Bila Malam Bertambah Malam, Memanusiakan Manusia
Oleh: Widya Ufi Damayanti
Putu Wijaya bukanlah seorang sastrawan yang akan menulis karya sastranya dengan gaya bahasa yang rumit dan diksi yang berkelok-kelok. Lucu, lugas, dan enak untuk dibaca. Namun, meskipun tidak berumit-rumit, isi cerita atau konflik yang ada di dalam setiap karyanya sungguh luar biasa dan di luar nalar pikiran seorang biasa. Inilah yang membuat Putu Wijaya dikenal dengan teror mentalnya. Sangat sulit memperkirakan ending karya Putu Wijaya, walaupun masalah yang diangkat sangat sederhana, tetapi teror mental yang disuguhkan mampu membuat masalah itu menjadi istimewa di mata pembaca. Bukan hanya teror mental, Putu Wijaya juga dikenal tidak jarang menggunakan bermacam simbol dalam karyanya. Namun, yang paling berkesan tentu saja pemilihan kata-katanya, yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketika membaca karya Putu Wijaya, seringkali orang tidak menyangka bahwa pengarang akan menggunakan pemilihan kata yang seperti itu.
Bila Malam Bertambah Malam. Sebuah lakon yang berlatar belakang kehidupan kasta masyarakat Bali dilihat dari kehidupan sehari-hari keturunan keluarga bangsawan. Merupakan salah satu karya Putu Wijaya yang cukup terkenal.
Mengenal tokoh Bila Malam Bertambah Malam, dalam urutan pertama tentu saja muncul nama Gusti Biang. Wanita tua dan pemarah yang merupakan sosok sentral dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam. Dialah putri tunggal seorang bangsawan, yang telah ditinggal mati oleh suaminya, yang kini kehidupan di hari tuanya selalu ditemani Wayan pelayan setianya. Tidak mempercayai siapapun selain Wayan dan sangat tegantung pada Wayan. Juga, sangat perhitungan terhadap hartanya. Memiliki keyakinan bahwa keturunan bangsawan dapat memperlakukan dan berbicara siapapun dengan sekehendak hatinya, bahkan seringkali berbicara tidak sopan. Namun demikian, Gusti Biang adalah simbol dari seorang wanita yang memegang teguh tradisi masyarakat Bali yang memang memiliki kasta, sesuai dengan agama yang mereka anut, agama Hindu. Di masa lalunya, Gusti Biang rela menikah dengan orang yang tidak dicintainya demi menjaga tradisi.
Tokoh sentral yang kedua tentu saja lelaki tua, Wayan. Pelayan paling setia dan paling sabar dalam menghadapi tindak-tanduk Gusti Biang yang seperti anak kecil. Tidak pernah lelah untuk menasehati perilaku Gusti Biang, walaupun jarang sekali didengarkan. Wayan adalah simbol seseorang yang rela melakukan sesuatu dengan tulus ikhlas karena perasaan cintanya kepada Gusti Biang yang tak pernah padam sejak dahulu kala.
Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku, lalu dia kawin dengan bangsawan, penghianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam. (BABAK IV, ADEGAN II)
Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi. (BABAK IV, ADEGAN II)
Bersama Gusti Biang, mereka rupanya saling mencintai dan merahasiakannya hingga berpuluh tahun. Wayan mempunyai rahasia besar, yaitu kenyataan bahwa dia seorang anggota gerilya yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan yang telah membunuh suami Gusti Biang seorang mata-mata NICA. Namun, tidak semua orang tahu kenyataan ini karena suami Gusti Biang adalah seorang bangsawan.
Tiyang tahu semuanya, tu Ngurah. Sebab tiyang yang telah mendampinginya setiap saat dulu. Sejak kecil tiyang sepermainan dengan dia, seperti tu Ngurah dengan Nyoman. Tiyang tidak buta huruf seperti disangkanya. Tiyang bisa membaca dokumen-dokumen dan surat-surat rahasia yang ada di meja kerjanya. Siapa yang membocorkan gerakan Ciung Wanara di Marga dulu? Nica-nica itu mengepung Ciung Wanara yang dipimpin oleh pak Rai, menghujani dengan peluru dari berbagai penjuru, bahkan dibom dari udara sehingga kawan-kawan semua gugur. Siapa yang bertanggung jawab atas kematian sembilan puluh enam kawan-kawan yang berjuang habis-habisan itu? Dalam perang puputan itu kita kehilangan Kapten Sugianyar, kawan-kawan tiyang yang paling baik, bahkan kehilangan pak Rai sendiri. Dialah yang telah berkhianat, dialah yang telah melaporkan gerakan itu semua kepada Nica. (BABAK IV ADEGAN II)
Tokoh ketiga yaitu Nyoman, seorang perawan cantik yang entah mengapa sangat dibenci oleh Gusti Biang. Padahal dahulu ketika masih kecil, dia sangat disayang. Sebetulnya dia seorang yang baik hati dan sabar meladeni Gusti Biang, namun lama-kelamaan dia merasa jengah diperlakukan bak binatang oleh majikannya. Mungkin dikarenakan Ngurah, anak Gusti Biang, rupanya menyukai Nyoman.
Tokoh keempat adalah putra Gusti Biang, yaitu Ngurah. Ngurah yang belajar hingga ke Jakarta, mempunyai pemikiran yang lebih dewasa dibandingkan dengan Ibunya. Ngurah adalah simbol penentang tradisi yang menyalahi hak asasi manusia, seperti melarangnya menikahi Nyoman yang merupakan kalangan bawah.
Bila Malam Bertambah Malam, dua kali terdapat teror mental. Pertama, pengakuan Wayan bahwa dialah seorang gerilya pembela bangsa dan negara yang tidak pernah sekalipun diakui sebagai pahlawan. Wayan yang membunuh seorang penjilat dan penghianat bangsa, suami Gusti Biang, yang merupakan mata-mata NICA. Namun, karena status bangsawannya, suami Gusti Biang-lah yang malah dianggap sebagai pahlawan. Kedua, pengakuan Wayan bahwa dialah ayah biolois Ngurah.
Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu.
(Kepada Ngurah)
Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua itu menjadi rahasia ... sampai ... Kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati. (BABAK IV ADEGAN II)
Proses terpenting dari hasil pembacaan lakon Bila Malam Bertambah Malam adalah rasa kesadaran bahwa lakon ini mengajarkan proses menjadikan manusia agar memiliki rasa kemanusiaan, dengan kata lain proses memanusiakan manusia. Proses itu terjadi disepanjang jalan cerita dan yang paling menonjol digambarkan dalam tokoh Gusti Biang, bagaimana sikap Gusti Biang memperlakukan manusia-manusia disekitarnya yang lebih rendah derajatnya hingga di akhir cerita terjadi perubahan sikapnya. Proses memanusiakan manusia juga terlihat dalam teror mental yang dilakukan oleh Putu Wijaya, digambarkan dalam pengakuan Wayan bahwa suami Gusti Biang adalah seorang penghianat bangsa, bahwa Wayanlah yang membunuh suami Gusti Biang, hingga pengakuan bahwa Wayan adalah ayah biologis Ngurah.
Dengan sangat pandai, Putu Wijaya menceritakan proses memanusiakan manusia dimulai dari pertengkaran-pertengkaran pada Babak I. Gusti Biang yang mengagungkan darah bangsawannya, sangat memandang rendah Nyoman. Bahkan mengata-ngatai gadis belia itu dengan segala macam ucapan kotor yang bisa dia ucapkan. Kemudian, bagaimana Wayan berusaha merubah perilaku Gusti Biang dengan memberinya berbagai nasihat. Hingga pada puncaknya kemunculan Ngurah, yang menentang sikap Ibunya yang dianggap terlalu kuno dan terlalu menjaga tradisi di zaman yang telah berubah. Kemudian ditambah pengakuan Wayan mengenai siapa dirinya. Hingga keseluruhan itu membuat Gusti Biang sedikit melemah dan merubah sikapnya.
Putu Wijaya sama sekali tidak memaksakan pembaca untuk melakukan apa yang diamanatkannya melalui lakon Bila Malam Bertambah Malam. Beliau hanya menunjukkan sebuah cerita dengan teror mental andalannya, untuk mengetuk hati pembaca.
Wayan Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang? (BABAK IV ADEGAN III)
Bila Malam Bertambah Malam, Memanusiakan Manusia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar