Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Hujan Kebaikan Seorang Perempuan Dalam Puisi “Ibu” Zawawi Imron



Hujan Kebaikan Seorang Perempuan Dalam Puisi “Ibu” Zawawi Imron
Oleh: Mita Indriani

Percaturan Sastra Indonesia diramaikan oleh penyair-penyair yang penuh kreatifitas termasuk Zawawi Imron. Beliau mulai dikenal setelah Temu Penyair 10 kota di Taman Marzuki Ali di Jakarta tahun 1982. Zawawi Imron ialah penyair yang salah satu puisinya akan dibahasa dalam esai ini. Tepatnya puisi yang berjudul “Ibu” dari kumpulan puisi yang berjudul Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Beliau dilahirkan di tanah Madura yaitu di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep sehingga beliau juga terkenal sebagai Budayawan Madura. Tanah kelahirannya ini sekaligus menjadi inspirasi puisi-puisi yang ditulisnya. Beliau sangat suka menulis sajak-sajak tentang alam terutama tentang tanah kelahirannya. Sejak tamat Sekolah Rakyat beliau melanjutkan sekolah ke pesantren sehingga sampai saat ini beliau sering mengadakan ceramah sekaligus membacakan sajak-sajaknya. Kumpulan sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak Bulan Tertusuk Ilallang. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria juga banyak sajak-sajaknya yang telah meraih berbagai penghargaan.
Kebanyakan perempuan Madura ketika itu menyatakan pikirannya melalui kidung-kidung. Beliau sering mendengar ibunya mengidung di senggang waktu kerjanya. Perempuan-perempuan mengidung sambil menganyam tikar yang dibuat dari daun siwalan. Perempuan Madura juga mencari rumput untuk ternaknya. Dari perempuan pula yaitu ibunya Zawawi belajar kepekaan terhadap alam. Beliau juga myakini bahwa bahasa sajak yang beliau pelajari tidak ditemukan begitu saja, tetapi dibentuk oleh struktur kebahasaan ibunya yang Madura. Dalam kesehariannya sang ibu juga sering mendongeng. Terlebih pada saat belan purnama berkumpul di halamn sambil menggelar tikar. Dari beberapa pernyataan tadi dapat disimpulkan bahwa beliau begitu dekat dengan sang ibu. Salah satu wujud kecintaannya pada sang ibu terwujud dalam puisi yang berjudul “Ibu”.



IBU

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama ranting
Hanya mataair airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir


Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanmu
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melebar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku.

Puisi berjudul Ibu adalah puisi yang diksinya lumayan sulit dicerna, serta imaji-imajinya yang cukup kuat. Puisi Ibu bercerita tentang seorang anak yang menyatakan sayang kepada sang ibu. Ungkapan yang timbul dari seorang anak atau sang penyair dalam mengimajinasikan kesadaran tentang musim kemarau sehingga sumur-sumur kering kerontang, kesadaran anak yang jika merantau jauh dari ibu sehingga merindukan sosok ibu, adanya kesadaran kekayan laut yaitu laut yang terhampar luas seluas kasih ibu, adapun kesadaran religius yaitu seorang anak yang sadar caranya memberikan hal yang terbaik untuk seorang ibu, timbal balik kepada seorang ibu.
Banyak yang bisa diimajinasikan atau bisa diibaratkan seorang penyair saat  menulis puisi ini, melihat lingkungan sekitar, tentang kekayaan laut, kemarau yang panjang, masyarakat yang religius, sehingga menghadirkan imajinasi tingkat tinggi. Kekayaan alam yang ada harus kita syukuri. Zawawi  juga memposisikan diri sebagai anak yang merasa dirinya bagai hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sedangkan, kalau akau merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting, memposisikan ibu sebagai satu-satunya mataair atau airmata yang mengalir pada lengkung matanya yang tetap lancar mengalir. Ibu diibaratkan sebagai gua pertapaan yaitu tempat mengadu peluh dan sedih, berbagi cerita, suka dan duka. Bila kasih ibu ibarat samudra, maka laut teduh akan terasa sempit, dan mempunyai kandungan lautan, lokan-lokan, mutiara, kembang laut. Ini berarti ibu mempunyai banyak hal di dalamnya yang bisa menjadikan anaknya selalu merasa aman dan teduh dalam pelukannya. Ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala yang mempunyai arti ibu seperti bidadari atau wanita cantik dan baik yang mempunyai kasih sayang seindah pelangi, kasihnya tak terukir oleh indahnya pelangi. Pelangi kasih ibu penuh rona kehidupan. Hanya seorang ibu yang mempu mengenalkan Tuhannya kepada anaknya sehingga anaknya yang pada mulanya merasa bingung menjadi mengerti arti Tuhan setelah ia merasakan angin sakal yang begitu dahsyat.
Dari setiap pilihan kata yang terdapat dalam puisi tersebut sangat jelas tergambar bahwa Zawawi begitu dekat dan lekat dengan alamnya. Beliau begitu jelas menggambarkan kecintaannya terhadapa tanah kelahirannya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan. Daun siwalan atau lontar ialah daun yang banyak terdapat di Madura dan sering dijadikan bahan anyaman tikar oleh kaum perempuan. Begitu juga dengan kata-kata samudera dan berlayar, kedua kata ini tentu sangat identik dengan pulau Madura yang dikelilingi oleh lautan dan kebiasaan berlayar ialah kebiasaan yang sering dilakukan oleh para lelaki untuk mencari nafkah.
Pada puisi Ibu terlihat dominasi rima akhir /u/. Bahkan pada baris pertama bait pertama semua vokal /u/ di tengah dan rima akhir. Seperti penggalan puisi di bawah ini.
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama ranting
Hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

Bait kedua juga terdapat dominasi persamaan bunyi vocal /u/ sebagai rima tengah dan rima akhir, serta persamaan bunyi konsonan /n/ pada baris ke tiga dan empat.
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanmu
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Bait ke tiga terdiri dari lima baris yang menghadirkan kombinasi bunyi-bunyi vokal pada rima tengah dan rima akhir yang didominasi oleh vokal /u/. Bentuk rima akhir dengan konsonan /k/ dan bunyi sangau /ng/.
Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Pada bait ke empat terdiri dari 9 baris, di setiap akhir baris terdapat rima dengan bunyi vocal /u/ /a/ /i/ serta persamaan bunyi konsonan /n/, dan bunyi /h/ .
Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melebar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu

Pada bait kelima didominasi oleh konsonan /l/ dan /n/ , /n/ sebagai rima tengah dan /l/ sebagai rima akhir.

Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku.


            Puisi Zawawi Imron yang berjudul Ibu ini begitu dalam maknanya jika dipahami secara mendalam. Kata-kata yang terkandung di dalamnya cukup mewakili penghormatan terhadap ibu. Tidak hanya isinya yang menarik tetapi juga rima yang terbentuk terutama di akhir baris sangat menanbah keindahan puisi tersebut.
            Puisi sangat menarik dan bagus dilihat dari pilihan kata yang digunakan dan rima-rima di akhir barisnya. Tidak hanya itu, makna tentang seorang Ibu menurut Zawawi Imron juga tergambar jelas dalam puisi ini. Pembaca akan merasa sangat berhutang budi terhadap sosok Ibu yang tentu semua pembaca dlahirkan oleh seorang Ibu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar