Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Menguak Simbol Kisah Cinta Indonesia dalam Cerpen “Menanti Cinta Sejati” Karya Afifah Afra



Menguak Simbol Kisah Cinta Indonesia dalam Cerpen
“Menanti Cinta Sejati” Karya Afifah Afra
Oleh: Anjar Aprilia Kristanti

Pendahuluan
            Karya sastra merupakan suatu sistem tanda yang memiliki makna. Banyak ditemukan tanda-tanda yang menjadi simbol dari sesuatu yang diacunya. Sebagian besar simbolisasi dalam suatu karya sastra bertujuan untuk menambahkan nilai estetika dalam karya tersebut, dan membiarkan karya mereka membekas di hati pembaca karena adanya proses berfikir untuk menguak simbol-simbol tersebut. Akan jadi biasa ketika suatu karya dikemas secara lugas dan mudah dimengerti, maka karya tersebut hanya akan numpang lewat sebagai penghibur pembacanya. Seorang pembaca akan dituntut untuk menemukan hubungan penandaan itu secara kreatif. Tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat-sifat kultural, situasional, kondisional (Suwignyo, 2010:119). Afifah Afra memiliki salah satu tulisan yang terdapat simbol-simbol bermakna dan dekat dengan kehidupan sehari-hari sebagai warga Negara Indonesia. Kehadiran simbol-simbol yang disajikan Afifah Afra dalam cerpen ini berada dalam tiap unsur cerpen sehingga pembahasan ini tidak bisa jauh dari pendekatan objektif. Pada tulisan ini lebih fokus pada salah satu unsur, unsur cerpen yang paling tampak simbolisasinya, mudah dikuak dan merupakan kunci untuk memahami cerpen ini terletak pada bagian tokoh dan penokohan yang digambarkan. Selain itu, dalam tulisan ini juga mengangkat beberapa kejadian dalam dunia nyata yang tersirat dalam simbol-simbol tersebut. 
            Banyak kejadian yang dialami Indonesia mulai dari tuntutan rakyat untuk merdeka hingga mempertahankan kemerdekaan tersebut. Cerpen inilah potret dari beberapa kejadian yang terjadi, cerpen ini menceritakan sejarah Indonesia mulai dari jaman penjajahan luar Negeri hingga “penjajahan” lokal. Tidak sesederhana konsep ceritanya, penyampaian cerita dalam cerpen ini dikemas dengan banyak simbol yang bisa hadir melalui pemikiran yang kreatif oleh Afifah Afra. Cerita tragis Indonesia ini dikemas dalam cerita cinta antara Indonesia dengan ‘kekasih-kekasihnya’ yang sebenarnya merupakan pihak yang berperan dalam insiden kemerdekaan hingga pemertahanan kemerdekaan. Tulisan ini akan sedikit mengulas cerita nyata dalam cerpen ini sambil menjelaskan simbol-simbol yang Afifah Afra berusaha sampaikan. Siapakah Afifah Afra? Nama itu sebenarnya nama pena dari Yeni Mulati Sucipto. Wanita kelahiran Purbalingga, 18 Februari 1979 menuliskan dalam blog pribadinya menyatakan bahwa dirinya termasuk remaja yang pemikirannya mungkin telah melampaui usianya. Di saat remaja-remaja lain lebih menyenangi dunia remaja yang penuh warna, Afra telah memenuhi ruang memori dengan bacaan-bacaan yang berat seperti sains, sejarah, sosial budaya, religi maupun politik, selain itu Afra memang penggemar buku sejak kecil. Membaca adalah bagian yang cukup penting dalam kehidupannya. Bahkan, membaca telah menjadi semacam kebutuhan pokok, layaknya makan dan minum. Dilihat dari hobinya dari remaja, wajarlah cerpen ini lahir bertolak dari situasi-situasi sosial-budaya yang mungkin diilhami ketika membaca maupun merasakannya langsung.
           
Simbol-simbol yang digunakan dalam cerpen ini dapat dipecahkan melalui simbolisasi sisi penokohan. Tokoh utamanya ‘Raden Ajeng Puteri Khatulistiwa” tokoh ini merupakan simbolisasi dari Negara Indonesia. Dalam Pradopo (2002:271) menyatakan bahwa simbol merupakan tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Ketika masyarakat membaca kata ‘Khatulistiwa’ sudah tentu yang dipikirkan adalah Indonesia yang memang Negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa. Selain itu dalam cerita ini, juga digambarkan bahwa puteri ini bertebar kemuliaan, kejayaan, dan kemolekan, serta banyak yang ingin memiliki karena mengaguminya, tetapi puteri tetap membutuhkan cinta sejati yang bisa mengurusnya kala itu. Tidak ada yang bisa menampik bahwa Negara Indonesia yang hijau dan berlimpah sumber daya alam ini berpotensi untuk jaya, dan banyak Negara yang berebut memiliki Indonesia.
Lalu datanglah tokoh selanjutnya yang disimbolkan sebagai Ksatria dari Negeri seberang, bertubuh tinggi, berkulit seputih awan, bermata biru lautan, dan berambut semerah rambut jagung. Ksatria sangat menyukai Puteri, tapi pada  akhirnya puteri mengetahui bahwa ketika mereka bersama sebenarnya Ksatria sudah ada kekasih hati lain yang menikmati hasil perasan Ksatria dari Sang Puteri. Hal ini sangat menyakitkan untuk Puteri. Dilihat dari simbolisasi sebelumnya, dihubungkan dengan sejarah Indonesia, Ksatria jangkung pemeras demi kejayaan kekasih aslinya, siapa lagi kalau bukan simbolisasi penjajah Belanda. Buktinya, salah satu rayuan Belanda pada ‘Putri’ menggunakan bahasa Belanda, “Ik hou van jou, ik heb uw life….”. Bertahun-tahun Belanda menjajah bangsa Indonesia untuk mengeruk keuntungan dan memakmurkan negaranya.
            Setelah itu kekuasaan direbut oleh Jepang yang tampak awalnya baik ingin membantu Indonesia, memperbolehkan Indonesia kembali bebas menggunakan tradisinya, tapi tak lama, kelakuan Jepang pada warga Indonesia tidak pantas, bahkan lebih parah dibanding perlakuan Belanda sebelumnya. Jepang memeras habis mulai dari sumber daya alam hingga manusianya, dahulu dikenal dengan kerja rodi. Janji-janji manis Jepang pada Indonesia tidak pernah dipenuhi. Bukti bahwa Jepang masuk dalam cerpen ini tampak pada simbolisasi hadirnya ksatria berkulit sekuning kunyit, bermata sipit, dan pendek. Ksatria tersebut tak lama mengambil hati Puteri dengan janji-janjinya dan dilanjutkan dengan pecutan-pecutan yang menyakitkan Puteri.
            Kisah selanjutnya menjelaskan kisah cinta Puteri dengan ‘pinangan resmi’, namun tetap merana. ‘Pinangan resmi’ yang dimaksudkan disini merupakan simbolisasi hubungan Indonesia dengan presiden-presidennya pada jaman itu dalam rangka pemertahanan kemerdekaan NKRI. Presiden yang disimbolkan dalam cerpen ini adalah Pak Karno, Pak Harto, dan Pak Habibie. Pak Karno disimbolkan sebagai Sang merdeka, cerpen ini menunjukkan bahwa Sang Merdeka bisa membuat Puteri Khatulistiwa nyaman dan kembali merasa diperlakukan sebagai wanita. Hal tersebut tidak berlangsung lama hingga Sang Merdeka menjadi sangat posesif dan pencemburu, atau Pak Karno mencanangkan demokrasi terpimpin, dan menginginkan menjadi Presiden seumur hidup, akhirnya pun Sang Merdeka lengser.
