Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KETIMPANGAN SOSIAL DALAM DRAMA RT NOL RW NOL KARYA IWAN SIMATUPANG



KETIMPANGAN SOSIAL DALAM DRAMA RT NOL RW NOL KARYA IWAN SIMATUPANG
Oleh: Marinda Agustina

Iwan Simatupang adalah Sastrawan tahun 1960-an yang menulis karya konvensional sebagai pertanda angin baru dalam kesusastraan Indonesia. Iwan Simatupang lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 dengan nama Iwan Martua Dongan Simatupang. Sebagai seorang wartawan, Iwan menulis banyak sketsa tentang orang-orang tersisih dan terpinggirkan. kritikus sastra menyebut karyanya sebagai avant garde terhadap buah pena Iwan Simatupang. Iwan sendiri menyebut dirinya sebagai manusia marjinal, manusia perbatasan. Karya sastra Iwan Simatupang yang berjudul RT nol RW nol ini merupakan karya sastra bergenre drama yang menarik dan berbeda dibandingkan dengan drama-drama lainnya. Drama ini memiliki daya tarik yang sudah mulai terlihat saat kita membaca judulnya. Apa makna sebenarnya dari judul RT nol RW nol yang diciptakan oleh pengarang? Mengapa pengarang mengambil judul seperti itu?. Hal ini akan segera kita ketahui jika kita membaca uraian-uraian dramanya lebih jauh lagi. Alur yang ditampilkan dalam novel ini memang sedikit membingungkan pembaca karena pengarang menggunakan sentuhan filsafat yang amat menarik dan berkesinambungan tentang kehidupan sosial yang menjadi realitas dalam negeri ini. Hal ini jelas terlihat diawal drama tentang pandangan kritis dari tokoh Kakek dan Ani yang mempunyai latar belakang seorang gelandangan, namun memiliki pandangan yang jeli untuk mengkritik dan menghujat tingkah polah pemerintah di negeri ini. Pada bagian belakang drama, pembaca diajak untuk mengikuti kisah kehidupan para tokoh gelandangang ini yang pada akhirnya menemukan kehidupannya yang baru, kemudian meninggalkan RT nol RW nol yang selama ini mereka tinggali. Ditempat itu hanya tersisa seorang kakek tua yang senantiasa hidup di bawah kolong jembatan itu seumur hidupnya. Kakek itu tidak mau pindah dari tempat itu karena merasa bahwa memang disitulah kehidupannya dimulai dan diakhiri nantinya. Kakek itu tidak mau meninggalkan tempat yang ia namai RT 0 RW 0 tersebut meskipun tempat itu bukan miliknya.    
Dari sinopsis diatas, dapat ditangkap makna yang utamanya berupa cerita tentang ketimpangan kehidupan sosial yang ada di Indonesia. Naskah drama berjudul RT nol RW nol ini ditulis oleh Iwan Simatupang pada tahun 1966. Tema dari naskah drama Rt 0/ Rw 0 ini dingkat dari realita sosial tentang perjuangan hidup orang-orang yang merasa terpinggir dan terasingkan. Naskah drama ini dilengkapi dengan dialog-dialog yang idealis dari para tokoh-tokoh yang diceritakan dan lebih menonjolkan sikap pantang menyerah. Rt Nol Rw nol yang dipakai dalam judul drama Iwan Simatupang tersebut tidak hanya sekadar sebuah nama. Dibalik judul itu memiliki arti bahwa RT nol RW nol itu menunjukan bahwa para tokoh yang memerankan drama tersebut diceritakan tidak mempunyai tempat tinggal bahkan tidak diakui sebagai penduduk sebuah negara. Mereka bahkan mungkin tidak mempunyai kartu penduduk. Pengarang menggambarkan kehidupan para gelandangan tersebut dengan lugas dan tegas. Pengarang mengangkat tema tentang kisah hidup seorang gelandangan yang tinggal di kolong-kolong jembatan yang setiap waktu bisa saja digusur oleh pemerintah jika mereka mau. Sungguh sebuah penggambaran yang benar-benar realistis diantara hingar bingarnya kehidupan perkotaan yang menyediakan banyak sekali kemewahan yang sama sekali tidak dirasakan oleh tokoh-tokoh yang secara jelas digambarkan oleh pengarang lewat drama ini. Pengarang dalam tulisannya seolah mengerti bagaimana pergolakan batin para tokoh yang diceritakannya bahwa sebenarnya para gelandangan tersebut juga ingin diakui oleh pemerintah sebagai bagian dari sebuah Negara. Hal ini terlihat dari percakapan tokohnya yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan tempat tinggal yang layak untuk dihuni, mempunyai alamat tetap, dan tentu saja mempunyai kartu penduduk. Iwan Simatupang mengambil begitu banyak sisi yang berbeda dari para tokoh yang digambarkannya, mulai dari seorang kakek yang tinggal di bawah kolong jembatan yang dulunya mantan klasi kapal, ada pula Si pincang dengan kondisi fisiknya yang kurang telah mencari kerja kemana – mana dan tidak pernah mendapatkan hasil yang memuaskan karena tentunya sulit sekali lapangan pekerjaan yang mau menerima orang cacat sepe, dengan di temani  Ani dan Ina kakak – beradik yang bekerja sebagai  PSK ( Pekerja Seks Komersial ) mereka meratapi kejamnya menyambung kehidupan di  kota besar. Kemudian penokohan dalam drama tersebut digambarkan lebih berwarna dengan kedatangan seorang laki – laki bernama Bopeng, Ia adalah mantan penghuni kolong jembatan tempat tinggal kakek, pincang, Ani dan Ina. Ia telah bekerja di sebuah kapal  sebagai Klasi Kapal, tapi Ia membawa seorang wanita bersamanya yang bernama Ati. Ati adalah sosok wanita yang mencari Suaminya yang entah kemana telah menghilang dan kemudian Ia tersesat dan kehabisan uang untuk pulang ke kampungnya. Tokoh-tokoh hasil penggambaran dari pengarang tersebut diceritakan tinggal secara bersama-sama di bawah jembatan yang tiap hari terdengar bising oleh lalu lalang truk yang lewat diatasnya. Semua tokoh-tokoh yang dijadikan inspirasi pengarang dalam menggambarkan dramanya mewakili betapa semrawutnya keadaan negara ini. Kritik sosial terhadap pemerintah jelas dilontarkan oleh pengarang lewat karyanya ini.                                                                               Pengarang menggambarkan kritiknya mulai dari ketidakpedulian pemerintah terhadap para gelandangan, diskriminasi terhadap para pencari kerja yang notabene adalah seorang gelandangan dianggap tidak pantas untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tokoh si Pincang misalnya, ia digambarkan sebagai potret laki-laki yang cacat fisiknya, sedang putus asa dalam mencari pekerjaan karena pada kenyataannya tak seorangpun mau memperkerjakan orang cacat. Inilah salah satu kritik yang realistis dari diri pengarang kepada para diskriminan-diskriminan di negara ini. Hal ini tentunya akan menimbulkan reaksi negatif dari para gelandangan seperti yang dijelaskan oleh pengarang bahwa pemerintah seolah tidak mau tahu tentang kehidupan rakyatnya yang berada di bawah kolong jembatan. Bahkan KTP pun mereka tidak memilikinya. Tanah yang mereka tempati juga sepenuhnya milik pemerintah. Oleh karena itu, mereka menganggap kalau tempat yang mereka tinggali memiliki RW nol RT nol. Drama ini sedikit banyak telah membuka mata kita tentang realitas kehidupan negara Indonesia yang bisa disebut sebagai Negara gelandangan ,khususnya di kota-kota metropolitan. Kerasnya hidup yang dialami oleh para gelandangan  ini memaksa mereka untuk melawan hokum dan membenci pemerintah karena menganggap bahwa nasib buruk yang mereka terima karena ulah pemerintah juga. Bahkan, mereka dengan lantang melanggar peraturan pemerintah tanpa rasa takut. Pengarang menjelaskan bahwa yang ada dalam benak seorang gelandangan hanyalah bisa makan enak keesokan harinya dengan cara apapun. Sekalipun itu harus merampok. Pengarang secara implisit seolah berpikir bahwa uang telah membuat orang menjadi gelap mata. Seperti pada tokoh kakak beradik Ani dan Ina pun yang datang membawa membawa kabar bahwa mereka akan dinikahi oleh Pria yang menjadi langganan mereka. Akhirnya mereka meninggalkan kolong jembatan yang menjadi tempat mereka tinggal.pengarang disini jelas mengatakan bahwa uang mampu mempermainkan logika seseorang untuk melakukan suatu hal yang tidakk lazim dan masuk akal untuk diterima. Inilah salah satu gaya penceritaan yang berbeda dari pengarang yang ingin ditonjolkan. Pengarang mengambil latar tempat kolong jembatan sebuah kota metropolitan yang besar penuh dengan kemewahan, namun ia justru menceritakan tokoh-tokoh yang terasing dan mungkin sama sekali tidak dianggap keberadaannya oleh sebagian besar orang. Ide drama yang diangkat oleh pengarang sangat dekat sekali dengan dunia keseharian kita, dimana banyak sekali kita temui gelandangan-gelandangan yang sama sibuknya dengan kegiatan oknum pemerintah untuk mampu menyambung hidupnya lebih panjang lagi. Dalam drama ini, pengarang menekankan pada situasi dan suasana sosial kaum gelandangan dan tunawisma yang notabene tersingkir karena tidak memiliki tempat tinggal. Oleh sebab itu, dalam cuplikan dialog dalam naskah drama ini banyak mengungkap tentang pemikiran-pemikiran kaum gelandangan yang sebenarnya sangat mengharapkan adanya pengakuan dari pemerintah. Drama ini merupakan drama yang mengandung kritik tajam terhadap kesenjangan sosial dengan mengangkat para kaum gelandangan yang hidup dengan tidak sewajarnya di bawah kolong jembatan. Dalam novelnya yang lain yang berjudul Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong, juga pada drama-dramanya, Petang di Taman, RT nol RW nol, maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya, para tokohnya terkesan berkelakuan aneh, dan tidak rasional. Tokoh-tokoh dalam cerita Iwan adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi, perenung, dan cenderung murung.
Tokoh-tokoh dalam karyanya menurut Iwan sendiri adalah manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Makanya, ada beberapa kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit dicerna. Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal atau manusia aneh. Dalam drama Petang di Taman yang liris puitis, misalnya, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri, berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

GI'S mengatakan...

kak, boleh tau referensinya

Posting Komentar