Membedah
Makna Kehidupan dari Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A.
Navis
Oleh: Dieseta Silvi Palupi
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis ini bukan tanpa
pertimbangan atau alasan mengapa menarik untuk dikomentari. Dari semua
cerpen yang terangkum dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami, cerpen ini memiliki keistimewaan. Keistimewaannya yaitu terletak pada
teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa. Tidak biasanya karena Navis
menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi
dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Hal seperti ini saya
temukan dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin
dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Akan
tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul
dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus
berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa
kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara tajam
namun tampak tersamarkan. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung, Tuhan dan
malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali. Sedangkan dalam cerpen Robohnya
Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak
pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak
mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras, sebab kerja keras adalah bagian
penting dari ibadah kita.
Ditinjau dari unsur intrinsik yang mencakup tujuh komponen,
yang antara lain berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan,
dan gaya, cerpen A.A. Navis mempunyai unsur intrinsik sebagai berikut.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami
sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan
Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan?
Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain,
tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah.
Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya.
Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari
esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya
yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan
manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku
menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ”
Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian
pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak, kesalahan engkau, karena
engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu
kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan
kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya.
Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dengan
demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen
ini adalah seorang kepala keluarga yang melupakan tanggung jawabnya sebagai
kepala rumah tangga dengan hanya mengabdikan dirinya pada surau yang tua, sehingga dari masalah kelalaiannya
itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat
universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diterima oleh setiap orang.
Amanat
Amanat
yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara,
jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini
terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat
pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya
muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat
yang dimaksud itu di antaranya “Jangan mudah tersinggung kalau ada orang yang mengejek atau
menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang
lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda,
tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah
lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah
begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”
Amanat
yang kedua jangan
cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja
baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba
saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di
akhirat sana:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh,
karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih
kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua
orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia
sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula (12 – 13).
Amanat selanjytnya adalah jangan menyia-nyiakan apa yang kamu
miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu
melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan
orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi
antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang
kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat
tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau
semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau
engkau miskin .…” (15)
Jangan
mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini
halaman 16.
”…. Kesalahan engkau, karena engkau
terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau
taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya.
Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu;
dan latar sosial.
Latar
Tempat
Latar
tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat
pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira
sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang
kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di
ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan
ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar
waktu yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat,
seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang
lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi
memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang
….” (hlm. 10)
Meskipun
begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya
akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah
kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari mudaku aku di sini, bukan
?….” (hlm.10)
Latar
Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di
dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan
tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah
ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim,
penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari
contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau
cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan
kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?”
suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak
yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan
ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam
dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan
berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng
orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi
sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya.
Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan
juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama
indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang
menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat
menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen
ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan
bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial
pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan
akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak
sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
Alur (plot)
Struktur alur atau plot itu terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot
itu dapat diuraikan seperti berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini
terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/
memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini,
eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang
kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti
yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak
mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at.
Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari
kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai
Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau.
Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong
kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang
perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal
sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok,
kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima
kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan
yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang
didalamnya terdapat keterbukaan. Yang dimaksud di sini adalah cerita
mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan kutipan berikut :
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi
sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….
Jika Tuan datang sekarang hanya akan
menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan
kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (hlm. 8)
Berdasarkan tersebut tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan
tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan,
mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga
ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu
pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan
itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul,
seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan
suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan
ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (hlm . 8)
Data
konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak
mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek
suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek begitu muram. Di sudut benar
dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya
sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek
susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan
pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8)
Rupanya
si Kakek sedang dicekam konflik. Konflik ini berkembang menjadi komplikasi manakala tokoh aku menanyakan
sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya komplikasi ini bukan karena pisau itu
melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama
pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini,
yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya
ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan
menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Begitu kuat dan hebat.
Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan
Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak
membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan
batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang
tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian terakhir cerita ini menarik karena adanya kejutan (surprise).
Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut
mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru
Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk
membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data
berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi
aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab
istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan
agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan
sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh
perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke
mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian ini menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo
Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang
berusaha menyuruh istrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk
tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini
dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik).
Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh
tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan
datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti
akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan
temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak
ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini
ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah
kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku
berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
Penokohan
Yang
dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku
tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai
berikut.
a. Tokoh
Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya
kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok
lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang
ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek
dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang
kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku
tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi
yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana
katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,”
kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku
cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya
dia.(hlm.16).
b. Ajo
Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi
sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut
sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si
tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa
pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data
untuk ini seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si
pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku
senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya
yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk
dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena
semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja
orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku
ceritanya….(hlm.8-9)
.
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi
orang yang cinta kerja.
c.
Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat
cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah
dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya,
serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah
termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi
serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya
si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah
termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan
sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah
tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu
dosa yang lebih besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu
mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data
berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ?
tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain,
tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d. Haji
Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja
untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah
dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini
demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai
orang terlalu mementingkan diri sendiri.
Dilihat dari segi
bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang
Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik
dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata pembaca dalam hal bidang
keagamaan. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi,
siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan
mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di
dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan
menarik jika pembaca
membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Pemaparan
dari segi objektif terhadap cerpen Robohnya Surau Kami ini setelah dibedah
unsur-unsur yang terdapat disetiap detil bahasannya, hal yang dapat kita ambil
kesimpulan adalah setaat apapun kita terhadap agama kita, ibadah kita, dan
pengabdian kita kepada agama apalah artinya jika tidak melakukan kewajiban lain
sebagai tuntutan kita di dunia. Karena kita hidup tidak hanya memikirkan
tanggung jawab kita di akhirat namun di dunia kita juga mempunyai tanggung
jawab dan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Dalam cerpen ini tanggung
jawab dunia yang ditonjolkan adalah kewajiban untuk menjadi kepala rumah
tangga.
0 komentar:
Posting Komentar