 ‘Perebutan cinta’ dalam cerpen ini merupakan simbol dari pemilihan presiden selanjutnya yang dimenangkan oleh Pak Harto yang disimbolkan Sang Pembaru, disimpulkan Sang Pembaru adalah Pak Harto karena warga Indonesia tentu tahu peran Pak Harto dalam pembangungan orde baru. Namun, pernikahan Puteri tetap harus kandas karena ternyata perlakuan Sang Pembaru tidak jauh lebih baik dari Sang Merdeka. Banyak kekacauan yang terjadi, dalam cerpen ini diceritakan Sang Pembaru menganiaya dengan memukuli jemari Puteri, yang dimaksudan dalam pernyataan tersebut adalah Pak Harto kala itu menimbulkan pertumpahan darah di Indonesia, banyak kerusuhan juga penghilangan bagi warga-warga yang kontra atas keputusannya. Jadi setiap bagian tubuh dari Puteri merupakan simbol wilayah Indonesia. Karena kekacauan berbagai wilayah tersebut, tidak bisa dihindari, Pak Harto pun lengser. Pernikahan Puteri selanjutnya dengan suami ketiga yang merupakan sosok yang tulus dan lembut juga tidak berlangsung lancar. Suami ketiga terlalu mudah melepaskan salah satu jemari Puteri, padahal jika jemari tersebut terlepas. Siapakah yang disimbolkan pada kisah cinta Puteri Khatulistiwa tersebut? Tidak bisa dipungkiri, yang dimaksudkan penulis tentu adalah Pak Habibie dengan peristiwa terpisahnya Timor-timur dari Indonesia. Pak Habibie yang dikenal baik dan lembut merasa tidak cukup baik untuk ‘Puteri Khatulistiwa’ akhirnya mengundurkan diri sebagai Presiden.
            Tanda-tanda yang ada dalam cerpen ini merupakan suatu simbol. Pradopo (2002: 271) menyatakan bahwa simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan alamiah antara keduanya, hubungan bersifat arbitrer atau semau-maunya, berdasarkan konvensi masyarakat. Arti simbol ditentukan oleh konvensi masyarakat. Oleh karena itu, Afra menggunakan simbol-simbol “telanjang” yang dengan mudah dipahami pembaca berpengetahuan cukup dengan tujuan menambah nilai estetika karyanya tanpa membuat pembaca tidak mengerti, karena simbol yang digunakan sudah lama dimengerti masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Cerpen ini seperti tak memiliki akhir. Pada bagian yang dianggap akhir oleh penulis pun masih menunjukkan Sang Puteri Khatulistiwa membuat Sayembara untuk menemukan cinta sejatinya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih terus mencari pemimpin yang dirasa pas untuk memberikan kekuatan terbaiknya dalam kepemimpinan. Cerpen ini bukan termasuk cerpen sepanjang masa, dilihat dari tahun pembuatannya, 2009, tentu sudah ada beberapa presiden yang ‘meminang’ Indonesia, sedangkan cerpen ini berhenti pada ‘suami’ ketiga saja. Orang pada masa kini yang membaca cerpen ini akan merasa bahwa tulisan ini harus ada lanjutannya, mungkin inilah persepsi Afifah Afra yang merupakan penulis muda pada waktu presiden-presiden yang ia sebutkan dalam cerpennya. Dalam cerpen, digambarkannya kejelekan-kejelekan yang melukai hati Indonesia, tanpa berpihak dan memuji salah satu tokoh. Kebebasan dalam kata dipegang betul oleh Afra, karena ia menuliskan atau mengggambarkan memori-memori yang dia alami dan membubuhkan dalam cerpennya sesuai dengan pandangannya. Meski tampak memberikan gambaran dan pelajaran sejarah bagi pembacanya, pendidikan moral yang tampak dalam cerpen ini kurang, sehingga tidak bisa diserap dengan benar oleh semua umur. Ini bukan cerpen untuk anak karena konsep cerita yang terlalu sederhana menceritakan seorang Puteri yang sejak dulu kala mereka harusnya kenal memiliki sifat seperti bidadari malah harus berganti-ganti suami dan mudah dirayu, hal tersebut tidak baik bagi siapapun yang memiliki pemikiran sebaliknya. Pendidikan sejarah mungkin ada bagi sebagian anak yang mengerti simbolisasi dalam cerpen Afra ini. Karya ini bagus sebagai wujud persepsi penulis mengenai fenomena sosial yang terjadi. Namun sebagai seorang warga Negara, alangkah baiknya menghargai setiap jasa orang yang pernah ambil peran dalam Negara kita. Sebagai manusia seharusnya tidak hanya kejelekan oranglain yang diceritakan tanpa memperdulikan jasa yang pernah diberikan pada kita.         

Daftar Rujukan:
Pradopo, R.D. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media
Suwigyo,H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya. Malang: Asih Asah Asuh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar