahkan, gerombolan demokrasi,
melindasmu, dan awas muncul sebagai kata-kata penegasan. Agus
sendiri menggunakan kata-kata yang tidak sepenuhnya konotatif. Artinya, ia
tidak ingin berbasa-basi dalam menyampaikan gagasannya. Kata-kata tegas dan
tebal lebih diutamakan untuk menunjukkan kemarahan kepada pemerintahan.
Puisi ini memang tidak panjang, tidak menggunakan kata-kata konotatif,
namun Agus mampu membungkus “kemarahannya” dengan menunjukkan sisi liar,
garang, berani, dan tegas. Sehingga menafsirkan kesan bahwa pemberontakan di
tahun 1998 tidak main-main. Selain itu, kritikan tajam diberikan kepada sistem
demokrasi Indonesia yang jelek. Agus tidak henti-hentinya menulis kamu harus
demokratis untuk pemerintah di puisinya ini. Frasa kamu harus demokratis
ini menunjukkan bahwa Agus, aktivis politik, sosial, dan budaya, benar-benar
liar dalam mengungkapkan gagasan dan pemikirannya.
Daftar Rujukan
Rendra,
W.S. 2005. Tangan Besi: Antologi Puisi Reformasi. Bandung: Forum Sastra
Bandung.
Wikipedia.
2012. Dunia Ketiga, (http://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Ketiga), Online, Diakses 01 April 2013.
Wikipedia.
2013. Sejarah Indonesia (1998-sekarang), (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998-sekarang)). Online, Diakses 01 April 2013.
0 komentar:
Posting Komentar