SEKILAS
TENTANG KEMBANG TANJUNG DALAM SAJAK SONI FARID MAULANA
Oleh: Marinda Agustina
Soni
farid maulana adalah seorang penyair yang telah banyak menghasilkan sajak-sajak
bertema variatif. Banyak sekali kita temui sajak-sajak bertemakan sosial,
religius maupun yang bertemakan tentang cinta. Soni juga aktif menulis puisi,
esai, prosa, dan laporan jurnalistik di Harian Umum Pikiran Rakyat. Puisi-puisi
yang dibuatnya bukan hanya berbahasa Indonesia, tapi juga berbahasa Sunda.
Sebagai penyair, Soni pernah membacakan sejumlah puisinya di berbagai acara,
yakni South East Asian Writers Conference di Filipina (1990), Festival
de Winternachten di Belanda (1999), Puisi Internasional Indonesia di
Bandung (2002), International Literature Biennale 2005: Living Together
di Bandung, dan sejumlah acara lainnya yang diadakan oleh Dewan Kesenian
Jakarta di Taman Ismail Marzuki.
Soni Farid Maulana
merupakan penyair yang produktif menghasilkan karya-karya yang kreatif,
meskipun ia tak setenar Chairil Anwar ataupun penyair-penyair lainnya. Penyair
ini telah mengembara melewati perjalanan yang jauh hingga menghasilkan
tema-tema yang estetis dalam sajak-sajaknya. Sajak-sajak Soni Farid Maulana
yang sudah banyak bertebaran dan telah banyak dibukukan membuktikan bahwa ia
adalah salah seorang pengarang yang produktif dalam menghasilkan karya
sastranya. Banyak puisi-puisi sarat makna yang telah lahir dari jari-jari
kreatifnya. Ia telah mampu menemukan bahasanya sendiri dalam upaya penyampaian
pesan atas sajak-sajak yang telah ia tulis kepada para pembacanya.
Sajak-sajak yang telah
ditulis Soni mampu memberikan warna yang berbeda pada khasanah kesusastraan di
Indonesia. Dalam tulisan ini, saya akan mengulas sedikit tentang sajak religius
Soni Farid Maulana yang berbicara tentang pergolakan batin seseorang saat akan
menghadapi kematian. Sajaknya yang berjudul “Kembang Tanjung” menggambarkan
tentang ketakutan seseorang menghadapi ajal saat dalam keadaan sendiri dan
kesepian. Berikut ini adalah sajak berjudul “Kembang Tanjung” yang saya maksud:
KEMBANG
TANJUNG
kau benar. Akhirnya aku kembali
ke dalam sunyi. Pintu hatiku, yang aku buka
seluas tujuh tahun cahaya,
menyebabkan angin sedingin jantung si mati
bersarang di situ. Jika angin itu menjelma badai,
diriku hancur dibuatnya.
kau benar, aku harus pergi ke dunia yang lain,
menutup kembali pintu itu rapat-rapat.
kini aku mengerti, bahwa cinta, dan mencintai
harus dibedakan, tidak boleh di sandingkan dalam kursi
yang sama. Sakit juga, ya, bila pada akhirnya,
aku harus pamit dari kehidupan orang yang aku cintai.
ya, kau pernah bertanya, apa sesungguhnya cinta itu?
kini aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu,
selain terlempar ke ujung tanjung, dunia sunyi,
sepi, seperti sumur tua, yang airnya absen
dikoyak timba purba. Periku, seandainya saat ini
kau ada sisiku, kau pasti tertawa ngakak,
“apa aku bilang!” begitu kau berkata.
aku percaya pada awas mata batinmu yang mampu
membaca masa depan,
dan kau bilang, kelak aku akan sendiri, bagai
bintang mati di pojok jagat raya. Periku, apakah aku
bisa hidup sendiri? Apakah dalam kesendirian itu
aku bisa tenang menghadapi kematian, tanpa orang
yang aku cintai? Kau bilang, mati itu sendiri,
tanpa orang yang dicintai. Jadi belajarlah hidup sendiri.
periku, apa yang aku takutkan kini terjadi, betapa pamit itu
menyakitkan. Betapa kematian kini membayang
di hadapanku, dan aku dirindukannya sebagaimana
dulu aku merindukan seseorang yang datang kepadaku,
lembut bagai rembulan. Kau jangan tertawa ngakak?
Jangan pula bilang, "pangkuanku terbuka lebar, seluas
tujuh tahun cahaya! Selembut ciuman sang ajal
di bukit golgota. Bukit merah anggur darah"
kau benar. Akhirnya aku kembali
ke dalam sunyi. Pintu hatiku, yang aku buka
seluas tujuh tahun cahaya,
menyebabkan angin sedingin jantung si mati
bersarang di situ. Jika angin itu menjelma badai,
diriku hancur dibuatnya.
kau benar, aku harus pergi ke dunia yang lain,
menutup kembali pintu itu rapat-rapat.
kini aku mengerti, bahwa cinta, dan mencintai
harus dibedakan, tidak boleh di sandingkan dalam kursi
yang sama. Sakit juga, ya, bila pada akhirnya,
aku harus pamit dari kehidupan orang yang aku cintai.
ya, kau pernah bertanya, apa sesungguhnya cinta itu?
kini aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu,
selain terlempar ke ujung tanjung, dunia sunyi,
sepi, seperti sumur tua, yang airnya absen
dikoyak timba purba. Periku, seandainya saat ini
kau ada sisiku, kau pasti tertawa ngakak,
“apa aku bilang!” begitu kau berkata.
aku percaya pada awas mata batinmu yang mampu
membaca masa depan,
dan kau bilang, kelak aku akan sendiri, bagai
bintang mati di pojok jagat raya. Periku, apakah aku
bisa hidup sendiri? Apakah dalam kesendirian itu
aku bisa tenang menghadapi kematian, tanpa orang
yang aku cintai? Kau bilang, mati itu sendiri,
tanpa orang yang dicintai. Jadi belajarlah hidup sendiri.
periku, apa yang aku takutkan kini terjadi, betapa pamit itu
menyakitkan. Betapa kematian kini membayang
di hadapanku, dan aku dirindukannya sebagaimana
dulu aku merindukan seseorang yang datang kepadaku,
lembut bagai rembulan. Kau jangan tertawa ngakak?
Jangan pula bilang, "pangkuanku terbuka lebar, seluas
tujuh tahun cahaya! Selembut ciuman sang ajal
di bukit golgota. Bukit merah anggur darah"
2009
Sajak Soni Farid Maulana yang
terdapat dalam kumpulan puisi “Peneguk Sunyi” berjudul Kembang Tanjung ini ditulis
pada tahun 2009 yang lekat sekali dengan metafora-metafora yang memperindah
sajaknya. Sajak ini berbicara tentang renungan terhadap kematian yang disampaikan
secara khas oleh penyairnya. Lewat sajak ini penyair menunjukkan kepada pembaca
tentang pergolakan batin yang ada dalam diri seseorang dalam usianya yang sudah
matang saat merasa kesepian dan seolah-olah menunggu palung kematian datang
merangkulnya. Setiap baris dalam puisi ini membuka mata pembaca tentang si aku
liris yang justru merasa kesepian saat sang maut akan datang menjemput. Bahkan
ia bertanya-tanya apakah ada orang-orang yana ia cintai masih mendampinginya
saat detik-detik kematian tengah mengintainya. Lirisisme dalam sajak tersebut,
umumnya cenderung menggapai makna untuk menyampaikan apa yang dirasakan si aku
liris kepada si kau. Dalam sajak ini seolah-olah terdapat sebuah komunikasi
antara tokoh “aku” dan “kau”, yang dapat ditafsirkan oleh pembaca secara
beragam. Metafora-metafora yang dihadirkan dengan menggambarkan sesuatu yang
lekat dengan permasalahan waktu dan penantian.
Sajak ini menceritakan
tentang tokoh “aku” yang dalam usianya yang mungkin sudah tidak muda lagi
merasa terbayang-bayang oleh kematian yang bisa kapan saja menjemputnya dan
tokoh “kau” yang diibaratkan sebagai tuhannya. Si aku liris menggambarkan bahwa
seorang manusia datang ke muka bumu ini seorang diri dan tentunya ia akan
kembali dalam kesendirian pula. Dalam sajak itu pula ia merasa bahwa kesepian
yang ia rasakan saat itu adalah tanda-tanda bahwa ia akan segera menghadap
kembali kepada Tuhannya. Kegundahannya saat membayangkan tentang kematian dapat
kita lihat pada baris berikut ini ‘Sakit
juga, ya, bila pada akhirnya,
aku harus pamit dari kehidupan orang yang aku cintai’.
aku harus pamit dari kehidupan orang yang aku cintai’.
Aku liris yang merasa
terpuruk dan ketakutan bahwa jika suatu saat ia akan menghadapi sakitnya
kematian itu seorang diri seolah melakukan percakapan dengan Tuhannya lewat
batin si aku liris sebagaimana yang digambarkan pada baris ‘ya, kau pernah bertanya, apa sesungguhnya
cinta itu?/ kini aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu . . . . . . Periku,
seandainya saat ini/ kau ada sisiku, kau pasti tertawa ngakak,/ “apa aku
bilang!” begitu kau berkata’. Sampai disini si aku menunjukkan dengan
sangat jelas tentang pergolakan batin yang ia alami bahwa sebenarnya cinta yang
selama ini ia cari sekuat apapun, hingga nanti suatu saat sewaktu ia menghadapi
kematian ia hanya akan menghadapinya seorang diri. Bahkan orang-orang yang si
aku liris sebut ‘cinta’ tersebut tak mampu menemaninya merasakan sakitnya
kematian yang akan ia hadapi nantinya. Peri yang ada dalam baris tersebut
adalah sebutan untuk memanggil Tuhannya, meski hanya mampu ia ucapkan lewat
batinnya saja. ‘Periku, apakah aku/ bisa
hidup sendiri? Apakah dalam kesendirian itu/ aku bisa tenang menghadapi
kematian, tanpa orang/ yang aku cintai?’. Dalam baris selanjutnya si aku
liris juga masih mempertanyakan tentang kesendiriannya saat menghadapi kematian
tanpa orang-orang yang ia cintai.
Melalui sajak ini penyair
ingin menggambarkan kepada pembaca tentang konflik batin dalam kehidupan
seseorang saat menjelang ajalnya dengan metafora dan diksi-diksi yang khas,
sehingga mampu menyampaikan pesan yang berbeda untuk direnungi oleh para
pembacanya. Dalam sajaknya tersebut juga tertulis ‘Kau bilang, mati itu sendiri/ tanpa orang yang dicintai. Jadi
belajarlah hidup sendiri./ periku, apa yang aku takutkan kini terjadi, betapa
pamit itu menyakitkan/’. Penyair mengatakan seolah-olah menegaskan tentang
keterpurukan si aku liris saat menghadapi kematiannya dan menghadapi sebuah
realitas yang menyakitkan untuk ia hadapi dalam kesunyian seorang diri. Realitas
kesepian dan kepasrahan yang terus menerus ia pertanyakan dalam sajaknya
bertubi-tubi ia ungkapkan dalam ‘Betapa
kematian kini membayang/ di hadapanku, dan aku dirindukannya sebagaimana/ dulu
aku merindukan seseorang yang datang kepadaku,/ lembut bagai rembulan/’.
Dari sini jelas menunjukkan bahwa si aku liris merasa seolah-olah kematian
sudah dekat dengan dirinya.
Pengambilan tema tentang
kesepian yang dialami oleh penyair menunjukkan sebuah dilema dalam batinnya
tentang kehidupannya yang tidak pernah kekal dan suatu saat akan berakhir
seiring dengan datangnya kematian yang merenggut jiwa.
Pada sajak yang sendu ini
mengungkap tentang realitas dunia tentang sebuah keputusan dari sang pencipta
dan penyair melibatkan dirinya untuk terjun langsung dalam sajak ini beserta
pikiran-pikiran yang menegaskan bahwa penyair menjadi seorang aku-liris yang
takut merasa kesepian saat hari tuanya.
Sajak ini berbicara
tentang pergolakan batin yang tiba-tiba menyeruak ke luar dalam batin si aku
liris saat kesendirian menyelimuti dirinya. Si aku liris seakan mampu berdialog
dengan Tuhannya sendiri mengenai kematian yang akan datang padanya. Sifat
ke-akuan dalam sajak ia sangat mendominasi baris demi baris puisi yang ditulis
penyairnya. Lirik-lirik sajaknya yang dibangun dengan suasana batin dan
ketuhanan yang kental ini membuat pembaca seakan ikut merasakan apa yang
ditulis oleh penyair lewat sajaknya. Melalui sajak ini penyair ingin menegaskan
bahwa kita datang di dunia ini seorang diri dan kita akan kembali lagi seorang
diri pula, seperti yang terungkap pada lirik ‘Kau bilang, mati itu sendiri/tanpa orang yang dicintai. Jadi belajarlah
hidup sendiri/.
0 komentar:
Posting Komentar