Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mengulik Fenomena Sosial dalam Tanda Bahaya Karya Bakdi Soemanto



Mengulik Fenomena Sosial dalam Tanda Bahaya Karya Bakdi Soemanto
Oleh: Dini Ayu Wiranti
 
I
Fenomena sosial di sekitar kita memang tidak pernah absen untuk diangkat ke permukaan. Walaupun terkesan sederhana, namun pembicaraan tentang topik ini tak jarang menimbulkan pro dan kontra. Banyak pihak yang ikut angkat bicara menanggapi fenomena sosial ini. Lalu apa yang bisa mereka (atau kita, khususnya) lakukan pasca perbincangan tersebut?? Adakah di antara kita yang melakukan pembenahan untuk mengurangi angka masalah menyangkut fenomena sosial tersebut?? Siapa di antara kita yang sudah melakukan saran dan solusi yang kita sampaikan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut? Tidak berbedakah kita dengan “orang-orang atas” yang hanya besar omong. Talk more do less.
Fenomena sosial yang sering disorot biasanya tentang masalah yang dialami orang-orang dewasa, biasanya yang telah berkeluarga. Misalnya saja tentang kemiskinan, kelaparan, gelandangan, pemukiman kumuh, dan masalah-masalah lain yang sebagian besar dihadapi oleh masyarakat kita yang tinggal di kota-kota besar. Fenomena-fenomena ini sering diangkat ke permukaan tanpa ada solusi besar yang berarti.  Memang untuk pembenahan perlu dilakukan secara bertahap. Tetapi bertahap yang seperti apa yang dimaksudkan oleh mereka yang bertanggung jawab terhadap kasus-kasus seperti ini.
Memikirkan fenomena semacam itu terkadang membuat kita melupakan fenomena-fenomena lain yang juga tak kalah bahayanya. Justru, jika permasalahan semacam ini tidak segera dikritisi dan dicarikan solusinya akan berdampak buruk bagi kehidupan masa mendatang kita. Bibit yang unggul harus kita persiapkan demi menghasilkan buah yang unggul pula. Remaja merupakan masa-masa kritis dalam hidup manusia. Awal mula perjalanan manusia menuju pembentukan pribadi dan karakter diperankan dalam masa remaja. Banyak orang bilang kalau masa remaja adalah masa-masa yang paling indah sepanjang kisah hidup seseorang. Keindahan dan keelokan masa remaja memang tidak bisa dipungkiri saat kita mulai menemukan hal-hal baru dan mencoba hal-hal yang berbeda.

Apabila dilihat dari teori perkembangan Piaget yang menjelaskan bagaimana cara manusia dalam memahami dunia, tahapan tersebut dibagi menjadi empat, yaitu tahap pertama disebut tahap sensorimotor  yang berlangsung dari kelahiran hingga usia 2 tahun, kemudian tahap kedua dinamakan tahap praoperasional  yang berlangsung kira-kira usia 2 hingga 7 tahun, tahap ketiga yaitu tahap operasional konkret  yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, dan tahap terakhir dinamakan tahap operasional formal  yang tampak dari usia 11 sampai 15 tahun. Jika dilihat dari usia yang menjadi karakteristik dalam tiap tahapan teori Piaget tersebut, masa remaja ditandai dengan masuknya manusia pada tahap yang keempat, yaitu tahap operasional formal. Pada tahap ini, dikatakan individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis.
Remaja, seperti yang banyak kita lihat, mulai mendapati tanda-tanda tersebut. Biasa disebut dengan gejolak kawula muda. Mereka (para remaja) mulai melakukan apa yang mereka sukai tanpa memikirkan dampak apa yang dapat ditimbulkan dari hal-hal “kesukaan” mereka tersebut. Apalagi jika “hal-hal kesukaan” tersebut dilakukan bukan tanpa alasan melainkan dengan alasan. Banyak diantara mereka, para remaja, yang menyelesaikan masalah dengan melarikan dirinya pada “hal-hal kesukaan” itu tadi. Apa sebenarnya yang menyebabkan mereka lebih memilih jalan tersebut daripada membicarakan baik-bik dengan orang terdekat mereka?? Masalah apa sebenarnya yang membuat mereka, para remaja, yakin dengan “pelariannya tersebut”?? Hal inilah yang sebenarnya penting untuk dikritisi dicarikan sebuah “solusi berarti”.
Fenomena sosial tersebut ternyata mulai banyak dijadikan trending topic , tidak hanya di dunia sosial-politik kita, tetapi juga banyak yang mengangkatnya menjadi suatu pembicaraan dalam kata, kalimat, dan metafora lain, salah satunya dirupakan menjadi karya sastra apik.

II
Esai kritik ini menyoroti salah satu karya sastra yang mengangkat tema fenomena sosial dalam dunia remaja, dialog demi dialog dirangkai menjadi sebuah naskah drama pendek yang mengusung judul “Tanda Bahaya”. Dengan mengenali unsur-unsur yang ada dalam tubuh drama ini, kita akan bisa melihat suatu fenomena sosial yang kerap terjadi seiring dengan dipublikasikannya karya sastra ini. Unsur utama yang dapat kita temukan dalam naskah drama adalah dialog dan dramatic plot yang digambarkan dalam drama tersebut.
Dialog
Analisis dialog ini dimaksudkan untuk mengetahui karakter dan perwatakan tokoh, dan karakter tersebut disampaikan melalui dialog antar tokoh. Analisis dialog ini akan memaparkan tokoh-tokoh yang berperan dalam drama pendek berjudul “Tanda Bahaya”. Drama pendek ini diperankan oleh 4 orang tokoh yaitu Yanti, Asdiarti, Kusni, dan Surti. Untuk mengetahui lebih dalam tentang perwatakan masing-masing tokoh dapat disimak pada paparan berikut.
Tokoh pertama adalah Yanti. Bisa dikatakan bahwa Yanti merupakan salah satu dari dua tokoh utama yang ada dalam drama pendek tersebut. Di awal drama, Yanti melakukan dialog dengan tokoh lain yang bernama Asdiarti, dan dari dialog di antara keduanya tersebut diketahui perwatakan tokoh Yanti yang cuek dan acuh, buktinya, saat Asdiarti brtanya kepada Yanti, tetapi Yanti malah diam saja, tidak menjawab dan hanya menggeleng. Seperti pada kutipan berikut.
Asdiarti               : (Masuk dan terkejut melihat Yanti masih di kelas) Kau masih di sini, Yanti? Belum pulang?
Yanti                   : (Tidak menjawab, Ia hanya menggeleng, dan terus melanjutkan membaca)
Asdiarti               : (Mendekati) Ada sesuatu?
Yanti                   : (Menggeleng)
Selain memiliki sifat yang cuek dan acuh, melalui dialognya, tokoh Yanti juga dikenal sebagai sosok wanita yang tidak suka dan tidak dipaksa oleh orang lain, terutama dalam melakukan sesuatu. Perhatikan kutipan percakapan Asdiarti dan Yanti berikut.
Asdiarti               : Apa?
Yanti                   : Ah, sudahlah. Sebaiknya kau tak usah memaksaku mengatakannya. Sulit. Terlalu sulit.

Yanti tidak hanya memiliki sifat yang negatif saja, tetapi ia juga merupakan sosok perempuan yang tidak mudah terpengaruh dengan orang lain, ia lebih suka menjalani apa yang ia suka dan ia kehendaki. Selain itu, Yanti juga menganggap bahwa jalan keluar dari persoalan adalah dengan kita mencari penyelesaiannya, bukan malah menghindarkan diri kita dari masalah, seperti yang dapat dilihat pada kutipan dari drama pendek tersebut.
Asdiarti               : Memang. Cuma persoalanku tidak seberat persoalanmu. Aku selalu menghibur diri dengan cara pergi denga teman-teman pria kalau Minggu. Ke Kaliurang atau ke mana saja.
Yanti                   : Dulu aku mencoba demikian. Tetapi kalau aku pergi, sesudah sampai di rumah, aku mengalami peristiwa yang sama. Bahkan terasa lebih berat. Maka saya menghentikan cara-cara pelarian seperti itu.
Asdiarti               : Tetapi kita harus menghibur diri, Yanti.
Yanti                   : Lebih dari itu, aku lebih ingin menyelesaikan persoalan. Cara seperti itu tidak menyelesaikan persoalan. Itu bahkan menyiksa. Makin menyiksa.
Selain sebagai tipikal perempuan yang pendirian kuat, Yanti juga termasuk perempuan yang sangat menghargai arti dari sebuah kehidupan, baginya, permasalahan di dunia ini pastiah ada jalan keluar. Dan jalan keluar itu pastuliah jalan keluar yang terbaik, bukan jalan keluar yang malah menyengsarakan dan merusak kehidupan masa depan kita. Sifat Yanti yang demikian tampak pada dialog Yanti dengan Asdiarti seperti pada kutipan drama berikut.
Asdiarti               : Itulah dunia muda masa kini.
Yanti                   : Barangkali benar.
Asdiarti               : Nah, akhirnya kau menerima juga toh?
Yanti                   : Tapi mengapa harus begitu? Itu berbahaya bagi kesehatan. Kita masih sangat muda, Asdi. Bayangkan, kalau masa depan remaja kita, kita habisi dengan cara-cara itu hari-hari tua kita dapat apa? Lagipula, tujuanmu mencari kebebasan tetapi menempuh jalan itu. Apakah sebenarnya kau tidak membuat dirimu diperbudak kembali oleh kebiasaan itu?

Di dalam bergaul dengan temannya, tokoh Yanti juga merupakan sosok teman yang peduli dengan teman lainnya. Ia suka memperingatkan teman lain di saat temannya tersebut melakukan hal yang tidak benar, yaitu saat memberitahu Asdiarti bahwa obat bius itu dilarang digunakansecara bebas tanpa resep dokter. Selain itu, Yanti juga kerap memperingatkan Asdiarti tentang bahaya merokok. Perhatikan kutipan dialog antara Yanti, Asdiarti, Kusni, dan Surti berikut.
Yanti                   : Kenapa kau takut ketahuan guru kita?
Asdiarti               : Karena mereka akan marah. Merampas dan menyetrap.
Yanti                   : Kau tahu sebabnya?
Asdiarti               : Nggak. Mereka orang tua yang kolot. Seperti orang tua kita saja.
Yanti                   : Itu berbahaya. Obat bius dilarang diedarkan secara bebas.
Asdiarti               : Tapi mereka toh juga tidak sanggup menyelesaikan kegelisahanku. Sedikit-sedikit bilang dosa, maksiat,  porno, huh!
Kusni                  : Astaga. Ngapain, nih, kalian di sini? Ku tunggu di luar sampai lama banget.
Surti                    : pantesan. Habis cita-cita Yanti mau jadi dosen.
Yanti                   : Aku memperingatkan Asdiarti. Bahaya main-main rokok begituan . .

Tokoh kedua yang juga termasuk ke dalam salah dua tokoh utama dalam drama ini yaitu Asdiarti. Asdiarti ternyata juga dikenal sebagai sosok yang perhatian kepada temannya, contohnya ketika ia melihat Yanti terlihat murung, ia berharap Yanti mau membagi kesedihan dengan dirinya walaupun Yanti tidak menggubris Asdiarti. Hal tersebut tampak ada kutipan dialog antara Asdiarti dan Yanti berikut.
Asdiarti               : (Mendekati) Ada sesuatu?
Yanti                   : (Menggeleng)
Asdiarti               : Aku mengerti sebenarnya persoalanmu, Yanti. Lebih baik kau mengatakan padaku lekuk liku persoalanmu. Sehingga kalau aku tahu persis duduk perkara, barangkali aku bisa menolongmu.
Berbeda dengan Yanti yang seakan pantang baginya untuk melarikan diri dari masalah, Asdiarti adalah tipikal perempuan yang tidak terallu ambil pusing dalam “kabur” dari masalahnya. Asdiarti lebih cenderung untuk menghibur diri saat menghadapi masalah. Padahal, menurut Yanti, apa yang dilakukan Asdiarti adalah suatu pemecahan masalah yang malah merusak dan menyiksa diri kita nantinya. Perhatikan kutipan dialog antara Asdiarti dengan Yanti yang menggambarkan watak Asdiarti berikut.
Yanti                   : Dulu aku mencoba demikian. Tetapi kalau aku pergi, sesudah sampai di rumah, aku mengalami peristiwa yang sama. Bahkan terasa lebih berat. Maka saya menghentikan cara-cara pelarian seperti itu.
Asdiarti               : Tetapi kita harus menghibur diri, Yanti.
Yanti                   : Lebih dari itu, aku lebih ingin menyelesaikan persoalan. Cara seperti itu tidak menyelesaikan persoalan. Itu bahkan menyiksa. Makin menyiksa.

Serupa tapi tak sama, antara kedua tokoh utama dalam cerpen ini, yaitu YAnti dan Asdiarti. Yanti juga tipikal orang yang cuek, sama halnya dengan Asdiarti. Namun, cuek ala Asdiarti lebih kepada tidak peduli terhadap apa yang dilakukannya, entah itu banyak manfaatnya atau hanya merugikan kita, seperti pada kutipan dialog berikut.
Yanti                   : Aku mendengar dari Ketiek kesenanganmu pergi ke tempat-tempat itu. Itu . . .
Asdiarti               : Berdosa?
Yanti                   : Bukan.
Asdiarti               : Maksiat?
Yanti                   : Bukan.
Asdiarti               : Itulah dunia muda masa kini.
Satu paradigma yang menjadi ciri khusus dari tokoh Asdiarti bahwa ia menganggap bahwa orang tua yang melarang kita melakukan kesenangan kita adalah orang tua yang kolot. Asdiarti juga beranggapan bahwa orang tua yang kolot seperti itu tidak pernah menyelesaikan permasalahannya. Oleh karena itu, ia melarikan diri kepada hal-hal yang tidak baik. Perhatikan kutipan dialog berikut.
Yanti                   : Kenapa kau takut ketahuan guru kita?
Asdiarti               : Karena mereka akan marah. Merampas dan menyetrap.
Yanti                   : Kau tahu sebabnya?            
Asdiarti               : Nggak. Mereka orang tua yang kolot. Seperti orang tua kita saja.
Yanti                   : Itu berbahaya. Obat bius dilarang diedarkan secara bebas.
Asdiarti               : Tapi mereka toh juga tidak sanggup menyelesaikan kegelisahanku. Sedikit-sedikit bilang dosa, maksiat,  porno, huh!

Tokoh ketiga yang juga turut andil dalam drama ini adalah Kusni. Tidak banyak karakter yang digambarkan dari seorang Kusni karena tokoh ini dimunculkan pada bagian mendekati akhir drama. Sebagai tokoh yang kebetulan diceritakan sebagai sahabat dari Yanti, Asdiarti, dan Surti, ia digambarkan sebagai tokoh yang memahami dan menjunjung tinggi arti persahabatan. Baginya, dalam sebuah persahabatan, tidak mengenal kata bertengkar, seperti tampak pada kutipan dialog antara Kusni dan Yanti berikut.
Kusni                  : Kenapa kita harus bertengkar. Kita sahabat, bukan?
Yanti                   : (Merebahkan kepala ke meja)

Selain sikap bersahabat, tokoh Kusni juga diceritakan sebagai tokoh yang mudah khawatir dan takut terhadap hal-hal yang memang sekiranya negatif. Dalam cerpen dibuktikan dengan tokoh Kusni yang menyuruh Asdiarti untuk mengambil kembali rokok yang dibuang sembarangan oleh Asdiarti karena takut apabila ketahuan guru. Perhatikan kutipan dialog berikut yang menunjukkan karakter tokoh Kusni.
Yanti                   : Aku mau tahu, sesudah marah guru-guru kita lalu berbuat apa kepada kita.
Kusni                  : Aku akan ikut dimarahi, Yanti. Ayo ambil, Asdi
Yanti                   : Jangan!
Surti                    : Kau jangan aneh-aneh, Yanti. Kalau kita dikeluarkan bagaimana . .?

Tokoh keempat yang dapat diidentifikasi dari drama pendek ini adalah Surti. Sama halnya dengan Kusni, tokoh ini tidak begitu banyak digambarkan karakter tokohnya, hal ini dikarenakan Surti hanya sesekali melakukan dialog dengan tokoh-tokoh lain, sehingga penggambaran karakter yang dapat disimpulkan melalui dialog antar tokohnya juga sedikit. Perhatikan kutipan dialog antara Surti, Yanti, dan Kusni berikut.
Yanti                   : Aku mau tahu, sesudah marah guru-guru kita lalu berbuat apa kepada kita.
Kusni                  : Aku akan ikut dimarahi, Yanti. Ayo ambil, Asdi
Yanti                   : Jangan!
Surti                    : Kau jangan aneh-aneh, Yanti. Kalau kita dikeluarkan bagaimana . .?

        Dari dialog antara Surti, Kusni, dan Yanti di atas menggambarkan bahwa tokoh Surti juga memiliki rasa mudah takut dan khawatir, hampir sama dengan penggambaran tokoh Kusni. Buktinya, Surti menganggap Yanti aneh-aneh (dengan renCananya) dan ia khawatir kalau akan dikeluarkan dari sekolah jika rencana Yanti benar-benar akan dijalankan.

Dramatic Plot
Di dalam karya sastra prosa, Dramatic Plot disebut juga dengan tahapan alur cerita. Di dalam suatu naskah drama, tahapan dramatic plot terdiri atas lima tahap yaitu tahap awal atau perkenalan, tahap tikaian, tahap klimaks, tahap leraian, dan tahap penyelesaian.
Tahap pertama disebut sebagai tahap awal atau perkenalan. Drama pendek ini dimulai dengan percakapan antara Asdiarti dan Yanti, yang sedang membaca buku di kelas. Pada saat itu Asdiarti menghampiri Yanti dan menanyakan kepada Yanti mengapa ia belum pulang. Yanti tidak menghiraukan pertanyaan Asdiarti tersebut dan dari sinilah kemudian Asdiarti dapat memastikan kalau Yanti, temannya, sedang ada masalah. Ekmudian Asdiarti menawarkan bantuan kepada Yanti.
Asdiarti           : Aku mengerti sebenarnya persoalanmu, Yanti. Lebih baik kau mengatakan padaku lekuk liku persoalanmu. Sehingga kalau aku tahu persis duduk perkara, barangkali aku bisa menolongmu.
Yanti              : Aku mengerti, aku memang harus mengatakannya. Tetapi aku tidak tahu dari mana dan bagaimana aku harus mulai.

Pada bagian awal ini juga diceritakan bahwa Asdiarti sebenarnya mengetahui apa yang dirisaukan oleh Yanti. Persoalan yang mereka hadapi bersama, karena sebenarnya persoalan semacam itu bisa dihadapi sebagian besar orang. Mereka berdua mengalami permasalahan yang sama. Tetapi mereka sama-sama bingung bagaiaman cara untuk memahami permasalahan tersebut.
Asdiarti           : Lalu mesti gimana?
Yanti              : Aku tak mengerti.
Asdiarti           : Tidak mengerti.
Yanti              : Itulah yang menyedihkan. Kita mengalami sesuatu, tetapi kita tak mengerti bagaimana memahami pengalaman itu sendiri . .

Tahap kedua disebut tikaian. Awal masalah dalam drama ini mulai terlihat saat Asdiarti tersenyum kepada Yanti, dan menurut Yanti itu mengejeknya. Kemudian mereka membahas mengenai pendidikan yang ditempuhmereka selama ini tidak lebih dari sebuah hal yang sia-sia. Mereka berdua beranggapan kalau pendidikan yang selama ini didapat mereka tidak ada gunanya. Pada intinya semuan yang mereka  jalani sekarang (pendidikan) semua tak ada gunanya untuk hari esok, tak bisa menyelesaikan masalah mereka.
Yanti              : Benar, kupikir, kita mau apa? Setelah selesai sekolah ini, lalu kita melanjutkan sekolah lagi. Barangkali hanya satu dua tahun. Paling banter tiga tahun, sudah itu kita dipinang orang. Kita jadi ibu . . . apa artinya pelajaran yang kitaterima semuanya ini sekarang?
Asdiarti           : Nah . . . (tersenyum)
Yanti     : Kita mempersiapkan diri untuk menjadi sesuatu yang tidak ada artinya.
. . . . .

Asdiarti           : Maka kita gelisah. Karena sebenarnya kita tidak pernah mengerti nasib kita yang akan datang.
Yanti              : Dari persoalan yang kita hadapi itu, tidak bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan yang kita terima di sekolah sekarang ini.

Tikaian semakin dibangun saat kemudian Asdiarti menawarkan rokok kepada Yanti. Saat itu, Yanti hanya bisa memandangi Asdiarti dengan tidak mengerti. Sedangkan maksud Asdiarti menawarkan rokok kepada Yanti adalah supaya bisa menenangkan pikiran. Namun sepertinya, Yanti kurang sependapat dengan pandangan Asdiarti tentang hal itu.
Tahap ketiga adalah tahap klimaks. Ketidaksependapatan Yanti akan tawaran rokok dari Asdiarti menjadi permaslahan yang melebar sampai pada kesenangan Asdiarti pergi untuk bersenang-senang seperti yang dilakukan Asdiarti dengan teman-teman prianya selama ini. Perdebatan tentang hal itu mulai muncul. Menurut Yanti, jalan keluar yang dipilih Asdiarti selama ini bukanlah jalan keluar yang benar.
Yanti              : Aku mendengar dari Ketiek kesenanganmu pergi ke tempat-tempat itu. Itu . . .
Asdiarti           : Berdosa?
Yanti              : Bukan.
Asdiarti           : Maksiat?
Yanti              : Bukan.
Asdiarti           : Itulah dunia muda masa kini.
Yanti              : Barangkali benar.
Asdiarti           : Nah, akhirnya kau menerima juga toh?
Yanti              : Tapi mengapa harus begitu? Itu berbahaya bagi kesehatan. Kita masih sangat muda, Asdi. Bayangkan, kalau masa depan remaja kita, kita habisi dengan cara-cara itu hari-hari tua kita dapat apa? Lagipula, tujuanmu mencari kebebasan tetapi menempuh jalan itu. Apakah sebenarnya kau tidak membuat dirimu diperbudak kembali oleh kebiasaan itu?
Asdiarti           : Aku tidak mengerti omonganmu, Yanti. Kalau kau tak mau tak
Yanti              : (Diam)

Klimaks semakin dibangun dalam drama ini ketika Yanti bertanya kepada Asdiarti mengapa ia takut ketahuan guru tentang perbuatannya selama ini. Semakin berlanjut, saat Asdiarti beranggapan bahwa guru-guru yang marah dengan kelakuannya selama ini adaah guru yang kolot, yang sedikit-sedikit dianggap dosa dan maksiat..
Yanti              : Kenapa kau takut ketahuan guru kita?
Asdiarti           : Karena mereka akan marah. Merampas dan menyetrap.
Yanti              : Kau tahu sebabnya?
Asdiarti           : Nggak. Mereka orang tua yang kolot. Seperti orang tua kita saja.
Yanti              : Itu berbahaya. Obat bius dilarang diedarkan secara bebas.
Asdiarti           : Tapi mereka toh juga tidak sanggup menyelesaikan kegelisahanku. Sedikit-sedikit bilang dosa, maksiat,  porno, huh!

Tahap keempat adalah tahap leraian. Keadaan mulai sedikit mereda saat tokoh Surti dan Kusni muncul di sela-sela perdebatan Asdiarti dan Yanti.
Kusni              : Astaga. Ngapain, nih, kalian di sini? Ku tunggu di luar sampai lama banget.
Surti               : Pantesan. Habis cita-cita Yanti mau jadi dosen.

Kemudian untuk menenangkan suasana, Surti mengajak keduanya untuk pulang dan kemudian dijawab oleh Yanti bahwa ia tidak ingin pulang dulu karena masih ingin belajar.
Surti               : Sudahlah, Yanti, mari kita pulang saja. Ini sudah jam (menengok arloji tangannya) .. . setengah dua. Sebentar lagi kelas ini akan dipakai anak-anak sore.
Yanti              : Pulanglah dulu kalau kalian mau pulang. Aku butuh belajar . . .

Nampaknya, Surti langsung memanfaatkan situasi saat itu untuk mengeluarkan leluconnya, dan membuat semuanya tertawa. Setelah kedatangn tokoh Surti dan Kusni, suasana menjadi sedikit bersahabat, apalagi setelah mendengar kata-kata Kusni.
Kusni              : Kenapa kita harus bertengkar. Kita sahabat, bukan?
Yanti              : (Merebahkan kepala ke meja)

Suasana semakin tenang ketika semuanya bercakap-cakap dengan pikiran yang tenang, bahwa sebenarnya ada satu sebab yang membuat mereka semua mengalami permasalahan yang sama, terutama Asdiarti dan Yanti. Mereka sebenarnya kehilangan sebuah perhatian yang seharusnya bisa mereka dapatkan di sekolah,dan ternyata sesuatu itu adalah sebuah kehangatan. Kehangatan itulah yang sebenarnya mereka inginkan selam di sekolah.
Kusni              : Kita memang membutuhkan sesuatu di sekolah, kalau sesuatu yang kita butuhkan tidak kita temukan di rumah.
Asdiarti           : Sesuatu itu apa?
Kusni              : Aku tidak mengerti.
Asdiarti           : Barangkali . . . (tersenyum) semacam kehangatan.
Yanti              : Ya, tepat.
Kusni              : Sukar sekali.
Yanti              : Sedih, bukan?
Asdiarti           : Ya, kehangatan . . . bukan mimpi-mimpi, bukan pelarian. (mengambil rokok lalu membuang)

Tahap terakhir atau tahap kelima disebut tahap penyelesaian. Semakin menuju kepada penyelesaian setelah Asdiarti menyadari bahwa ternyata pelampiasannya selama ini adalah salah, untuk menyelesaikan masalah itu dibutuhkan kerja sama, saling berbagi dalam kehangatan baik di rumah maupun di sekolah. Bukan malah berusaha menyenangkan diri ke jalan yang tidak benar, yang malah menyiksa diri kita. Ekspresi tersebut ditunjukkan Asdiarti dengan membuang rokok yang dipegangnya.
Asdiarti           : Ya, kehangatan . . . bukan mimpi-mimpi, bukan pelarian. (mengambil rokok lalu membuang)

Kemudian, untuk memecahkan dan menyelesaikan permasalahan mereka ini, Yanti merencanakan sesuatu berkaitan dengan rokok dan kelakuan-kelakuan buruk kita yang kita lakukan selama ini sebagai pelarian kita dari masalah.
Asdiarti           : (Berjalan mau mengambil rokok yang sudah dibuang)
Yanti              : Biarkan dia di situ!
Asdiarti           : Kalau ketahuan?
Yanti              : Biar guru-guru kita mengerti, inilah dunia kita yang sebenarnya.

Namun, sepertinya rencana Yanti tersebut, sedikit membuat takut Kusni dan Surti, mereka takut kalau terkait rencana ini mereka akan ikut dihukum. Surti pun menyuruh Asdiarti untuk memungut kembali rokok yang sudah dibuang Asdiarti tadi. Akan tetapi Yanti melarangnya.
Kusni              : Aku akan ikut dimarahi, Yanti. Ayo ambil, Asdi.
Yanti              : Jangan!

Namun, Yanti berusaha meyakinkan teman-temannya kalau guru pasti akan mengerti dengan adanya permasalahan ini. Guru pasti akan memahami apa yang sebenarnya kita butuhkan di sekolah, bukan hanya sekedar rumus-rumus yang selalu dihafal, dan kalau sudah tua akan lupa. Akhirnya, Asdiarti pun mengikuti rencana Yanti, dan dengan begitu Asdiarti pun akan menghentikan pelarian-pelarian buruknya selama ini.
Surti               : Kau jangan aneh-aneh, Yanti. Kalau kita dikeluarkan bagaimana . .?
Yanti              : Percayalah. Guru-guru kita perlu mengerti apa yang kita pikirkan, kita butuhkan, kita gelisahkan setiap hari . . .  agar mereka tidak sekedar menempa rumus-rumus yang harus dihafal melulu . . . (Yanti pergi, yang lain menetap terus mengikuti perginya. Tinggal Asdi. Lalu Asdiarti mengambil rokok itu mengikuti mereka. Sebelum off stage, Asdiarti membalik lalu melemparkan rokok itu ke kelas lagi, dan lari sambil berteriak:)
Asdiarti           : Yanti, Yanti tunggu . . .

III
“Tanda Bahaya” memang seolah mengisahkan suatu fenomena sosial dengan kemasan yang baru. Memang tidak banyak yang menarik dari drama ini, karena kebanyakan drama ini sama dengan drama-drama yang lain. Salah satu dari sebagian yang menarik dari drama ini, yaitu tentang tema. Tema ini terasa begitu dekat dengan kehidupan kita, khususnya lagi kehidupan remaja beberapa dekade terakhir ini. Begitu banyaknya problema kehidupan remaja membuat Bakdi Soemanto ingin membuatnya menjadi suatu karya sastra supaya tidak hanya berakhir pada sebuah headline koran kriminal saja yang mengabarkan betapa “nakal”nya remaja kita saat ini.
Fenomena sosial tentang kenakalan remaja ini disampaikan secara langsung melalui karakter masing-masing pemeran dalam drama ini. Seperti yang telah disinggung di bagian awal kritik esai ini bahwa ada banyak hal yang melatarbelakangi seorang atau sekelompok remaja untuk “nakal”. Tidak semua dari mereka memang berhobi semacam itu, tetapi tidak jarang juga dari mereka yang memilih untuk “nakal” karena terhimpit oleh situasi dan kondisi yang sedang mereka alami di kehidupan mereka. Seperti jalan cerita pada drama ini, yang mengisahkan kehidupan “nakal” remaja karena mereka sedang terhimpit masalah dan menurut sebagian dari mereka, hanya cara “nakal” itulah yang seolah mampu membawa mereka lepas dari permasalahan yang membelit mereka.
Selain fenomena sosial, pada bagian awal drama ini, juga disinggung masalah kawin paksa. Permasalahan yang muncul sejak jaman Siti Nurbaya. Masalah kawin paksa tampaknya menjadi masalah yang dirasakan oleh sebagian dari remaja, tidak hanya pada jaman dulu, tetapi jaman sekarang juga ada sebagian kecil. Namun masalah ini bukan menjadi satu-satunya penyebab pemain drama “Tanda Bahaya” ini untuk jadi “nakal”.
Apa yang kita lihat sebagai kenakalan remaja saat ini seperti yang sering kita baca di koran atau kita lihat berita kriminal di televisi, membiuat kita jadi beranggapan negatif tentang remaja. Mereka seperti tidak tahu aturan saja, tidak bisa menjaga harga diri mereka, dan mereka telah salah pergaulan. Kadang, kita menilai seperti itu tanpa kita tahu apa sebenarnya yang membuat mereka sampai seperti itu. “Tanda Bahaya” ini seolah ingin menunjukkan salah satu alasan mengapa remaja memilih jalan untuk “nakal”. Konflik batin yang dialami pemeran dalam drama ini seakan menjadi cermin remaja-remaja Indonesia yang terjebak ke dalam dunia hitam kenakalan remaja.
Tokoh Asdiarti diduga sebagai pemicu konflik batin yang sedang dialami oleh tokoh Yanti. Saat ia mulai menawarkan rokok kepada Yanti saat ia melihat Yanti sedang stres berat, tokoh Yanti menunjukkan konflik batinnya dengan menolak tawaran Asdiarti karena menurutnya, dengan merokok tidak ada satu pun masalah yang akan terselesaikan. Justru rokok itu akan menambah masalah dalam hidup kita, yaitu masalah kesehatan. Plot cerita tersebut menjadi cermin pertama yang merefleksikan kehidupan “nakal” remaja kita.
Konflik batin juga dirasakan oleh Asdiarti sendiri, karena ia menganggap bahwa semua orang tua itu kolot. Mereka dengan seenaknya mengatakan ini salah itu salah, ini dosa itu maksiat, tapi mereka tidak bisa mengerti dan memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh remaja yang sedang banyak masalah. Hal itu menjadi cermin kedua yang menunjukkan bahwa sebenarnya yang dibutuhkan oleh remaja adalah solusi dan jalan keluar, bukanlah omongan sebatas nasihat dan petuah belaka. Nasihat, petuah, dan tetek bengeknya itu malah akan membuat pikiran menjadi tambah ruwet, tidak tahu harus mengambil langkah apa. Akhirnya, larilah “mereka-mereka” ke dunia “lain dari yang lain”.
Karakter tokoh Yanti memang dibuat sebagai tokoh yang gamang. Tidak seperti Asdiarti yang digambarkan sebagai tokoh yang kokoh dengan pendirian sekalipun pendiriannya itu adalah pendirian yang negatif. Di satu sisi, tokoh Yanti digambarkan menolak tawaran “dunia hitam” Asdiarti, tetapi pada bagian tengah cerita ini tokoh Yanti diceritakan memiliki hubungan khusus dengan salah satu guru di sekolahnya, yaitu Pak Lukas. Pak Lukas adalah guru laki-laki di sekolah Yanti dan Asdiarti yang telah berkeluarga. Rupanya, cara itulah yang dipilih oleh Yanti untuk lepas dari masalahnya. Tokoh Yanti tidak hanya memiliki karakter baik, tetapi ia juga digambarkan sebagai tokoh dengan karakter yang kurang baik. Seperti yang ada di bagian tengah cerita ini, Yanti menolak untuk diajak jalan dengan para pria di malam hari, seperti yang biasa dilakukan oleh Asdiarti untuk sejenak melepaskan diri dari masalah, tetapi Yanti malah “mencuri perhatian” salah satu gurunya yang telah berkeluarga dan ia pun tahu kalau hubungan itu merusak rumah tangga orang lain.
Pada bagian hampir mendekati akhir ini, ada perbedaan yang sangat tampak pada karakter yang dibangun oleh Bakdi pada tokoh Asdiarti dan tokoh Yanti. Jika Asdiarti tidak bisa menerima nasihat atau petuah belaka tanpa ada penyelesaian, tokoh Yanti malah membutuhkan nasihat dan petuah tersebut. Karena menurutnya, nasihat itulah yang memberikan pandangan lain untuk kita dalam mengambil keputusan, dan itulah yang didapat Yanti dari hubungannya selama ini dengan Pak Lukas.  
Bagian akhir drama ini dibiarkan menggantung oleh Bakdi. Berakhir dengan sebuah pesan yang coba disampaikan sebagai cermin kesekian dari kehidupan remaja. Bahwa yang sebenarnya dibutuhkan mereka ialah pengertian dari orang-orang di sekeliling mereka (khususnya para remaja), remaja ingin dimengerti supaya mereka (para orang tua dan guru) tidak hanya memaksa kita untuk menuruti dan mengerti mau mereka dengan mengajarkan jutaan bahkan ribuan rumus yang tiap hari berjejal di kepala mereka. Tanpa mereka tahu untuk apa sebenarnya semua itu, apalagi di saat mereka memiliki masalah di rumah, mereka pergi ke sekolah dengan harapan mereka dapat menemukan ketenangan dan kenyamanan. Tapi, apa yang mereka dapat? Sekolah amlah membuat mereka mantap untuk pindah dari dunia “positif” menuju dunia “negatif” yang dengan mudah menawarkan beribu solusi pemecahan masalah, sekalipun untuk sesaat saja dan bagaimanapun juga, pelarian itu tetaplah menjadi pelarian yang negatif dan dilarang.
Itulah tadi betapa uniknya sebuah karya sastra mengulik permasalahan sosial di kalangan remaja. Kita sebagai pembaca diharapkan dapat mengerti dan paham betul maksud dari ditulisnya judul “Tanda Bahaya” pada drama pendek ini. Yaitu dengan selalu waspada terhadap tanda-tanda yang mengisyaratkan bahaya terhadap kehidupan remaja kita saat ini dan pada saat-saat mendatang.
“Cintailah aku sebelum kau ingin ku cintai”
………………………………………………………
“Pahamilah aku sebelum kau ingin ku pahami”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar