Nyanyian Romantisisme
Sajak Sapardi Djoko Damono
Oleh: Rizki Rohma
Pelukisan kata indah
nan romantis dalam karya sastra tidak pernah usang dimakan waktu. Pelukisan
kata yang tidak biasa dan asing di telinga sengaja diciptakan oleh pencipta dan
pecinta sastra untuk dapat dirasakan keindahan dan keberbedaannya dimata
penikmat sastra. Nyanyian romantis yang mengalun indah itu terlihat pada karya
sastra puisi sebagai wakil dari ungkapan hati. Kalimat singkat tapi sarat makna,
bentuk berbait dan berbaris memberikan simbol indah pada tatanan kalimat,
bahasa-bahasa yang penuh dengan perumpamaan, penyampaian perasaan yang tidak
secara langsung, serta adanya diksi memberikan warna berbeda pada puisi. Orang
yang bukan pencipta sastra, bukan pecinta sastra dan juga bukan penikmat sastra
dapat mengetahui walau tanpa merasakannya kalimat yang berbait berbaris sarat
gaya bahasa itu adalah puisi.
Karya sastra itu
tercipta bukan dari hal yang tidak ada atau hanya imajinasi penyair saja. Karya sastra itu
lahir karena memang penyair itu ingin menciptakannya sebagai wakil ungkapan
hati dan perasaan. Karya sastra seperti itu dapat dilihat pada puisi. Seorang
penyair mencipta puisi tentu sarat dengan makna dan pesan yang ingin
disampaikan dengan gaya bahasa yang berbeda serta tidak secara langsung. Tujuan
penyair seperti itu untuk memberikan keindahan pada puisinya dan membiarkan
penikmat sastra mengapresiasinya sesuai dengan subjektif pikiran dan perasaan
individu. Karena itulah puisi itu tidak mengikat penikmatnya untuk menerima apa
adanya. Pelukisan kata yang digunakan
penyair yaitu kata-kata romantis yang bernyanyi mengalun indah pada tiap baris
dan bait puisi. Nyanyian romantis itu dapat diucapkan dengan ekspresi senang
karena jatuh cinta atau sedih karena kasih tak sampai serta dapat dirasakan
dengan hati yang sesuai dengan keromantisan pelukisan kata itu. Sapardi Djoko
Damono bisa dikatakan salah satu penyair atau pencipta puisi yang banyak
mengalunkan kata romantis juga sederhana di tiap kata yang berbaris dan berbait
pada puisinya yang bertemakan cinta. Keromantisan ‘kata’ Sapardi Djoko Damono bukanlah
kata yang berlebihan dan sampah belaka. ‘Kata’ Sapardi Djoko Damono berupa
kesederhanaan cinta yang lebih melekat pada perasaan jiwa.
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai
salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar kepada kebudayaan
masyarakat modern di Indonesia untuk melanjutkan tradisi puisi lirik dan
beruapaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah
muncul di jaman pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Sastrawan
yang dilahirkan di Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940 ini pernah menulis
sebanyak delapan belas sajak hanya dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra,
sudah mulai tampak sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Kemudian, ketika duduk di SMA, ia memilih jurusan sastra dan kemudian
melanjutkan pendidikan di UGM, fakultas sastra. Sapardi menulis puisi sejak di
kelas II SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang.
Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa puisi-puisi banyak diterbitkan di
berbagai majalah sastra, majalah budaya dan diterbitkan dalam buku-buku sastra.
Beberapa karyanya yang sudah berada di tengah masyarakat, antara lain “Duka Mu
Abadi” (1969), “Mata Pisau” dan “Aquarium” (1974).
Sebuah karya besar yang pernah ia
buat adalah kumpulan sajak yang berjudul “Perahu Kertas” dan memperoleh penghargaan
dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak “Sihir Hujan” yang ditulisnya ketika ia sedang sakit memperoleh
Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Selain itu, ia pernah memperoleh penghargaan
SEA Write pada 1986 di Bangkok,
Thailand. Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai,
kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan
terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan
sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra,
ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru. Dengan
kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya
terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi
Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu, dia juga menerjemahkan
karya asing seperti karya “Hemmingway The Old Man and the Sea”, “Daisy Manis”
(Henry James), semuanya pada 1970-an serta sekitar 20 naskah drama seperti “Syakuntala”
karya Kalidasa, “Murder in Cathedral” karya TS Elliot, dan “Morning Become
Electra” trilogi karya Eugene O’neil.
