Pesan Moral Religius dalam Puisi
Masjid Karya Emha Ainun Najib
Oleh: Lady Apsari
Nilai-nilai
religius memang sudah melekat pada karya-kaya Emha Ainun Najib. Penyair ini dikenal
dengan karyanya yang mengungkapkan gambaran masyarakat Indonesia. Mulai dari
nilai-nilai budaya, politik dan nilai religius masyarakat Indonesia. Latar
belakang kehidupan agama jelas melatarbelakangi sajak-sajaknya yang bertema
religius. Sejak kecil hidup di lingkungan yang regilius tentu membuatnya paham
dengan nilai-nilai regilus yang dipahami oleh masyarakat. Bahkan dalam
kehidupannya hingga dewasa tidak pernah lepas dengan nilai-nilai religius yang
dianutnya. Pemahamannya tentang Islam
jelas lebih dari orang biasanya. Penafsirannya tidak hanya sekedar menjalankan
perintah-perintah agama, akan tetapi lebih menekankan kepada pemaknaan mendalam
apa sebenarnya ‘agama’ yang pada khususnya Islam itu. Emha menuangkan
pemikirannya tentang Islam ke dalam sebuah karya. Karya tersebut berupa
puisi-puisinya yang bertema religius. Emha Ainun Najib atau yang biasa
dipanggil Cak Nun adalah sastrawan besar yang telah banyak menghasilkan karya-karya
besar. Salah satu dari sekian sajaknya yang bertema tentang agama yang
ditulisnya adalah puisi yang berjudul mesjid 1 dan mesjid 2 yang tertuang dalam
bukunya yang berjudul Sesobek Buku Harian
Indonesia. Antalogi kumpulan sajak yang berisi 123 puisi karya Emha Ainun
Najib yang ditulis antara tahun 1973 sampai 1992. Esai ini akan membahas
tentang sisi religius yang kental dalam sebuah puisi yang berjudul mesjid. Puisi
menggunakan diksi yang sederhana, tidak menggunakan
diksi yang puitis. Jika dibandingkan dengan puisi lainnya dalam buku tersebut,
puisi ini terlihat mudah dipahami. Puisi yang sarat akan makna walaupun dengan
diksi yang minim. Cak Nun memang penyair yang menggunakan diksi-diksi yang
menarik dalam karya-karyanya. Namun dalam puisi masjid ini Cak Nun hanya
menggunakan diksi yang minim untuk mengungkapkan keindahan puisinya. Puisi ini
mempunyai makna yang sangat indah dibalik kesederhanaan diksinya.
Puisi yang berjudul mesjid ini
bertema tentang nilai sosial dalam masyarakat. Tema ini sangat dekat dengan
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Cak nun menggungkap nilai keagamaan
yang ada pada masyarakat indonesia. Nilai sosial ini merupakan tema-tema yang
biasa digunakan Cak Nun dalam puisi-puisinya.
Mesjid di kotaku pintu-pintunya
selalu tertutup jika malam,
Sebab takut perabot-perabotnya yang
mewah akan hilang
Jika
dilihat dari maknanya puisi ini menunjukkan keprihatinan Cak Nun tentang
masyarakat yang menggunakan masjid hanya sebagai simbol dalam dunia keislaman
mereka. Masjid hanya sebagai wakil keislaman tanpa melaksanakan hakikat Islam
sesungguhnya. Mereka menjaga masjid dengan segala daya upaya namun tidak
menggunakannya untuk tempat beribadah. Beribadah tidak hanya memiliki pengertian
solat, puasa dan zakat namun melaksanakan ibadah untuk menjalani kehidupan. Cak
Nun menyoroti masyarakat Indonesia yang hanya menggunakan Islam sebagai ritual
semu belaka.
Apakah Tuhan terkurung di dalamnya,
memandang kita dari
Kaca jendela sambil
melambai-lambaikan tangannya?
Masyarakat
menganggap masjid tempat yang sangat suci, sakral. Masjid merupakan tempat yang
agung dan tidak sembarang orang boleh memasukinya. Setiap Jumat dibersihkan, lantai-lantai
di jaga kebersihannya. Hanya orang-orang terpilih yang boleh menggunakan masjid.
Seolah-oleh Tuhan berada di dalamnya, mengawasi kita sehingga kita harus
berbuat sebaik mungkin di dalam masjid karena Tuhan sedang berada di sana.
Bapak imam yang memimpin
orang-orang sembahyang, seperti
Punya keinginan untuk menjadi
malaikat Tuhan, sehingga ia
Enggan bergaul dengan banyak orang
Pada bait ini Cak Nun menggambarkan begitu sombongnya orang-orang alim yang ada di
masjid. Cak Nun mengungkapkan mereka hanya peduli dengan dirinya sendiri,
merasa dirinya paling dekat dengan Tuhan, orang yang paling baik. Sedangkan
orang kecil tak bisa berbuat banyak selain menghormatinya. Meraka kalah dengan
seringnya sang imam yang datang ke masjid dan memimpin jamaah tentunya.
Sehari lima kali kepalanya
menggeleng-geleng dan mulutnya
Mengucapkan macam-macam doa, dan
orang-orang pun sehari
Lima kali menyebut “amin!” Di luar
kepala
Sosok
imam yang merasa paling dekat dengan Tuhan hanya menjalankan ritual ibadah
dalam hidupnya. Ibadah hanya sebuah simbol ritual wajib yang harus dilaksanakan
setiap hari.
Air muka mereka kosong,
menggambarkan perasaan
Yang aman, sebab mereka menyangka Tuhan
cukup dilayani
Dengan upacara-upacara sembahyang
Mereka
merasa puas dengan hanya menjalankan ritual-ritual ibadah. Akan tetapi jiwa
mereka kosong, ibadah tak memberikan ketentraman hati yang seharusnya mereka
dapatkan. Ritual ibadah hanya untuk menggugurkan kewajiban dalam rutinitas
beragama mereka.
Nilai religius tampak ketika Cak Nun mengungkapkan
sisi keagamaan pada masyarakat indonesia. Melalui puisi ini Cak Nun ingin
menyampaikan pesan religiusnya. Untuk memahami islam secara utuh, untuk
menjadikan islam sebagai pedoman untuk melaksanakan kehidupan. Nilai religius
tampak pada makna yang ada dalam puisi masjid ini, yang secara keseluruhan
puisi mesjid menggambarkan masyarakat Islam Indonesia yang menjadikan agama
hanya sebagai ritual beribadah yang wajib dikerjakan. Masyarakat tidak memaknai
hakikat agama Islam yang sesungguhnya untuk menjalankan hidup. Ritual Islam
hanya sebagai simbol kehidupan religius mereka. Mereka hanya ikut-ikutan
menjalankan ritual, untuk dianggap ‘beragama’. Namun tidak menjadikan agama
masuk kedalam hati dan jiwa mereka. Kegalauan masyarakat ini ditangkap dengan
baik oleh Cak Nun dengan menjadikannya larik-larik indah yang dituangkan dalam
puisi masjid ini. Cak Nun tidak tertalu menggunakan diksi-diksi ulit dalam
puisinya. Ia menggunakan diksi umum yang
sederhana, tidak ada yang kata yang sulit diartikan. Akan tetapi rangkaian kata
yang dibuatnya menjadi kalimat-kalimat indah penuh makna. Pesan moral yang
disampaikan dalam puisi ini sungguh mewakili masyarakat dalam nilai religius. Sedangkan
pada puisi masjid 2 Cak Nun mencoba menguraikan tentang masyarakat yang sudah
tidak peduli dengan orang lain. Hanya memkirkan diri sendiri dan menganggap
dirinya paling baik. Sikap ketidakpedulian masyarakat ini menimbulkan
merengganggnya hubungan sesama manusia. Memecah persatuan dan kesatuan Indonesia.
Ketidakpedulian ini berdampak besar bagi kelangsungan hidup bernegara yang
notabennya menggunakan asas gotong royong untuk menjalankan kehidupan. Dengan timbulnya
ketidakpedulian sosial ini, tentu membuat asas gotong royong hilang hanya
tinggal nama. Tak heran jika semakin banyaknya perang antar saudara di negara Indonesia
tercinta ini. Padahal Islam juga telah mengajarkan kehidupan saling tolong
menolong sesama. Islam menganggap hubungan sesama manusia penting dilaksanakan.
Jika hubungan baiknya hanya kepada Tuhan tapi tidak baik kepada sesamnya apalah
gunanya. Cak Nun mencoba menggambarkannya pada puisi mesjid 2.
Mesjid
2
“aku ingin turut sembahyang tetapi
pakaianku satu-satunya
ini sudah sangat kotor dan tubuhku
pun kotor”, berkata
pengemis tua itu di pintu gerbang
mesjid
orang-orang melewatinya saja.
ketika sembahyang jumat hendak
dilangsungkan, seseorang
datang dan menghardiknya: “hendak
mencuri sandal kamu ya!”
pengemis tua itu pergi
dan tuhan allah menyertai
meninggalkan para jamaah yang ramai
Yogya 77
Puisi
ini menggambarkan orang-orang terhina dilarang melaksanakan ibadah dengan
alasan tidak layak untuk berada dalam golongan orang-orang baik. Orang-orang
terhina disini yaitu orang-orang yang sangat miskin, orang yang mempunyai
banyak dosa (menurut orang-orang yang menganggap dirinya baik) tidak memiliki
kesempatan untuk menjalankan ritual seperti mereka. Mereka menganggap
orang-orang hina itu hanya mengganggu kehidupan ‘kebaikan’ mereka. Bahkan tidak
memberinya kesempatan untuk mendekat sedikitpun. Mereka mengusir jauh-jauh
orang-orang hina itu. Padahal sesungguhnya orang-orang hina bisa saja merupakan
utusan Tuhan untuk mengingatkan mereka. Orang-orang itu bisa menjadi ladang
pahala untuk mereka. Cak Nun mengambarkan fenomena sosial ini dengan sepenggal
bait miliknya. Sepenggal baitnya menggungkapkan ribuan tanya untuk negeri ini.
pada puisi mesjid 2 ini Cak Nun ingin memantapkan puisi mesjid yang pertama. Dengan
menggunakan tema yang sama Cak Nun menggunakan puisi mesjid 2 ini untuk
melengkapi puisi sebelumnya. Dengan diksi yang sarat akan simbol Cak Nun mampu
menggunakan puisi ini untuk menyentil fenomena sosial keagamaan masyarakat Indonesia,
dengan makna puisi yang sarat akan pesan moral religius ini.
2 komentar:
Salam buat Cak Nun ya. Semoga Selalu Sehat. Aamiin.
Masjid 1 sangat kena sekali dg fenomena saat dibuatnya puisi itu.. yg sy alami ketika hendak sholat saat musafir, menemui masjid terkunci Dan yg ada hy sholat di terasnya saja yg kotor.. kini sdh Smkn byk dan terbuka. Ingatan ini mjdkan puisi EAN sbg sesuatu yg berarti, tdk lepas dr ingatan, jg sangat terasa dl puisi mesjid 2 , pesan yg menohok ktk
Tuhan meninggalkan mrk yg di Masjid..
Posting Komentar