GERUTU NURANI BANGSA DALAM CERPEN “MEMEK” KARYA PUTU
WIJAYA
Oleh: Musa Abadi
Pergolakan
bangsa Indonesia untuk selalu menjadi lebih baik dari masa ke masa penuh dengan
gelora. Pemahaman pergolakan yang terjadi selalu menimbulkan perihal yang kontradiksi. Pergolakan ditanggapi
secara positif maupun negatif oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya. Akan tetapi,
perlu disadari bahwa semua tanggapan tersebut merupakan dinamika sosial yang
membangun bangsa ini agar terus bangkit dari keterpurukan atau ketertinggalan
setelah mengalami penjajahan. Sebuah potret pergolakan dan dinamika sosial
bangsa Indonesia dilukiskan oleh Putu Wijaya dalam cerpennya yang berjudul
“Memek”. Sang Pujangga menggunakan memek yang biasa dianggap vulgar apabila
diperbincangkan karena merupakan alat kelamin wanita sebagai suatu simbol
kenyataan kebenaran yang dianggap tabu apabila digali, dianggap aib yang selalu
ditutupi atau tertutupi dan berlaku hukum haram apabila disingkap atau
tersingkap Kisah memek pada hakikatnya berisi sindiran-sindiran pedas yang ditujukan
kepada para penguasa.
Dikisahkan di dalam
sebuah keluarga terdapat sosok anak kecil yang ingin mengetahui apakah itu
memek. Dalam keluarga tersebut terdiri dari nenek, ayah, dan ibu serta anak. Secara
implisit sosok anak kecil dapat diibaratkan rakyat jelata yang ingin membongkar
dan menguak sebuah fakta kebenaran yang ditutup-tutupi atau tertutupi oleh
lingkungan disekitarnya. Rakyat jelata diartikan secara luas yaitu bagian
Bangsa Indonesia dari golongan yang memiliki kekuasaan terendah.
"Anakmu kurang ajar. Pengaruh film, televisi, pergaulan bebas dan
narkoba sudah membuat dia bejat. Ajari anakmu moral, jangan hanya dikasih duit!
Mau jadi apa dia nanti kalau sudah besar? Setan?"
Menantu nenek, ibu anak
itu langsung mencari anaknya. Tanpa bertanya lagi anak itu kontan dihajar hukuman.
"Kamu sudah
kurangajar kepada nenek, mulai sekarang duit uang makan kamu dikurangi, sampai
moral kamu lebih baik. Kamu harus belajar menghormati orang tua. Orang tua itu
adalah asal muasal dan cikal bakal kamu, kamu sama sekali tidak boleh membuat
orang tua marah. Sekali lagi kamu kurangajar, ibu kirim kamu ke desa! Tidak
usah membela diri!"
Rasa ingin tahu sosok anak pada
dialog berikut ini merepresentasikan sebuah usaha rakyat jelata yang kedua .
Sosok bapak dianggap sebagai pemerintah yang berada setingkat di bawah nenek.
Bapak menggunakan kemampuan bersilat lidahnya untuk memahamkan bahwa tidak ada
gunanya membahasa memek. Artinya rakyat jelata dirayu agar tidak perlu
mempertanyakan kembali apa itu sebuah kebenaran oleh penguasa. Rakyat jelata
dipaksa tunduk terhadap apa yang telah diperbuat penguasanya. Rakyat jelata
semakin tidak paham.
Anak itu
tidak berani menjawab. Tetapi ketika keadaan menjadi lebih tenang, dia
menghampiri bapaknya, lalu kembali menanyakan pertanyaan yang belum terjawab
itu.
"Pak, memek itu apa?"
Bapak anak itu
terkejut. Cangklong yang sedang dihisapnya sampai terlepas. Tetapi ia mencoba
tenang, lalu menjawab dengan taktis diplomatis:
"Rambut adalah
mahkota semua manusia. Memek itu adalah mahkota wanita. Tempat dari mana kamu
keluar dan ke mana nanti kamu akan masuk. Jadi ia mengandung pengertian sakral.
Karena itu kamu tidak boleh mengutak-atik. Kamu harus menghormatinya. Dan
berhenti menanyakan itu, karena itu tidak untuk dikupas tetapi dirasakan.
Paham?!"
Pada penggalan cerita selanjutnya
tampak bahwa kegelisahan anak semakin bertambah. Ia ingin segera melihat bukti
konkret. Ia pun menhampiri ibunya dan mempertanyakan memek ibunya berukuran
besar atau tidak. Saat itu pula ibunya marah besar dan malu karena ditertawakan
teman-temannya. Dapat dipahami bahwa Ibu dalam keluarga memiliki kedudukan
kedua dalam memutuskan sesuatu. Makna dari situasi tersebut adalah rakyat
jelata ingin mempertanyakan sebuah kebenaran kepada pejabat lain setingkat
dibawah atasan yang kedua. Tanpa berpikir panjang pejabat tersebut segera
menghubungi atasannya dan memperbincangkan fenomena yang terjadi. Sang
atasannya segera memberikan solusi agar rakyat jelata dibawa ke jalur hukum. Namun
anak buahnya tidak serta merta setuju. Ia memberikan solusi agar dibohongi
saja. Akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil sehingga ia melaksanakan ke ide
atasannya yaitu jalur hukum. Rakyat jelata tersebut dianggap telah melakukan
pencemaran nama baik. Perlu diketahui bahwa dokter dalam cerita bisa dianggap sebagai
jalur hukum. Berikut ini adalah kutipan cerita aslinya.
Anak itu tidak paham. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia
mendekati ibunya yang sedang menerima tamu. Ibunya langsung mengangkat tangan.
"Tidak bisa!"
Anak itu tertegun.
"Aku tidak minta
duit. Aku hanya mau tanya, apakah memek ibu besar? Sebab kalau tidak besar
bagaimana nanti bisa keluar masuk? Kira-kira ukurannya berapa meter?"
Merah padam muka
perempuan itu. Sedangkan tamunya, ibu-ibu pejabat tak bisa menahan diri lalu
tertawa sampai terkencing-kencing.
"Anakmu sakit
jiwa, karena kamu kurang perhatian. Kamu terlalu sibuk bekerja dan menganggap
mendidik anak itu hanya kewajiban perempuan. Ini dia akibatnya sekarang!"
kata ibu anak itu menyalahkan suaminya. "Sekarang sebelum terlambat, lebih
baik kamu bawa dia ke dokter jiwa. Kalau tidak akan jadi apa anak ini! Akan
jadi apa negeri ini kalau generasi mudanya sudah kurang ajar dan krisis
moral?"
Bapak anak itu tidak
setuju dengan istrinya. Ia mencoba untuk melakukan pendekatan lain. Ia membawa
anak itu ke kebun binatang.
"Kamu bertanya apa
itu memek?" bisiknya kepada anaknya. "Nah itu dia yang namanya
memek!"
Bapak anak itu menunjuk
kepada binatang-binatang yang ada di depannya. Ada kuda, badak, harimau, gajah,
monyet."
"Itu yang namanya
memek. Mengerti?!"
Anak itu terdiam.
Tetapi bukan karena mengerti. Ia bertambah bingung. Dalam perjalanan pulang ia
kembali bertanya.
"Apakah memek itu
manis sehingga sering dijilat-jilat?"
"Bangsat!"
teriak bapak anak itu di dalam hati.
Ia membatalkan pulang,
langsung membawa anaknya ke dokter jiwa.
Rakyat jelata yang menuntut
kebenaran dan dibawa ke jalur hukum ternyata dianggap tidak bersalah. Namun
pelapor dan antek-anteknya justru disalahkan. Wibawa hukumpun runtuh karena terjadi
KKN. Upaya kongkalikong yang dilakukan para atasan berhasil. Efek dari
peristiwa yang terjadi adalah suhu politik antar para atasan memanas. Itulah
sebuah makna yang tergambar pada kutipan berikut yang merupakan keelanjutan
cerita.
"Dokter, anak saya ini sudah bejat. Tolong diperiksa apakah dia
sudah dapat gangguan jiwa. Sebab segalanya sudah kami penuhi dengan
berkecukupan. Sandang pangan bahkan sekolah yang terbaik dan termahal kami
berikan. Mengapa dia jadi tumbuh seperti setan begini?"
Dokter jiwa itu lalu
memanggil anak itu masuk ke dalam kamar periksa. Dua jam kemudian dia keluar.
"Bagaimabna
Dok?"
"Saya kira anak
Bapak sehat walafiat."
"Maksud saya jiwa
dan moralnya?!"
"Ya, bagus. Saya
hanya ada nasehat kecil."
"Apa Dok?"
"Semua anak sampai
usia tertentu seperti sebuah cermin. Dia merefleksikan dengan obyektif apa yang
ada di sekitarnya. Anak adalah pantulan langsung dari lingkungan dan orang
tuanya. Jadi....... "
"Jadi apa
Dok?"
"Anak itu masih
punya ibu?"
"Ada di rumah,
kenapa Dok?"
"O bagus kalau
begitu. Jadi sebaiknya, sebelum saya melanjutkan pemeriksaan kepada anak itu,
saya anjurkan supaya Bapak dan Ibu saya periksa terlebih dahulu. Makin cepat
makin baik, sebelum menginjak ke stadium berikutnya."
Kontan bapak anak itu
pergi.
"Dokter
gila!" umpatnya sambil membawa anaknya pulang. "Dasar mata duitan,
anak gua yang bermasalah, gua yang mau dikobel-kobel. Kenapa bukan para elit
politik yang sudah bikin kisruh negara ini saja yang mereka tuduh sebagai
penyebab krisis moral anak ini. Gelo!"
Suhu politik memanas.
Para elit politik berperang. Dollar melambung tinggi. Persoalan itu untuk
sementaram dibekukan. Tapi beku tentu saja tidak berarti sudah berakhir.
Pertanyaan itu masih terus berkecambuk di kepala anak itu.
Hingga
suatu hari kebenaran terungkap dari sosok yang pemberani yang dilambangkan
sebagai guru. Guru dapat dianggap sebagai ratu kebenaran yang mengungakap
gelapnya misteri keadilan. Untuk masa ini sosok guru bisa diibaratkan KPK.
Rakyat jelata yang membongkar sebuah kerumitan yang dibuat-buat oleh atasan
atau identik dengan penguasa. Penuh keberanian dan pengorbanan dalam mengungkap
sebuah realita yang terjadi itulah yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya.
Seperti yang tampak pada akhir cerita.
Pensil di tangan Bu Guru jatuh ke lantai. Bu guru berjongkok. Seluruh
anak-anak di dalam kelas, berdiri, menjulurkan kepalanya dan melihat apa yang
jatuh. Tiba-tiba Bu Guru berdiri lagi sambil mengangkat roknya. Dari pinggang
sampai ke bawah ia telanjang bulat.
"Memek itu
ini!"katanya dengan tegas sambil menunjuk ke arah alat kelaminnya.
Seluruh keras meledak.
Anak-anak perempuan menjerit dan menangis. Yang laki-laki
meloncat, lari ketakutan keluar kelas. Sedangkan anak yang bertanya itu seperti
disiram air panas. Seluruh tubuhnya tegang dan kemudian basah.
Peristiwa itu dicatat
sekolah sebagai huru-hara yang memalukan. Ibu Guru yang cantik itu langsung
dipanggil oleh Kepala Sekolah, lalu diskors. Para orang tua murid protes.
Mereka menuntut supaya Bu Guru itu dipecat. Dan malam-malam, rumah Bu Guru itu
berantakan karena dilempari batu. Surat kaleng dan telepon gelap dengan ancaman
mengerikan menghujani rumahnya.
Akhirnya Bu Guru Memek
itu dipecat. Tapi sebagian masyarakat, berdasarkan pooling yang dilakukan oleh
media massa, menganggap hukuman itu belum setimpal. Mereka menuntut supaya guru
yang bejat itu hengkang dari pemukiman mereka. Dan ketika yang bersangkutan
akhirnya boyongan pindah ke kota lain, karena tidak mau mengganggu
ketenteraman, di luar kota mobilnya dicegat. Dia dirampok, diperkosa dan
kemudian dicampakkan ke tepi jalan dalam keadaan tidak bernyawa.
Di sebuah desa kecil
yang terpencil dan sunyi, kini ia terbaring bisu, di bawah batu nisan yang tak
bernama. Anak yang bertanya itu, bersimpuh sambil memegang sekuntum bunga. Di sampingnya,
kedua orang tuanya berdiri menemani.
"Terima kasih Bu
Guru. Karena keberanian dan kejujuranmu, sekarang anak kami tidak bertanya
lagi. Tetapi alangkah mahalnya kebenaran, kalau hanya untuk menjelaskan satu
kata saja, diperlukan sebuah nyawa."
Salah
satu karya Putu Wijaya ini penuh dengan makna simbol misteri didalamnya.
Pembaca diajak untuk merenungkan sebuah kenyaataan yang dihadapi bangsa dalam
teka-teki cerita pendek. Karya ini sebenarnya merupakan potret nyata. Pemilihan
judul yang tepat dan bersimbol mengindikasikan bahwa pembaca awam tentunya
kurang dapat menikmati isi dari cerita ini.
0 komentar:
Posting Komentar