Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Melihat Arti Kehidupan melalui Filosofi Kopi karya Dewi Lestari



Melihat Arti Kehidupan melalui Filosofi Kopi karya Dewi Lestari
Oleh: Muliyawati

            Dunia sastra tidak serta merta muncul dari situasi kosong. Pasti ada penyebab terciptanya suatu karya sastra. Sastra menangkap dan mewadahi fenomena di lingkungan masyarakat mulai dari hal yang dianggap sepele hingga yang krusial. Segala sisi kehidupan dipotret dengan apik oleh sastra. Tidak hanya sekedar mengungkapkan keindahan rasa, fenomena sosial, memunculkan kebenaran-kebenaran yang ditutupi, memberontak, bergolak, menawarkan sesuatu yang baru yang kadang dicap gila oleh orang awam, tapi lebih dari itu, sastra juga bisa menilai dan memberikan resolusi-resolusi bagi keberlangsungan hidup umat manusia yang dinamis.
            Jika diibaratkan, sastra bisa mempunyai seribu wajah. Pencipta dan penikmat sastralah yang mengubah wajah-wajah itu menurut persepsi mereka masing-masing, karena kebebasan adalah nyawa dari sastra. Tinggal menempatkan dari kaca mata siapa sastra itu dilihat. Baik dan buruk ada di dua genggaman tangan, selalu ada pro dan kontra. Hal yang biasa terjadi, karena dengan demikianlah kita mencecapi sari kehidupan!
            Perkembangan dunia sastra dari masa ke masa mengalami banyak kemajuan. Di Indonesia khususnya, dunia sastra telah mengalami banyak perubahan yang ditandai dengan munculnya beberapa angkatan dalam periode yang berbeda. Mulai dari angkatan ’45 yang berhasil menarik perhatian masyarakat karena munculnya karya sastra yang fenomenal dari Chairil Anwar hingga memasuki tahun 2000an mulai muncul istilah sastra wangi. “Istilah ini bagi saya sebuah cemooh orang laki-laki terhadap karya-karya sastra Indonesia mutakhir, yang menarik perhatian khalayak dan ditulis sejumlah perempuan” (Goenawan Mohamad).
           
Saya pribadi menyetujui pandangan Goenawan Mohamad tentang sastra wangi. Bahwa perempuan masih dipandang sebelah mata oleh laki-laki. Perempuan dianggap tidak bisa apa-apa selain berdandan. Semua itu ditepis oleh seorang sastrawan perempuan yang berhasil melahirkan karya-karya yang memukau dan patut diperhitungkan. Dee, begitulah nama pena dari Dewi Lestari yang telah menulis novel pertamanya dengan judul Supernova yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat atas karyanya. Tidak hanya berhenti di Supernova, tetapi Dee juga membuktikan keseriusannya melalui novel-novelnya yang lain seperti Kesatria, Putri, dan Bintang jatuh, Akar, Petir, Partikel, Perahu Kertas, Madre, dan Filosofi Kopi.
            Kumpulan cerita dan prosa satu dekade (1995-2005) yang ditulis Dee berhasil menarik perhatian saya untuk mengapresiasi lebih dalam karya sastra ini. Memang, Filosofi Kopi bukanlah karya terbaru Dee. Antologi perdananya diluncurkan pada tahun 2006 dan dipilih majalah Tempo sebagai Karya Sastra Terbaik 2006 dan juga menjadi 5 Besar Khatulistiwa Literary Award pada tahun yang sama dan secara resmi dicetak masal pada Januari 2012. Tidak sampai setahun, tepatnya bulan September cetakan kedua diadakan lagi. Ini membuktikan bahwa karya Dee bukanlah karya yang ‘main-main’, tapi karya yang berbobot.
            Filosofi Kopi berisi 18 cerita yang terdiri atas 8 prosa liris (“Salju Gurun”, “Kunci Hati”, “Jembatan Zaman”, “Kuda Liar”, “Cuaca”, “Lilin Merah”, “Spasi”, dan “Cetak Biru” ) dan 10 cerita pendek (“Filosofi Kopi”, “Mencari Herman”, “Surat yang Tak Pernah Sampai”, “Selagi Kau Lelap”, “Sikat Gigi”, “Sepotong Kue Kuning”, “Diam”, “Lara Lana”, “Buddha Bar”, dan “Rico de Coro”). Keseluruhan karya Dee dalam Filosofi Kopi mempunyai makna yang hakiki dalam memandang kehidupan. Bahwa memang begitulah kehidupan yang sesungguhnya terjadi. Jelas, terang benderang, dan tidak ruwet bukan berarti tidak berisi. Justru karya Dee padat dan mempunyai titik-titik momentum yang pas sehingga bisa membuat kita tersenyum, terharu, terpikat, ataupun terkejut.

                                    “Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus..., memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran,” napasku harus dihela agar lega dada ini, “bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben’s Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.”
            Penggalan cerita di atas diambil dari cerita pendek yang berjudul “Filosofi Kopi” yang menceritakan tentang dua orang sahabat yang bersama-sama merintis bisnis kedai kopi hingga suatu hari mendapat tantangan dari seorang pengunjung kaya raya yang meminta sebuah kopi yang sempurna. Ben berhasil menciptakan kopi itu dan diberi imbalan uang 50 juta rupiah. Namun, kesempurnaan itu tak berlangsung lama. Ada pengunjung lain yang menganggap bahwa kopi Ben bukan yang paling enak, ada yang lebih enak dari kopinya. Kopi tiwus membuat Ben dan Jody pergi ke Klaten, Jawa Tengah, untuk membuktikan omongan pengunjung kedainya. Semua terbukti, kopi Ben memang kalah dari kopi Pak Seno. Semua mimpi-mimpi mereka mengembangkan kedai runtuh begitu juga semangat Ben. Pada akhirnya Ben dan Jody mulai menyadari semuanya bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini dan mulai bangkit untuk melanjutkan mimpi-mimpi mereka yang tertunda. “Filosofi Kopi” memberikan semacam renungan bahwa memang tidak ada yang sempurna. Dee menyentil kita dengan cerita yang sederhana namun memikat dan berkesan.
            Dalam “Surat yang Tak Pernah Sampai”, Dee menonjolkan sisi romantismenya yang diwarnai dengan sedikit sentuhan sains dan logika perasaan utuh yang selalu mempunyai dua sisi, menolak dan menerima. Ini digambarkan dengan potongan cerita berikut.

                                   Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka... tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan, cukup satu.

Istilah-istilah asing digunakan Dee dengan apik walau tidak semua pembaca dapat mengartikan istilah-istilah tersebut. Namun, dengan gaya penulisan seperti ini, tulisan Dee mempunyai daya magis tersendiri. Mampu menarik setiap hati yang pernah mengalami luka karena cinta untuk mengamini tulisan Dee. Dee tidak menulisnya dengan cengeng, tapi dengan logika hati bahwa ada titik yang mengharuskan kita melepaskan dan ada titik yang membuat kita ingin kembali mengulang semua sejarah yang telah terjadi.
            Menemukan jati diri adalah keinginan setiap manusia. Tanpa jati diri seseorang bukanlah apa-apa. Hanya ikut dalam arus dan tak punya pendirian akan membuatnya bingung bahkan kehilangan arah. Ditulis pada tahun 1998, “Salju Gurun” merupakan sebuah pemahaman baru yang menyadarkan kita bahwa menjadi berbeda adalah istimewa.

     Di tengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi. Embun pagi takkan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau... berbeda.

            Selain setiap katanya yang memikat, penggalan di atas berbentuk prosa liris dengan kalimat-kalimat yang padat berisi, gaya bahasa sederhana namun mempunyai tingkat orisinal yang tidak diragukan membuat mini karya ini pada dasarnya adalah karya yang hebat. Permainan katanya begitu rapi dan tidak basa-basi.
            Ditulis pada tahun yang sama dengan “Salju Gurun”, “Jembatan Zaman” juga mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan “Salju Gurun”, bentuknya yang prosa liris dan tema yang diangkat tentu saja berbeda dengan “Salju Gurun” yang menonjolkan sisi jati dirinya. “Jembatan Zaman” menawarkan sesuatu yang berbeda dengan mengusung tema kehidupan, khususnya dari mana kita berasal dan mengingatkan kita untuk tetap rendah hati. Buktinya terdapat pada bait terakhir sebagai berikut.

                 Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil, atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas, tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh kesamping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.
       Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri.

            Dari prosa liris “ Jembatan Zaman”, ada banyak pelajaran yang dapat kita petik. Belajar rendah hati dan tidak melupakan masa lalu adalah salah satu pelajaran hidup yang mesti dimiliki oleh setiap insan. Kebahagiaan tidak selalu timbul dari hal-hal yang hebat. Hal-hal sederhana pun bisa membuat kita bahagia, seperti tawa bahagia bocah yang tak mengerti apa-apa.
            Dari ke delapan belas prosa karya Dee, saya mengapresiasi empat karya saja, karena menurut saya sudah cukup mewakili setiap tulisan Dee. Dapat kita ketahui bahwa di setiap karyanya dalam Filosofi Kopi ini, Dee mengajak kita kembali memahami intisari kehidupan yang  sesungguhnya tanpa menggurui kita. Setiap kata dan kalimat Dee begitu padat dan menyentuh pada titik yang tepat. Semua karya Dee dalam kumpulan prosa ini menginspirasi saya pribadi. Hanya pada prosa yang berjudul “Sikat Gigi”, “Sepotong Kue Kuning, dan “Buddha Bar”, hal yang disampaikan Dee tidak terlalu mengena hati pembaca. Ada bagian yang membosankan menceritakan kehidupan sehari-hari yang monoton. Namun, terlepas dari ketiga prosa itu, tulisan Dee mampu membius, memanggil kembali memori , dan menghentak saya secara bersamaan. Manis dan menggetarkan!


Daftar Pustaka
Lestari, Dewi. 2012. Filosofi Kopi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar