Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Potret Sosial dalam Lakon Anjing Anjing Menyerbu Kuburan Karya Puthut Buchori (Diadaptasi dari cerpen karya Kuntowijoyo)



Potret Sosial dalam Lakon Anjing Anjing Menyerbu Kuburan Karya  Puthut Buchori
(Diadaptasi dari cerpen karya  Kuntowijoyo)
Oleh: Sera Senggani
 
Nama Lengkapnya Puthut Buchori Ali Marsono, kelahiran 6 September 1971. Alumni Jurusan teater ISI Yogyakarta. Selain Menjadi Direktur Artistik Bandung Bondowoso ready on stage, Juga direktur Artistik di Teater MASA Jokjakarta, Perfomance Artist Post Punk Perfomance, dan bekerja secara freelance pada beberapa kelompok kesenian. Saat ini ia aktif menjadi konseptor dan pemimpin redaksi Underground Buletin Sastra ASK [Ajar Sastra Kulonprogo]. Berteater sejak kelas satu SMP di teater JIWA Yogyakarta pimpinan Agung Waskito ER. Ia telah berproses teater lebih dari 100 repertoar, baik sebagai sutradara, pemain, tata artistik maupun tata lampu. Pernah membina kelompok teater, antara lain : Teater MAN Yogyakarta 1, Teater Puspanegara SMUN 5 Yogyakarta, SMUN 1 Depok Sleman Yogyakarta, Teater Cassello SMUN 1 Wates Kulonprogo Yogyakarta, Teater Thinthing Wates Kulonprogo Yogyakarta, SMU Kolese GONZAGA Jakarta (event tertentu), Kolese LOYOLA Semarang Jateng (event Tertentu). Teater Sangkar UPN Veteran Yogyakarta, Teater RAI ISI Yogyakarta, Teater DOEA KATA ISI Yogyakarta, dan saat ini sedang merintis kelompok teater di Wates Kulonprogo Yogyakarta. Beberapa naskah drama yang telah ia  buat antara lain, “Liang” (2005, adaptasi dari cerpen Indra Tranggono), “Joko Semprul”, monolog “Sekarat Berkarat” (1999), “Jeng Menul” (2003), “HM1L” (2008) dan “Dewi Masyitoh” (2003). Salah satu karya dramanya yang menarik adalah Lakon “Anjing Anjing Menyerbu Kuburan”. Drama ini diadaptasi dari cerpen Kuntowijaya dengan judul sama. Realitas sosial yang ada pada masyarakat saat ini, merupakan sisi yang menonjol dari drama ini.
Pada drama ini dikisahkan seorang lelaki, yang berniat mencuri mayat seseorang yang meninggal pada  hari Selasa Kliwon. Ia melakukan itu untuk memenuhi syarat dalam mencari pesugihan. Dapat dilihat, bahwa budaya Jawa amat kental pada drama ini. Tidak hanya pencuri mayat itu yang menganggap bahwa Selasa Kliwon adalah hari yang sakral, yang dalam budaya Jawa disebut hari Anggara Kasih. Akan tetapi, penduduk yang lain juga mempercayai kesakralan dari hari Selasa Kliwon. Untuk itulah, beberapa penduduk menjaga kuburan Lik Rukmini, yang meninggal pada hari Selasa Kliwon tersebut. Mitos tentang kesakralan hari Selasa Kliwon ini memang benar adanya pada budaya Jawa. Kliwon adalah nama hari dalam sepasar atau juga disebut dengan nama pancawara, minggu yang terdiri dari lima hari dan dipakai dalam budaya Jawa dan Bali. Hari Selasa-Kliwon dinamakan hari Anggara Kasih dan dianggap sebuah hari yang istimewa dalam budaya Jawa dan Bali. Lalu oleh orang Jawa, terutama hari malam Jumat Kliwon dianggap hari yang keramat. Hal ini terkait dengan tradisi puasa selama 40 hari yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta yang puncak puasanya terjadi pada hari Jumat Kliwon maupun Selasa Kliwon. Namun pada akhirnya masyarakat Jawa mengaitkan hari Kliwon tersebut dengan hal-hal yang berbau mistis. Maka dari itu beberapa penduduk meronda untuk menjaga kuburan itu, agar mayatnya tidak di curi oleh orang-orang yang berkepentingan seperti mencari pesugihan ataupun ilmu hitam. Lelaki itu mengucapkan mantra agar orang-orang tertidur. Persyaratan dari gurunya ialah menggigit kedua telinga dari mayat tersebut. Sesuatu hal yang di luar nalar dan tidak bisa diterima dengan akal sehat. Namun karena himpitan ekonomi yang dialaminya, pencuri mayat itupun tetap nekad menggali, sementara semua peronda telah tertidur karena mantra. Ironisnya, ia harus berjuang mati-matian menggali kuburan itu dengan tangannya sendiri, karena memang seperti itulah persyaratannya. Selain itu si pencuri menguat-nguatkan hatinya, jika kelak ia telah kaya, ia akan membelikan perhiasan untuk istrinya, membayar uang SPP anaknya yang telah menunggak, membelikan truk untuk usaha adiknya yang bungsu, membangun rumah bagus dan memberikan sumbangan-sumbangan. Sebuah cita-cita yang mulia, seandainya ia berusaha dengan jalan yang benar. Namun sayangnya ia hanya berpikir praktis dan mencari jalan tercepat untuk meraih segalanya. Pada akhirnya ia harus melanggar norma agama dan adat.
Setelah menggali sekian lama dan mayatnya terangkat, ternyata muncul kesialan baru yang menimpanya. Segerombolan anjing ingin turut menikmati jerih payahnya. Mereka melolong, berusaha mendapatkan tubuh si mayat. Si pencuri mayatpun tak mau kalah. Ia berusaha mengusir anjing-anjing itu dengan kayu nisan. Bahkan ia berusaha berkompromi dengan anjing, yang jelas-jelas tidak mengerti apa yang dikatakannya. Di sini menunjukkan pada saat orang dihadapkan pada posisi yang terdesak, ia bisa kehilangan logika dan akal sehatnya. Sampai-sampai seekor anjingpun diajak bicara. Pada akhirnya si pencuri itu pasrah, karena anjing-anjing itu telah mendapatkan mayat yang telah digalinya dengan susah payah. Dari adegan ini dapat dilihat, betapa seorang manusia tak ubahnya dengan segerombolan anjing. Seorang manusia yang berebutan bangkai, yng juga bangkai sesamanya (manusia) dengan seekor anjing. Si pencuri mayat yang tak mampu berpikir logis, telah diperbudak oleh ketamakannya sendiri. Begitu pula segerombol anjing yang memenuhi kebutuhan makannya dan hanya mengandalkan insting kebinatangan mereka untuk memangsa bangkai tersebut.
Para peronda yang terbangun karena lolongan anjingpun segera mengeroyok si pencuri itu habis-habisan. Mereka tidak peduli apakah, orang itu benar-benar mencuri atau justru menyelamatkan mayat itu dari gigitan anjing. Seperti kebiasaan warga pada umumnya, yang suka main hakim sendiri tanpa tau penyebab yang pasti terlebih dahulu. Tampak dari drama ini, si pencuri mayat itu telah babak belur di hajar masa, sebelum akhirnya Pak Lurah dan Pak Aman datang untuk melerai. Pak Aman yang bijaksana, melerai warga yang main hakim sendiri, bahkan ia menasehati warga dengan alasan yang logis. Seperti pada cuplikan berikut ini.
PAK AMAN
Emosi ya emosi, tapi ya mbok yang terkedali. Kalau kalian main aniaya seenaknya pada orang ini, kalian tak ubahnya orang ini. Orang ini menganiaya, menyakiti orang mati, kalian malah menganiaya, menyakiti orang hidup yang sudah tak mampu melawan seperti ini.

Pesan moral yang amat kuat diungkapkan Puthut secara gamblang, melalui dialog ini. Dimana, para warga yang telah bertindak anarkis, menghakimi pencuri mayat tersebut, sebenarnya tak ada bedanya dengan perbuatan yang dilakukan pencuri itu. Jika pencuri itu menganiaya manusia yang telah mati, para warga justru menganiaya manusia yang masih hidup.
            Drama ini menggunakan alur flash back. Berawal dengan adegan pengeroyokan si pencuri, kemudian beralih dengan kejadian di malam hari, saat pencurian mayat, lalu kembali pada situasi awal, ketika pencuri dikeroyok. Drama ini menunjukkan kontroversi di kalangan warga. Ada yang menyebut pencuri itu maling, namun ada yang membelanya sebagai penyelamat mayat dari anjing-anjind buas. Meskipun, Puthut hanya mengadaptasi drama ini dari cerpen karya Kuntowijaya, namun ia mampu menghidupkan karakter masing-masing tokoh melalui drama ini secara lebih nyata. Para warga yang suka main hakim sendiri, Pak Aman dan Pak Lurah yang bijaksana dan pencuri mayat yang sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, tapi telah kehilangan akal sehatnya. Pesan moral yang diungkapkan dalam drama ini dimunculkan secara gamblang tanpa ada yang ditutupi. Bahkan di akhir adegan, Puthut masih sempat menyisipi sebuah kenyataan pahit yang sering terjadi pada masyarakat bawah, melalui monolog tokoh si pencuri mayat tersebut, sebagai berikut.
Nasib tidak pernah berpihak pada orang susah. Roda memang bisa berputar, tetapi roda milikku macet. Sehingga aku selalu di bawah.
Beberapa kata-kata dalam Bahasa Jawa dalam drama ini, tidak mempersulit pembaca yang tidak berlatar belakang Jawa sekalipun, untuk memahami drama ini secara keseluruhan. Selain bahasanya yang lugas dan sederhana, drama ini menggunakan satu setting tempat, yaitu kuburan dan tidak berpindah-pindah. Drama ini sarat dengan nilai-nilai budaya dan sosial, yang berkembang di dalam suatu masyarat. Budaya Jawa yang mengkeramatkan hari Kliwon dan mencari pesugihan untuk mengatasi himpitan ekonomi dengan cara yang tidak logis. Drama ini membukakan pandangan kita, betapa tidak semua orang bisa hidup berkecukupan. Masih banyak sekali masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka yang telah kehilangan akal sehatnya, bisa berbuat nekat dengan melakukan hal-hal gila. Seperti membunuh, menjual diri, atau seperti dalam drama ini, mencari pesugihan. Pada akhirnya si pencari pesugihan itu bernasib naas, karena pilihan hidup yang ia tentukan sendirinya. Bukan kenikmatan yang seperti ia bayangkan selama ini yang ia dapatkan. Akan tetapi, rasa malu, menyesal dan kekerasan yang ia terima. Sebagai sebuah karya sastra, drama ini telah mampu mengangkat fenomena sosial yang ada pada masyarakat, diyakini oleh masyarakat dan bahkan ada sebagian orang yang menjalaninya pula.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar