Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

MENGUPAS UNSUR-UNSUR PEMBANGUN NASKAH DRAMA BERJUDUL “DOR” KARYA PUTU WIJAYA



MENGUPAS UNSUR-UNSUR PEMBANGUN NASKAH DRAMA BERJUDUL “DOR”
KARYA PUTU WIJAYA
Oleh : Rohim Efendi

I
Salah satu naskah drama yang pernah ditulis oleh Putu Wijaya yaitu drama  berjudul “DOR” . Naskah drama ini diterbitkan  oleh Balai Pustaka. Diterbitkan pertama pada tahun 1986, dan ini adalah cetakan ketujuh pada tahun 2003. Putu Wijaya bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pada tanggal 11 April 1944. umur 65 tahun. Putu Wijaya adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa. Yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa dan ilmu bumi.
Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 Novel , 40 artikel lepas dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin teater Mandiri sejak 1971 dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron. Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-ovel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala citra di Festival Film Indonesia  (FFI) untuk Perawan Desa (1980) dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Diantaranya yang banyak diperbincangkan adalah “Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-tiba Malam, Sobat, Nyali.”


SINOPSIS
Naskah drama ini menceritakan tema hukum dan keadilan. Bermula dari kejadian seorang wanita yang dibunuh lelaki yang kebetulan dia anak Gubernur. Hakim yang menjadi sorotan di naskah ini merasa kesulitan untuk menegakkan keadilan Apakah harus menghukum lelaki itu? Tetapi baya tekanan. Akhirya sobat hakim menunjukan bahwa keadilan harus ditegakkan. Tetapi hakim benar-benar kesulitan untuk menegakkan keadila ini. Mulailah banyak tekanan pada hakim dimulai dari kelompok bendera putih disertai munculnya kelompok  berbaju hitam. Semuanya menjadi panas, dan serba salah.  Tetapi keputusan harus diambil. Akhirnya si anak di “dor” hingga mati dan mayatnya digantung oleh sekelompok orang yang tidak puas dengan praktik pengadilan, sang ayah kemudian berbalik membela martabat anaknya dengan menge’dor” hakim. Jadilah kebenaran itu adalah “Dor”.

KAJIAN NASKAH DRAMA
A.    Unsur Ekstrinsik
Pengarang benar-benar interes pada masalah sosial politik, hal ini berkaitan dengan Putu Wijaya sebagai sosok yang menyukai sejarah, bahasa dan ilmu bumi. Sebagai realitas objektif, hukum dan keadilanlah yang dihadirkan.
B.     Unsur Intrinsik
ü  Tokoh, peran dan karakter
Pengarang memakai penamaan berupa jabatan.
Peran dalam tokoh
Lion        = hakim, pelayan, jaksa, salah seorang, saksi, sobat, Lan fa.
Mars      = Tamu, Ali, Yulia, Gubernur, Ibu Gubernur, Pembela
Sun        = Ali
Eart        = La Fa, Al, Gubernur, Hakim, Yulia, ibu Gubernur.
Scale      = Hakim, Gubernur
Moom = Petugas, pelayan, saksi, tamu, 5 perempuan, inem, para pelacur, kelompok berbju hitam, kelompok dengan bendera putih. 
ü  Latar dan Ruang
- Latar di pengadilan dan perkampungan pelacur
- Ruang ada ciri khas dari “DOR’ karya Putu Wijaya ini. 

ü  Penggarapan bahasa
- Memakai bahasa Indonesia
- Bahasa Betawai
- Ada gaya bahasa sedikit


ü  Tema dan amanat
-  Tema  kebenaran
-  Amanat à keadilan penting untuk kebenaran

II     
Sebuah karya sastra tidak terlahir dari suatu ruang kosong. Itu artinya ada unsur pembangun karya sastra atau yang melatar belakangi lahirnya karya sastra. Begitu pula dengan drama karya Putu Wijaya yang satu ini. Dibangun dari dua unsur. Unsur pembangun pertamanya adalah unsur ekstrinsik. Pertama adalah pengarang. Dalam drama ini pengarang mengangkat hukum dan keadilan sebagai tema. Pengarang benar-benar memiliki ketertarikan pada  permasalahan sosial–politik, sensitivitas (kepekaan) pengarang cenderung pada hal hukum dan keadilan. Kedua, realitas sosial. Realitas sosial yang yang dibangun oleh pengarang dalam darama tersebut cukup nyata untuk mengangkat realitas hukum dan keadilan di mana hukum dan keadilan sulit dicari.
Unsur berikutnya adalah unsur Instrinsik. Penulis  ingin mengajak anda untuk mengupas unsur intrinsik yang ada dalam drama ini.
(1)    Unsur tokoh, Peran dan karakter
Dalam penokohan : Di sini pengarang memiliki cara penamaan berupa gelar dan jabatan, hanya sedikit menggunakan nama biasa. Putu Wijaya melakukan semua ini agar tokoh-tokohnya bisa berbuat seenaknya. Banyak tokoh dengan nama seperti : petugas I, petugas II dll. Di sini juga sudah jelas kaitan antara nama dengan latar contoh: nama hakim, jaksa sudah jelas latar di sini adalah pengadilan. Tokoh-tokoh dalam naskah drama DOR ini memang multi peran. Sedangkan peran masing-masing tokohnya seperti berikut:
Lion                                      =    Hakim, pelayan, jaksa, salah seorang, saksi, sobat, Lan fa.
Mars                                    =    Tamu, Ali, Yulia, Gubernur, Ibu Gubernur, Pembela
Sun                                      =    Ali
Eart                                      =    La Fa, Al, Gubernur, Hakim, Yulia, ibu Gubernur.
Scale                                    =    Hakim, Gubernur
Moom                                =    Petugas, pelayan, saksi, tamu, 5 perempuan, inem, para pelacur, kelompok berbaju hitam, kelompok dengan bendera putih. 

(2)    Motif, Peristiwa dan Konflik
Banyak sekali motif dalam drama ini, di antaranya: a. Motif kenapa Ali membunuh wanita itu. b. Motif kenapa Hakim disogok. c. Motif kenapa pelayan menerima sogokan. d. Motif kenapa Yulia membela Ali. e. Motif kenapa Lan Fa bisa bertahan hidup dan masih banyak lagi.
Alur dalam naskah drama ini sangat kausalitas. Contohnya : karena hakim sering menundan keputusan mengakibatkan para kelompok dan pihak pembela mendatangi hakim.
 Contoh lain : karena pelayan (Alimin) jarang memberikan uang kepada pacarnya (Inem), mengakibatkan Inem menerima sogokan Yulia. 
Alur konvensional dan non konvensional, naskah drama ini menunjukkan peristiwa-peristiwa yang membangun drama seperti terlepas-lepas tanpa kaitan yang jelas, (nonkonvensional).
Dalam setiap cerita, pasti konflik menjadi nadi suatu cerita, seperti film dan sinetron, karena tanpa konflik rasanya drama tidak bernilai apa-apa.  Pada intinya konflik yang dominan di sini adalah benar dan salah. (Keadilan)

(3)    Latar dan Ruang
Sesuai dengan prinsip drama, latar dibuat sesederhana mungkin, karena pengarang ingin mementaskannya. Pada drama ini pengarang menjadikan pengadilan dan perkampungan pelacur sebagai latarnya. Sedangkan ruang, dalam naskah drama ini menurut saya Putu Wijaya sangat unik untuk menjelaskan ruang, Putu Wijaya memiliki kekhasan yaitu pada setiap pergantian tokoh/peran berbicara.
Selain keunikan itu, ungkapan-ungkapan yang terdapat di dalam teks drama yang mengandung indikasi-indikasi tentang ruang ditunjukan : contoh

 “Terdengar suara yang lemah. Kemudian orang-orang berpakaian hitam dengan payung-payung hitam muncul. Mereka berseliweran mendekati tempat pelayan”.

Itu menunjukan suatu ruang yang sesak dan penuh ketegangan.

(4)    Penggarapan Bahasa
        Dalam penyusunan drama berjudul “dor” bahasa yang dipergunakan pengarang termasuk dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar atau formal. Ketika terjadi suasana tegang/marah, bahasa-bahasa amarah keluar, ada kata-kata “goblok”  selain itu pada halaman lainnya ada kata-kata “tolol”, “brengsek!” dan masih banyak lagi. Tetapi ada juga bahasa keagamaan, seperti mengucap nama “Allah”..
Pada halaman berikutnya ada kata “justa” yang tidak dimengerti. Apakah itu bahasa hukum? Selain itu ada kata “berkeplok tangan” yang cukup aneh, mungkin sama dengan bertepuk tangan.
            Ada majas : “terlihat tubuh-tubuh terapung di udara”.
       Gaya bahasa pertentangan lebih cenderung sebagai tokoh antagonis dan wataknya pembangkang. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa sindiran akan memberi petunjuk bahwa tokoh tersebut berwatak “penakut” tidak berani berterus terang. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penugasan akan memberikan petunjuk pula bahwa setidak-tidaknya tokoh tersebut merupakan tokoh yang berpikiran dan berpandangan serius dan mungkin sekali penuh idealis. Pernyataan itu semua memang benar, tetapi dalam naskah drama ini Putu Wijaya lebih jelas/langsung menggambarkannya, tanpa gaya bahasa. Tapi menggambarkanya melalui karakternya.

(5)    Tema dan Amanat
Hukum dan keadilan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam drama karya Putu Wijya ini, dua hal tersebut diangkat menjadi sebuah tema dilematis, betapa sulitnya mencari keadilan.
Putu Wijaya ingin menunjukkan kepada kita sebuah komunitas masyarakat yang sedang mengalami penghancuran kepribadian. Untuk mengatakan bahwa benar itu benar dan yang salah itu salah, seringkali harus mengorbankan jati diri seorang manusia.

Itulah tadi unsur-unsur penulisan drama karya Putu Wijaya.semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita untuk melahirkan drama-drama terbaik di masa yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

 Wijaya, Putu. 2003. DOR. Jakarta : Balai Pustaka
 WS, Hasanuddin.1996. Drama Karya dalam Dua Dimensi.  Bandung : Angkasa.
 Putu Wijaya (tokohidonesia-com).
 Putu Wijaya (tokohidonesia-com).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar