Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Realita Sosial dalam Puisi Taufik Ismail ‘98

Realita Sosial dalam Puisi Taufik Ismail ‘98
Oleh: Pradicta Nurhuda

’98? Tahun yang dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang bagi Indonesia. Satu sisi, banyak gejolak sosial yang terjadi pada masa itu. Sisi lain, pada zaman itulah Indonesia mengenal sebutan “REFORMASI.” Tragedi Semanggi, Trisakti, dan penggulingan tahta kepresidenan Presiden Soeharto merupakan sebagian dari banyak tragedi sejarah yang tidak begitu saja lepas dari ingatan masyarakat Indonesia. Sampai-sampai seorang sastrawan kawakan, seperti Taufiq Ismail pun seolah-olah ingin mengabadikan moment  sejarah pada tahun tersebut dengan merangkainya ke dalam kata-bait puisi. Dengan puisi yang bertemakan sosial, kebanyakan bertemakan kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan, secara tidak langsung Taufik mencoba untuk menyindir penguasa yang sedang berkuasa di zaman itu. Tidak hanya periode ’60an saja yang sangat kental dengan puisi-puisi perlawanan mengecam kediktatoran pemerintah, pada waktu itu Taufiq Ismail beraksi lagi dengan rangkaian kalimat puitisnya berbicara tentang apa yang terjadi di tahun 1998. 

Siapa yang tak kenal penyair berkharismatik dengan banyak karya dan penghargaan ini, beliau adalah pendiri majalah Horison. Puisi-puisinya seakan punya roh yang dapat membangkitkan semangat pembacanya. Setelah mempersembahkan kumpulan puisi Manifestasi di tahun 1966 bersama Goenawan Mohamad dan Hartojo Andangjaya, beliau tak pernah absen menghiasi langit sastra Indonesia. Dengan ciri khasnya puisi bebas mirip prosa dengan bertemakan cerita sosial masyarakat yang sebenarnya, pembaca seakan diajak merasakan langsung peristiwa yang terjadi di zaman itu. Terlebih di tahun ’98 dengan persembahan kumpulan puisinya, seakan semakin memanaskan suasana yang terjadi pada zaman itu. Puisi-puisi seperti, Bayi Lahir di Bulan Mei 98, Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Miskin Desa, Miskin Kota dan Seratus Juta merupakan beberapa puisi yang tak pernah berhenti memenuhi halaman majalah-majalah sastra pada zaman itu.

 Membaca puisi-puisi Taufik Ismail seolah mengingatkan kita pada semangat juang para pemuda untuk memperjuangkan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam puisi-puisinya, Taufik Ismail tak pernah berhenti menyerukan kritik-kritik sosial, politik, hukum dan ekonomi. Semangat heroik seorang pemuda cukup kental dalam karya-karya penyair nasional yang satu ini. Bagi kaum muda aktivis pergerakan mahasiswa, puisi puisi Taufik Ismail adalah inspirasi. Sindiran sopan dan kritikan halus disampaikan para sastrawan seperti Taufik Ismail melalui karya-karyanya. Siapa pun dapat menikmatinya secara terbuka.

Taufik memberikan pencerahan kondisi objektif Indonesia kepada para pembaca. Objektivitas yang ditampilkan Taufik semata-mata bukanlah untuk kepentingan politik tertentu, melainkan ungkapan naluri seorang anak bangsa yang tergerak hatinya untuk menyuarakan kondisi negaranya kepada orang lain. Tak ada yang pantas merasa tersindir, sebab Taufik Ismail berbicara dengan jujur pada kapasitas dirinya sebagai seorang sastrawan. Di antara puisi-puisi milik sastrawan Indonesia lainnya, puisi karya Taufik Ismail memiliki kejujuran di setiap baitnya.

SERATUS JUTA
1998

Umat miskin dan penganggur berdiri hari ini

Kata berdiri menggambarkan arti hidup atau kehidupan, sedangkan hari ini menggantikan arti dari sekarang.  Di sini, digambarkan umat atau kaum miskin dan pengangguran yang hidup di masa sekarang.

Seratus juta banyaknya

Saking banyaknya umat miskin dan pengangguran yang ada, Taufik mengibaratkan jumlahnya seratus juta untuk menggantikan jumlah sesungguhnya.

Di tengah mereka tak tahu akan berbuat apa

Mereka (umat miskin dan pengangguran) tidak tahu apa yang akan dilakukan di kehidupannya.







Kini kutundukkan kepala, karena

Kutundukkan kepala disini berarti si penyair sedang sedih melihat keadaan yang dianggapnya merupakan sesuatu yang luar biasa seperti yang ada pada baris kelima Ada sesuatu besar luar biasa.

Ada sesuatu besar luar biasa

Hilang terasa dari rongga dada

Penyair mengungkapkan bahwa sesuatu yang besar terasa hilang dari rongga dada yang sudah sesak.  Sehingga penyair merasakan kehampaan dalam batinnya.

 Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja

berdiri hari ini

Saudaraku (kaum miskin dan pengangguran) sama-sama memiliki nasib yang menyedihkan karena tidak bisa mencari nafkah dan tidak mendapatkan rezeki. Kata berdiri mengandung penggantian arti dari hidup atau kehidupan, sedangkan hari ini menggantikan arti dari sekarang.