Awal saya mengenali sastrawan
angkatan “66 ini ketika saya pertama kali membaca puisinya yang bertemakan
cinta. Puisi itu merupakan puisinya yang pertama kali saya baca dan membuat
saya suka pada sosok Sapardi Djoko Damono dan karya-karyanya yang benar-benar
sastra dan puitis. Pertama kali saya baca puisi “Aku Ingin” saya merasakan
kesederhanaan yang penuh dengan keromantisan. Pada zaman sekarang atau pada
puisi sastrawan angkatan 2000an, puisi bertemakan cinta itu banyak menggunakan
kata yang berlebihan yang sungguh sarat imajinasi dan khayalan, puji dan puja
dan kalimat yang melangit membuat hati melambung dan semakin tidak jelas
perasaannya itu tulus atau tidak. Pada puisi “Aku Ingin” karya Sapardi Djoko
Damono kata-katanya sederhana tetapi lebih melekat pada perasaan sehingga lebih
mampu menyentuh dinding hati yang dalam dan mampu menyampaikan sesuatu itu dengan
lebih jelas. Hal terlihat pada puisinya berikut
Aku Ingin
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
Dengan
kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada
api yang menjadikanya abu
Aku ingin
mecintaimu dengan sederhana
Dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono, (1989)
Dalam puisi di atas Sapardi
menekankan pada kesederhanaan bersajak. Dari kesederhanaan itu kita bisa
melihat kedalaman lukisan perasaan penyairnya. Menurut seorang widyaiswara yang
juga penggemar sastra, puisi di atas diciptakan Sapardi ketika istrinya sedang
sakit. Sapardi ingin menyampaikan bahwa cinta itu sederhana. Cinta itu asalnya
dari perasaan, dan yang namanya perasaan itu tidak bisa dimanipulasi. Kemurnian
dari perasaan yang membuat cinta menjadi sangat sederhana.
Puisi “Aku Ingin” di atas
menceritakan tentang seseorang yang mencintai sesuatu tanpa imbalan, kecuali
perasaan mencintai itu sendiri. Seseorang itu memang tidak berharap imbalan,
tidak mengharuskan orang yang dicintai itu membalasnya. Ia hanya mencintai
orang lain dengan tulus dari hatinya. Selain itu, puisi “Aku Ingin” juga
menceritakan cinta seseorang yang tidak kesampaian pada orang yang dicintanya.
Sebelum ia mengatakan cintanya, orang yang dicintainya itu telah tiada atau
meninggalkannya. Seperti terlihat pada kutipan puisi berikut
...............................................................
Dengan
kata yang tak sempat diucapkan
Kayu
kepada api yang menjadikanya abu
.................................................................
Dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
Kesan yang tampak dalam puisi “Aku
Ingin” ialah ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam kata-kata indah.
Untuk mengungkapkan perasaan itu cara yang paling sederhana justru malah
sanggup menunjukkan kesungguhan perasaan yang sesungguhnya dengan sangat jelas,
melebihi pengungkapan dengan cara yang dikemas dengan cara yang luar biasa. Pemilihan
kata dan penyusunan kalimat yang sederhana menunjukkan luapan kesungguhan
perasaan cinta penyair yang juga mampu menggerakkan perasaan siapa pun yang
membacanya. Inilah kekuatan sebuah perasaan menurut Sapardi Djoko Damono yang
tersirat dalam puisinya.
Untuk lebih mendalami lagi nyanyian
romantis sederhana yang diungkapkan Sapardi Djoko Damono pada puisinya “Aku
Ingin”, saya mencoba mempreteli satu persatu baris puisi tersebut.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Baris pertama puisi “Aku Ingin” itu
saya tertarik pada kata “sederhana” yang mencerminkan kesan puisi Sapardi tentang
kesederhanaan, apa adanya, sedang, tidak muluk-muluk. Menunjukkan perasaan
cinta yang tidak pasif dan juga tidak terlalu menggebu-gebu, serta tidak
dikuasai nafsu. Cinta adalah cinta sebagaimana dia adanya, bukan seperti dia
seharusnya. Selain itu, kata
ini mengategorikan keadaan (sifat) dari ungkapan sebelumnya, yaitu “mencintai”.
Terlepas dari keterkaitannya dengan kata yang lain, kita akan mengandaikan kata
tersebut dengan keseharian yang kita temui. “Sederhana” dikategorikan kata
sifat yang memiliki arti sedang, bersahaja, tidak banyak seluk-beluknya. Dalam
baris “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”, Sapardi menghadirkan keinginan cinta
dengan (sikap) yang sederhana. Cinta yang dihadirkan bukan cinta yang lain,
pasif atau progresif, nafsu atau hal yang mengawang, dan ataupun wujud yang
lain. “Mencinta” di sini hadir dengan wajah yang sederhana, sedang dan tidak
berseluk-beluk atau muluk-muluk.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Baris
kedua puisi “Aku Ingin” menyatakan cinta seseorang tak tersampaikan yaitu
pada “kata yang tak sempat diucapkan” dan “isyarat yang tak sempat disampaikan”.
Baris ketiga puisi “Aku Ingin”
menyatakan adanya kesediaan berkorban demi orang yang dicintai. Api
butuh kayu agar dia bisa tetap berkobar, hujan butuh awan agar tampak mata. Rasa
rela berkorban demi orang yang dicintai memang terkesan romantis pada diri
individu masing-masing. Jika kita benar-benar sayang kepada seseorang,
seolah-olah kita tidak peduli lagi dengan diri kita sendiri selama kita bisa
melihat orang yang kita sayang tetap tersenyum dan bahagia. Dan tanpa disadari,
kita merasa rela mengorbankan apapun untuk orang tersebut. Pada baris inilah
terlihat nyanyian romantis lukisan kata Sapardi melalui gaya metaforisnya
menambah indah sastranya. Di sisi lain, makna yang dapat ditangkap dari baris
ketiga ini sebuah ungkapan rasa terimakasih dari “kayu” yang sampai pada tahap
tertentu lantaran “api”, yang merubahnya menjadi “abu”. Secara sederhana,
diartikan “api” dan “abu” itu dua sifat yang berbeda. Kata “api” diibaratkan
sifat yang keras, sedangkan kata “abu” diibaratkan sifat yang lembut. Perubahan
kayu menjadi abu mewakili perubahan sifat yang keras menjadi sifat yang lembut.
Pendapat ini menyatakan bahwa seseorang yang kita cintai sanggup mengubah kita
dari pribadi yang "keras" menjadi "lembut", atau menjadi
pribadi lebih baik. Rasa terima kasih yang kita rasakan ketika menjadi pribadi
yang lebih baik karena pengaruh seseorang yang dicinta. Sementara, “awan” dan “hujan”
menunjukkan “peleburan”, dimana ketika awan lenyap, hujan ikut sirna. Keduanya
seakan saling mempengaruhi, membuat perbedaan yang ada diantara kedua orang yang
saling mencinta menjadi kabur dan seolah-olah mereka hilang, karena sudah
bersatu. Bait kutipan puisi “Aku Ingin” di atas mengandung unsur peniadaan
dalam melukiskan cintanya. “Api” yang meniadakan “kayu” dan “hujan” yang
meniadakan “awan”. Saya memahami bahwa Sapardi hendak mengatakan bahwa cinta
adalah ketulusan. Api membutuhkan kayu untuk bertahan, demikian juga hujan yang
membutuhkan awan. Kayu dan awan mengorbankan dirinya demi api dan hujan tanpa
perlu mengungkapkan betapa besar pengorbanan mereka. Cinta memang tak lepas
dari pengorbanan dan ketika kita mencintai seseorang, kita akan rela berkorban
demi orang yang kita cintai meskipun terkadang itu membuat kita menghadapi
kesulitan karenanya. Dan inilah kesederhanaan cinta.
Pelukisan kata romantis nan
sederhana Sapardi yang mengalun bernyanyi pada tiap kata dan masih bertemakan
cinta tidak hanya pada puisi “Aku Ingin” saja, tetapi pada puisinya yang lain
juga yang menggambarkan sosok sederhana, tulus dalam mencinta, romantis dalam
kata yang mampu menyentuh dinding hati yang dalam yaitu puisi “Hujan Bulan
Juni”. Pada puisi ini, Sapardi tidak hanya mengungkapkan nyanyian romantis di
tiap katanya, tetapi menggambarkan dan mengibaratkan sesuatu dari sudut pandang
atau hal-hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain. Secara teori
kemungkinannya sangat kecil untuk turun hujan di Indonesia pada bulan Juni,
karena bulan Juni termasuk dalam musim panas. Hal ini menjadi keunikan
tersendiri dan menjadi “jarang terpikirkan oleh orang lain”. Hal ini terlihat
pada puisi berikut
Hujan Bulan
Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Puisi ini menceritakan mengenai
ketabahan seseorang dalam menahan kerinduan dan kebijakan memendam cinta yang
diibaratkan oleh “hujan” dan “pohon berbunga itu”. Makna dari perumpamaan puisi
ini adalah bahwa meskipun seseorang mencintai orang lain dalam hati saja, akan
tetapi orang tersebut dapat menunjukkan rasa cintanya kepada orang yang dia
cintai melalui sikap, perilaku, dan pemberian yang tulus tanpa mengharapkan
balasan atau imbalan apapun, seperti tetes air hujan yang diserap akar pohon
bunga itu. Dalam puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi tetap masih menceritakan
cintanya yang tulus dan masih bertemakan cinta yang sedih. Secara sederhana,
puisi “Aku Ingin” dan puisi “Hujan Bulan Juni” merupakan puisi cinta sederhana
nan romantis karakter Sapardi Djoko Damono. Di sisi lain, puisi “Hujan Bulan
Juni” menyiratkan makna orang yang mencintai tanpa menuntut imbalan apapun.
Bahkan tanpa mengharap cintanya sekalipun. Sungguh tipikal cinta yang murni dan
teramat sederhana. Cinta yang tak mendesak. Dia begitu halus bahkan melampaui
helaan angin. Kesederhanaan cinta diibaratkan Sapardi dengan kehadiran “hujan” seperti
pada kutipan berikut
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Kepada pohon berbunga itu
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Yang ragu-ragu di jalan itu
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Diserap akar pohon bunga itu
Pada kutipan itu diibaratkan “pohon
berbunga” sebagai tempat merahasiakan rindunya aku lirik. Aku lirik
menghapuskan jejaknya pada jalan yang telah dilewati. Aku lirik membiarkan
cintanya tidak diketahui dan “pohon bunga” diibaratkan tempat rahasia. Semua
metaforis itu sungguh sederhana tetapi indah untuk didengarkan dan juga penuh
makna. Dari metaforis “dirahasiakannya rintik rindunya”, “dihapuskannya
jejak-jejak kakinya”, “dibiarkannya yang tak terucapkan”bermakna sesuatu yang
tulus yang tidak mengharapkan imbalan berupa perasaan yang sama.
Secara struktural, seperti pada
puisi sebelumnya “Aku Ingin” Sapardi melakukan pengulangan kata atau kalimat
yang sama pada baris selanjutnya. Seperti “Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana” baris pertama pada puisi “Aku Ingin” diulangi lagi pada baris
keempat. Pada puisi “Hujan Bulan Juni” pengulangan kata atau kalimatnya
terletak pada kalimat “Dari Hujan Bulan Juni” pada baris ketiga diulangi lagi
pada baris ketujuh dan kesebelas.
Dari kedua sajak di atas yang
sederhana tetapi kaya makna yang penuh dengan nyanyian-nyanyian romantis yang
sederhana mengalun di tiap kata-katanya menyiratkan bahwa sajak buah karya
Sapardi Djoko Damono ini merupakan karya yang sangat indah dan benar-benar
menyentuh hati dan perasaan karena isinya ditulis dengan bahasa yang mudah
dimengerti, sederhana tetapi juga romantis jika didengarkan dan dirasakan serta
dipermanis dengan metaforis-metaforis yang manis menambah keromantisannya. Ketika
membaca ataupun mendengarnya kita dapat langsung memahami maknanya yang begitu
haru dan membuat kita sedih. Meskipun beliau menggunakan kata-kata yang
sederhana, namun terdengar luar biasa dan kaya akan makna juga romantis.
0 komentar:
Posting Komentar