MENGUPAS UNSUR-UNSUR
PEMBANGUN NASKAH DRAMA BERJUDUL “DOR”
KARYA PUTU WIJAYA
Oleh : Rohim Efendi
I
Salah
satu naskah drama yang pernah ditulis oleh Putu Wijaya yaitu drama berjudul “DOR” . Naskah drama ini
diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Diterbitkan pertama pada tahun 1986, dan ini adalah cetakan ketujuh pada tahun
2003. Putu Wijaya bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Lahir di Puri Anom,
Tabanan, Bali. Pada tanggal 11 April 1944. umur 65 tahun. Putu Wijaya adalah
seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah bungsu dari lima
bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks
perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat
dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang
pensiunan punggawa. Yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya
mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab
dengan sejarah, bahasa dan ilmu bumi.
Putu
Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 Novel , 40 artikel lepas dan kritik drama.
Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia
memimpin teater Mandiri sejak 1971 dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam
maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan
skenario sinetron. Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian
Kompas dan Sinar Harapan. Novel-ovel karyanya sering muncul di majalah Kartini,
Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala
citra di Festival Film Indonesia (FFI)
untuk Perawan Desa (1980) dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis
fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Diantaranya yang banyak
diperbincangkan adalah “Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok,
Tiba-tiba Malam, Sobat, Nyali.”
SINOPSIS
Naskah
drama ini menceritakan tema hukum dan keadilan. Bermula dari kejadian seorang
wanita yang dibunuh lelaki yang kebetulan dia anak Gubernur. Hakim yang menjadi
sorotan di naskah ini merasa kesulitan untuk menegakkan keadilan Apakah harus
menghukum lelaki itu? Tetapi baya tekanan. Akhirya sobat hakim menunjukan bahwa
keadilan harus ditegakkan. Tetapi hakim benar-benar kesulitan untuk menegakkan
keadila ini. Mulailah banyak tekanan pada hakim dimulai dari kelompok bendera
putih disertai munculnya kelompok
berbaju hitam. Semuanya menjadi panas, dan serba salah. Tetapi keputusan harus diambil. Akhirnya si
anak di “dor” hingga mati dan mayatnya digantung oleh sekelompok orang yang
tidak puas dengan praktik pengadilan, sang ayah kemudian berbalik membela
martabat anaknya dengan menge’dor” hakim. Jadilah kebenaran itu adalah “Dor”.
KAJIAN
NASKAH DRAMA
A. Unsur Ekstrinsik
Pengarang benar-benar interes
pada masalah sosial politik, hal ini berkaitan dengan Putu Wijaya sebagai sosok
yang menyukai sejarah, bahasa dan ilmu bumi. Sebagai realitas objektif, hukum
dan keadilanlah yang dihadirkan.
B. Unsur Intrinsik
ü Tokoh, peran dan
karakter
Pengarang memakai penamaan
berupa jabatan.
Peran dalam tokoh
Lion = hakim, pelayan, jaksa, salah seorang, saksi, sobat, Lan fa.
Mars = Tamu, Ali, Yulia, Gubernur, Ibu Gubernur, Pembela
Sun =
Ali
Eart = La Fa, Al, Gubernur, Hakim, Yulia, ibu Gubernur.
Scale = Hakim, Gubernur
Moom = Petugas, pelayan, saksi,
tamu, 5 perempuan, inem, para pelacur, kelompok berbju hitam, kelompok dengan
bendera putih.
ü Latar dan Ruang
- Latar di pengadilan dan
perkampungan pelacur
- Ruang ada ciri khas dari “DOR’
karya Putu Wijaya ini.
ü Penggarapan bahasa
- Memakai bahasa Indonesia
- Bahasa Betawai
- Ada gaya bahasa sedikit
ü Tema dan amanat
- Tema
kebenaran
- Amanat à keadilan penting untuk kebenaran
II
Sebuah karya sastra tidak terlahir dari suatu ruang kosong.
Itu artinya ada unsur pembangun karya sastra atau yang melatar belakangi
lahirnya karya sastra. Begitu pula dengan drama karya Putu Wijaya yang satu
ini. Dibangun dari dua unsur. Unsur pembangun pertamanya adalah unsur ekstrinsik. Pertama adalah pengarang.
Dalam drama ini pengarang mengangkat hukum dan keadilan sebagai tema. Pengarang
benar-benar memiliki ketertarikan pada
permasalahan sosial–politik, sensitivitas (kepekaan) pengarang cenderung
pada hal hukum dan keadilan. Kedua, realitas sosial. Realitas sosial yang yang dibangun oleh pengarang
dalam darama tersebut cukup nyata untuk mengangkat realitas hukum dan keadilan
di mana hukum dan keadilan sulit dicari.
Unsur berikutnya adalah unsur Instrinsik. Penulis ingin mengajak anda untuk mengupas unsur
intrinsik yang ada dalam drama ini.
(1)
Unsur tokoh, Peran dan karakter
Dalam penokohan : Di
sini pengarang memiliki cara penamaan berupa gelar dan jabatan, hanya sedikit
menggunakan nama biasa. Putu Wijaya melakukan semua ini agar tokoh-tokohnya
bisa berbuat seenaknya. Banyak tokoh dengan nama seperti : petugas I, petugas
II dll. Di sini juga sudah jelas kaitan antara nama dengan latar contoh: nama hakim,
jaksa sudah jelas latar di sini adalah pengadilan. Tokoh-tokoh dalam naskah
drama DOR ini memang multi peran. Sedangkan peran masing-masing tokohnya
seperti berikut:
Lion = Hakim, pelayan, jaksa, salah seorang,
saksi, sobat, Lan fa.
Mars = Tamu, Ali, Yulia, Gubernur, Ibu Gubernur,
Pembela
Sun = Ali
Eart = La Fa, Al, Gubernur, Hakim, Yulia, ibu
Gubernur.
Scale = Hakim, Gubernur
Moom =
Petugas, pelayan, saksi, tamu, 5 perempuan, inem, para pelacur, kelompok
berbaju hitam, kelompok dengan bendera putih.
(2)
Motif, Peristiwa dan Konflik
Banyak sekali motif dalam drama
ini, di antaranya: a. Motif kenapa Ali membunuh wanita itu. b. Motif kenapa
Hakim disogok. c. Motif kenapa pelayan menerima sogokan. d. Motif kenapa Yulia
membela Ali. e. Motif kenapa Lan Fa bisa bertahan hidup dan masih banyak lagi.
Alur dalam naskah drama ini
sangat kausalitas. Contohnya : karena hakim sering menundan keputusan
mengakibatkan para kelompok dan pihak pembela mendatangi hakim.
Contoh lain : karena pelayan (Alimin) jarang
memberikan uang kepada pacarnya (Inem), mengakibatkan Inem menerima sogokan
Yulia.
Alur konvensional dan non
konvensional, naskah drama ini menunjukkan peristiwa-peristiwa yang membangun
drama seperti terlepas-lepas tanpa kaitan yang jelas, (nonkonvensional).
Dalam setiap cerita, pasti
konflik menjadi nadi suatu cerita, seperti film dan sinetron, karena tanpa
konflik rasanya drama tidak bernilai apa-apa.
Pada intinya konflik yang dominan di sini adalah benar dan salah. (Keadilan)
(3)
Latar dan Ruang
Sesuai dengan prinsip drama,
latar dibuat sesederhana mungkin, karena pengarang ingin mementaskannya. Pada drama
ini pengarang menjadikan pengadilan dan perkampungan pelacur sebagai latarnya.
Sedangkan ruang, dalam naskah drama ini menurut saya Putu Wijaya sangat unik
untuk menjelaskan ruang, Putu Wijaya memiliki kekhasan yaitu pada setiap
pergantian tokoh/peran berbicara.
Selain keunikan itu,
ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam teks drama yang mengandung
indikasi-indikasi tentang ruang ditunjukan : contoh
“Terdengar
suara yang lemah. Kemudian orang-orang berpakaian hitam dengan payung-payung
hitam muncul. Mereka berseliweran mendekati tempat pelayan”.
Itu menunjukan suatu ruang yang
sesak dan penuh ketegangan.
(4)
Penggarapan Bahasa
Dalam
penyusunan drama berjudul “dor” bahasa yang dipergunakan pengarang termasuk
dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar atau formal. Ketika terjadi suasana
tegang/marah, bahasa-bahasa amarah keluar, ada kata-kata “goblok” selain itu pada halaman lainnya ada kata-kata
“tolol”, “brengsek!” dan masih banyak lagi. Tetapi ada juga bahasa keagamaan,
seperti mengucap nama “Allah”..
Pada halaman berikutnya ada kata “justa” yang tidak
dimengerti. Apakah itu bahasa hukum? Selain itu ada kata “berkeplok tangan”
yang cukup aneh, mungkin sama dengan bertepuk tangan.
Ada majas : “terlihat tubuh-tubuh terapung di udara”.
Gaya bahasa pertentangan lebih cenderung
sebagai tokoh antagonis dan wataknya pembangkang. Tokoh yang menggunakan gaya
bahasa sindiran akan memberi petunjuk bahwa tokoh tersebut berwatak “penakut”
tidak berani berterus terang. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penugasan akan
memberikan petunjuk pula bahwa setidak-tidaknya tokoh tersebut merupakan tokoh
yang berpikiran dan berpandangan serius dan mungkin sekali penuh idealis.
Pernyataan itu semua memang benar, tetapi dalam naskah drama ini Putu Wijaya
lebih jelas/langsung menggambarkannya, tanpa gaya bahasa. Tapi menggambarkanya
melalui karakternya.
(5)
Tema dan Amanat
Hukum dan keadilan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam drama karya Putu Wijya ini, dua hal
tersebut diangkat menjadi sebuah tema dilematis, betapa sulitnya mencari
keadilan.
Putu Wijaya ingin menunjukkan kepada kita sebuah komunitas
masyarakat yang sedang mengalami penghancuran kepribadian. Untuk mengatakan
bahwa benar itu benar dan yang salah itu salah, seringkali harus mengorbankan
jati diri seorang manusia.
Itulah tadi unsur-unsur
penulisan drama karya Putu Wijaya.semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita
untuk melahirkan drama-drama terbaik di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Wijaya, Putu. 2003. DOR. Jakarta : Balai
Pustaka
WS, Hasanuddin.1996. Drama Karya dalam Dua
Dimensi. Bandung : Angkasa.
Putu Wijaya (tokohidonesia-com).
Putu Wijaya (tokohidonesia-com).
0 komentar:
Posting Komentar