Seratus juta banyaknya
Kita mesti berbuat sesuatu, betapun sukarnya.

Seratus juta untuk menggambarkan jumlah kemiskinan yang merajalela. Kita di sini terlihat ambigu karena dapat berarti kita ditujukan oleh pengarang kepada orang yang tidak termasuk golongan miskin dan pengangguran atau ditujukan kepada orang-orang miskin dan pengangguran. Intinya, penyair mengajak untuk berbuat sesuatu demi keluar dari permasalahan kemiskinan dan pengangguran meskipun hal itu sangat sulit dilakukan.





MISKIN DESA, MISKIN KOTA

1998



Kakekmu di zaman Jepang kena kudis dan beri-beri
Bengkak di kaki, kelaparan dan mati

Penyair menggunakan kata Kakekmu dipersamakan untuk menggantikan arti dari nenek moyang atau orang-orang yang hidup di zaman penjajahan Jepang.  Bengkak di kaki, kelaparan dan mati.  Bengkak di kaki dapat diartikan kaki bengkak yang disebabkan kerja paksa yang dialami. Kelaparan dan mati maksudnya banyak nenek moyang yang mati akibat kerja paksa itu.






Beribu kami mengais
beribu pula mengemis

Terdapat penggantian arti berupa hiperbola yang melebih-lebihkan jumlah, yaitu beribu.  Kami mengais dan mengemis dapat diartikan bahwa nenek moyang dulu masih harus mengais-ngais dulu dan meminta-minta (bisa jadi sandang, pangan dan papan) untuk dapat memilikinya.

Keluarga kita di zaman PKI makan bulgur kuda
Panen sedesa dilindas cuaca dan hama
Bu-likmu, misanmu, semua mati muda

Penyair mencoba menggunakan kata lain dimana keluarga menjadi kiasan dari orang-orang atau penduduk Indonesia yang hidup di zaman PKI.  Bulgur kuda dalam arti sebenarnya adalah makanan kuda yang berupa rumput.  Bulgur kuda mewakili arti begitu parahnya keadaan saat dulu sehingga rakyat Indonesia hanya bisa makan makanan yang tidak layak.  Keadaan seperti itu diperparah lagi dengan kegagalan panen sedesa akibat dilindas atau disebabkan oleh cuaca buruk dan merebaknya hama.


Berpuluh ribu kami mengais
berpuluh ribu pula mengemis

Disini penyair mulai putus asa dengan deritanya, dimana di bait 2 penyair masih menggunakan pilihan kata hiperbola untuk jumlahnya yakni beribu. Di bait ini tinggal berpuluh saja.


Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan
Negeri rubuh, kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan
Sesabar-sabar makhluk makan angan-angan
Jam berdetak, angin lewat di atas tungku penjerangan
Di halaman depan menanti keranda ke kuburan

Penyair begitu sering menggunakan penggantian arti dalam puisi ini.  Baris pertama misalnya Tahun ini lagi kita ditebas kesengsaraan. Maksud ditebas adalah dilanda.  Negeri rubuh menganalogikan keadaan negeri yang sangat buruk akibat penjajahan. Pada kasau-jeriau dan pagu dapur berantakan, dapur berarti bahwa keadaan segala yang berhubungan dengan logistik pada waktu itu benar-benar kacau.  Makan angan-angan berarti orang-orang pada zaman itu tidak bisa memakan makanan yang layak, karena makanan yang layak tidak tersedia bagi mereka.  Mereka hanya berkhayal untuk bisa memakan makanan yang layak.  Kemudia jam berdetak mewakili arti dari waktu yang terus berjalan, sedangkan angin berarti kekosongan atau ketiadaan dan  tungku penjerangan berarti tempat memasak.  Jika baris ke-4 digabungkan maka penggantian arti jadi lebih mudah dipahami, yaitu seiring berjalannya waktu namun tetap saja tidak ada yang bisa dimasak untuk di makan.  Baris terakhir, kuburan merupakan pengganti dari arti sebenarnya yaitu kematian.

Tak terhitung kami mengais
tak terhitung  pula yang mengemis.

Pada bait terakhir terlihat jelas jika penyair sudah geram dengan penderitaannya. Hal ini ditandai dengan tidak digunakannya lagi hitungan jumlah dalam kata-katanya, melainkan penyair telah menggunakan kata tak terhitung sebagai pilihan katanya.



Dalam puisinya, Taufik selalu melukiskan kejadian demi kejadian dengan lugas. Miskin ia katakan miskin. Mengemis ia katakan mengemis. Penggunaan majas dalam puisi-puisi Taufik Ismail juga tidak terlalu sulit dimengerti. Ia merangkainya dengan cukup sederhana. Tapi justru dengan kesederhanaan itulah, puisi karyanya mudah dikenali dan digemari oleh orang awam.

Bahasa sosial yang tertulis dalam setiap bait puisinya, seakan mengajak pembaca terlibat langsung dalam kejadian yang terlukis dalam puisi. Seperti yang tercermin dalam puisi-puisinya di tahun ’98, Taufik Ismail melukiskan keadaan sosial waktu itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar