REFLEKSI DIRI ACEP ZAM-ZAM NOOR
DALAM SAJAK-SAJAKNYA
Oleh: Dwi Sastra Nurrokma
Acep
Zam-zam Noor, seorang penyair yang lahir di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Acep dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren, Meskipun dilahirkan dan
dibesarkan di lingkungan pesantren, Acep ternyata tidak mengikuti jejak
ayahnya..Acep lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya. Akan tetapi,
mau tidak mau nuansa keislaman dalam karya-karyanya sangat terasa.
Nuansa
keislaman dalam sajak-sajak Acep sangat dominan. Di ramu dengan pilihan kata
yang menggambarkan akan kecintaannya pada alam, sajak goresan tangan Acep
semakin menunjukkan jati diri Acep yang sebenarnya dengan kesederhanaan yang
kental.
Cipasung
Di
lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti
rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan
ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku
iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit
yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan
surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu
Aku
semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada
lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala
tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi
pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah
padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini
hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu
Hari
esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka
ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah
jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia
telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa
ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas
sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur
1989
Sajak
berjudul Cipasung adalah sajak yang
mendekati refleksi diri Acep yang sebenarnya sebagai seorang penduduk desa
bermata pencaharian petani yang hidup dilingkungan pesantren.
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan
surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan
rindu
Penggalan sajak di atas adalah
citra akan seorang petani yang senantiasa mengingat akan kewajibannya
mengahadap pada tuhan. Meski terik matahari memanggang kulitnya, dia berpikir
bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah sehingga panas
matahari tak diindahkannya. Ketika surau menyerukan panggilan sebagai waktu
umat muslim menghadap, petani akan sesegera mungkin menghentikan aktivitasnya
di sawah dan beranjak ke surau.
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas
sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur
Dalam penggalan sajak ini, Acep
menegaskan kembali bahwa beribadah dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun.
Meski bukan waktu shalat dan bukan saat dia bekerja, ibadah masih juga dapat
dilakukan. Acep seolah-olah ingin memanen pahala untuk bekalnya nanti ketika ia
kembali sebagaimana dicitrakan dengan ‘Atas
sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur’.
Sajak
Cipasung sebagai sajak yang
mencitrakan kecintaan Acep akan kampung halaman sekaligus tempat tinggalnya.
Acep lebih memilih tinggal di desa pesantren dimana dia tidak perlu bekerja
keras untuk biaya hidupnya. Di desa, Acep cukup memiliki sawah yang akan terus
menghidupi dia dan keluarganya. Selain berisi mengenai kehidupan petani, puisi Cipasung uga berbicara mengenai
keagamaan dimana memang sebagian besar penduduk adalah petani dengan
keimanannya yang kuat karena memang tinggal di lingkungan pondok pesantren.
Berikut
beberapa sajak Acep yang juga bertema religi dimana ekspresi iman itu terasa sangat
menyentuh. Dalam puisi-puisi religiusnya, Acep lebih dekat kepada kegairahan ketimbang
kata dan lagu, kegilaan ketimbang ajaran, kemabukan ketimbang keyakinan,
seperti tersirat dalam puisi ini:
Pada hamparan waktu memancar air
mataku
Kuperas dari kepedihan rindu dan
gairah cinta
Ibadahku
tak terungkapkan lagu, juga kata-kata
Seribu
sajadah yang kusambung-sambung tak juga sampai
Padamu.
Di kekosongan aku mabuk dan
meronta-ronta
Membakar
seluruh ajaran dan keyakinan
(Sajak ”Sendiri”)
Ibadah
dilakukan dalam khusyuk dan diam, ibadah adalah saat dimana bertemu dengan sang
pencipta, berbicara, meminta, memohon dari hati. Hal ini diungkapkan Acep
dengan syairnya Ibadahku tak terungkapkan
lagu, juga kata-kata. Seseorang dengan keimanannya yang kuat sangat
mengharap pertemuan dengan sang pencipta, akan tetapi dalam ajaran islam
dijelaskan bahwa semakin Allah menyayangi hambanya, maka cobaan yang diberikan
akan semakin berat, dan doa yang dipanjatkan akan terasa tak pernah sampai.
Saat itu Allah menguji kesetiaan hambanya. Perasaan akan doa yang tak sampai
dan keinginan untuk bertemu dengan sang pencipta tersurat dalam sajak Seribu sajadah yang kusambung-sambung tak
juga sampai Padamu. Sajak Di
kekosongan aku mabuk dan meronta-ronta, Membakar seluruh ajaran dan keyakinan menyiratkan seorang hamba yang kuat
keimanannya akan tetap berpegang teguh pada ajaran dan keyakinan sehingga doa
akan senantiasa dipanjatkan. Ibadah disepertiga malam yang sunyi juga tentu
akan dilakukan mengharap penyelesaian akan cobaan yang diberikan.
Seorang hamba
yang teguh pada ajaran dan keyakinan senantiasa ingin bertemu dengan sang
pencipta. Bayang-bayang kematian selalu mewarnai hari-harinya. Dia selalu
berpikir bahwa kematian dapat menghampiri kapanpun dan dimanapun dia berada.
Siapa
yang berkhotbah sampai ke ufuk jauh
Dialah
yang mengetahui rahasia semua musim
Tapi
matahari tak pernah menghasut bumi
Sungai
hanya mengalir pada jalurnya sendiri
Seperti
darah pada nadi. O, getar hatiku
Kenapa cemas pada hari-hari yang menyusut
Kematian hanyalah bagian dari waktu
(sajak “bagian dari waktu”)
Dalam penggalan sajak “bagian dari waktu”, pada larik terakhir
dikatakan bahwa Kematian hanyalah bagian
dari waktu. Seseorang hanya harus menunggu kapan kematian datang padanya,
tak ada yang tahu sampai kapan akan hidup. Tapi bukan kematian yang harus
dicemaskan, melainkan seberapa banyak
ibadah yang sudah dilakukan sebagai bekal di akhirat.
Ingin
kugali kuburan untuk suara-suara nyaring
Yang
mengusik keheningan kericik air
Sebab
malu pada kesetiaan matahari pagi
Juga
pada kesabaran sungai membasahi bumi
Aku
kembali menjadi debu. Ibarat jambangan kasar
Tubuhku hanyalah wadah bagi tanaman
liar
Daun-daun yang luruh itulah usiaku
(sajak “mawar dari tangkai usia”)
Dalam setiap proses kreatifnya,
Acep menggali ide dari lingkungannya, dari alam, dan dari orang-orang
terdekatnya. Sebagai seorang penyair yang tinggal di lingkungan pesantren yang
tentu taat beragama, sajak-sajak Acep yang religius banyak juga yang dikaitkan
dengan alam, dan kematian. Manusia dapat hidup dari alam, dan keimanan akan
membawa pada keabadian surgawi. Sebagaimana penyair lain seperti Jalaludin
Rumi, Omar Khayam, maupun Hamzah Fansuri yang dalam setiap sajaknya berbicara
mengenai kedekatan dan pertemuan dengan tuhan.
Acep
yang berkiblat pada Chairil Anwar sempat melakukan perubahan pada
sajak-sajaknya dengan bahasa yang erotik yang dimulai ketika Acep menempuh
studi di itali.
Bukit-bukit
kembali menggeliat
Langit
menanggalkan mantel tebalnya
Seperti
perempuan yang terlentang di pantai
Aku
membaca lagi
Buku-buku
lama yang tertimbun salju
Kantuk
dan kemalasan. Kusingkap halaman-halamannya
Dan
aku menemukan pir, apel, dan jeruk segar
Dari
bukit-bukit dadamu yang menghijau
Kuulurkan
tanganku pada matahari
Yang
menuangi perasaanku dengan cahaya pagi
Lalu
cahaya yang pemurah itu mengelus leherku
Dengan lidahnya yang hangat
Sebuah sungai di pahamu
Berkelok-kelok
dengan riang
Menyirami
rumpun bunga dan sayuran
….
Bersama
sungai langkahku mengalir
Menyusuri tubuhmu yang licin
….
(Sajak
“Lagu Bulan Mei”)
Dalam sajak ini Acep memadukan
penggambaran alam dengan bahasa yang erotik. Seringkali Acep membubuhkan kepada
atau untuk siapa sajak dibuat, seringkali wanita seperti sajak “Lagu Bulan Mei”.
Henny Hendrayani, catatlah
ini:
Seperti
daun-daun yang luruh, ranting-ranting
Yang lepas
oleh angin. Demikianlah kutempatkan diriku
Asing dan
sunyi. Kulihat awan-awan bergerak
Langit penuh
tarian dan arakan awan-awan
Di sana
kulihat tubuhmu masih nampak lebih ringan
Dari cahaya
yang menari—
Tapi
lupakanlah, lupakanlah semuanya
Dunia kita
telah hangus dibakar pertikaian
Menangislah
pada puing-puing jauh di sebrang
Di sini aku
akan menjerit membangun patung-patung
Dari
timbunan kesabaranku yang membeku
(Sajak “Senja Titolo”)
Dalam sajak “Senja Titolo” Acep menuliskan sebuah
nama dari masa lalunya. Sajak ini berisi akan perasaan kehilangan, perpisahan
dan juga akan adanya awal kehidupan baru. Banyak
sajak serupa diciptakan Acep sebagai upaya mencari jati diri, akan tetapi sajak
Acep yang berjudul Cipasung –sebagaimana
yang diungkapkan oleh banyak pengamat- adalah sajak yang dapat mewakili seorang
Acep Zam-zam Noor. Puisi atau sajak tidak hanya berbicara mengenai tema, tapi
bagaimana sajak tersebut mampu membawa pembaca meresapi dan berada dalam dunia
yang diciptakan oleh sajak tersebut. Acep memiliki licencia poeticanya sendiri yang mampu mengundang pembaca hanyut
dalam sajaknya baik sajak tersebut diciptakan dengan bahasa yang erotik yang
berbicara mengenai percintaan atau perpisahan maupun sajak yang berbicara
mengenai religi.
0 komentar:
Posting Komentar