Potret Sosial
dalam Lakon Anjing
Anjing Menyerbu Kuburan Karya Puthut Buchori
(Diadaptasi dari cerpen karya Kuntowijoyo)
(Diadaptasi dari cerpen karya Kuntowijoyo)
Oleh: Sera Senggani
Nama
Lengkapnya Puthut Buchori Ali
Marsono, kelahiran
6 September 1971. Alumni Jurusan teater ISI Yogyakarta. Selain Menjadi Direktur
Artistik Bandung Bondowoso ready on stage, Juga direktur
Artistik di Teater MASA Jokjakarta, Perfomance Artist Post Punk Perfomance, dan
bekerja secara freelance pada beberapa kelompok kesenian. Saat
ini ia aktif menjadi konseptor
dan pemimpin redaksi Underground Buletin Sastra ASK [Ajar Sastra Kulonprogo].
Berteater sejak kelas satu SMP di teater JIWA Yogyakarta pimpinan Agung Waskito
ER. Ia telah berproses teater lebih
dari 100 repertoar, baik sebagai sutradara, pemain, tata artistik maupun tata lampu.
Pernah membina kelompok teater, antara lain : Teater MAN Yogyakarta 1, Teater
Puspanegara SMUN 5 Yogyakarta, SMUN 1 Depok Sleman Yogyakarta, Teater Cassello
SMUN 1 Wates Kulonprogo Yogyakarta, Teater Thinthing Wates Kulonprogo
Yogyakarta, SMU Kolese GONZAGA Jakarta (event tertentu), Kolese LOYOLA Semarang
Jateng (event Tertentu). Teater Sangkar UPN Veteran Yogyakarta, Teater RAI ISI
Yogyakarta, Teater DOEA KATA ISI Yogyakarta, dan saat ini sedang merintis
kelompok teater di Wates Kulonprogo Yogyakarta. Beberapa naskah drama yang telah ia
buat antara lain, “Liang” (2005, adaptasi dari cerpen Indra Tranggono), “Joko
Semprul”, monolog “Sekarat Berkarat” (1999), “Jeng Menul” (2003), “HM1L” (2008)
dan “Dewi Masyitoh” (2003). Salah satu karya dramanya yang menarik adalah Lakon
“Anjing Anjing Menyerbu Kuburan”. Drama ini diadaptasi dari cerpen Kuntowijaya
dengan judul sama. Realitas sosial yang ada pada masyarakat saat ini, merupakan
sisi yang menonjol dari drama ini.
Setelah menggali sekian
lama dan mayatnya terangkat, ternyata muncul kesialan baru yang menimpanya.
Segerombolan anjing ingin turut menikmati jerih payahnya. Mereka melolong,
berusaha mendapatkan tubuh si mayat. Si pencuri mayatpun tak mau kalah. Ia
berusaha mengusir anjing-anjing itu dengan kayu nisan. Bahkan ia berusaha
berkompromi dengan anjing, yang jelas-jelas tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Di sini menunjukkan pada saat orang dihadapkan pada posisi yang terdesak, ia
bisa kehilangan logika dan akal sehatnya. Sampai-sampai seekor anjingpun diajak
bicara. Pada akhirnya si pencuri itu pasrah, karena anjing-anjing itu telah
mendapatkan mayat yang telah digalinya dengan susah payah. Dari adegan ini
dapat dilihat, betapa seorang manusia tak ubahnya dengan segerombolan anjing.
Seorang manusia yang berebutan bangkai, yng juga bangkai sesamanya (manusia)
dengan seekor anjing. Si pencuri mayat yang tak mampu berpikir logis, telah
diperbudak oleh ketamakannya sendiri. Begitu pula segerombol anjing yang
memenuhi kebutuhan makannya dan hanya mengandalkan insting kebinatangan mereka
untuk memangsa bangkai tersebut.
Para peronda yang terbangun karena
lolongan anjingpun segera mengeroyok si pencuri itu habis-habisan. Mereka tidak
peduli apakah, orang itu benar-benar mencuri atau justru menyelamatkan mayat
itu dari gigitan anjing. Seperti kebiasaan warga pada umumnya, yang suka main
hakim sendiri tanpa tau penyebab yang pasti terlebih dahulu. Tampak dari drama
ini, si pencuri mayat itu telah babak belur di hajar masa, sebelum akhirnya Pak
Lurah dan Pak Aman datang untuk melerai. Pak Aman yang bijaksana, melerai warga
yang main hakim sendiri, bahkan ia menasehati warga dengan alasan yang logis.
Seperti pada cuplikan berikut ini.
PAK AMAN
Emosi ya emosi, tapi ya mbok yang
terkedali. Kalau kalian main aniaya seenaknya pada orang ini, kalian tak
ubahnya orang ini. Orang ini menganiaya, menyakiti orang mati, kalian malah
menganiaya, menyakiti orang hidup yang sudah tak mampu melawan seperti ini.
Pesan
moral yang amat kuat diungkapkan Puthut secara gamblang, melalui dialog ini.
Dimana, para warga yang telah bertindak anarkis, menghakimi pencuri mayat
tersebut, sebenarnya tak ada bedanya dengan perbuatan yang dilakukan pencuri
itu. Jika pencuri itu menganiaya manusia yang telah mati, para warga justru
menganiaya manusia yang masih hidup.
Drama ini menggunakan alur flash
back. Berawal dengan adegan pengeroyokan si pencuri, kemudian beralih dengan
kejadian di malam hari, saat pencurian mayat, lalu kembali pada situasi awal,
ketika pencuri dikeroyok. Drama ini menunjukkan kontroversi di kalangan warga.
Ada yang menyebut pencuri itu maling, namun ada yang membelanya sebagai
penyelamat mayat dari anjing-anjind buas. Meskipun, Puthut hanya mengadaptasi
drama ini dari cerpen karya Kuntowijaya, namun ia mampu menghidupkan karakter
masing-masing tokoh melalui drama ini secara lebih nyata. Para warga yang suka
main hakim sendiri, Pak Aman dan Pak Lurah yang bijaksana dan pencuri mayat
yang sebenarnya memiliki tujuan yang mulia, tapi telah kehilangan akal
sehatnya. Pesan moral yang diungkapkan dalam drama ini dimunculkan secara
gamblang tanpa ada yang ditutupi. Bahkan di akhir adegan, Puthut masih sempat
menyisipi sebuah kenyataan pahit yang sering terjadi pada masyarakat bawah,
melalui monolog tokoh si pencuri mayat tersebut, sebagai berikut.
Nasib
tidak pernah berpihak pada orang susah. Roda memang bisa berputar, tetapi roda
milikku macet. Sehingga aku selalu di bawah.
Beberapa kata-kata dalam Bahasa Jawa dalam drama ini,
tidak mempersulit pembaca yang tidak berlatar belakang Jawa sekalipun, untuk
memahami drama ini secara keseluruhan. Selain bahasanya yang lugas dan
sederhana, drama ini menggunakan satu setting tempat, yaitu kuburan dan tidak
berpindah-pindah. Drama ini sarat dengan nilai-nilai budaya dan sosial, yang
berkembang di dalam suatu masyarat. Budaya Jawa yang mengkeramatkan hari Kliwon
dan mencari pesugihan untuk mengatasi himpitan ekonomi dengan cara yang tidak
logis. Drama ini membukakan pandangan kita, betapa tidak semua orang bisa hidup
berkecukupan. Masih banyak sekali masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Mereka yang telah kehilangan akal sehatnya, bisa berbuat nekat
dengan melakukan hal-hal gila. Seperti membunuh, menjual diri, atau seperti
dalam drama ini, mencari pesugihan. Pada akhirnya si pencari pesugihan itu
bernasib naas, karena pilihan hidup yang ia tentukan sendirinya. Bukan
kenikmatan yang seperti ia bayangkan selama ini yang ia dapatkan. Akan tetapi,
rasa malu, menyesal dan kekerasan yang ia terima. Sebagai sebuah karya sastra,
drama ini telah mampu mengangkat fenomena sosial yang ada pada masyarakat, diyakini
oleh masyarakat dan bahkan ada sebagian orang yang menjalaninya pula.
0 komentar:
Posting Komentar