Wajah Indonesia dan Pergulatan Batin Tokoh Ayah dan Anak dalam Cerpen
“Peradilan Rakyat” Karya Putu Wijaya
Oleh: M. Irfan Faisal
Karya sastra merupakan
wujud dan bentuk dari perilaku yang diciptakan, contoh karya sastra yang
sederhana adalah cerpen. Cerpen merupakan karya sastra yang menarik dan
sederhana. Menceritakan sebuah konflik secara singkat dan lugas, namun memiliki
unsur-unsur sastra yang menarik. Cerpen yang di analisis adalah cerpen karya
Putu Wijaya. Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Cerpen karya Putu Wijaya memang
terkenal mempunyai ciri khas dan nilai nilai tertentu yang banyak menyiratkan
pesan-pesan didalam karya-karyanya. Hal tersebut tentu tidak mudah membuat
karya-karya dengan menyelipkan pesan-pesan melalui symbol-simbol yang tak terduga.
Itulah yang selalu dlakukan oleh putu wijaya dalam karya-karyanya. Karena hal
itulah esai ditulis, Menurut budiman esai adalah
orang yang terpikat. Orang yang jatuh cinta pada sebuah persoalan. Dalam KBBI
(1988:236) esai adalah karangan prosa yang membahasa suatu maslah secara
sepintas lalu dari sudut panndang pribadi penulis. Dalam salah satu cerpen karyanya yang berjudul
“Peradilan Rakyat” ini merupakan cerpen
yang berani menceritakan betapa ironisnya peradilan, hukum, dan bobroknya moral
serta mental birokrasi yang berada di Indonesia ini. Namun selain hal itu, yang
menarik dari cerpen ini adalah pergulatan batin tokoh utamanya. Berikut ini
adalah biografi singkat dari pengarang yaitu Putu Wijaya.
I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit
untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Putu
yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan
dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara
seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang,
yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca.
Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam
mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu
pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi. Pada saat masih bekerja
di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973)
selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar
hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun
1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat.
Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy. Putu
mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di
kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis
dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga
tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri
dengan tenggat suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah
ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek,
novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di
samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta
(IKJ)
“Aku
tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah
Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari
kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah
Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu
tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian
lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil
dan sempurna, tetapi kau juga, adalah keadilan itusendiri".
kata pengacara muda itu.
dan
"Tidak
ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk
mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling
benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang
bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi
memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Sedangkan Pengacara tua memiliki watak yang bijaksana, penyayang, rendah hati.
Hal tersebut tergambar dalam penggalan cerpen berikut.
"Jangan
dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai
profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya
ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana
yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada
tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah
kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena
sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu
membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan
yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan
uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
Dan
"Pulanglah sekarang.
Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
Dari sini Putu Wijaya
menggambarkan keindahan dan dilema serta realitas social dalam masyrakat. Dari tokoh-tokoh yang telah
dianalisis diatas pada tokoh utama yaitu pengacara muda dan ayahnya sendiri
sebagai pengacara tua yang sangat disegani pada masanya. Awal mula kemunculan konflik batin
antara bapak dan anak ini ketika seorang oknum pejabat yang banyak melakukan
pelanggaran hukum meminta bantuan kepada
pengacara muda untuk untuk menjadi pengacaranya. Dalam hal itu pengacara muda
menghadapi dilema, dia sangat bingung untuk mengambil keputusan, dia menghadapi
gejolak batin antara mau membantunya atau tidak. Ia diantara dua pilihan antara
yang benar atau yang batil. Secara pribadi dia tidak ingin menjadi pengacaranya
tetapi secara profesional dia tidak bisa menolak klien yang meminta bantuannya
sebagai pembela di pengadilan karena hal tersebut memang sudah tugas pengacara
sebagai professional, namun ia juga tahu bahwa jika ia membela yang salah maka
akan berakibat buruk nantinya. Ditengah kebingunganya akhirnya dia meminta
pendapat kepada ayahnya sebagai seorang professional karena ayahnya merupakan
pengacara yang hebat dimasa lalu. Dia datang bukan sebagai anak, padahal
ayahnya sesekali dalam hatinya yang paling dalam menginginkan putranya datang
sebagai anak yang mempunyai hubungan batin yang hangat kepada ayahnya. Pada
saat itu ayahnya sebenarnya juga mengalami pergulatan batin yang luar biasa,
saat ia sangat merindukan kedekatan dengan anaknya sebagai sebuah keluarga,
namun pada saat itu ia dipaksa untuk menjadi seorang professional yang
sebenarnya ia tak kehendaki. Kala itu si Ayah sebenarnya juga ingin memberi
saran kepada anaknya bahwa yang dilakukanya itu merupakan sebuah kesalahan
besar jika ia menerima tawaran sebagai pengacara penjahat. Namun ayah ini tak
bisa mengucapkan saran kepada anaknya karena mereka bertemu sebagai seorang
professional, padahal ia sangat ingin mengingatkan anaknya untuk berhati-hati
dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.
Selain menggambarkan
pergulatan batin tokoh, Putu wijaya dalam cerpen ini juga mengkritik bagaimana
kebobrokan birokrasi, kemerosotan moral, peradilan hukum, soal banyaknya
mafia-mafia kasus yang telah membudaya dalam negeri ini. Secara nyata mafia
peradilan ini melibatkan banyak lembaga. Mafia peradilan juga melibatkan hakim
peradilan yang tugasnya adalah memutuskan perkara. Hal ini bisa terjadi
dikarenakan faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia baik intelektualitas
dan spiritual, moral, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan sangat
lemah, dan rendahnya integritas pimpinan menjadi penyebab merebaknya mafia
peradilan di Indonesia. Di samping tidak ada sanksi berat bagi pelaku mafia
peradilan makin menambah suburnya mafia ini. Contohnya pada kasus yang terbaru
yaitu kasus Hambalang dan Century yang tak terselesaikan sampai saat ini.
Penulis mampu mengkritisi
pemerintahan, dan memaparkan pandangannya pada pemerintahan bahwa penulis ingin
memaparkan bagaimana kondisi yang sebenarnya dinegeri ini, bobroknya Negara ini
agar masyarakat Indonesia tahu dan menyadari kondisi di negaranya, agar
masyarakat Indonesia bangkit dan sadar. Tak hanya Wujud dari ekpresi terhadap
situasi dan keadaan yang terjadi di masyarakat, hal ini pula didasari oleh
profesi yang penah menjadi wartawaan di berbagai media cetak. Misalnya penulis
pernah menjadi wartawan majalah Ekspres (1969), wartawan majalah Tempo
(1971-1979) dan Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985). Bagaimana pada
saat ini keadilan adalah bagi orang-orang yang mempunyai uang banyak dan
kekuasaan lebih.
Daftar Rujukan
Purba, Antilan. 2008. Esai
Sastra Indonesia: Teori dan Penulisan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar