Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NILAI SOSIAL DALAM CERPEN GURU KARYA PUTU WIJAYA



NILAI SOSIAL DALAM CERPEN GURU KARYA PUTU WIJAYA
Oleh: Lady Apsari
 
Nilai sosial merupakan nilai yang dianut masyarakat, tentang suatu hal baik itu bernilai buruk atau bernilai baik. Dalam sebuah cerpen pasti mempunyai unsur ekstrinsik yang berisi nilai-nilai. Nilai tersebut antara lain adalah  nilai sosial, nilai pendidikan, nilai filosofis dan lain-lain.  Salah satunya contohnya ada dalam cerpen berjudul Guru karya Putu Wijaya. Cerpen guru  ini sarat akan nilai-nilai sosial yang sangat kental. Cerpen ini menghadirkan tentang nilai sosial yang ada pada masyarakat indonesia. Putu Wijaya mengangkat fenenoma tentang guru. Tema yang jarang dianggkat untuk sebuah cerpen. Putu Wijaya memaparkan dengan detail bagaimana pandangan guru dalam masyarakat. 
 Putu Wijaya menjadikan konflik untuk memaparkan nilai sosial seorang guru. Beliau menggunakan konflik dengan senjata dalam cerpen ini. Konflik disepanjang alur cerita dipaparkan dengan lugas dan apik.  Anggapan masyarakat terhadap guru. Selain itu juga ada nilai-nilai sosial yang lain dalam cerpen ini. Dengan menggunakan alur maju dan flasback, Putu Wijaya berhasil membuat pembaca terus ingin membaca dan penasaran dengan alur ceritanya. Alur maju yang dibuat dibuat dengan klimaks perhalahan-lahan membuat sensasi yang berbeda dalam cerpen ini. Pembaca seolah-seolah berada dalam situasi yang menegangkan dan ikut andil dalam pertengkaran antara ayah dan Taksu. Tapi tidak dengan anti klimaks. Anti klimaks terkesan motonon jika dibandingkan dengan klimaks-klimaks yang sudah disajikan.  Dengan klimaks yang disajikan begitu kental, namun diakhiri dengan anti klimaks yang terkesan sederhana membuat novel ini terasa hambar. Dengan akhir yang terkesan sederhana membuat pembaca kecewa. Pembaca yang sudah larut dengan klimaks kaget dengan anti klimaks itu.   
Nilai sosial terhadap paradigma seorang guru dapat terlihat dari Putu Wijaya menuliskan menjadi seorang guru bukanlah merupakan suatu cita-cita. Mereka menjadi guru karena terpaksa agar mereka tidak mengangggur.  Masyarakat memandang rendah profesi guru. Hidup guru dianggap tidak layak. Hidup sebagai guru itu miskin. Guru tidak ada yang kaya semuanya miskin. Guru tidak punya masa depan. Hidupnya bersusah-susah, dengan perjuangan yang berat, dengan hasil yang sangat minim. Menjadi guru itu tidak terhormat. Ibarat kasta, guru berada pada kasta yang paling rendah. Semboyan yang mengatakan guru itu pahlawan tanpa tanda saja, tinggallah sebuah semboyan. Tak menjadi berarti dengan sekelompok oknum guru yang melakukan hal-hal tidak bermoral. Padahal notabennya guru merupakan individu yang harus menjunggung tinggi tingkah laku yang bermoral. Sesuai dengan istilah jawanya guru berasal dari akronim dari di gugu lan di tiru. Yang secara kasar berarti dipatuhi tutur katanya dan di contoh  tingkah lakunya. Guru tidak punya masa depan, karena guru sepanjang hidupnya akan tetap menjadi guru. Sulitnya rasanya meninggalkan profesi menjadi guru. Menjadi guru sudah mendarah daging dalam hidup seorang guru. Bahkan terkadang di saat guru tersebut sudah pensiun pun masih dianggap sebagai guru. guru yang menjadi panutan untuk orang lain, menjadi contoh yang baik dalam tingkah lakunya. Ini merupakan gambaran guru dalam artian yang sesungguhnya. Guru yang mengajarkan pelajaran untuk murid-muridnya. Tapi selain guru yang sesungguhnya itu juga ada guru yang dalam tanda petik. Seperti yang diceritakan dalam  "ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja,". Seseorang yang menjadi inspirasi untuk orang lain. Menjadi motivasi untuk semangat hidup orang lain. Putu Wijaya ingin menyampaikan makna lain dari seorang guru. di bagian-bagian lain juga disebutkan bagaimana martabat seorang guru  Seperti pada kutipan berikut ini:
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
Cerpen ini menggabarkan tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kenyataan itu selain bisa menggabarkan nilai sosial yang ada dalam masyarakat, bisa juga menjadi kritik sosial untuk pemerintah yang tidak memperhatikan nasib guru. Seperti pada kutipan berikut ini:
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, taksu.’’
Nilai sosial dalam novel ini juga mengunggapkan tentang anggapan orang bahwa yang bisa menjadi kaya harus memmiliki gelar dan jabatan tinggi. Masyarakat Indonesia masih gila gelar. Yang membuatnya sukses adalah gelarnya. Pendidikan atau yang biasa disebut sekolah hanyalah sebagai cara untuk mendapatkan gelar. Sekolah hanya untuk mencari nilai. Tentu saja semakin nilai bagus maka semakin bagus pula uang yang akan diperoleh. Tak heran jika kecurangan dalam sekolah masih terus dilakukan. Ujian yang sejatinya digunakan untuk menjadi pengukur kemampuan. Malah menjadi ajang untuk membuka peluang berbuat kecurangan. Jika pada waktu sekolah saja sudah biasa berbuat curang apalagi waktu menjadi pejabat. Fasih mencari celah untuk mencari kecurangan, bukan fasih untuk mencari prestasi yang membanggakan. Nilai sosial masyarakat Indonesia juga terlihat disini, mereka beranggapan kecurangan atau istilah modernnya korupsi. Sudah menjadi hal yang biasa. Tanpa korupsi tidak ada jalan. Tentu saja nilai ini dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia sejak masa penjajahan dulu. Seperti pada kutipan berikut ini:
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti’

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar