PESIMISME CHAIRIL ANWAR
DALAM SAJAK CINTAKU JAUH DI PULAU
Oleh: Hasan Nugroho
Semua orang yang pernah
belajar atau hanya sekedar tau tentang dunia sastra Indonesia pasti mengenal
sosok Chairil Anwar. Seorang penyair besar yang yang hidup di era pujangga baru
dan dianggap sebagai pelopor angkatan ’45. Chairil juga dikenal sebagai penyair
yang memiliki semangat hidup yang tinggi, seperti yang tertuang dalam sajak aku, tepatnya pada larik Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Karya-karya Chairil banyak di ulas oleh para pengamat sastra dan guru-guru
besar di bidang sastra Indonesia. Bahkan seorang A. Teeuw, yakni guru besar
asing yang tekun mengamati sastra Indonesia mengatakan bahwa Chairil adalah
seorang penyair yang terus menerus menghiraukan bahasa. A. Teeuw juga pernah
mengulas sajak-sajak Chairil Anwar, salah satunya adalah sajak Kawanku dan Aku, di akhir ulasannya A.
Teeuw mengatakan bahwa sajak ini merupakan karya masterpiece, karya unggul, yang dianggap sangat sempurna karena
segala hal yang tertuang di dalam karya ini memiliki makna. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Maman S.
Mahayana seorang pengajar Fakultas Ilmu dan Pengetahuan Budaya UI yang menyebutkan
bahwa kisah Chairil Anwar dengan segala hal tentang sepak-terjang kepenyairan
dan sikap berkeseniannya adalah sebuah legenda. Hal ini menunjukkan betapa
hebat dan besarnyanya seorang Chairil Anwar sebagai penyair di Indonesia.
Perkenalan saya dengan
sajak-sajak Chairil Anwar di mulai ketika saya mulai kuliah di sastra Indonesia
pada tahun 2010, tidak banyak hal yang saya tahu tentang sosok Chairil Anwar,
hanya sajak Aku yang menurut saya
begitu populer, karena paling sering dibahas ketika saya masih SMA. Hingga pada suatu hari saya meminjam buku
kumpulan puisi milik salah satu rekan saya yang judulnya Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang terbitan dari Gramedia
Pustaka Utama. Sekilas saya baca kumpulan puisi yang ada di dalam buku itu dan
ada satu puisi yang cukup menarik perhatian saya yakni Cintaku Jauh di Pulau, sebuah sajak yang jika ditinjau dari
judulnya menurut saya cukup cocok dengan kata-kata yang populer di kalangan
anak muda beberapa tahun terakhir ini, yakni “long distance relationship”.
Pesimisme sendiri merupakan
suatu paham yang menganggap segala sesuatu yang ada pada dasarnya buruk atau
jahat, dengan kata lain, pesimisme memandang suatu hal berdasarkan dari sisi
negatifnya. Kecemasan dan rasa kurang percaya diri terhadap hal tertentu
merupakan salah satu bentuk dari pesimisme yang ada di dalam puisi ini. Berikut
adalah puisi dari Chairil Anwar yang berjudul Cintaku jauh di Pulau.
CINTAKU JAUH DI PULAU
Chairil
Anwar
1946
Cintaku jauh
di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan
memancar,
di leher kukalungkan
ole-ole buat si pacar
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang terang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan
segala melaju
Ajal bertahta, sambil
berkata :
“Tujukan perahu ke
pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah
bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan
merapuh!
Mengapa ajal memanggil
dulu
sebelum sempat berpeluk
dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri .
Jika ditinjau dari aspek
makna yang lugas, pada bait pertama puisi ini menceritakan tentang aku liris
dan kekasihnya yang berada di tempat yang saling berjauhan, dan sang kekasih
hanya iseng sendiri dalam penantiannya menunggu kedatangan aku liris. Kata
iseng di sini mungkin dapat dimaknai sebagai
melakukan suatu kegiatan misalnya saja dengan bermain-main untuk mengisi
waktu agar tidak menganggur. Jadi dalam baris kedua bait pertama puisi ini
maknanya adalah sang kekasih dari aku liris melakukan suatu kegiatan iseng agar
tidak menganggur sambil menunggu kedatangan aku liris dari tempat yang jauh.
Pada bait kedua, khususnya
baris pertama dan kedua terpampang rasa optimis yang besar dari dalam diri aku liris.
Baris pertama dalam bait kedua ini yakni perahu
melancar bulan memancar menunjukkan bahwa ketika memulai perjalanannya
menjemput sang kekasih, kondisi yang dialami aku liris sangat mendukung, perahu
yang digunakan untuk menjemput sang kekasih dapat berlayar dan melaju kencang, bulan memancar juga menunjukkan cuaca
yang cerah. Dengan rasa optimisme yang tinggi dalam puisi ini diceritakan juga
bahwa aku liris membawakan oleh-oleh untuk kekasihnya. Namun pada baris ketiga
dan keempat pada bait kedua puisi ini mulailah terjadi pertentangan, rasa pesimis dari aku liris mulai muncul. Mungkin
ilustrasi makna dari bait ini dapat digambarkan sebagai berikut, ketika itu aku
liris akan berangkat menjemput kekasihnya, kendaraan yang ia gunakan cukup
menunjang dan melaju dengan kencang, cuaca sangat bagus, namun aku liris justru
merasa kurang percaya diri meskipun keadaan sebenarnya cukup mendukengnya,
dalam hatinya justru muncul rasa kecemasan, ia khawtir dengan perasaannya yang
mengatakan ia tak akan sampai pada kekasihnya.
Pada bait ketiga menceritakan
perasaan aku liris yang semakin pesimis, rasa gundah dan kecemasan yang
dirasakan semakin besar walaupun sebenarnya alam mendukung yang ditunjukkan
pada larik air terang, angin mendayu.
Perasaan pasrah dari aku liris begitu terlihat pada baris kedua bait ini, aku liris
seperti kehilangan semangatnya, seolah-olah ajal sudah begitu dekat dengannya,
padahal saat itu ia masih berada di tengah perjalanan. Keadaan ini ditunjukkan pada larik di perasaan penghabisan segala melaju.
Kemudian dilanjutkan pada larik Ajal
bertahta sambil berkata : “Tujukan perahu ke pangkuanku saja”.
Bait keempat menunjukkan aku liris
yang semakin putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahun-tahun berlayar,
bahkan perahu yang membawanya akan segera rapuh, namun apa daya ternyata
kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia bertemu dengan
kekasihnya. Dalam bait keempat ini seperti menujukkan klimaks dari sebuah rasa
pesimis dan keputusasaan aku liris. Rasa keputusasaan ini tidak lain karena
satu hal, yakni kematian yang telah terlebih dahulu menjemput. Kematian telah
menghancurkan segalanya, semangat dan perjuangan sekeras apapun harus berakhir
ketika kematian datang menjemput. Hal inilah yang seolah menjadi penyebab rasa
pesimistis muncul dari aku liris. Bait terakhir merupakan kekhawatiran aku liris
tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati
juga dalam penantian yang sia-sia.
Setelah memaknai puisi ini
secara lugas, tentunya hal ini akan mempermudah untuk mengaitkan simbol-simbol
yang ada dalam puisi tersebut dengan maksud dari Chairil selaku penyair puisi
ini. Jika yang dimaksud cinta dalam
puisi ini adalah cita-cita dari aku liris, maka yang dimaksud dengan kekasih
adalah wujud dari cita-cita aku liris. Jadi puisi ini bercerita tentang aku
liris dan cita-citanya. Secara sederhana makna puisi Cintaku Jauh di Pulau adalah sebagai berikut: seseorang yang ingin menggapai cita-citanya tentunya harus melampaui
jalan yang panjang, dan mungkin akan ditempuh selama bertahun-tahun. Meskipun
sebenarnya fasilitas yang ada sukup menunjang dalam meraih cita-cita, namun
jalan dalam menggapai cita-cita itu sendiri sebenarnya cukup berat dirasakan
oleh aku liris. Rasa cemas akan kegagalan begitu dirasakan oleh aku lirik.
Salah satu rasa cemas yang paling ditakutkan aku lirik adalah ketika ajal
menjemput terlebih dahulu sebelum aku lirik sempat menggapai cita-citanya
dengan ide-ide yang ia miliki. Aku lirik begitu khawatir apakah ide-idenya
nanti akan diteruskan oleh orang lain atau justru ikut mati bersama dengan
dirinya.
Setelah membaca dan
menafsirkan tentang isi dari sajak Chairil Anwar ini, rasa pesimis begitu
terlihat. Sikap pesimis ini seolah-olah merupakan bentuk ekspresi pesimisme
dari penyairnya. Dalam pandangan filsafat eksistensialis disebutkan bahwa kematian
adalah hal yang selalu membayangi eksistensi manusia. Eksistensi manusia
terancam dan berakhir oleh kematian. Pada hakikatnya manusia selalu ingin orang
lain menganggap keberadaannya, salah satunya adalah dengan cara menuangkan
ide-ide maupun kreatifitas yang ia punya agar banyak orang mengenal dan
mengakui keberadaannya, namun ketika seseorang merasa bimbang apakah mampu
melakukan hal ini atau tidak sebelum eksistensinya di dunia ini berakhir,
muncullah rasa kecemasan. Kecemasan dalam pandangan eksistensialis adalah
kondisi di mana manusia berhadapan dengan “ketiadaan”. Rasa cemas tidak hanya
mengancam sebagian kecil eksistensi manusia, bahkan dapat mengancam atau menghancurkan
sebagian besar eksistensi atau kemungkinan-kemungkinan serta posisi dan status
manusia itu sendiri. Hal inilah yang menjadi latar belakang mengapa rasa
pesimis itu muncul dalam puisi ini.
Sajak ini merupakan sajak ke sekian dari
Chairil Anwar yang membahas tentang kematian. Sebelumnya, sajak-sajak Chairil
yang berjudul Nisan dan Suara malam, juga menggambarkan hal
yang sama. Sajak-sajak Chairil juga banyak yang menggambarkan kesunyian yang
mencekam. Nampaknya pribadi Chairil
sendiri seolah-olah memang akrab dengan kesunyian, dalam sajak-sajaknya ia juga
terlihat begitu dekat dengan kematian. Padahal saat ia menulis sajaknya tentu
ia belum tahu kapan ia akan meninggal. Tapi seakan-akan ia sadar bahwa ia memang terlihat pesimis ketika berhadapan dengan kata ajal,
dalam puisi ini begitu terlihat kecemasannya. Bahkan dalam sajak ini seolah-olah
seperti dijelaskan bahwa ia takut jika ajal akan ikut membinasakan semangat dan
perjuangannya.
Sekarang sampailah kita pada
tahap penilaian. Harus diakui bahwa puisi ini adalah sebuah karya seni yang
luar biasa. Makna yang terkandung dalam puisi ini begitu padat, rasa pesimis
berupa kecemasan terhadap kematian diungkapkan dengan simbol-simbol cinta yang
dramatis dengan penggunaan kata cinta
dan kekasih serta frasa jauh di pulau. Sehingga benarlah
penilaian-penilaian para kritikus selama ini bahwa Chairil Anwar adalah penyair
besar yang melegenda.
1 komentar:
masih gak nemu jawabannya buat pr
Posting Komentar