Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pesan Moral Religius dalam Puisi Masjid Karya Emha Ainun Najib



Pesan Moral Religius dalam Puisi Masjid Karya Emha Ainun Najib
Oleh: Lady Apsari

Nilai-nilai religius memang sudah melekat pada karya-kaya Emha Ainun Najib. Penyair ini dikenal dengan karyanya yang mengungkapkan gambaran masyarakat Indonesia. Mulai dari nilai-nilai budaya, politik dan nilai religius masyarakat Indonesia. Latar belakang kehidupan agama jelas melatarbelakangi sajak-sajaknya yang bertema religius. Sejak kecil hidup di lingkungan yang regilius tentu membuatnya paham dengan nilai-nilai regilus yang dipahami oleh masyarakat. Bahkan dalam kehidupannya hingga dewasa tidak pernah lepas dengan nilai-nilai religius yang dianutnya.  Pemahamannya tentang Islam jelas lebih dari orang biasanya. Penafsirannya tidak hanya sekedar menjalankan perintah-perintah agama, akan tetapi lebih menekankan kepada pemaknaan mendalam apa sebenarnya ‘agama’ yang pada khususnya Islam itu. Emha menuangkan pemikirannya tentang Islam ke dalam sebuah karya. Karya tersebut berupa puisi-puisinya yang bertema religius. Emha Ainun Najib atau yang biasa dipanggil Cak Nun adalah sastrawan besar yang telah banyak menghasilkan karya-karya besar. Salah satu dari sekian sajaknya yang bertema tentang agama yang ditulisnya adalah puisi yang berjudul mesjid 1 dan mesjid 2 yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Sesobek Buku Harian Indonesia. Antalogi kumpulan sajak yang berisi 123 puisi karya Emha Ainun Najib yang ditulis antara tahun 1973 sampai 1992. Esai ini akan membahas tentang sisi religius yang kental dalam sebuah puisi yang berjudul mesjid. Puisi menggunakan diksi yang sederhana, tidak  menggunakan diksi yang puitis. Jika dibandingkan dengan puisi lainnya dalam buku tersebut, puisi ini terlihat mudah dipahami. Puisi yang sarat akan makna walaupun dengan diksi yang minim. Cak Nun memang penyair yang menggunakan diksi-diksi yang menarik dalam karya-karyanya. Namun dalam puisi masjid ini Cak Nun hanya menggunakan diksi yang minim untuk mengungkapkan keindahan puisinya. Puisi ini mempunyai makna yang sangat indah dibalik kesederhanaan diksinya.

            Puisi yang berjudul mesjid ini bertema tentang nilai sosial dalam masyarakat. Tema ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Cak nun menggungkap nilai keagamaan yang ada pada masyarakat indonesia. Nilai sosial ini merupakan tema-tema yang biasa digunakan Cak Nun dalam puisi-puisinya. 
           
Pencitraan puisi ini menggunakan citraan visual untuk memahami diksi-diksinya. Seperti pada bait mesjid di kotaku pintu-pintunya selalu tertutup jika malam,sebab takut perabot-perabotnya yang mewah akan hilang. Pada bait ini pembaca dituntut untuk menggunakan indra penglihatnya untuk memahami puisi ini. Untuk unsur majas dan bunyi tidak terlalu tampak dalam puisi ini. Cak Nun hanya menggunakan simbol-simbol untuk mengunggkapkan maknanya. Puisi ini tidak menggunakan diksi-diksi yang indah, hanya mengandalkan makna-makna simbol dari diksi yang tertuang di dalamnya. Namun justru dari makna itulah keindahan puisi ini. Sisi religius dalam puisi ini tampak pada makna-maknanya  antara lain adalah sebagai berikut.


Mesjid di kotaku pintu-pintunya selalu tertutup jika malam,
Sebab takut perabot-perabotnya yang mewah akan hilang
Jika dilihat dari maknanya puisi ini menunjukkan keprihatinan Cak Nun tentang masyarakat yang menggunakan masjid hanya sebagai simbol dalam dunia keislaman mereka. Masjid hanya sebagai wakil keislaman tanpa melaksanakan hakikat Islam sesungguhnya. Mereka menjaga masjid dengan segala daya upaya namun tidak menggunakannya untuk tempat beribadah. Beribadah tidak hanya memiliki pengertian solat, puasa dan zakat namun melaksanakan ibadah untuk menjalani kehidupan. Cak Nun menyoroti masyarakat Indonesia yang hanya menggunakan Islam sebagai ritual semu belaka.

Apakah Tuhan terkurung di dalamnya, memandang kita dari
Kaca jendela sambil melambai-lambaikan tangannya?
Masyarakat menganggap masjid tempat yang sangat suci, sakral. Masjid merupakan tempat yang agung dan tidak sembarang orang boleh memasukinya. Setiap Jumat dibersihkan, lantai-lantai di jaga kebersihannya. Hanya orang-orang terpilih yang boleh menggunakan masjid. Seolah-oleh Tuhan berada di dalamnya, mengawasi kita sehingga kita harus berbuat sebaik mungkin di dalam masjid karena Tuhan sedang berada di sana.

Bapak imam yang memimpin orang-orang sembahyang, seperti
Punya keinginan untuk menjadi malaikat Tuhan, sehingga ia
Enggan bergaul dengan banyak orang
 Pada bait ini Cak Nun menggambarkan  begitu sombongnya orang-orang alim yang ada di masjid. Cak Nun mengungkapkan mereka hanya peduli dengan dirinya sendiri, merasa dirinya paling dekat dengan Tuhan, orang yang paling baik. Sedangkan orang kecil tak bisa berbuat banyak selain menghormatinya. Meraka kalah dengan seringnya sang imam yang datang ke masjid dan memimpin jamaah tentunya.

Sehari lima kali kepalanya menggeleng-geleng dan mulutnya
Mengucapkan macam-macam doa, dan orang-orang pun sehari
Lima kali menyebut “amin!” Di luar kepala
Sosok imam yang merasa paling dekat dengan Tuhan hanya menjalankan ritual ibadah dalam hidupnya. Ibadah hanya sebuah simbol ritual wajib yang harus dilaksanakan setiap hari.

Air muka mereka kosong, menggambarkan perasaan
Yang aman, sebab mereka menyangka Tuhan cukup dilayani
Dengan upacara-upacara sembahyang
Mereka merasa puas dengan hanya menjalankan ritual-ritual ibadah. Akan tetapi jiwa mereka kosong, ibadah tak memberikan ketentraman hati yang seharusnya mereka dapatkan. Ritual ibadah hanya untuk menggugurkan kewajiban dalam rutinitas beragama mereka.

 Nilai religius tampak ketika Cak Nun mengungkapkan sisi keagamaan pada masyarakat indonesia. Melalui puisi ini Cak Nun ingin menyampaikan pesan religiusnya. Untuk memahami islam secara utuh, untuk menjadikan islam sebagai pedoman untuk melaksanakan kehidupan. Nilai religius tampak pada makna yang ada dalam puisi masjid ini, yang secara keseluruhan puisi mesjid menggambarkan masyarakat Islam Indonesia yang menjadikan agama hanya sebagai ritual beribadah yang wajib dikerjakan. Masyarakat tidak memaknai hakikat agama Islam yang sesungguhnya untuk menjalankan hidup. Ritual Islam hanya sebagai simbol kehidupan religius mereka. Mereka hanya ikut-ikutan menjalankan ritual, untuk dianggap ‘beragama’. Namun tidak menjadikan agama masuk kedalam hati dan jiwa mereka. Kegalauan masyarakat ini ditangkap dengan baik oleh Cak Nun dengan menjadikannya larik-larik indah yang dituangkan dalam puisi masjid ini. Cak Nun tidak tertalu menggunakan diksi-diksi ulit dalam puisinya. Ia menggunakan diksi umum yang sederhana, tidak ada yang kata yang sulit diartikan. Akan tetapi rangkaian kata yang dibuatnya menjadi kalimat-kalimat indah penuh makna. Pesan moral yang disampaikan dalam puisi ini sungguh mewakili masyarakat dalam nilai religius. Sedangkan pada puisi masjid 2 Cak Nun mencoba menguraikan tentang masyarakat yang sudah tidak peduli dengan orang lain. Hanya memkirkan diri sendiri dan menganggap dirinya paling baik. Sikap ketidakpedulian masyarakat ini menimbulkan merengganggnya hubungan sesama manusia. Memecah persatuan dan kesatuan Indonesia. Ketidakpedulian ini berdampak besar bagi kelangsungan hidup bernegara yang notabennya menggunakan asas gotong royong untuk menjalankan kehidupan. Dengan timbulnya ketidakpedulian sosial ini, tentu membuat asas gotong royong hilang hanya tinggal nama. Tak heran jika semakin banyaknya perang antar saudara di negara Indonesia tercinta ini. Padahal Islam juga telah mengajarkan kehidupan saling tolong menolong sesama. Islam menganggap hubungan sesama manusia penting dilaksanakan. Jika hubungan baiknya hanya kepada Tuhan tapi tidak baik kepada sesamnya apalah gunanya. Cak Nun mencoba menggambarkannya pada puisi mesjid 2.

Mesjid 2

“aku ingin turut sembahyang tetapi pakaianku satu-satunya
ini sudah sangat kotor dan tubuhku pun kotor”, berkata
pengemis tua itu di pintu gerbang mesjid

orang-orang melewatinya saja.

ketika sembahyang jumat hendak dilangsungkan, seseorang
datang dan menghardiknya: “hendak mencuri sandal kamu ya!”

pengemis tua itu pergi
dan tuhan allah menyertai

meninggalkan para jamaah yang ramai

Yogya 77

Puisi ini menggambarkan orang-orang terhina dilarang melaksanakan ibadah dengan alasan tidak layak untuk berada dalam golongan orang-orang baik. Orang-orang terhina disini yaitu orang-orang yang sangat miskin, orang yang mempunyai banyak dosa (menurut orang-orang yang menganggap dirinya baik) tidak memiliki kesempatan untuk menjalankan ritual seperti mereka. Mereka menganggap orang-orang hina itu hanya mengganggu kehidupan ‘kebaikan’ mereka. Bahkan tidak memberinya kesempatan untuk mendekat sedikitpun. Mereka mengusir jauh-jauh orang-orang hina itu. Padahal sesungguhnya orang-orang hina bisa saja merupakan utusan Tuhan untuk mengingatkan mereka. Orang-orang itu bisa menjadi ladang pahala untuk mereka. Cak Nun mengambarkan fenomena sosial ini dengan sepenggal bait miliknya. Sepenggal baitnya menggungkapkan ribuan tanya untuk negeri ini. pada puisi mesjid 2 ini Cak Nun ingin memantapkan puisi mesjid yang pertama. Dengan menggunakan tema yang sama Cak Nun menggunakan puisi mesjid 2 ini untuk melengkapi puisi sebelumnya. Dengan diksi yang sarat akan simbol Cak Nun mampu menggunakan puisi ini untuk menyentil fenomena sosial keagamaan masyarakat Indonesia, dengan makna puisi yang sarat akan pesan moral religius ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Salam buat Cak Nun ya. Semoga Selalu Sehat. Aamiin.

Anonim mengatakan...

Masjid 1 sangat kena sekali dg fenomena saat dibuatnya puisi itu.. yg sy alami ketika hendak sholat saat musafir, menemui masjid terkunci Dan yg ada hy sholat di terasnya saja yg kotor.. kini sdh Smkn byk dan terbuka. Ingatan ini mjdkan puisi EAN sbg sesuatu yg berarti, tdk lepas dr ingatan, jg sangat terasa dl puisi mesjid 2 , pesan yg menohok ktk
Tuhan meninggalkan mrk yg di Masjid..

Posting Komentar