Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Wajah Indonesia dan Pergulatan Batin Tokoh Ayah dan Anak dalam Cerpen “Peradilan Rakyat” Karya Putu Wijaya



Wajah Indonesia dan Pergulatan Batin Tokoh Ayah dan Anak dalam Cerpen “Peradilan Rakyat” Karya Putu Wijaya
Oleh: M. Irfan Faisal
 
Karya sastra merupakan wujud dan bentuk dari perilaku yang diciptakan, contoh karya sastra yang sederhana adalah cerpen. Cerpen merupakan karya sastra yang menarik dan sederhana. Menceritakan sebuah konflik secara singkat dan lugas, namun memiliki unsur-unsur sastra yang menarik. Cerpen yang di analisis adalah cerpen karya Putu Wijaya. Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Cerpen karya Putu Wijaya memang terkenal mempunyai ciri khas dan nilai nilai tertentu yang banyak menyiratkan pesan-pesan didalam karya-karyanya. Hal tersebut tentu tidak mudah membuat karya-karya dengan menyelipkan pesan-pesan melalui symbol-simbol yang tak terduga. Itulah yang selalu dlakukan oleh putu wijaya dalam karya-karyanya. Karena hal itulah esai ditulis, Menurut budiman esai adalah orang yang terpikat. Orang yang jatuh cinta pada sebuah persoalan. Dalam KBBI (1988:236) esai adalah karangan prosa yang membahasa suatu maslah secara sepintas lalu dari sudut panndang pribadi penulis. Dalam salah satu cerpen karyanya yang berjudul “Peradilan Rakyat”  ini merupakan cerpen yang berani menceritakan betapa ironisnya peradilan, hukum, dan bobroknya moral serta mental birokrasi yang berada di Indonesia ini. Namun selain hal itu, yang menarik dari cerpen ini adalah pergulatan batin tokoh utamanya. Berikut ini adalah biografi singkat dari pengarang yaitu Putu Wijaya.
I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi. Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy. Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
Dalam cerpen karya Putu Wijaya yang berjudul “Peradilan rakyat” terdapat dua tokoh utama dan dua tokoh pembantu. Pada tokoh utama yaitu Pengacara senior (Bapak)  dan Pengacara muda (Anak). Dari dua tokoh tersebut terdapat konflik atau pergulatan batin yang luar biasa bila kita analisis dengan seksama. Sekarang mari analisis dua tokoh utama dalam cerpen tersebut. Pertama adalah tokoh Pengacara muda, ia merupakan seorang pemuda yang kritis, tekun, bersemangat, cerdas, penyayang, dan profesional terhadap pekerjaannya sebagai pengacara. Hal tersebut tergambar dalam penggalan cerpen berikut,
“Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga, adalah keadilan itusendiri". kata pengacara muda itu.

dan
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."

Sedangkan Pengacara tua  memiliki watak  yang bijaksana, penyayang, rendah hati. Hal tersebut tergambar dalam penggalan cerpen berikut.
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
                                          
Dan

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."

           
Dari sini Putu Wijaya menggambarkan keindahan dan dilema serta realitas social dalam masyrakat. Dari tokoh-tokoh yang telah dianalisis diatas pada tokoh utama yaitu pengacara muda dan ayahnya sendiri sebagai pengacara tua yang sangat disegani pada masanya.  Awal mula kemunculan konflik batin antara bapak dan anak ini ketika seorang oknum pejabat yang banyak melakukan pelanggaran hukum meminta bantuan  kepada pengacara muda untuk untuk menjadi pengacaranya. Dalam hal itu pengacara muda menghadapi dilema, dia sangat bingung untuk mengambil keputusan, dia menghadapi gejolak batin antara mau membantunya atau tidak. Ia diantara dua pilihan antara yang benar atau yang batil. Secara pribadi dia tidak ingin menjadi pengacaranya tetapi secara profesional dia tidak bisa menolak klien yang meminta bantuannya sebagai pembela di pengadilan karena hal tersebut memang sudah tugas pengacara sebagai professional, namun ia juga tahu bahwa jika ia membela yang salah maka akan berakibat buruk nantinya. Ditengah kebingunganya akhirnya dia meminta pendapat kepada ayahnya sebagai seorang professional karena ayahnya merupakan pengacara yang hebat dimasa lalu. Dia datang bukan sebagai anak, padahal ayahnya sesekali dalam hatinya yang paling dalam menginginkan putranya datang sebagai anak yang mempunyai hubungan batin yang hangat kepada ayahnya. Pada saat itu ayahnya sebenarnya juga mengalami pergulatan batin yang luar biasa, saat ia sangat merindukan kedekatan dengan anaknya sebagai sebuah keluarga, namun pada saat itu ia dipaksa untuk menjadi seorang professional yang sebenarnya ia tak kehendaki. Kala itu si Ayah sebenarnya juga ingin memberi saran kepada anaknya bahwa yang dilakukanya itu merupakan sebuah kesalahan besar jika ia menerima tawaran sebagai pengacara penjahat. Namun ayah ini tak bisa mengucapkan saran kepada anaknya karena mereka bertemu sebagai seorang professional, padahal ia sangat ingin mengingatkan anaknya untuk berhati-hati dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.
Selain menggambarkan pergulatan batin tokoh, Putu wijaya dalam cerpen ini juga mengkritik bagaimana kebobrokan birokrasi, kemerosotan moral, peradilan hukum, soal banyaknya mafia-mafia kasus yang telah membudaya dalam negeri ini. Secara nyata mafia peradilan ini melibatkan banyak lembaga. Mafia peradilan juga melibatkan hakim peradilan yang tugasnya adalah memutuskan perkara. Hal ini bisa terjadi dikarenakan faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia baik intelektualitas dan spiritual, moral, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan sangat lemah, dan rendahnya integritas pimpinan menjadi penyebab merebaknya mafia peradilan di Indonesia. Di samping tidak ada sanksi berat bagi pelaku mafia peradilan makin menambah suburnya mafia ini. Contohnya pada kasus yang terbaru yaitu kasus Hambalang dan Century yang tak terselesaikan sampai saat ini.
Penulis mampu mengkritisi pemerintahan, dan memaparkan pandangannya pada pemerintahan bahwa penulis ingin memaparkan bagaimana kondisi yang sebenarnya dinegeri ini, bobroknya Negara ini agar masyarakat Indonesia tahu dan menyadari kondisi di negaranya, agar masyarakat Indonesia bangkit dan sadar. Tak hanya Wujud dari ekpresi terhadap situasi dan keadaan yang terjadi di masyarakat, hal ini pula didasari oleh profesi yang penah menjadi wartawaan di berbagai media cetak. Misalnya penulis pernah menjadi wartawan majalah Ekspres (1969), wartawan majalah Tempo (1971-1979) dan Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985). Bagaimana pada saat ini keadilan adalah bagi orang-orang yang mempunyai uang banyak dan kekuasaan lebih.













Daftar Rujukan
Purba, Antilan. 2008. Esai Sastra Indonesia: Teori dan Penulisan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar