KETIMPANGAN SOSIAL
DALAM DRAMA RT NOL RW NOL KARYA IWAN SIMATUPANG
Oleh: Marinda Agustina
Iwan Simatupang adalah Sastrawan tahun 1960-an yang menulis
karya konvensional sebagai pertanda angin baru dalam kesusastraan Indonesia.
Iwan Simatupang lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 dengan nama Iwan Martua
Dongan Simatupang. Sebagai seorang wartawan, Iwan menulis banyak sketsa tentang
orang-orang tersisih dan terpinggirkan. kritikus sastra menyebut karyanya
sebagai avant garde terhadap buah
pena Iwan Simatupang. Iwan sendiri menyebut dirinya sebagai manusia marjinal,
manusia perbatasan. Karya sastra Iwan Simatupang yang berjudul RT nol RW nol
ini merupakan karya sastra bergenre drama yang menarik dan berbeda dibandingkan
dengan drama-drama lainnya. Drama ini memiliki daya tarik yang sudah mulai
terlihat saat kita membaca judulnya. Apa makna sebenarnya dari judul RT nol RW
nol yang diciptakan oleh pengarang? Mengapa pengarang mengambil judul seperti
itu?. Hal ini akan segera kita ketahui jika kita membaca uraian-uraian dramanya
lebih jauh lagi. Alur yang ditampilkan dalam novel
ini memang sedikit membingungkan pembaca karena pengarang menggunakan sentuhan
filsafat yang amat menarik dan berkesinambungan tentang kehidupan sosial yang
menjadi realitas dalam negeri ini. Hal ini jelas terlihat diawal drama tentang
pandangan kritis dari tokoh Kakek dan Ani yang mempunyai latar belakang seorang
gelandangan, namun memiliki pandangan yang jeli untuk mengkritik dan menghujat
tingkah polah pemerintah di negeri ini. Pada bagian belakang drama, pembaca
diajak untuk mengikuti kisah kehidupan para tokoh gelandangang ini yang pada
akhirnya menemukan kehidupannya yang baru, kemudian meninggalkan RT nol RW nol
yang selama ini mereka tinggali. Ditempat itu hanya tersisa seorang kakek tua
yang senantiasa hidup di bawah kolong jembatan itu seumur hidupnya. Kakek itu
tidak mau pindah dari tempat itu karena merasa bahwa memang disitulah
kehidupannya dimulai dan diakhiri nantinya. Kakek itu tidak mau meninggalkan
tempat yang ia namai RT 0 RW 0 tersebut meskipun tempat itu bukan
miliknya.
Dari
sinopsis diatas, dapat ditangkap makna yang utamanya berupa cerita tentang
ketimpangan kehidupan sosial yang ada di Indonesia. Naskah drama berjudul RT
nol RW nol ini ditulis oleh Iwan Simatupang pada tahun 1966. Tema dari naskah
drama Rt 0/ Rw 0 ini dingkat dari realita sosial tentang perjuangan hidup
orang-orang yang merasa terpinggir dan terasingkan. Naskah drama ini dilengkapi
dengan dialog-dialog yang idealis dari para tokoh-tokoh yang diceritakan dan
lebih menonjolkan sikap pantang menyerah.
Rt Nol
Rw nol yang dipakai dalam judul drama Iwan Simatupang tersebut tidak hanya
sekadar sebuah nama. Dibalik judul itu memiliki arti bahwa RT nol RW nol itu
menunjukan bahwa para tokoh yang memerankan drama tersebut diceritakan tidak
mempunyai tempat tinggal bahkan tidak diakui sebagai penduduk sebuah negara.
Mereka bahkan mungkin tidak mempunyai kartu penduduk. Pengarang menggambarkan
kehidupan para gelandangan tersebut dengan lugas dan tegas. Pengarang
mengangkat tema tentang kisah hidup seorang gelandangan yang tinggal di
kolong-kolong jembatan yang setiap waktu bisa saja digusur oleh pemerintah jika
mereka mau. Sungguh sebuah penggambaran yang benar-benar realistis diantara
hingar bingarnya kehidupan perkotaan yang menyediakan banyak sekali kemewahan
yang sama sekali tidak dirasakan oleh tokoh-tokoh yang secara jelas digambarkan
oleh pengarang lewat drama ini. Pengarang dalam tulisannya seolah mengerti
bagaimana pergolakan batin para tokoh yang diceritakannya bahwa sebenarnya para
gelandangan tersebut juga ingin diakui oleh pemerintah sebagai bagian dari
sebuah Negara. Hal ini terlihat dari percakapan tokohnya yang menginginkan
kehidupan yang lebih baik dan tempat tinggal yang layak untuk dihuni, mempunyai
alamat tetap, dan tentu saja mempunyai kartu penduduk. Iwan Simatupang
mengambil begitu banyak sisi yang berbeda dari para tokoh yang digambarkannya,
mulai dari seorang kakek yang tinggal di bawah kolong jembatan yang
dulunya mantan klasi kapal, ada pula Si pincang dengan kondisi fisiknya yang
kurang telah mencari kerja kemana – mana dan tidak pernah mendapatkan hasil
yang memuaskan karena tentunya sulit sekali lapangan pekerjaan yang mau
menerima orang cacat sepe, dengan di temani Ani dan Ina kakak – beradik
yang bekerja sebagai PSK ( Pekerja Seks Komersial ) mereka meratapi
kejamnya menyambung kehidupan di
kota
besar. Kemudian penokohan dalam drama tersebut digambarkan lebih berwarna
dengan kedatangan seorang laki – laki bernama Bopeng, Ia adalah mantan penghuni
kolong jembatan tempat tinggal kakek, pincang, Ani dan Ina. Ia telah bekerja di
sebuah kapal sebagai Klasi Kapal, tapi Ia membawa seorang wanita
bersamanya yang bernama Ati. Ati adalah sosok wanita yang mencari Suaminya yang
entah kemana telah menghilang dan kemudian Ia tersesat dan kehabisan uang untuk
pulang ke kampungnya. Tokoh-tokoh hasil penggambaran dari pengarang tersebut
diceritakan tinggal secara bersama-sama di bawah jembatan yang tiap hari
terdengar bising oleh lalu lalang truk yang lewat diatasnya. Semua tokoh-tokoh
yang dijadikan inspirasi pengarang dalam menggambarkan dramanya mewakili betapa
semrawutnya keadaan negara ini. Kritik sosial terhadap pemerintah jelas
dilontarkan oleh pengarang lewat karyanya ini.
Pengarang
menggambarkan kritiknya mulai dari ketidakpedulian pemerintah terhadap para
gelandangan, diskriminasi terhadap para pencari kerja yang notabene adalah
seorang gelandangan dianggap tidak pantas untuk mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik. Tokoh si Pincang misalnya, ia digambarkan sebagai potret laki-laki
yang cacat fisiknya, sedang putus asa dalam mencari pekerjaan karena pada
kenyataannya tak seorangpun mau memperkerjakan orang cacat. Inilah salah satu
kritik yang realistis dari diri pengarang kepada para diskriminan-diskriminan
di negara ini. Hal ini tentunya akan menimbulkan reaksi negatif dari para
gelandangan seperti yang dijelaskan oleh pengarang bahwa pemerintah seolah
tidak mau tahu tentang kehidupan rakyatnya yang berada di bawah kolong jembatan.
Bahkan KTP pun mereka tidak memilikinya. Tanah yang mereka tempati juga
sepenuhnya milik pemerintah. Oleh karena itu, mereka menganggap kalau tempat
yang mereka tinggali memiliki RW nol RT nol. Drama ini sedikit banyak telah
membuka mata kita tentang realitas kehidupan negara Indonesia yang bisa disebut
sebagai Negara gelandangan ,khususnya di kota-kota metropolitan. Kerasnya hidup
yang dialami oleh para gelandangan
ini
memaksa mereka untuk melawan hokum dan membenci pemerintah karena menganggap
bahwa nasib buruk yang mereka terima karena ulah pemerintah juga. Bahkan,
mereka dengan lantang melanggar peraturan pemerintah tanpa rasa takut.
Pengarang menjelaskan bahwa yang ada dalam benak seorang gelandangan hanyalah
bisa makan enak keesokan harinya dengan cara apapun. Sekalipun itu harus
merampok. Pengarang secara implisit seolah berpikir bahwa uang telah membuat
orang menjadi gelap mata. Seperti pada tokoh kakak beradik Ani dan Ina pun yang
datang membawa membawa kabar bahwa mereka akan dinikahi oleh Pria yang menjadi
langganan mereka. Akhirnya mereka meninggalkan kolong jembatan yang menjadi
tempat mereka tinggal.pengarang disini jelas mengatakan bahwa uang mampu
mempermainkan logika seseorang untuk melakukan suatu hal yang tidakk lazim dan
masuk akal untuk diterima. Inilah salah satu gaya penceritaan yang berbeda dari
pengarang yang ingin ditonjolkan. Pengarang mengambil latar tempat kolong
jembatan sebuah kota metropolitan yang besar penuh dengan kemewahan, namun ia
justru menceritakan tokoh-tokoh yang terasing dan mungkin sama sekali tidak
dianggap keberadaannya oleh sebagian besar orang. Ide drama yang diangkat oleh
pengarang sangat dekat sekali dengan dunia keseharian kita, dimana banyak
sekali kita temui gelandangan-gelandangan yang sama sibuknya dengan kegiatan
oknum pemerintah untuk mampu menyambung hidupnya lebih panjang lagi. Dalam
drama ini, pengarang menekankan pada situasi dan suasana sosial kaum
gelandangan dan tunawisma yang notabene tersingkir karena tidak memiliki tempat
tinggal. Oleh sebab itu, dalam cuplikan dialog dalam naskah drama ini banyak
mengungkap tentang pemikiran-pemikiran kaum gelandangan yang sebenarnya sangat
mengharapkan adanya pengakuan dari pemerintah. Drama ini merupakan drama yang
mengandung kritik tajam terhadap kesenjangan sosial dengan mengangkat para kaum
gelandangan yang hidup dengan tidak sewajarnya di bawah kolong jembatan.
Dalam novelnya yang lain yang berjudul Ziarah,
Merahnya Merah, Kering dan Koong, juga pada drama-dramanya, Petang di Taman, RT
nol RW nol, maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya,
para tokohnya terkesan berkelakuan aneh, dan tidak rasional. Tokoh-tokoh dalam
cerita Iwan adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi,
perenung, dan cenderung murung.
Tokoh-tokoh dalam karyanya menurut Iwan sendiri
adalah manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Makanya, ada beberapa
kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit
dicerna. Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal
atau manusia aneh. Dalam drama Petang di Taman yang liris puitis, misalnya,
tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri, berfilsafat, dan putus
komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan
karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.
1 komentar:
kak, boleh tau referensinya
Posting Komentar