Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

GERUTU NURANI BANGSA DALAM CERPEN “MEMEK” KARYA PUTU WIJAYA




GERUTU NURANI BANGSA DALAM CERPEN “MEMEK” KARYA PUTU WIJAYA 
Oleh: Musa Abadi
 

Pergolakan bangsa Indonesia untuk selalu menjadi lebih baik dari masa ke masa penuh dengan gelora. Pemahaman pergolakan yang terjadi selalu menimbulkan  perihal yang kontradiksi. Pergolakan ditanggapi secara positif maupun negatif oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya. Akan tetapi, perlu disadari bahwa semua tanggapan tersebut merupakan dinamika sosial yang membangun bangsa ini agar terus bangkit dari keterpurukan atau ketertinggalan setelah mengalami penjajahan. Sebuah potret pergolakan dan dinamika sosial bangsa Indonesia dilukiskan oleh Putu Wijaya dalam cerpennya yang berjudul “Memek”. Sang Pujangga menggunakan memek yang biasa dianggap vulgar apabila diperbincangkan karena merupakan alat kelamin wanita sebagai suatu simbol kenyataan kebenaran yang dianggap tabu apabila digali, dianggap aib yang selalu ditutupi atau tertutupi dan berlaku hukum haram apabila disingkap atau tersingkap  Kisah memek pada hakikatnya berisi sindiran-sindiran pedas yang ditujukan kepada para penguasa.
Dikisahkan di dalam sebuah keluarga terdapat sosok anak kecil yang ingin mengetahui apakah itu memek. Dalam keluarga tersebut terdiri dari nenek, ayah, dan ibu serta anak. Secara implisit sosok anak kecil dapat diibaratkan rakyat jelata yang ingin membongkar dan menguak sebuah fakta kebenaran yang ditutup-tutupi atau tertutupi oleh lingkungan disekitarnya. Rakyat jelata diartikan secara luas yaitu bagian Bangsa Indonesia dari golongan yang memiliki kekuasaan terendah.  
           
Intimidasi oleh nenek, ibu, dan bapak terhadap anak kecil tersebut selalu dirasakan walupun dia adalah cucu atau anak kandungnya. Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa rakyat jelata dianggap kurang berkuasa dan lemah serta mudah dipermainkan. Pada percakapan berikut ini tampak kentara bahwa rakyat jelata yang ingin mempertanyakan dan menguak sebuah  fakta kebenaran dapat juga dirampas haknya, dihasut, dan terkesan adanya distorsi.   
            "Anakmu kurang ajar. Pengaruh film, televisi, pergaulan bebas dan narkoba sudah membuat dia bejat. Ajari anakmu moral, jangan hanya dikasih duit! Mau jadi apa dia nanti kalau sudah besar? Setan?"
            Menantu nenek, ibu anak itu langsung mencari anaknya. Tanpa bertanya lagi anak itu kontan dihajar hukuman.
            "Kamu sudah kurangajar kepada nenek, mulai sekarang duit uang makan kamu dikurangi, sampai moral kamu lebih baik. Kamu harus belajar menghormati orang tua. Orang tua itu adalah asal muasal dan cikal bakal kamu, kamu sama sekali tidak boleh membuat orang tua marah. Sekali lagi kamu kurangajar, ibu kirim kamu ke desa! Tidak usah membela diri!"
           
            Rasa ingin tahu sosok anak pada dialog berikut ini merepresentasikan sebuah usaha rakyat jelata yang kedua . Sosok bapak dianggap sebagai pemerintah yang berada setingkat di bawah nenek. Bapak menggunakan kemampuan bersilat lidahnya untuk memahamkan bahwa tidak ada gunanya membahasa memek. Artinya rakyat jelata dirayu agar tidak perlu mempertanyakan kembali apa itu sebuah kebenaran oleh penguasa. Rakyat jelata dipaksa tunduk terhadap apa yang telah diperbuat penguasanya. Rakyat jelata semakin tidak paham.
            Anak itu tidak berani menjawab. Tetapi ketika keadaan menjadi lebih tenang, dia menghampiri bapaknya, lalu kembali menanyakan pertanyaan yang belum terjawab itu.
            "Pak, memek itu apa?"
            Bapak anak itu terkejut. Cangklong yang sedang dihisapnya sampai terlepas. Tetapi ia mencoba tenang, lalu menjawab dengan taktis diplomatis:
            "Rambut adalah mahkota semua manusia. Memek itu adalah mahkota wanita. Tempat dari mana kamu keluar dan ke mana nanti kamu akan masuk. Jadi ia mengandung pengertian sakral. Karena itu kamu tidak boleh mengutak-atik. Kamu harus menghormatinya. Dan berhenti menanyakan itu, karena itu tidak untuk dikupas tetapi dirasakan. Paham?!"
            Pada penggalan cerita selanjutnya tampak bahwa kegelisahan anak semakin bertambah. Ia ingin segera melihat bukti konkret. Ia pun menhampiri ibunya dan mempertanyakan memek ibunya berukuran besar atau tidak. Saat itu pula ibunya marah besar dan malu karena ditertawakan teman-temannya. Dapat dipahami bahwa Ibu dalam keluarga memiliki kedudukan kedua dalam memutuskan sesuatu. Makna dari situasi tersebut adalah rakyat jelata ingin mempertanyakan sebuah kebenaran kepada pejabat lain setingkat dibawah atasan yang kedua. Tanpa berpikir panjang pejabat tersebut segera menghubungi atasannya dan memperbincangkan fenomena yang terjadi. Sang atasannya segera memberikan solusi agar  rakyat jelata dibawa ke jalur hukum. Namun anak buahnya tidak serta merta setuju. Ia memberikan solusi agar dibohongi saja. Akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil sehingga ia melaksanakan ke ide atasannya yaitu jalur hukum. Rakyat jelata tersebut dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. Perlu diketahui bahwa dokter dalam cerita bisa dianggap sebagai jalur hukum. Berikut ini adalah kutipan cerita aslinya.
            Anak itu tidak paham. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia mendekati ibunya yang sedang menerima tamu. Ibunya langsung mengangkat tangan.
            "Tidak bisa!"
            Anak itu tertegun.
            "Aku tidak minta duit. Aku hanya mau tanya, apakah memek ibu besar? Sebab kalau tidak besar bagaimana nanti bisa keluar masuk? Kira-kira ukurannya berapa meter?"
            Merah padam muka perempuan itu. Sedangkan tamunya, ibu-ibu pejabat tak bisa menahan diri lalu tertawa sampai terkencing-kencing.
            "Anakmu sakit jiwa, karena kamu kurang perhatian. Kamu terlalu sibuk bekerja dan menganggap mendidik anak itu hanya kewajiban perempuan. Ini dia akibatnya sekarang!" kata ibu anak itu menyalahkan suaminya. "Sekarang sebelum terlambat, lebih baik kamu bawa dia ke dokter jiwa. Kalau tidak akan jadi apa anak ini! Akan jadi apa negeri ini kalau generasi mudanya sudah kurang ajar dan krisis moral?"
            Bapak anak itu tidak setuju dengan istrinya. Ia mencoba untuk melakukan pendekatan lain. Ia membawa anak itu ke kebun binatang.
            "Kamu bertanya apa itu memek?" bisiknya kepada anaknya. "Nah itu dia yang namanya memek!"
            Bapak anak itu menunjuk kepada binatang-binatang yang ada di depannya. Ada kuda, badak, harimau, gajah, monyet."
            "Itu yang namanya memek. Mengerti?!"
            Anak itu terdiam. Tetapi bukan karena mengerti. Ia bertambah bingung. Dalam perjalanan pulang ia kembali bertanya.
            "Apakah memek itu manis sehingga sering dijilat-jilat?"
            "Bangsat!" teriak bapak anak itu di dalam hati.
            Ia membatalkan pulang, langsung membawa anaknya ke dokter jiwa.
            Rakyat jelata yang menuntut kebenaran dan dibawa ke jalur hukum ternyata dianggap tidak bersalah. Namun pelapor dan antek-anteknya justru disalahkan. Wibawa hukumpun runtuh karena terjadi KKN. Upaya kongkalikong yang dilakukan para atasan berhasil. Efek dari peristiwa yang terjadi adalah suhu politik antar para atasan memanas. Itulah sebuah makna yang tergambar pada kutipan berikut yang merupakan keelanjutan cerita.
            "Dokter, anak saya ini sudah bejat. Tolong diperiksa apakah dia sudah dapat gangguan jiwa. Sebab segalanya sudah kami penuhi dengan berkecukupan. Sandang pangan bahkan sekolah yang terbaik dan termahal kami berikan. Mengapa dia jadi tumbuh seperti setan begini?"
            Dokter jiwa itu lalu memanggil anak itu masuk ke dalam kamar periksa. Dua jam kemudian dia keluar.
            "Bagaimabna Dok?"
            "Saya kira anak Bapak sehat walafiat."
            "Maksud saya jiwa dan moralnya?!"
            "Ya, bagus. Saya hanya ada nasehat kecil."
            "Apa Dok?"
            "Semua anak sampai usia tertentu seperti sebuah cermin. Dia merefleksikan dengan obyektif apa yang ada di sekitarnya. Anak adalah pantulan langsung dari lingkungan dan orang tuanya. Jadi....... "
            "Jadi apa Dok?"
            "Anak itu masih punya ibu?"
            "Ada di rumah, kenapa Dok?"
            "O bagus kalau begitu. Jadi sebaiknya, sebelum saya melanjutkan pemeriksaan kepada anak itu, saya anjurkan supaya Bapak dan Ibu saya periksa terlebih dahulu. Makin cepat makin baik, sebelum menginjak ke stadium berikutnya."
            Kontan bapak anak itu pergi.
            "Dokter gila!" umpatnya sambil membawa anaknya pulang. "Dasar mata duitan, anak gua yang bermasalah, gua yang mau dikobel-kobel. Kenapa bukan para elit politik yang sudah bikin kisruh negara ini saja yang mereka tuduh sebagai penyebab krisis moral anak ini. Gelo!"
            Suhu politik memanas. Para elit politik berperang. Dollar melambung tinggi. Persoalan itu untuk sementaram dibekukan. Tapi beku tentu saja tidak berarti sudah berakhir. Pertanyaan itu masih terus berkecambuk di kepala anak itu.
            Hingga suatu hari kebenaran terungkap dari sosok yang pemberani yang dilambangkan sebagai guru. Guru dapat dianggap sebagai ratu kebenaran yang mengungakap gelapnya misteri keadilan. Untuk masa ini sosok guru bisa diibaratkan KPK. Rakyat jelata yang membongkar sebuah kerumitan yang dibuat-buat oleh atasan atau identik dengan penguasa. Penuh keberanian dan pengorbanan dalam mengungkap sebuah realita yang terjadi itulah yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya. Seperti yang tampak pada akhir cerita.
            Pensil di tangan Bu Guru jatuh ke lantai. Bu guru berjongkok. Seluruh anak-anak di dalam kelas, berdiri, menjulurkan kepalanya dan melihat apa yang jatuh. Tiba-tiba Bu Guru berdiri lagi sambil mengangkat roknya. Dari pinggang sampai ke bawah ia telanjang bulat.
            "Memek itu ini!"katanya dengan tegas sambil menunjuk ke arah alat kelaminnya.
            Seluruh keras meledak. Anak-anak perempuan  menjerit dan menangis. Yang laki-laki meloncat, lari ketakutan keluar kelas. Sedangkan anak yang bertanya itu seperti disiram air panas. Seluruh tubuhnya tegang dan kemudian basah.
            Peristiwa itu dicatat sekolah sebagai huru-hara yang memalukan. Ibu Guru yang cantik itu langsung dipanggil oleh Kepala Sekolah, lalu diskors. Para orang tua murid protes. Mereka menuntut supaya Bu Guru itu dipecat. Dan malam-malam, rumah Bu Guru itu berantakan karena dilempari batu. Surat kaleng dan telepon gelap dengan ancaman mengerikan  menghujani rumahnya.
            Akhirnya Bu Guru Memek itu dipecat. Tapi sebagian masyarakat, berdasarkan pooling yang dilakukan oleh media massa, menganggap hukuman itu belum setimpal. Mereka menuntut supaya guru yang bejat itu hengkang dari pemukiman mereka. Dan ketika yang bersangkutan akhirnya boyongan pindah ke kota lain, karena tidak mau mengganggu ketenteraman, di luar kota mobilnya dicegat. Dia dirampok, diperkosa dan kemudian dicampakkan ke tepi jalan dalam keadaan tidak bernyawa.
            Di sebuah desa kecil yang terpencil dan sunyi, kini ia terbaring bisu, di bawah batu nisan yang tak bernama. Anak yang bertanya itu, bersimpuh sambil memegang sekuntum bunga. Di  sampingnya, kedua orang tuanya berdiri menemani.
            "Terima kasih Bu Guru. Karena keberanian dan kejujuranmu, sekarang anak kami tidak bertanya lagi. Tetapi alangkah mahalnya kebenaran, kalau hanya untuk menjelaskan satu kata saja, diperlukan sebuah nyawa."
            Salah satu karya Putu Wijaya ini penuh dengan makna simbol misteri didalamnya. Pembaca diajak untuk merenungkan sebuah kenyaataan yang dihadapi bangsa dalam teka-teki cerita pendek. Karya ini sebenarnya merupakan potret nyata. Pemilihan judul yang tepat dan bersimbol mengindikasikan bahwa pembaca awam tentunya kurang dapat menikmati isi dari cerita ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar