Melihat
Arti Kehidupan melalui Filosofi Kopi karya
Dewi Lestari
Oleh: Muliyawati
Dunia
sastra tidak serta merta muncul dari situasi kosong. Pasti ada penyebab
terciptanya suatu karya sastra. Sastra menangkap dan mewadahi fenomena di
lingkungan masyarakat mulai dari hal yang dianggap sepele hingga yang krusial.
Segala sisi kehidupan dipotret dengan apik oleh sastra. Tidak hanya sekedar
mengungkapkan keindahan rasa, fenomena sosial, memunculkan kebenaran-kebenaran
yang ditutupi, memberontak, bergolak, menawarkan sesuatu yang baru yang kadang
dicap gila oleh orang awam, tapi lebih dari itu, sastra juga bisa menilai dan
memberikan resolusi-resolusi bagi keberlangsungan hidup umat manusia yang dinamis.
Jika
diibaratkan, sastra bisa mempunyai seribu wajah. Pencipta dan penikmat
sastralah yang mengubah wajah-wajah itu menurut persepsi mereka masing-masing,
karena kebebasan adalah nyawa dari sastra. Tinggal menempatkan dari kaca mata
siapa sastra itu dilihat. Baik dan buruk ada di dua genggaman tangan, selalu
ada pro dan kontra. Hal yang biasa terjadi, karena dengan demikianlah kita
mencecapi sari kehidupan!
Perkembangan
dunia sastra dari masa ke masa mengalami banyak kemajuan. Di Indonesia
khususnya, dunia sastra telah mengalami banyak perubahan yang ditandai dengan
munculnya beberapa angkatan dalam periode yang berbeda. Mulai dari angkatan ’45
yang berhasil menarik perhatian masyarakat karena munculnya karya sastra yang
fenomenal dari Chairil Anwar hingga memasuki tahun 2000an mulai muncul istilah
sastra wangi. “Istilah ini bagi saya sebuah cemooh orang laki-laki terhadap
karya-karya sastra Indonesia mutakhir, yang menarik perhatian khalayak dan
ditulis sejumlah perempuan” (Goenawan Mohamad).
Kumpulan
cerita dan prosa satu dekade (1995-2005) yang ditulis Dee berhasil menarik
perhatian saya untuk mengapresiasi lebih dalam karya sastra ini. Memang, Filosofi Kopi bukanlah karya terbaru Dee.
Antologi perdananya diluncurkan pada tahun 2006 dan dipilih majalah Tempo sebagai Karya Sastra Terbaik 2006
dan juga menjadi 5 Besar Khatulistiwa
Literary Award pada tahun yang sama dan secara resmi dicetak masal pada
Januari 2012. Tidak sampai setahun, tepatnya bulan September cetakan kedua diadakan
lagi. Ini membuktikan bahwa karya Dee bukanlah karya yang ‘main-main’, tapi karya
yang berbobot.
Filosofi Kopi berisi 18 cerita yang
terdiri atas 8 prosa liris (“Salju Gurun”, “Kunci Hati”, “Jembatan Zaman”,
“Kuda Liar”, “Cuaca”, “Lilin Merah”, “Spasi”, dan “Cetak Biru” ) dan 10 cerita
pendek (“Filosofi Kopi”, “Mencari Herman”, “Surat yang Tak Pernah Sampai”,
“Selagi Kau Lelap”, “Sikat Gigi”, “Sepotong Kue Kuning”, “Diam”, “Lara Lana”,
“Buddha Bar”, dan “Rico de Coro”). Keseluruhan karya Dee dalam Filosofi Kopi mempunyai makna yang hakiki
dalam memandang kehidupan. Bahwa memang begitulah kehidupan yang sesungguhnya
terjadi. Jelas, terang benderang, dan tidak ruwet
bukan berarti tidak berisi. Justru karya Dee padat dan mempunyai titik-titik
momentum yang pas sehingga bisa membuat kita tersenyum, terharu, terpikat, ataupun
terkejut.
“Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan
kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi,
punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan
kopi tiwus..., memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan
berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran,” napasku harus dihela agar
lega dada ini, “bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang
sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben’s Perfecto tidak lebih
dari sekadar ramuan kopi enak.”
Penggalan
cerita di atas diambil dari cerita pendek yang berjudul “Filosofi Kopi” yang
menceritakan tentang dua orang sahabat yang bersama-sama merintis bisnis kedai
kopi hingga suatu hari mendapat tantangan dari seorang pengunjung kaya raya
yang meminta sebuah kopi yang sempurna. Ben berhasil menciptakan kopi itu dan
diberi imbalan uang 50 juta rupiah. Namun, kesempurnaan itu tak berlangsung
lama. Ada pengunjung lain yang menganggap bahwa kopi Ben bukan yang paling
enak, ada yang lebih enak dari kopinya. Kopi tiwus membuat Ben dan Jody pergi
ke Klaten, Jawa Tengah, untuk membuktikan omongan pengunjung kedainya. Semua
terbukti, kopi Ben memang kalah dari kopi Pak Seno. Semua mimpi-mimpi mereka mengembangkan
kedai runtuh begitu juga semangat Ben. Pada akhirnya Ben dan Jody mulai
menyadari semuanya bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini dan mulai bangkit
untuk melanjutkan mimpi-mimpi mereka yang tertunda. “Filosofi Kopi” memberikan
semacam renungan bahwa memang tidak ada yang sempurna. Dee menyentil kita dengan cerita yang sederhana namun memikat dan
berkesan.
Dalam
“Surat yang Tak Pernah Sampai”, Dee menonjolkan sisi romantismenya yang
diwarnai dengan sedikit sentuhan sains
dan logika perasaan utuh yang selalu mempunyai dua sisi, menolak dan menerima.
Ini digambarkan dengan potongan cerita berikut.
Kalau
saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi
fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik,
maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan,
cukup satu.
Istilah-istilah asing
digunakan Dee dengan apik walau tidak semua pembaca dapat mengartikan
istilah-istilah tersebut. Namun, dengan gaya penulisan seperti ini, tulisan Dee
mempunyai daya magis tersendiri. Mampu
menarik setiap hati yang pernah mengalami luka karena cinta untuk mengamini
tulisan Dee. Dee tidak menulisnya dengan cengeng, tapi dengan logika hati bahwa
ada titik yang mengharuskan kita melepaskan dan ada titik yang membuat kita
ingin kembali mengulang semua sejarah yang telah terjadi.
Menemukan
jati diri adalah keinginan setiap manusia. Tanpa jati diri seseorang bukanlah
apa-apa. Hanya ikut dalam arus dan tak punya pendirian akan membuatnya bingung
bahkan kehilangan arah. Ditulis pada tahun 1998, “Salju Gurun” merupakan sebuah
pemahaman baru yang menyadarkan kita bahwa menjadi berbeda adalah istimewa.
Di tengah gurun yang tertebak, jadilah
salju yang abadi. Embun pagi takkan kalahkan dinginmu, angin malam akan
menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua
butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.
Dan
setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau
berani putih meski sendiri, karena kau... berbeda.
Selain setiap katanya yang memikat,
penggalan di atas berbentuk prosa liris dengan kalimat-kalimat yang padat
berisi, gaya bahasa sederhana namun mempunyai tingkat orisinal yang tidak
diragukan membuat mini karya ini pada dasarnya adalah karya yang hebat.
Permainan katanya begitu rapi dan tidak basa-basi.
Ditulis
pada tahun yang sama dengan “Salju Gurun”, “Jembatan Zaman” juga mempunyai
karakteristik yang hampir sama dengan “Salju Gurun”, bentuknya yang prosa liris
dan tema yang diangkat tentu saja berbeda dengan “Salju Gurun” yang menonjolkan
sisi jati dirinya. “Jembatan Zaman” menawarkan sesuatu yang berbeda dengan mengusung
tema kehidupan, khususnya dari mana kita berasal dan mengingatkan kita untuk
tetap rendah hati. Buktinya terdapat pada bait terakhir sebagai berikut.
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang
ditertawakan bocah kecil, atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring
dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas,
tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa
terlalu jauh kesamping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan
bertemu kalau tidak dijembatani.
Jembatan yang rendah hati, bukan
kesombongan diri.
Dari prosa liris
“ Jembatan Zaman”, ada banyak pelajaran yang dapat kita petik. Belajar rendah
hati dan tidak melupakan masa lalu adalah salah satu pelajaran hidup yang mesti
dimiliki oleh setiap insan. Kebahagiaan tidak selalu timbul dari hal-hal yang
hebat. Hal-hal sederhana pun bisa membuat kita bahagia, seperti tawa bahagia
bocah yang tak mengerti apa-apa.
Dari
ke delapan belas prosa karya Dee, saya mengapresiasi empat karya saja, karena
menurut saya sudah cukup mewakili setiap tulisan Dee. Dapat kita ketahui bahwa
di setiap karyanya dalam Filosofi Kopi
ini, Dee mengajak kita kembali memahami intisari kehidupan yang sesungguhnya tanpa menggurui kita. Setiap
kata dan kalimat Dee begitu padat dan menyentuh pada titik yang tepat. Semua
karya Dee dalam kumpulan prosa ini menginspirasi saya pribadi. Hanya pada prosa
yang berjudul “Sikat Gigi”, “Sepotong Kue Kuning, dan “Buddha Bar”, hal yang
disampaikan Dee tidak terlalu mengena hati pembaca. Ada bagian yang membosankan
menceritakan kehidupan sehari-hari yang monoton. Namun, terlepas dari ketiga
prosa itu, tulisan Dee mampu membius, memanggil kembali memori , dan menghentak
saya secara bersamaan. Manis dan menggetarkan!
Daftar
Pustaka
Lestari,
Dewi. 2012. Filosofi Kopi.
Yogyakarta: Bentang Pustaka.
0 komentar:
Posting Komentar