Alunan
Resonansi Religius dan Sosial dalam Sajak-Sajak AYH
Oleh: Elok Kholidiyah
Alunan
sastra Indonesia di negeri ini sejak
dulu memang sudah memberikan resonansi pada semua pencipta dan pecinta karya
sastra. Salah satunya para sastrawan di Indonesia yang sudah terkena gema atau getaran akibat karya sastra
angkatan sebelumnya. Hal ini dikarenakan karya sastra tidak pernah tercipta
dalam keadaan kosong, terciptanya karya sastra selalu memiliki pengaruh dari
proses penciptaanya. Karya sastra yang sudah ada sebelumnya memberikan pandangan
bagi sastrawan penerusnya dan pembacanya. Sudah diketahui sebelumnya bahwa karya
sastra angkatan terbaru yaitu angkatan 2000-an. Banyak karya sastra yang
dihasilkan oleh sastrawan-sastrawa yang muncul pada angkatan 2000-an ini.
Korrie Layun Rampan (2000) juga pernah mengumumkan adanya angkatan 2000 sastra
Indonesia dalam buku Angkatan 2000.
Sastrwan-sastrwan angkatan 2000-an yang
berperan tersebut diantaranya Ahmadun Yosi Herfanda, Agus Sarjono, Wiji Tukul,
Jamal D. Rahman, dan lain-lainya.
Sastrawan-sastrawan
angkatan 2000-an ini sudah dan banyak melahirkan karya sastra baik cerpen
maupun puisi dengan rasa yang berbeda dan aroma pembaruan. Salah satun aroma
yang dapat dirasakan yaitu pada karya sastra
puisinya. Struktur isi puisi yang menonjol pada angkatan 2000-an dapat
terlihat dalam karaterisktik puisi angkatan tersebut yaitu
tema yang diangkat menyangkut seluruh aspek kehidupan, puisi-puisi
profetik (keagamaan) dengan cenderung menciptakan penggambaran yang lebih
konkret melalui alam, rumputan atau daun-daun dan aroma kritik sosial juga masih
muncul dengan lebih keras karena orde baru dan ketidakmenentuan situasi di
tahun 2000-an. Karakterisik isi puisi angkatan tersebut sangat terlihat pada
sajak-sajak yang diciptakan beberapa sastrawan pada periode tersebut. Oleh
karena itu wajar jika gerombolan sastrawan angkatan 2000-an puisinya bernuansa
sosial mapun religi. Salah satu sastrawan angkatan 2000-an yang puisinya
terlihat beraliran atau bernuansa sosial dan religi yaitu Ahmadun Yosi Herfanda.
walau kau bungkam suara azan
walau kau gusur rumah-rumah tuhan
aku rumputan
takkan berhenti sembahyang
:inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
ilillahi rabbil ‘alamin
......................................................
aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
:sesungguhnya shalatku dan ibadahku
hidupku dan matiku hanyalah
bagi allah tuhan sekalian alam
Pada sajak Sembahyang Rumputun
ini, Ahmadun tidak segan-segan mengatakan pada puisinya aku lirik sebagai rumputan. Rumputan
itu sudah membawa batin berserta jiwanya melayang-layangn ibarat rumput yang
selalu berdizikir menyebut nama Tuhan. Memang terkadang rumput selalu dikaitkan
dengan tanaman liar atau gulma tanaman. Tetapi Ahmadun tidak menganggap sebagai tanaman liar yang hina dan diam, rumput itu selalu berdzikir menyebut nama Tuhan.
Kebatinannya terhadap Tuhan sangat erat walau ia hanya mengibaratkan sebagai
rumput, ia akan menjadi rumput yang kuat
tak pernah lupa dengan pencipta dan kewajibanya sebagai manusia. Keligiusan
Ahmadun dalam proses kreatifnya pun sampai menyebutkan sebuah ayat yang berbunyi
“inna shalaati wa nusuki, wa mahyaaya wa mamaati, ilillahi rabbil ‘alamin” yang
memperlihatkan betapa proses kreatif Ahmadun juga didasari kereligiusannya
(kewajiban sebagai manusia yang harus mengingat pencipta) yang dihubungkan
dengan ayat Islam sehingga memperlihatkan begitu kuat batin yang dirasakan
Ahmadun antara orang-orang sekitar dan Tuhannya.
Kereligiusan dan proses kreatif Ahmadun tidak hanya pada
puisi “Sembahyang Rumputan” saja, tetapi pada puisi-puisi lainnya yang
memperlihatkan sosok religius Ahmadun. Beberapa judul seperti Doa Pembuka
(1989), Sajak Urat Leher (1990), Zikir Seekor cacing (1990), Sungai Iman
(1990), Zikir Semut (1990), Sajak Doa (1992), Aku Cukup dengan Engkau Saja
(1989) dan Tuhan, Aku Berlindung Kepadamu (1989). Sajak-sajak tersebut menunjukkan sosok atau
diri Ahmadun yang religius, bahkan Ahmadun dalam menciptakan salah satu
sajaknya “Doa Pembuka”
diambil dan didasasari dari hadist
Qudsi. Berikut kutipan puisi.
hanya milikmu cahaya pagi hingga senja
dan rahasia kegelapan ketika malam tiba
pada muhammad kauanugerahkan kemuliaan
pada sulaiman kaulimpahkan keberadaan
kau tunjukkan keindahanmu melalui yusuf
dan cinta kasihmu melalui isa
di hati kekasihmu sejati pun kau tanam
rahasia kemakrifatan
................................................................
kaujadikan bintang-bintang
selalu bertasbih padamu
kau ciptakan pohon-pohonan
selalu berzikir padamu
o, allah, anugerahi aku kesetiaan
tanganku menjadi tanganmu
kakiku menjadi kakimu
lidahku menjadi lidahmu
mataku menjadi matamu
telingaku menjadi telingamu
hatiku menjadi istanamu
:bumi dan langit tak mengandungku
tapi hamba berimanku mengandungku*
dan rahasia kegelapan ketika malam tiba
pada muhammad kauanugerahkan kemuliaan
pada sulaiman kaulimpahkan keberadaan
kau tunjukkan keindahanmu melalui yusuf
dan cinta kasihmu melalui isa
di hati kekasihmu sejati pun kau tanam
rahasia kemakrifatan
................................................................
kaujadikan bintang-bintang
selalu bertasbih padamu
kau ciptakan pohon-pohonan
selalu berzikir padamu
o, allah, anugerahi aku kesetiaan
tanganku menjadi tanganmu
kakiku menjadi kakimu
lidahku menjadi lidahmu
mataku menjadi matamu
telingaku menjadi telingamu
hatiku menjadi istanamu
:bumi dan langit tak mengandungku
tapi hamba berimanku mengandungku*
1989
(*diambil dari hadis
Qudsi)
Rasakan
suanana yang terbangun dalam larik puisi pada “Doa pembuka” yang begitu membawa
suasana Islami. Ahmadun seakan bermain dengan angan dan kata-katanya yang
dimunculkan dari istiqomah pikiran serta
jiwanya sehingga seakan menimbulkan resonansi pada puisinya. Puisi ini berisi
tentang ungkapan rasa takjub atas kuasa Allah terhadap segalanya dan doa untuk
selalu dikaruniai kesetiaan kepada Allah.
Sejenak
menyelami larik puisi Ahmadun yang terdapat kata makrifat yang tidak asing lagi dalam ajaran Islam terutama dalam
wilayah tasawuf, sering diartikan sebagai tingkat penyerahan diri kepada Tuhan,
yang naik setingkat demi setingkat sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang
lebih tinggi. Bagi para sufi makrifat merupakan
tangga tertinggi sebagai proses memasuki pintu gerbang ketuhanan sering
diwujudkan dalam bentuk tarian atau kata-kata, sehingga para tokoh sufi erat
kaitannya dengan syair-syair yang diungkapkan sebagai ungkapan rasa cinta
terhadap tuhannya. Ahmadun seakan melimpahkan puisi-puisi seolah-oleh sebagai seorang sufi yang tak lelah memuji Tuhan dan
mencari kesejatian di atas garis langit spiritualnya. Ahmdun menggerakkan
segala jiwa untuk melayari samudra makna pada setiap larik-larik puisi religiusnya.
Hal ini juga sudah jelas, Ahmadun Y. Herfanda dalam puisi “Doa
Pembuka” baris akhir ini juga mengambil perumpamaan dari hadis Qudsi. Tangan,
kaki, lidah, mata, dan telinga manusia yang selalu berzikir merupakan tangan,
kaki, lidah, dan mata Tuhan. Bentuk kesatuan antara manusia dengan Tuhannya
merupakan bentuk penempatan Tuhan secara imanen.
Tidak hanya
pada puisi “Doa Pembuka” ia menunjukkan kereligiusannya, pada puisi “Dalam
Pengembaraan Kelabu”, Ahmadun seakan menunjukkan kemakrifatan yaitu kesadaran
pada diri bahwa setiap nafas tidak lepas dari kuasa Tuhan, meskipun mengembara
kemana dan sejauh apapun kita harus tetap kembali pada Tuhan sehingga
menjadikan ia seperti menemukan istiqomahnya tetap berpegang teguh pada
keyakinan dan pengetahuannya. Seperti terlihat pada sajaknya berikut.
dengan sayap elang, aku mengembara
melintas hutan dan laut berkarang
dengan aji antareja aku amblas bumi
mencungkil hatinya dan sumber api
dengan sirip ikan aku menyelam dalam
menjaring remik-remik kehidupan
namun selalu padamu
langkahku kembali tersampai…
Ahmdun seakan tak pernah berhenti mencari kesejatiannya sebagai makhluk
di depan mata Tuhan dengan menggoreskan kebatinannya pada setiap larik-larik
puisinya. Ia ungkapkan kesejatian dirinya tidak hanya pada puisi “Sembahyang
Rumputan” tetapi pada beberapa puisi “Zikir Seekor Cacing”. Puisi ini berisi
gambaran mengenai seseorang sebagai makhluk Tuhan yang
bermanfaat atau bermakna bagi sesamanya
dalam kehidupan di dunia tetapi keberadaannya seperti tidak dianggap oleh
manusia-manusia yang hanya memanfaatkannya. Meski dianggap paling buruk, orang
itu tetap bersyukur dengan berzikir kepada
Tuhan karena dia bisa beramal atau menguntungkan di dunia. Ini adalah sindiran
kepada semua manusia (makhluk sempurna) yang terkadang justru tak bisa
berpikir dan bertindak.
dalam duniamu aku cacing tak
bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
.............................................................
yang melata dari lumpur ke lumpur
.............................................................
cobalah kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
....................................................................
di kota-kota padat
beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan
akulah si paling buruk rupa
diantara para kekasih dunia
namun syukurku tak tertahankan
ketika dapat ikut menyuburkan
taman bunga di beranda
diantara para kekasih dunia
namun syukurku tak tertahankan
ketika dapat ikut menyuburkan
taman bunga di beranda
Proses kreatif Ahmadun
dalam sajak puisinya tersebut seakan
menunjukkan penyelaman angan-angan jiwa Ahmadun yang meperlihatkan kesejatian
dirinya sebagai makhluk yang selalu kembali pada Tuhan (seekor cacing yang
tetap berdzikir dan menguntungkan orang meskipun dunia tak menganggapnya).
Ahmadun terus berkelana dalam samudra makna puisi religiusnya dalam sajak “Zikir
Semut”.
semut-semut pun
kau anugerahi
sepercik cahaya pagi
hatinya yang kaucintai
terang dalam kegelapan hari
ketika cahaya langit mekar
berjuta semut berzikir
berderet di akar pohon
bagai beribu sufi
menyanyikan shalawat nabi
sepercik cahaya pagi
hatinya yang kaucintai
terang dalam kegelapan hari
ketika cahaya langit mekar
berjuta semut berzikir
berderet di akar pohon
bagai beribu sufi
menyanyikan shalawat nabi
dan sang embun
pun berkata:
barangsiapa tak kauanugerahi cahaya
akan tersuruk-suruk langkahnya
bagai semut kehilangan kepala
1990
barangsiapa tak kauanugerahi cahaya
akan tersuruk-suruk langkahnya
bagai semut kehilangan kepala
1990
Alunan kata dalam lirik
puisi Ahmadun meresonansi siapa saja yang membacanya, lagi-lagi Ahmdun
menempatkan seekor hewan sebagai makhluk Tuhan yang berdzikir. Puisinya ini
mengisyaratkan bahwa Tuhan selalu menganugerahi cahaya kepada semua umatnya
sekalipun itu hewan semut. Keanugrahan
dan keistiqomahan yang dirasakan Ahmdun seperti hadir dalam jiwanya sehingga menggoreskan lirik puisi sebagai
hamba Tuhan yang berdzikir mengingatnya.
Sosok Ahmadun selalu melantunkan dzikirnya dalam puisi-puisinya sebagai sosok
makhluk hidup seperti rumput, cacing, dan semut.
Keimanana Ahmdun
dirajutnya hingga benang-benang terbentuk menjadi syal yang halus dan
menghangatkan. Ahmadun juga membangun angan dan jiwanya hingga masuk cakrawala
spritualnya. Tak pandang apapun ia memberikan resonansi yang dasyhat pada sajak
religiusnya. Gema dan tema keagamaan dalam setiap puisnya memberikan
aliran-aliran air yang menyejukkan melewati sungai-sungai iman hati pembacanya.
Iman yang ada dalam dirinya penuh jalan dan arus yang panjang seakan mengalir dan memburu dalam
tubuh bahkan kecintaannya pada Tuhan perlu diarungin dan diselaminya secara
dalam hingga palung jiwa dan menemukan makna hidup yang sesungguhnya seperti
pada puisi “Sungai Iman”.
Sungai Iman
sungai itu panjang sekali
mengalir ke dalam tubuhmu
dengan penuh cinta aku pun berlayar
bersenandung dalam konser ikan-ikan
sungai itu dalam sekali
berpusar dalam palung jiwamu
dengan penuh gairah aku pun menyelam
menangkap makna hidup pada mata kerang
sungai itu panjang sekali
di arusnya aku memburumu
tak sampai-sampai
sungai itu panjang sekali
mengalir ke dalam tubuhmu
dengan penuh cinta aku pun berlayar
bersenandung dalam konser ikan-ikan
sungai itu dalam sekali
berpusar dalam palung jiwamu
dengan penuh gairah aku pun menyelam
menangkap makna hidup pada mata kerang
sungai itu panjang sekali
di arusnya aku memburumu
tak sampai-sampai
1990
Ahmadun
terus menjalankan angan-angannya sebagai
makhlukTuhan. Ahmadun tidak lepas dari ayat Al-Qur’an dalam sajaknya seperti yang berjudul “Sajak
Urat Leher” ditulis pada tahun 1990 dan diilhami dari QS. Qaaf (50:16) yang didalamnya berisi salah satu bukti cinta
Tuhan kepada hamba-Nya adalah diberinya dua malikat untuk setiap hamba-Nya.
Malaikat itu bertugas mencatat semua amal perbuatan manusia selama di dunia,
sekaligus bukti bahwa Tuhan selalu mengawasi hamba-Nya (melalui kedua malaikat
tersebut) lebih dekat dari urat leher hamb-Nya, seperti yang tersirat dalam
kutipan.
... Karena cinta Tuhan meletakkan / dua malaikat di
pundakmu / karena cinta Tuhan lebih dekat dari urat lehermu //
Ahmadun
benar-benar selalu membawa kereligiusnya disetiap sejejeran lirik hingga
terkadang membuat Ahmadun memposisikan diirnya sebagai makhluk Tuhan yang ingin
istiqomah. Ahmadun tidak hanya ingin terlihat positif di mata Tuhan. Ahmadun
menggerakkan bulu-bulu batinnya untuk memberikan doa kepada sesamanya lewat
baris-baris puisinya yaitu puisi untuk temannya Kuntowijoyo yang berjudul “Sajak
Doa” yang ditulis pada tahun 1992. Ahmadun memberikan segenap doa untuk kesembuhan Kuntowijoyo yang selama
berbulan-bulan terbaring sakit dan doa untuk pengampunan dosa-dosanya dan
dosa-dosa yang mendoakannya, seperti yang tersirat dalam kutipan.
... dalam linangan air mata sejati / memohon
kesembuhan sahabat kami / guru kami, yang kini terbaring / tak berdaya di
pangkuan-Mu // ampunilah dosa-dosa kami / kealpaan dan kesombongan kami / dosa dan
kealpaan guru kami //
Resonansi
sajak-sajak Ahmadun yang religius sangat mendominasi sosoknya yang memang
pantas dikenal sebagai penyair sufi. Dalam larik-lariknya tak ada hentinya
selalu menghubungkan doa dan nama Tuhan. Ahmadun juga mengelitik pikirannya
bahkan batinnya yang merasa sangat bahagia
ketika berkencan dan bersua dengan Tuhan seperti pada puisi berjudul ”Aku
Cukup dengan Engkau Saja” ditulis pada tahun 1989 bercerita tentang
hamba yang merasa bahagia didekat Tuhannya, hingga merasa tak butuh kebahagiaan
lain, seperti yang tersirat dalam kutipan.
... Aku cukup dengan Engkau saja / walau kursi dan
mobil dinas menjauhiku / walau dasi dan gaji besar berpaling dariku / walau
ormas dan orpol mencibir padaku / aku cukup di dekat-Mu saja, bahagia / dalam
nikmat zikir dan sujud jiwa//
Ahamdun
selalu memposisikan dirinya agar selalu dalam setiap nafas lariknya menyebut
nama Tuhan bahkan dirinya ingin selalu dalam lindungannya. Memang hidup selalu beresonansi
dengan alunan hidup yang tak menentu seperti manusia yang selalu mudah untuk
goyah dalam menjalani hidup bahkan cobaan silih berganti hadir menebal dan
menipiskan iman manusia. Oleh karena itu, jiwa dan batin Ahmadun seakan
tergerak dan berharap pada Tuhan pada puisi berjudul “Tuhan, Aku Berlindung
Padamu” ditulis pada tahun 1989 bercerita tentang doa seorang hamba kepada
Tuhannya untuk selalu dilindungi dari kemaksiatan yang berujung pada dosa-dosa
karena manusia mudah untuk tergoda dan terjerumus pada dosa-dosa.
Tuhan, aku berlindung pada-Mu / dari godaan
Tuhan-Tuhan baru / yang bermunculan di sekelilingku / ... / dari rongrongan
manusia-manusia / yang mempertuhan selain Engkau / ... // walau engkau makin
dilupa / dan disepelekan pemimpin-pemimpinku / ... / walau di mana-mana engkau
digusur / diganti cukong dan pejabat tinggi / ...
Alunan
resonansi sajak-sajak Ahmadun terus menggema dari tahun ketahun. Ahmadun
memberikan gema yang merdu melewati setiap celah-celah sajaknya. Gema itu tidak
mengalun pada sajak-sajak religinya tetapi juga pada sajak sosialnya. Ibaratnya
sajak-sajak yang diciptakan Ahmadun tidak hanya mengarungi lautan religi tetapi
juga mengarungi lautan sosial pada tahun 2000-an. Ahmadun membawa jiwa dan
batinnya mengarungi dunia yang luas tetapi juga menyelami samudera religi dan
samudera sosial untuk menemukan roh-roh pada puisinya. Ahmadun benar-benar tidak
hanya membawa pengalaman batinnya dengan Tuhan tetapi juga membawa pengalaman
inderanya untuk berhubungan langsung dengan manusia di sekitarnya.
Ahmadun
menunjukkan gerak-gerik yang mengagumkan pada sajak-sajak puisi yang bertemakan
sosial. Ahmdun seakan memberikan nafas dan roh pada setiap sajak-sajak yang
diciptakannya baik sajak religi maupun sosial. Begitu mudahnya Ahmdun
menggoyangkan angannya untuk menciptakan sajak-sajak bertema sosial padahal
dirinya juga telah membawa angannya ke dunia religi. Sajak-sajak sosial itu
tidak putus dari posisinya yang dikenal sebagai sastrawan sufisik, wartawan,
dan jurnalistik. Ahmadun terus berputar pada sajak-sajak sosialnya yang masih
berhubungan dengan keimannanya. Ahmadun masih menghubungkan kesosialan dengan
Tuhannya.
Alunan
resonansi sosial pada sajak Ahmadun
masih memberikan resonansi pada era orde baru pada tahun saat itu. Sajak sosial
Ahmadun beresonansi pada beberapa judul seperti Resonansi Indonesia (1999),
Resonansi Buah Apel (1997/2003), Sajak Mabuk Reformasi (1998/2007), Nyanyian
Kota Peradaban, dan Sajak Sepotong Roti. Pada sajak “Resonansi Indonesia” Ahmadun
seakan ingin mengutarakan resonansi yang dirasakan rakyat Indonesia saat itu. Alunan resonansi itu berupa harapan atau pendapat yang
diinginkan penyair melalui perasaannya. Ahmadun seakan memperoleh pandangan
dalam sajaknya itu melalui keadaan Indonesia pada saat itu. Jiwa dan pengalaman
Ahmadun seakan membawa tangannya untuk menorehkan peristiwa ini ke dalam
puisinya. Dalam puisi tersebut Ahmadun mengalami
proses batin yang kuat dan trenyuh ingin menyatukan
seluruh suku di Indonesia dalam genggaman burung garuda karena telah tergambar jelas
dalam inderanya jika keadaan/kondisi/suara bangsa di Indonesia terutama
suku-sukunya saat tahun itu terus melakukan konflik antar suku. Dapat dilacak
jika saat tahun puisi Ahmadun dibuat tengah terjad peristiwa kekerasan etnis di Indoensia pada
tahun 1999. Pada tahun ini terjadi peristiwa yang sangat mengguncang Indonesia.
Salah satunya peristiwa etnis Melayu Sambas (Kalimatan Barat) dan Madura.
Peristiwa ini mengguncang Indonesia hingga menyebabkan banyak korban. Mungkin
hal ini yang melatarbelakangi Ahmadun sebagai wartawan untuk menuliskan dalam
sajaknya. Berikut pada kutipan puisi.
...................................................
Kau dan aku
Siapakah kau dan
aku?
Jawa, cina,
aceh, batak, arab, dayak
Sunda, madura,
ambon, atau papua?
Ah, tanya itu
tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
Berjuta wajah
satu jiwa
............................................................
Ya, apalah
artinya tembok pemisah kita
Apalah artinya
rahim ibu yang berbeda?
Jiwaku dan
jiwamu, jiwa kita
Tulus menyatu
dalam asuhan
Burung garuda
Proses kreatif
sajak-sajak sosial Ahmadun tidak lepas dari pengalamannya yaitu profesinya
sebagai wartawan dan jurnalistik yang selalu mengetahui berita-berita yang
lebih aktual saat itu. Selain itu, Ahmadun sejak 1993 sampai 2009 menjadi
redaktur sastra Republika, dan tahun 2010 menjadi ketua Komite Sastra
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sudah sepatutnya Ahmdun memberikan resonanasi
pada seluruh pembaca melalui sajak-sajaknya dengan bertemakan sosial yang
terjadi pada saat itu. Ahmadun seperti menghipnotis dirinya sendiri untuk mengahasilkan
sajak-sajaknya yang diperoleh dari pengalamannya. Pada sajak “Resonansi Buah
Apel” Ahmadun mengorek inderanya untuk menunjukkan sesuatu yang terlihat jelas
dalam diri dan apa yang disaksikannya. Ahmadun pada sajak ini melihat negaranya
seperti buah apel yang penuh kemakmuran dan ulat-ulat yang malas diibaratkan
sebagai koruptor negara. Ahmadun
lagi-lagi mengalunkan kata-kata dalam sajaknya dengan sesuatu yang kecil tetapi
bermakna. Bahkan kata-kata sederhana yang mengalun dalam sajaknya masih sama
ketika Ahmadun mengalunkan kata-kata pada sajak-sajak religinya seperti cacing,
semut, dan rumputan sedangkan sajak sosialnya menggunakan kata apel dan ulat. Seperti
kutipan sajak berikut.
buah apel
yang kubelah dengan pisau sajak
tengadah di
atas meja. Dan, dengan kerlingnya
mata pisau
sajakku berkata, ''Lihatlah, ada puluhan
ekor ulat
besar yang tidur dalam dagingnya!''
memandang
buah apel itu aku seperti
memandang
tanah airku. Daging putihnya
adalah
kemakmuran yang lezat dan melimpah
sedang
ulat-ulatnya adalah para pejabat
yang malas
dan korup
tahu makna
tatapanku pisau itu pun berkata,
''Kau lihat
seekor ulat yang paling gemuk
di antara
mereka? Dialah presidennya!''
buah apel dan
ulat
ibarat negara
dan koruptornya
ketika buah
apel membusuk
ulat-ulat
justru gemuk di dalamnya
Ahamdun seperti memberikan cermin pada
sajaknya melalui pantulan pengalaman yang dilihat dan dialaminya. Ahmadun
memang tak hentinya bercermin di depan kaca kehidupan sosial dan religi untuk
membiaskan bayangan pada sajak-sajak sosial maupun religinya. Ahmadun bahkan
masih mengaitkan sajak sosialnya dengan kereligiusannya melalui salah satu
sajaknya yang berjudul “ Sajak Mabuk Reformasi”.
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
dalam pusingan anggur reformasi
menggelepar ditindih bayang-bayang diri
seember tuak kebebasan mengguyurku
membantingku ke ujung kakimu
luka-luka kepalaku, luka-luka dadaku
luka-luka persaudaraanku
luka-luka hati nuraniku
..........................................................
tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
menggelinding dari borok ke barah
dari dukun ke setan, dari maling ke preman
dari anjing ke pecundang, dari tumbal
ke korban, dari krisis ke kerusuhan
dari bencana ke kemelaratan!
Pada sajak ini Ahmadun seperti mewakili
manusia atau rakyat yang tengah dimabuk reformasi yang dipenuh kebebasan
sehingga membantingkan luka persaudaraan maupun nurani manusia. Reformasi itu menjadikan
manusia semakin tidak karuhan. Manusia yang parah menjadi semakin parah dengan
kemabukannya pada reformasi sehingga menyebabkan korban, bencana, kerusuhan,
dan kemelaratan. Batin Ahmadun seakan malu terhadap Tuhan karena begitu banyak
orang yang mabuk akibat reformasi sehingga seakan menjadi hamba yang bernilai
rendah di mata Tuhan.
Dalam sajaknya, permintaan maaf sebagai
hamba Tuhan ia lakukan beberapa kali. Jiwa Ahmadun tidak hanya tenggelam pada
sajak sosial yang menuntut atau menyindir sekitarnya saja tetapi sajak Ahmadun mengalunkan nada
kereligiusan pada beberapa sajan sosialnya. Alunan resonansi Ahamdun terus
membahana pada setiap kata dalam sajaknya. Tidak hanya pada saja mabuk reformai
tetapi pada “Sajak Sepotong Roti” yang ditulis pada tahun 1991 berisi tentang
sindiriran pada kaum konglomerat yang tidak mengasihi kaum papa/duava, bahkan
hanya untuk sepotong roti. Ahmadun mengalunkan kata roti pada sajaknya yang
menimbulkan resonanasi pada sajak sosialnya ini. Pada sajak ini memperlihatkan
sosok Ahmadun yang tidak hanya memperlihatkan hubungan manusia atau dirinya
dengan Tuhan tetapi hubungan manusia dengan manusia. Ditengah kesuntukan yang
lebih bijak Ahmadun serasa mengadu kepada Tuhan disaat kehidupan sudah tidak
mendengar lagi. Kesuntukan seakan mengontraskan antara kaum kaya dengan kaum
duafa seperti AYH yang memotertnya cukup sedehana pada kutipan sajak berikut.
sepotong
roti sebutir telur/ sebatang garpu/ sebilah pisau/ gemetar di atas meja/ ketika
di depan pintu/ seorang gelandangan/ sambil menelan ludah/ lapar menatapnya//
sepotong roti/ dan sebutir telur/ menitikan air mata/ ketika seorang/ konglomerat/
membuka mulut/ menyantapnya
Pengalaman dan potretan sosial Ahmadun
dalam indera dan angannya tidak hanya berhenti pada sajak tersebut tetapi pada
sajak “Segelas Susu” yang mengalunkan suara lirih mengenai kemanusiaan yang
terbunuh dan perlahan terkikis. Kutipan sebagai berikut.
memandang segelas susu di meja/ tiba-tiba terbayang wajah kelaparan/
saudara-saudariku diretakan bencana/ dan berjuta anak sejarah/ yang terkapar
tinggal kerangka// aku jadi tak tega meneguk susu itu/ karena tiap kuangkat
gelasnya/ terdengar jerit tangis jasad-jasad luka/ di kamp-kamp kotor daerah
sengketa/ jerit lapar berjuta anak kehidupan/ yang berserakan di mana-mana//
segelas susu di atas meja/ adalah sari darah para pekerja/ endapan derita
petani-petani desa/ sari air mata gelandangan/ darah korban perang dan
bencana// mereguk susu hangat tiap pagi/ bisakah kau lupakan/ derita
saudara-saudarimu sendiri
Pada sajak “Segelas
Susu” ini batin Ahmadun terenyuh melihat keadaan orang-orang kelaparan dan
ditimpa bencana. Ahmadun seakan meresonansi orang-orang yang membaca sajak ini.
Dalam sajak ini kita dapat melihat keadaan kenyataan negeri begitu
menderitanya. Proses kreatif Ahmadun dalam sajak ini tidak lepas dari
pengalaman dan profesinya sebagai wartawan yang selalu melihat realita di
kehidupan sosial saat itu. Ahmadun lagi-lagi menggunakan kata sederhana tetapi
memberikan kata yang bermakna pada setiap larik dalam sajaknya. Ahmadun
lagi-lagi menunjukkan keberadaannya sebagai mahkluk Tuhan yang peduli pada
sesamanya (secara tidak langsung dituangkan dalam sajak) sehingga memberikan
resonansi yang mendalam bagi kemaknaan hidup lahiriah dan rohaniah setiap
manusia.
Beberapa sajak sosial
Ahmadun seperti berkelana memutari setiap peristiwa-peristiwa yang dilalui oleh
sosok Ahmdun. Ahmadun tidak pernah melepaskan dirinya dikenal sebagai penyair
2000-an yang mengalunkan gema sajak bertemakan sosial dan religi. Ahmadun masih
mengepakkan sayap kata-katanya melalui puisi-puisi yang diciptakannya hingga
saat ini. Jika bermain dengan alunan beberapa
sajak-sajak Ahmadun di atas, sajak sosial yang diciptakannya tidak meledak-ledak.
Ahmadun melahirkan sajak sosial seperti memprotes tetapi dia memprotes secara
halus dan masih mengaitkan kenuraniannya sebagai makhluk Tuhan. Kebanyakan
puisi yang diciptakan Ahmadun mengalunkan resonanasi kereligiuasan yang sangat
dalam sehingga melatarbelakangi proses kreatf Ahmadun dalam gejolak puisi-puisi
religiusnya. Ahmadun juga menciptakan puisi bertema sosial tetapi masih
mengaitkan dengan kebatinan, pengalaman profesinya, dan kehidupan sekitarnya
sebagai makhluk Tuhan. Sampai saat ini puisi-puisi yang diciptakan Ahamdun
masih memberikan alunan resonanasi yang hangat untuk jiwa pembaca. Alunan
resonanasi sajak religius yang beresonansi dan sajak sosial yang memiliki makna
serta pesan yang diciptakan Ahmadun tidak hanya meresoanansi sosok dirinya
tetapi juga meresonanasi hubungan dirinya dengan Tuhan, manusianya dengan manusia, manusia
dengan Tuhan, manusia dengan alam.
Kita memang
mengaharapkan puisi-puisi religius dan sosial Ahmadun terus mengalunkan
resonanasi yang dasyat dan menghangatkan sehingga memberikan refleksi,
stimulus, dan ispirasi bagi puisi-puisi periode saat ini dan berikutnya. Hingga
saat ini Ahmadun masih aktif mengalunkan resonansi sajak-sajak religius dan
sosialnya kepada pecinta karya sastra. Bahkan tidak hanya sajak-sajaknya tetapi
buku terbaru Ahmadun yaitu Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei panjang), Koridor yang Terbelah (kumpulan
esei), dan lain-lainnya. Hal ini membuktikan bahwa alunan resonansi
religius dan sosial Ahmadun masih menggema bagi pencinta karya sastra saat ini.
Malang, 2013
Daftar
Pustaka
Herfanda,
Ahmadun Yosi. 2006. Resonansi Indonesia.
Jakarta: Publishing House
Herfanda,
Ahmadun Yosi. 1996. Sembahyang Rumputan.
Yogyakarta: Yayasan Bentang.
Korrie,
Layun Rampan. 2000. Angkatan 2000 dalam
Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Wikipedia.
29 Januari 2013. Ahmadun Yosi Herfanda,
(Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadun_Yosi_Herfanda),
diakses 12 Maret 2013.
0 komentar:
Posting Komentar