Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Budaya Penghalang Cinta dalam Naskah Drama Berjudul Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya



Budaya Penghalang Cinta dalam Naskah Drama Berjudul Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya
Oleh:  Pramudita Parahita Pawestri
 
Mendengar nama Putu Wijaya sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. I Gusti Ngurah Putu Wijaya begitulah nama lengkap seorang sastrawan yang lahir di Tabanan Bali tanggal 11 april 1944. Sastrawan yang akrab disapa Putu Wijaya ini sudah melahirkan banyak karya sastra seperti novel, cerpen, drama dan Putu Wijaya menulis scenario berjudul Perawan Desa dan Kembang Kertas. Keduanya meraih penghargaan di Festival Film Indonesia (FFI).  Putu Wijaya terkenal dengan teror mental yang menjadi ciri khasnya dalam menelurkan karya sastra. Putu yang lahir di Bali dan besar di tanah Jawa sedkit banyak mempengaruhi karya-karyanya seperti yang terlihat dalam naskah drama yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam.
Naskah drama Bila Malam Bertambah Malam menceritakan seorang bangsawan yang bernama Gusti Biang. Tokoh antagonis ini menuduh Nyoman akan meracuni dirinya padahal itu semua tidak terjadi.

NYOMAN
Gusti Biang, pil  ini musti ditelan  satu persatu. Pakai pisang  ambon  atau pisang  susu,  atau  air. Pilih mana yang  Gusti  suka.  Tidak  pahit  rasanya  Gusti.  Dan  dalam  tempo  seperempat  jam,  Gusti  akan  merasa segar.  Sesudah  itu  minum  puyer  ini,  untuk menghilangkan pusing-pusing Gusti.

GUSTI BIANG
Tidak!

NYOMAN
Obat-obat  ini  dikirimkan  dokter  Gusti.  Harus dihabiskan.

GUSTI BIANG
Tidak,  tidak.  Aku  tahu  semuanya  itu.  Kalau  aku menelan  semua  obat-obatmu  itu,  aku  akan  tertidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun  lagi, lalu good bye. Lalu kau akan menggelapkan beras ke warung  cina.  Kau  selamanya  iri  hati  dan  ingin membencanaiku  ...  Kalau  sampai  aku  mati  karena racunmu, Wayan akan menyeretmu ke pengadilan.




            Sudah sejak lama GustiBiang tidak cocok dengan Nyoman, tidak hanya menuduh Nyoman akan meracuninya, Gusti Biang juga mengusirnya dan menagih semua yang telah diberikan Gusti Biang selama depan belas tahun merawat Nyoman. Putu Wijaya mencoba menggambarkan seorang bangsawan dengan kasta Ksatria yang sangat tamak dan penuh perhitungan melalui tokoh Gusti Biang.
GUSTI BIANG 
Setan bawa kemari buku itu!

(gusti  biang  mengambil  buku  itu  dan  memberi  isyarat  kepada  wayan  agar mengambil  kaca  mata  dan  lampu  teplok.  wayan  segera  melakukannya  dan mengangkat lampu teplok tinggi-tinggi)

Nah,  di  sini  dicatat  semua  perongkosan  yang  kau habiskan  selama  kau  dipelihara  di  sini.  Nyoman Niti,  asal  dari  desa  Maliling,  umur  lebih  kurang delapan  belas  tahun.  Kulit  kuning  dan  rambut panjang. Badan biasa, lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang.  Mulai  dari  tahun  lima  puluh  empat,  lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang, satu tusuk konde, dan ...

WAYAN  (Memotong)
Benar, piih, semua Gusti catat.

NYOMAN 
Gusti Biang ....

GUSTI BIANG 
Tahun  lima  puluh  lima,  sekarang!  Dua  baju  rok, batu  tulis,  kebaya,  pinsil,  satu  batang  jarum, sepasang  teklek,  tikar  dan  seekor  anak  kucing belang.

WAYAN 
Ah,  benar Gusti Biang,  titiyang masih  ingat  sekali ketika  pertama  kali  Nyoman  mengenakan  kain kebaya. Piih, semuanya itu sudah lewat.

GUSTI BIANG 
Selama  dua  tahun  ini  sudah  berjumlah  dua  juta rupiah  ...  kemudian  sekarang  tahun  lima  puluh enam!  Tidak  ada,  sebab  aku  lupa  mencatatnya. Tahun lima puluh tujuh, aku juga lupa mencatatnya. Tetapi di sini yang kuingat,  ia memecahkan sebuah cangkir  dan  kaca  mataku.  Lalu  tahun  lima  puluh delapan!  Sepasang  sandal,  sekotak  bedak,  kaca jendela  dipecahkannya,  dua  buah  gelas  tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan si belang karena
lupa  mengunci  dapur.  Tiga  buah  sisir,  tiga  butir kelapa  hilang.  Seekor  ayamku  yang  paling  baik disembelihnya,  sepuluh  anak  ayam  tiba-tiba  mati, yang  bulu  putih,  hitam,  coklat,  kuning,  dan berumbun. Lalu ...
            Selain mengusir Nyoman, Gusti Biang juga mengusir Wayan dari purinya karena Wayan menghina suaminya yang seorang bangsawan dan pahlawan. Gusti Biang juga tidak terima kalau anak semata wayangnya Ratu Ngurah menikah dengan Nyoman yang hanya bersal dari kasta Sudra. Putu Wijaya yang juga orang Bali ingin menggambarkan bahwa saat ini kasta agaknya sudah tidak berlaku lagi, karena seseorang bisa memilih pasangannya sendiri tanpa harus memperhatikan kasta. Pandangan seperti ini memang sedikit menyimpang dari budaya yang telah berurat akar dalam masyarakat Bali, yang bagaimanapun juga kasta masih diperhatikan. Lewat naskah ini Putu mencoba untuk merubah paradigma tersebut. Hal itu tersampaikan lewat dialog Wayan

WAYAN 
Tiyang  menghamba  di  sini  karena  cinta  tiyang kepadanya.  Seperti  cinta  Ngurah  kepada  Nyoman. Tiyang  tidak  pernah  kawin  seumur  hidup  dan  orang-orang  selalu menganggap  tiyang  gila,  pikun, tuli,  hidup. Cuma  tiyang  sendiri  yang  tahu,  semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan,  kehilangan  masa  muda  yang  tak  bisa dibeli  lagi. 

(Memandang  Ngurah  dengan  lembut. Tapi  tiba-tiba  ia  teringat  sesuatu  dan  kemudian
berkata) 

Tidak.  Ngurah  tidak  boleh  kehilangan  masa  muda  seperti  bape  hanya  karena  perbedaan
kasta.  Kejarlah  perempuan  itu,  jangan-jangan  dia mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak akan  berani  pulang  malam-malam  begini.  Mungkin  dia bermalam  di  dauh  pala  di  rumah  temannya.  Bape akan  mengurus  ibumu.  Pergilah  cepat,  kejar  dia sebelum terlambat.  

Dalam kehidupannya sendiri, Putu Wijaya tidak menikah dengan orang Bali melainkan menikah dengan Renny Retno Yooscarini yang lebih dikenal dengan nama Renny Djajusman yang kemudian bercerai. Sedikit banyak cerita dalam naskah Bila Malam Bertambah Malam sama seperti kehidupan Putu Wijaya sendiri yaitu menikah dengan orang yang berbeda kasta bahkan menikah dengan orang yang bukan dari kasta manapun. Terciptanya naskah yang bercerita seperti itu kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh kehidupan Putu Wijaya yang sejak tamat SMA meneruskan di Jawa tepatnya di Jogjakarta lalu menetap dan bekerja di tanah Jawa. Di Jawa tidak mengenal istilah kasta. Orang-orang bisa dengan bebas memilih denagn siapa dia akan menikah. Hal inilah yang tidak ditemui di kehidupan masyarakat Bali.
Melihat dan membaca naskah ini seolah-olah melihat Putu ingin meleburkan dua kebudayaan yang bereda. Budaya kasta yang besifat kaku dan tertutup sedikit demi sedikit ingin dirubah oleh Putu seperti budaya yang ada di Jawa dan kenyataanya sekarang banyak putra-putri Bali yang menikah dengan orang yang tidak berasal dari kasta manapun termasuk Putu Wijaya sendiri. Putu Wijaya sebagai putra Bali yang memiliki kasta tinggi tentu memiliki alasan tersendiri mengapa ia menciptakan karya yang bertolak belakang dari budayanya itu. Banyak naskah-naskah drama yang ketika dibaca sulit untuk dipahami apa yang sebenarnya ada dalam naskah itu, hanya orang-orang yang sudah biasa bersinggungan dengan kehidupan teater saja yang bisa memahami, meskipun sebuah karaya sastra memiliki multi interpretasi tergantung dari siapa yang menginterpretasikan dan interpretasi serta apresiasi setiap orang pastinya akan berbeda-beda. Putu yang terkenal dengan teror mental yang kebanyakan ia selipkan di setiap karya-karyanya tidak terlalu Nampak dalam naskah dramanya ini.
Orang awam yang tidak begitu paham dengan dunia teater pastinya akan memahami inti dari cerita ini karena memang ceritanya mudah dipahami dan alurnya pun mudah untuk diikuti, selain itu naskah drama ini tergolong realis karena masalah-masalah yang ditimbulkan dalam cerita hampir sama dengan kehidupan sehari-hari. Penggambaran tokoh dan penokohannya pun hampir sama dengan kebanyakan orang pada umumnya. Ada tokoh antagonis, protagonis, dan tritagonis yang mewarnai cerita dengan keunikan dan karakter masing-masing yang begitu kuat. Banyak amat yang kita peroleh dari membaca naskah ini yaitu amanat bahwa cinta tidak bisa dibatasi oleh status sosial seperti kasta, biarkan cinta itu memilih dan menemukan cinta sejati dengan sendirinya. Tidak hanya itu, amanat lain yang bisa kita ambil adalah kita tidak boleh memaksakan kehendak pada orang lain, belum tentu orang lain akan suka dengan apa yang kita pilihkan untuk mereka dan juga semua orang memiliki hak yang sama tidak melihat dari status mana orang itu berasal. Dalam cerita ini kita juga diajarkan untuk pandai membalas budi seperti yang digambarkan oleh Putu dalam dialog Gusti Biang dan Nyoman. Nyoman sangat setia pada Gusti Biang karena Gusti Biang sudah merawat dan menyekolahkan Nyoman, meskipun lama-kelamaan Gusti Biang menjadi tidak suka pada Nyoman, tetapi Nyoman tetap mau mengabdi. Secara keseluruhan, naskah ini sangat bagus dan potensial untuk dipentaskan serta terdapat banyak hal yang bisa dipetik dan direnungkan dalam naskah drama ini. Maka tidak heran Putu menjadi seorang sastrawan yang terkenal dengan karya sastranya yang bagus dan menarik.


Sumber:
_____.2012. Putu Wijaya Sastrawan Serba Bisa. (online)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar