Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KRITIK SOSIAL IWAN SIMATUPANG DALAM NASKAH DRAMA ‘RT NOL RW NOL’



KRITIK SOSIAL IWAN SIMATUPANG DALAM NASKAH DRAMA
‘RT NOL RW NOL’
Oleh: Hasan Nugroho

Aneh, inilah kata yang tiba-tiba muncul ketika sekilas melihat judul sebuah tulisan, yang ternyata adalah judul sebuah naskah drama karya Iwan Simatupang, ‘Rt Nol Rw Nol’. Namun justru dari keanehan itulah sisi menarik dari naskah drama ini muncul, tak hanya sekedar aneh, namun judul naskah drama ini dapat dikatakan unik. Jika biasanya alamat kependudukan dimulai dari angka satu, misalnya saja Rt 01 Rw 01, maka kali ini dimulai dengan angka nol. Memang tidak wajar, namun inilah yang membuat pembaca benar-benar tertarik untuk membaca naskah drama ini untuk mencari tahu apakah yang dimaksud dengan angka nol di dalam judul ini. Karena tidak mungkin judul dari naskah drama ini dibuat secara asal-asalan. Penulis pasti sengaja membuat judul demikian dengan tujuan tertentu.
Ketika selesai membaca seluruh naskah drama ini, sesuai dengan prediksi awal, judul ‘Rt nol Rw nol’ merupakan sebuah simbol. yakni untuk melambangkan para gelandangan dan orang-orang terlantar yang tidak memiliki alamat yang jelas, orang-orang yang tidak memiliki Kartu Tada Penduduk, bahkan keberadaan mereka di negeri ini seolah-olah diabaikan oleh masyarakat.
Naskah drama ini menceritakan tentang  nasib dari beberapa orang gelandangan dan dua wanita penghibur yang hidup di dalam satu lokasi, mereka semua tinggal di kolong jembatan. Dari kolong jembatan inilah cerita dimulai dan berakhir. Cerita ini dimulai  dengan perbincangan antara Kakek, Si pincang, Ina, dan Ani di bawah kolong jembatan yang ramai oleh hiruk pikuk lalu lintas. Kakek adalah seorang mantan kelasi kapal, Si pincang adalah seseorang yang memiliki kekurangan kondisi fisik, yang selalu gagal mendapatkan pekerjaan yang memuaskan. Sedangkan Ani dan Ina adalah kakak-beradik yang bekerja sebagai wanita penghibur. Mereka meratapi kejamnya kota besar. Setiap hari Ani dan Ina pergi mencari pelanggan dengan ditemani oleh seorang tukang becak yang bertugas mencarikan dan mengantarkan mereka kepada pelanggannya. Ani dan Ina selalu berharap dari pekerjaannya ini mereka akan hidup lebih baik.
Setelah Ani dan Ina pergi bekerja, datanglah laki-laki bernama Bopeng. Bopeng juga merupakan penghuni kolong jembatan itu, namun hari itu Bopeng mengisyaratkan bahwa ini adalah hari terakhirnya tinggal di kolong jembatan, karena ia telah diterima bekerja sebagai kelasi kapal. Hari itu Bopeng datang ke kolong jembatan bersama seorang wanita bernama Ati. Ati adalah seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya ketika di pelabuhan. Ati tersesat dan tak tahu arah jalan pulang, ia juga kehabisan uang untuk pulang ke kampungnya hingga akhirnya bertemu dengan Bopeng.
Karena merasa iri hati, pincang menyudutkan Bopeng, hingga membuat Bopeng tersinggung. Akhirnya terjadilah pertengkaran argumen diantara mereka, kemudian kakek memisahkan mereka berdua. Ati yang gundah hatinya ingin ikut Bopeng berlayar, namun Bopeng menolaknya dan menyuruh Ati untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa saat kemudian Ina datang dan membawa kabar bahwa Ani akan dinikahi oleh salah satu pelanggannya, Ina sendiri juga membawa kabar bahwa ia akan menikah dengan Si tukang becak. Hal ini mengisyaratkan bahwa Ani dan Ina akan segera meninggalkan kolong jembatan itu untuk hidup yang lebih baik. Singkat cerita, Si pincang akhirnya juga sepakat untuk mengantarkan Ati ke kampung halamannya, dan berjanji akan kembali bekerja, kemudian menikahi Ati. Ati sebenarnya juga mengajak Kakek untuk pulang ke kampung, namun kakek menolaknya dan memilih tetap tinggal di kolong jembatan itu, yang sering mereka sebut dengan Rt nol Rw nol.
Naskah drama yang menurut catatan dibuat sekitar tahun 1966 ini memiliki tema tentang perjuangan hidup seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan lebih baik. Penggunaan tokoh gelandangan dan PSK menunjukkan masyarakat kaum bawah, yang miskin dan menderita. Jika kembali diputar ke masa lalu saat naskah ini di tulis, yakni pada tahun 1966, angka inflasi di Indonesia sangat tinggi, disebabkan oleh menumpuknya defisit APBN dari tahun 1950an hingga pertengahan 1960an, akibatnya Indonesia mengalami krisis ekonomi yang meresahkan. Krisis ekonomi inilah yang yang menyebabkan masyarakat menderita. Naskah drama ini seolah-olah merupakan sindiran terhadap keadaan sosial-ekonomi saat itu yang sedang berada di bawah.
Selain itu naskah drama ini juga memberikan banyak kritik sosial yang terjadi di Indonesia saat itu. Bahkan saat ini, kritik sosial yang ada di dalam naskah drama ini sebenarnya masih cukup relevan. Secara sederhana kritik sosial merupakan tanggapan atau kecaman terhadap kondisi yang ada di dalam suatu masyarakat. Jika ditinjau dari judulnya, sebenarnya naskah drama ini sudah menunjukkan adanya kritik sosial. Judul ‘Rt Nol Rw Nol’ artinya tidak memiliki alamat. Dari judulnya terlihat bahwa pengarang sebenarnya ingin menanggapi tentang keberadaan orang-orang pinggiran yang dalam naskah drama ini diwujudkan pada sosok  gelandangan dan PSK yang menghuni Rt Nol Rw Nol. Orang-orang ini sebenarnya ingin diakui dan diperhatikan oleh negara, mereka ingin memiliki alamat tetap dan Kartu Tanda Penduduk tetap. Akan terasa sangat menyakitkan jika keberadaan mereka tidak diperhatikan. Padahal mereka juga bagian dari negara ini.
Dari kutipan-kutipan dialognya, naskah drama ini juga banyak mengandung kritik sosial. Penggunaan bahasa yang mudah dicerna, penataan alur maju dan lurus juga memudahkan pembaca dalam menafsirkan isi dan menemukan kritik sosial dari naskah drama ini. Berikut adalah beberapa kutipan dialog yang mengandung kritik sosial.
PINCANG       : Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
KAKEK           : Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang
                          gandengan  lewat di sini.
ANI                  : Lalu?
KAKEK           : Hendaknya, peraturan itu diturutlah.

ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.

KAKEK           : Kalau begitu apa guna larangan?
ANI                  : Untuk dilanggar.
KAKEK           : Dan kalau sudah dilanggar?
ANI                  : Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara.

Kutipan dialog di atas menunjukkan bahwa pengarang ingin menyinggung dan mengecam  mengenai realita sosial yang ada di negara ini, yakni tentang banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang ada di berbagai aspek, yang membuat rakyat kecil menjadi menderita. Pelanggaran-pelanggaran yang ada ini akhirnya membuat aparat yang bersangkutan menjadi sibuk, sehingga fungsi mereka akan terlihat dalam menyikapi pelanggaran ini.

ANI   :Banyak-banyak terimakasih, bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas.
Kutipan dialog dari Ani di atas menanggapi tentang penderitaan yang dialami orang-orang pinggiran yang digambarkan dengan memakan makanan yang semuanya serba setengah busuk. Kata busuk merujuk pada sesuatu yang sudah tidak layak, rusak dan berbau. Pengarang seperti ingin menunjukkan kepada pembaca betapa kejamnya hidup yang dihadapi oleh orang-orang pinggiran seperti mereka. Mereka sebenarnya juga mendambakan hidup yang layak dan lebih baik, yang digambarkan dengan sepiring nasi, sepotong daging rendang, sebutir telur balado, segelas penuh the manis panas, dan pisang raja kuning emas.
SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT.
INA     : Gimana, kak?
ANI     : Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?!

Dari kutipan dialog antara Ina dan Ani di  atas pengarang seolah ingin semakin memantapkan pandangannya kepada pembaca mengenai kejamnya kehidupan yang dialami oleh orang-orang pinggiran ini. Ina dan Ani adalah wanita penghibur, demi mendapatkan uang agar dapat hidup lebih baik, mereka mengabaikan semua halangan yang ada selagi merasa masih mampu.

KAKEK               : Ah, tidak. Aku seolah  kembali  merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku melenakan aku tidur itu. Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara berlarut-larut. Kenanganlah yang  senantiasa membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan. Kenanganlah yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah diberi nama oleh masyarakat, dan oleh diri kita sendiri, sebagai: harga diri. Kini, aku bertanya kepadamu, nak: Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini?
PINCANG            :Semua persoalan ini tak bakal ada, bila kita bekerja, punya cukup kesibukan. Semua kenangan, harga diri, yang Kakek sebutkan tadi, adalah justru masalah yang hanya ada bagi jenis manusia-manusia seperti kita ini: tubuh, yang kurang dapat kita manfaatkan sebagaimana mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-gerobak.
KAKEK             : Kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari kerja.
PINCANG         : Ya, tapi tak pernah dapat.

Kutipan dialog antara Kakek dan Si pincang diatas menunjukkan bahwa pengarang ingin menyinggung kondisi masyarakat di negri ini yang sering menganggap bahwa orang-orang pinggiran ini tidak pantas mempunyai harga diri, tidak pantas untuk memiliki pekerjaan yang layak. Mereka seolah lupa bahwa oang-orang pinggiran ini adalah manusia juga yang ingin hidup lebih baik.
PINCANG     : Masyarakat punya prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini.
KAKEK          : Eh, bagaimana rupanya seperti jenis kita ini?
PINCANG    : Masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak mungkin bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya.
KAKEK          : Menurut mereka, kita cuma bisa apa saja lagi?
PINCANG    : Tidak banyak, kecuali barangkali sekedar  mempertahankan hidup taraf  sekedar  tidak mati saja, dengan batok kotor kita yang kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap kita ini sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah.
KAKEK        : Sekiranyalah mereka tahu apa-apa kemahiran.
PINCANG    : Jangan kecualikan aku, Kek. Kakek dan aku sama-sama termasuk mereka yang setiap saat siap mempertaruhkan apa saja, asal dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan ini.
KAKEK        :Tampaknya mereka sama sekali tak sudi memberi kesempatan itu.
PINCANG      :Tampang kita saja sudah cukup membuat mereka curiga. Habis, tampang bagaimana lagikah yang dapat kita perlihatkan kepada mereka, selain tampang kita yang ini-ini juga? Bahwa tampang kita tampaknya kurang menguntungkan, kurang segar, kurang berdarah, salah kitakah ini? Bahwa dari tubuh dan pakaian kita menyusup uap yang pesing, uap dari air kali yang butek di kolong jembatan ini, salah kitakah ini?
KAKEK         :Hukum masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan tampangmu yang paling menguntungkan.

Kutipan dialog lanjutan dari Kakek dan Si pincang diatas semakin mempertegas  sindiran dan kecaman pengarang terhadap persepsi yang ada di dalam masyarakat yang menilai bahwa orang-orang pinggiran ini adalah kasta yang paling hina dan paling rendah, yang dianggap sudah tidak mampu bekerja. Persepsi-persepsi demikian memang sesuai dengan realita sosial yang ada di negara ini, seringkali orang-orang yang memiliki nasib lebih beruntung merendahkan orang-orang pinggiran yang miskin dan tinggal di kolong jembatan. Persepsi-persepsi yang seperti demikian itu sebenarnya terasa sangat menyakitkan bagi mereka, jika boleh memilih tentu tidak ada orang yang menginginkan memiliki nasib demikian. Bahkan dalam kutipan dialog paling akhir, mereka yang tercermin dalam Si pincang, siap mempertaruhkan apa saja asal dapat meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan.  Dari sini juga terlihat bahwa mereka sebenarnya masih memiliki harga diri dan tidak mau untuk di rendahkan terus-menerus.
PINCANG :Satu per satu kita – pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP, lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran.
KAKEK    :Itu masih mendingan. Itu namanya, bahkan dengan mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan, lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa jadinya dengan kemanusiaan nantinya, tanpa kita?
Dari dialog di atas pengarang juga ingin menyindir Satpol PP (Sekarang) yang memperlakukan mayat-mayat orang pinggiran ini secara tidak sepantasnya, yang menguburkan mereka tanpa adanya upacara pemakaman. Namun di sisi lain mereka masih bersyukur jika kelak mayatnya dapat berguna bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran, mereka merasa bahwa seolah-olah mereka menjadi pahlawan.
PINCANG :Tapi, ada kukenal bang becak yang jadi kaya raya dengan usaha seperti itu. Dia punya hubungan sekaligus dengan sepuluh sampai duapuluh wanita. Dan dia punya hubungan rapat dengan pelayan-pelayan hotel. Dia jadi semacam loveransir plosiran. Dia sudah punya mobil, dirikan rumah gedung di kampungnya, malah baru-baru ini mendirikan lagi sebuah yang mentereng di kota ini. Kabarnya, bulan depan dia bakal naik haji.
ATI           : Wah, dari uang lendir.
PINCANG :Dari uang lendir atau bukan, pokoknya dia bisa naik haji. Pulang dia nanti dari sana, dia berhak pakai sorban – kalau dia mau. Nah, haji sungguhankah dia, atau tidak?
ATI           : Jijik, ah.
PINCANG : Jijik atau tidak jijik, najis atau tidak najis, ya lendir atau tidak lendir, dia adalah Haji Anu, titik
Dialog antara Si pincang dan Ati ini mengkritik adanya sekelompok orang yang bekerja secara tidak halal, namun uang hasil kerja tersebut justru digunakan untuk beribadah agar orang tersebut memiliki kedudukan yang terhormat di mata orang lain.
INA         : Dan aku sangat gembira atas putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan sekalipun, entah memang dia licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam pertimbangannya, tapi setidaknya mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan tetap, punya alamat tetap, ya… (Menangis) punya kartu penduduk tetap!
Ucapan Ina di atas menunjukkan bahwa orang-orang pinggiran ini rela hidup lebih menderita demi mendapat kedudukan yang tetap, baik status maupun tempat tinggal. Mereka sebenarnya juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka masih memiliki eksistensi di balik status sosialnya yang sebelumnya dianggap rendah.
INA      : Abang selama ini telah banyak bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita dan bahagia. Tapi, aku sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh ingin menebus kata-kata itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku memang selalu mengagumi ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan kata-kata, dengan mana Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain. Bermalam-malam aku, tergolek di samping Abang (Suara Batuk-Batuk Kakek), melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling bahagia di dunia ini. Tapi, dengan hati yang pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua ucapan Abang itu bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri Abang semacam kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang gamang berbuat sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan asing sekali di bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula masih ada harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan diri Abang sebagai seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat, betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit. Dan bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar, apa dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang sudah teruk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi, itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! (Menangis) Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka keneraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian kita dengan sendirinya berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar lagi di tempat-tempat seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku mengharapkan tidurku bisa nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun, basah kuyup oleh keringat dingin.
Dari kutipan ucapan Ina di atas jelas terlihat bahwa pengarang juga mengkritisi sesuatu terkait sikap pemerintah terhadap golongan orang-orang pinggiran ini.  Orang-orang ini membutuhkan kepastian dalam hidup mereka, mereka merasa tidak nyaman hidup dalam ketidakpastian. Mereka sudah muak dengan janji-janji yang di iming-imingkan kepada mereka. Dalam mencari kepastian ini hal pahitpun rela di jalani, daripada selalu mendengarkan janji-janji manis yang serba tidak pasti kapan akan terwujud.
KAKEK      :Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang  kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku. (KEMBALI MENGUAP) Pada diriku,  semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel, dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat malam.
Dan kutipan terakhir dari Kakek ini menunjukkan sebuah  peenyelesaian dari drama ini yang menunjukkan betapa kejamnya hidup mereka, ‘manusia-manusia terpojok’ yang memiliki nasib tak menentu, hidup dalam ketidakpastian, memiliki cita-cita, tapi tak tahu bagaimana mewujudkannya. Pengarang melalui kritik sosial di dalam drama ini seolah-olah mengajak pembaca untuk lebih peduli dan memperhatikan keberadaan mereka. Pengarang ingin menyampaikan bahwa mereka sebenarnya masih memiliki eksistensi, mereka berusaha menunjukkan eksistensinya dengan melakukan usaha-usaha untuk mengangkat derajat mereka. Meskipun terkadang cara-caranya kurang tepat, hal ini disebabkan karena keterbatasan mereka.  Tidak sepatutnya mereka direndahkan oleh manusia yang lain, karena sebenarnya mereka masih mempunyai harga diri, mereka ingin hidup layak dan berada dalam kepastian.
Secra keseluruhan, ditinjau dari kritik-kritik sosial yang tersurat maupun tersirat, dapat dikatakan bahwa naskah drama ini merupakan sebuah karya sastra yang luar biasa. Pengarang mampu menangkap realita-realita sosial yang ada secara tepat, kemudian menanggapinya dengan melakukan sindiran-sindiran yang tertuang dalam naskah drama ini. Tema dari naskah drama yang membahas tentang perjuangan hidup masyarakat kalangan bawah untuk lepas dari penderitaan ini, rasanya juga sudah cukup untuk menyindir akibat buruk adanya krisis ekonomi pada tahun 1966 yang membuat masyarakat benar-benar menderita. Pembaca juga diajak oleh pengarang untuk lebih peduli dan memperhatikan, serta tidak merendahkan orang-orang pinggiran ini.  Keunikan dari karya ini adalah kritik-kritik sosial yang ada di dalamnya masih relevan dengan keadaan yang ada saat ini, padahal karya ini diciptakan hampir 50 tahun yang lalu. Berarti dapat dikatakan bahwa sikap masyarakat saat ini secara garis besar tidak berbeda jauh dengan stengah abad yang lalu, meskipun modernisasi perlahan-lahan sudah mengubah pola pikir masyarakat saat ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar