Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

METROPOLISME CERPEN “Gerimis Bermata Batu”



METROPOLISME CERPEN “Gerimis Bermata Batu”
Oleh: Zakiah Alif Syakura

Ulasan singkat cerpen “Gerimis Bermata Batu” karya Gunawan Tri Atmodjo:
            Hujan rintik menyaksikan mata sembab seorang ibu dengan darter yang lusuh. Suara anak yang kegirangan melengking menyayat gendang telinganya. Sarju masih ingat hujan tiba-tiba turun di tengah musim kemarau membuat luka yang sangat dalam.
            Siang itu di tengah-tengah bekerja tiba-tiba Sarju mendapat telepon dari istrinya, Lastri. Berita duka bahwa anaknya telah menjadi korban tabrak lari. Sarju bergopoh-gopoh bergegar ke rumah sakit. Sesampainya di sana, nyawa anaknya pun sudah tak dapat ditolong lagi.
            Sarju mengumpulkan semua uang untuk biaya pemakaman yang layak bagi anaknya. Tetapi siapa sangka harga sepetak tanah untuk pemakaman sangat mahal. Bahkan Sarju masih harus merogoh kocek untuk tempat pemakaman di bantaran sungai.
            Sarju tidak menyangka saat dia kembali ke rumah, hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Sarju bergegas membawa linggis dan pacul, berlari menerobos pekatnya hujan yang semakin lebat. Di pemekaman, tubuh Sarju seakan hancur seketika saat mengetahui makan anaknya sudah dibabat habis oleh air sungai yang meluap. Sarju menyayangkan mengapa hidup anaknya sangat menyedihkan seperti itu. Hanya karena tak memiliki uang yang cukup, jasat anaknya harus hanyut terbawa sungai yang meluap.
***
Cerpen yang berjudul “Gerimis Bermata Batu” ini adalah karya Gunawan Tri Atmodjo pada Juli 2004 di kota kelahirannya, Solo. Gunawan lahir pada 1 Mei 1982. Pada lahirnya cerpen ini Gunawan masih menempuh kulih di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Surakarta.
            Karya sastra baik puisi, drama, cerpen, ataupun karya sastra yang lain memiliki pesan yang ingin disampaikan penciptanya. Dengan menggunakan pendekatan pragmatik, pembaca dapat memperoleh pesan sosial yang ingin disampaikan Gunawan. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra dari segi pembaca.
           
Kota-kota besar semakin lama semakin maju. Kota-kota yang dulunya asri dengan rimbunan pepohonan semakin lama semakin dipenuhi dengan rimbunan bangunan-bangun yang kian meninggi. Semua orang yang dulunya ramah dan saling peduli dengan sesamanya semakin lama semakin sibuk mengais rupiah untuk kantongnya. Orang suda semakin terlena dengan mewahnya kehidupan kota metropolis. Bahkan untuk meninggal saja susah, mencari sepetak tanah berukuran 1m x 2m butuh uang yang banyak. Jika tak punya uang, seakan bumi tak mau menerima jasat yang sudah kaku. Kejamnya kota metropolis yang tak kenal kehidupan orang miskin, seperti Sarju.
Di awal cerpen, sebagai prolog, Gunawan telah melukiskan suasana yang miris. Suasana melihat hujan gerimis dari bibir jendela, suara anak kecil yang girang melengking terdengar menyayat gendang telinga, dan istri bermata sembab, Lastri, yang terbujur dengan baju yang lusuh, dan kondisi rumah yang aburadul. Suasana tersebut dapat menarik simpati pembaca untuk terus membaca cerpen. Suasana yang digambarkan Gunawan di awal cerpennya mampu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan pembaca tentang apa, bagaimana, mengapa, dan siapa. Pertanyaan tersebut yang membuat cerpen ini memiliki keunggulan bagi pembaca.
            Kemudian pada bagian prolog berikutnya Gunawan berusaha membuat skemata pembaca tentang makna hujan gerimis yang diaangkatnya dalam judul cerpen. Dari prolong yang kedua inilah, Gunawan menggiring pembaca tentang metropolisme. Gunawan memaparkan kondisi lingkungan rumahnya yang rawan banjir. Pembaca yang mengetahui cerpen ini di tahun 2013 akan cepat teringat pada kondisi metropolis Jakarta yang terdapat banyak kesenjangan. Di tengah kota yang megah terdapat kehidupan yang jauh dari layak.
            Gunawan membuat tokoh Sarju dalam cerpennya sebagai penyampai pesannya. Sarjo yang dengan sigap mengambil linggis dan cangkup di tengah hujan lebat yang turun di tengah musim kemarau tanpa mempedulikan dingin. Hal tersebut membuat pertanyaan yang campur aduk tentang apa yang dilakukan Sarju serta mengapa Sarju demikian.
            Cerpen karya Gunawan ini dapat menggugah hati pembaca dengan kisah tokoh yang bernama Sarju. Terlebih pembaca yang tinggal di lingkungan kota, perasaan haru terhadap kehidupan Sarju akan menjadikan perubahan. Gunawan mampu menyampaikan pesan dalam cerpennya tersebut.
            Gunawan menyampaikan bahwa di kota besar orang miskin bukan hanya orang yang mampu memberi beban saja. Gunawan menyampaikan lewat tokoh Sarju bahwa orang miskin yang ada di kota besar juga pekerja keras untuk menghidupi keluarganya, hanya saja kehidupan kota yang serba uang menjadikannya sebagai sisi negatif kota.
            Gunawa juga membubuhkan kekejaman lain kehidupan di kota besar taua kota metropolis. Gunawan membuat secara tragis kematian anak Sarju, dengan ditabrak lari oleh seseorang mengendara di jalan.
            Selain itu, Gunawan juga menyampaikan bahwa setiap orang yang terlahir di dunia ini memiliki rasa kasih sayang terlebih antara hubungan orang tua dan anak. Gunawan menyampaikan melalui tokoh Sarju dan istrinya. Sepasang orang tua tersebut meski pun orang miskin yang di kelilingi kota yang megah tetap memperjuangkan jasat anaknya untuk dimakamkan. Bahkan yang lebih mengharukan dan menyentuh hati adalah ketika Sarju tidak peduli hujan yang tiba-tiba turun lebat berlari ke makan untuk menyelamatkan kuburan anaknya.
            Sedikit peristwa yang dialami Sarju dan keluarganya tersebut sudah mencerminkan sisi kejamnya kehidupan di kota. Kota yang megah dengan bangunan yang mewah, uang yang melimpah di kantong-kantong orang kaya, dan gemerlap hidup yang taka da habisnya lupa bahwa masih ada orang-orang yang lebih membutuhkan. Sebut saja kisah Sarju dalam cerpen Gunawan ini, Sarju yang memperjuangkan tanah 1 m x 2 m untuk pemakaman sulit sekali karena tak punya uang. Akhirnya, Sarju menemukan tempat pemakaman yang pas  Sarju pun masih harus membayar. Tempat pemakaman di bantaran sungai yang rawan banjir dan pemakaman di atas makam yang lain saja dikenai biaya yang tidak sedikit nominalnya, padahal jika di tengok lagi tanah luas masih kosong bahkan di belakang lokasi pembangunan tempat Sarju bekerja.
            Gunawan menggugah hati pembaca pada klimaks cerita. Makam anak, yang menurut Sarju itu hanya makan sementara anaknya lantaran dia ingin memindahkannya kelak saat dia sudah punya uang ke tempat yang lebih layak, hanyut terbawa arus sungai yang meninggi saat hujan tiba-tiba turun.  Tergambar bahwa hati Sarju hancur ketika melihat makam anaknya sudah lenyap tertelan air yang meninggi.
            Secara keseluruhan cerpen ini dapat menyampakan pesan kepada pembaca bahwasanya sebagai manusia hendaklah saling tolong menolong tanpa memperhitungkan imbalan, terutama uang. Kisah Sarju dalam cerpen ini menggugah pembaca dengan hidup yang kerja keras mencari nafkah tetapi hasilnya tetap saja nihil. Sebagai manusia harus tetap berusaha apapun nanti hasilnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar