Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

REFLEKSI DIRI ACEP ZAM-ZAM NOOR DALAM SAJAK-SAJAKNYA



REFLEKSI DIRI ACEP ZAM-ZAM NOOR DALAM SAJAK-SAJAKNYA
Oleh: Dwi Sastra Nurrokma

            Acep Zam-zam Noor, seorang penyair yang lahir di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Acep dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren, Meskipun dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Acep ternyata tidak mengikuti jejak ayahnya..Acep lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya. Akan tetapi, mau tidak mau nuansa keislaman dalam karya-karyanya sangat terasa.
            Nuansa keislaman dalam sajak-sajak Acep sangat dominan. Di ramu dengan pilihan kata yang menggambarkan akan kecintaannya pada alam, sajak goresan tangan Acep semakin menunjukkan jati diri Acep yang sebenarnya dengan kesederhanaan yang kental.

Cipasung

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu

Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu



Hari esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur

1989


            Sajak berjudul Cipasung adalah sajak yang mendekati refleksi diri Acep yang sebenarnya sebagai seorang penduduk desa bermata pencaharian petani yang hidup dilingkungan pesantren.
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu
Penggalan sajak di atas adalah citra akan seorang petani yang senantiasa mengingat akan kewajibannya mengahadap pada tuhan. Meski terik matahari memanggang kulitnya, dia berpikir bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah sehingga panas matahari tak diindahkannya. Ketika surau menyerukan panggilan sebagai waktu umat muslim menghadap, petani akan sesegera mungkin menghentikan aktivitasnya di sawah dan beranjak ke surau.
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur
Dalam penggalan sajak ini, Acep menegaskan kembali bahwa beribadah dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun. Meski bukan waktu shalat dan bukan saat dia bekerja, ibadah masih juga dapat dilakukan. Acep seolah-olah ingin memanen pahala untuk bekalnya nanti ketika ia kembali sebagaimana dicitrakan dengan ‘Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur’.
            Sajak Cipasung sebagai sajak yang mencitrakan kecintaan Acep akan kampung halaman sekaligus tempat tinggalnya. Acep lebih memilih tinggal di desa pesantren dimana dia tidak perlu bekerja keras untuk biaya hidupnya. Di desa, Acep cukup memiliki sawah yang akan terus menghidupi dia dan keluarganya. Selain berisi mengenai kehidupan petani, puisi Cipasung uga berbicara mengenai keagamaan dimana memang sebagian besar penduduk adalah petani dengan keimanannya yang kuat karena memang tinggal di lingkungan pondok pesantren.
            Berikut beberapa sajak Acep yang juga bertema religi dimana ekspresi iman itu terasa sangat menyentuh. Dalam puisi-puisi religiusnya, Acep lebih dekat kepada kegairahan ketimbang kata dan lagu, kegilaan ketimbang ajaran, kemabukan ketimbang keyakinan, seperti tersirat dalam puisi ini:

Pada hamparan waktu memancar air mataku
Kuperas dari kepedihan rindu dan gairah cinta
Ibadahku tak terungkapkan lagu, juga kata-kata
Seribu sajadah yang kusambung-sambung tak juga sampai
Padamu. Di kekosongan aku mabuk dan meronta-ronta
Membakar seluruh ajaran dan keyakinan

(Sajak ”Sendiri”)

            Ibadah dilakukan dalam khusyuk dan diam, ibadah adalah saat dimana bertemu dengan sang pencipta, berbicara, meminta, memohon dari hati. Hal ini diungkapkan Acep dengan syairnya Ibadahku tak terungkapkan lagu, juga kata-kata. Seseorang dengan keimanannya yang kuat sangat mengharap pertemuan dengan sang pencipta, akan tetapi dalam ajaran islam dijelaskan bahwa semakin Allah menyayangi hambanya, maka cobaan yang diberikan akan semakin berat, dan doa yang dipanjatkan akan terasa tak pernah sampai. Saat itu Allah menguji kesetiaan hambanya. Perasaan akan doa yang tak sampai dan keinginan untuk bertemu dengan sang pencipta tersurat dalam sajak Seribu sajadah yang kusambung-sambung tak juga sampai Padamu. Sajak Di kekosongan aku mabuk dan meronta-ronta, Membakar seluruh ajaran dan keyakinan menyiratkan seorang hamba yang kuat keimanannya akan tetap berpegang teguh pada ajaran dan keyakinan sehingga doa akan senantiasa dipanjatkan. Ibadah disepertiga malam yang sunyi juga tentu akan dilakukan mengharap penyelesaian akan cobaan yang diberikan.
Seorang hamba yang teguh pada ajaran dan keyakinan senantiasa ingin bertemu dengan sang pencipta. Bayang-bayang kematian selalu mewarnai hari-harinya. Dia selalu berpikir bahwa kematian dapat menghampiri kapanpun dan dimanapun dia berada.

Siapa yang berkhotbah sampai ke ufuk jauh
Dialah yang mengetahui rahasia semua musim
Tapi matahari tak pernah menghasut bumi
Sungai hanya mengalir pada jalurnya sendiri
Seperti darah pada nadi. O, getar hatiku
Kenapa cemas pada hari-hari yang menyusut
Kematian hanyalah bagian dari waktu

(sajak “bagian dari waktu”)

Dalam penggalan sajak “bagian dari waktu”, pada larik terakhir dikatakan bahwa Kematian hanyalah bagian dari waktu. Seseorang hanya harus menunggu kapan kematian datang padanya, tak ada yang tahu sampai kapan akan hidup. Tapi bukan kematian yang harus dicemaskan,  melainkan seberapa banyak ibadah yang sudah dilakukan sebagai bekal di akhirat.

Ingin kugali kuburan untuk suara-suara nyaring
Yang mengusik keheningan kericik air
Sebab malu pada kesetiaan matahari pagi
Juga pada kesabaran sungai membasahi bumi
Aku kembali menjadi debu. Ibarat jambangan kasar
Tubuhku hanyalah wadah bagi tanaman liar
Daun-daun yang luruh itulah usiaku

(sajak “mawar dari tangkai usia”)

Dalam setiap proses kreatifnya, Acep menggali ide dari lingkungannya, dari alam, dan dari orang-orang terdekatnya. Sebagai seorang penyair yang tinggal di lingkungan pesantren yang tentu taat beragama, sajak-sajak Acep yang religius banyak juga yang dikaitkan dengan alam, dan kematian. Manusia dapat hidup dari alam, dan keimanan akan membawa pada keabadian surgawi. Sebagaimana penyair lain seperti Jalaludin Rumi, Omar Khayam, maupun Hamzah Fansuri yang dalam setiap sajaknya berbicara mengenai kedekatan dan pertemuan dengan tuhan.
            Acep yang berkiblat pada Chairil Anwar sempat melakukan perubahan pada sajak-sajaknya dengan bahasa yang erotik yang dimulai ketika Acep menempuh studi di itali.

Bukit-bukit kembali menggeliat
Langit menanggalkan mantel tebalnya
Seperti perempuan yang terlentang di pantai

Aku membaca lagi
Buku-buku lama yang tertimbun salju
Kantuk dan kemalasan. Kusingkap halaman-halamannya
Dan aku menemukan pir, apel, dan jeruk segar
Dari bukit-bukit dadamu yang menghijau
Kuulurkan tanganku pada matahari
Yang menuangi perasaanku dengan cahaya pagi
Lalu cahaya yang pemurah itu mengelus leherku
Dengan lidahnya yang hangat


Sebuah sungai di pahamu
Berkelok-kelok dengan riang
Menyirami rumpun bunga dan sayuran
….
Bersama sungai langkahku mengalir
Menyusuri tubuhmu yang licin
….
(Sajak “Lagu Bulan Mei”)

Dalam sajak ini Acep memadukan penggambaran alam dengan bahasa yang erotik. Seringkali Acep membubuhkan kepada atau untuk siapa sajak dibuat, seringkali wanita seperti sajak “Lagu Bulan Mei”.

Henny Hendrayani, catatlah ini:
Seperti daun-daun yang luruh, ranting-ranting
Yang lepas oleh angin. Demikianlah kutempatkan diriku
Asing dan sunyi. Kulihat awan-awan bergerak
Langit penuh tarian dan arakan awan-awan
Di sana kulihat tubuhmu masih nampak lebih ringan
Dari cahaya yang menari—
Tapi lupakanlah, lupakanlah semuanya
Dunia kita telah hangus dibakar pertikaian
Menangislah pada puing-puing jauh di sebrang
Di sini aku akan menjerit membangun patung-patung
Dari timbunan kesabaranku yang membeku


(Sajak “Senja Titolo”)

Dalam sajak “Senja Titolo” Acep menuliskan sebuah nama dari masa lalunya. Sajak ini berisi akan perasaan kehilangan, perpisahan dan juga akan adanya awal kehidupan baru. Banyak sajak serupa diciptakan Acep sebagai upaya mencari jati diri, akan tetapi sajak Acep yang berjudul Cipasung –sebagaimana yang diungkapkan oleh banyak pengamat- adalah sajak yang dapat mewakili seorang Acep Zam-zam Noor. Puisi atau sajak tidak hanya berbicara mengenai tema, tapi bagaimana sajak tersebut mampu membawa pembaca meresapi dan berada dalam dunia yang diciptakan oleh sajak tersebut. Acep memiliki licencia poeticanya sendiri yang mampu mengundang pembaca hanyut dalam sajaknya baik sajak tersebut diciptakan dengan bahasa yang erotik yang berbicara mengenai percintaan atau perpisahan maupun sajak yang berbicara mengenai religi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar