Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

ANAK-ANAK TEMBAKAU



ANAK-ANAK TEMBAKAU
Jamal D. Rahman

Oleh: Zakiah Alif Syakura




kepada petani tembakau di Madura

kami anak-anak tembakau
tumbuh di antara anak-anak batu
nafas kami bau kemarau campur cerutu

bila kami saling dekap,
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
 kami berciuman dengan bau tembakau

langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menangis
sebab kulit kami tetap coklat
secoklat tanah
tempat kami menggali airmata sendiri

langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menyerah

pada setiap daun tembakau
kami urai urat hidup kami
pada setiap pohon tembakau
kami rangkai serat doa kami

Potret Kehidupan Anak Tembakau dalam Sajak Jamal D. Rahman; “Anak-anak Tembakau”

Kritik esai ini menitik beratkan pada pendekatan mimetik. Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis yang berarti ‘meniru’,‘tiruan atau ‘perwujudan’. Secara umum mimetik dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dari dunia kehidupan nyata. Mimetik juga dapat diartikan sebagai suatu teori yang dalam metodenya membentuk suatu karya sastra dengan didasarkan pada kenyataan kehidupan sosial yang dialami dan kemudian dikembangkan menjadi suatu karya sastra dengan penambahan skenario yang timbul dari daya imajinasi dan kreatifitas pengarang dalam kehidupan nyata tersebut. Pendekatan lain yang digunakan sebagai pendekatan penunjang adalah pendekatan pragmatik dan ekspresif. Hal tersebut karena untuk dapat mengaitkan karya sastra dengan masyarakat diperlukan pengetahuan tentang latar belakang karya sastra tersebut diciptakan, latar belakang pengarang, dan latar belakang pembaca.
Jamal D. Rahman adalah sastrawan yang lahir di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, 14 Desember 1967. Dia adalah alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura dan kemudian IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah menyelesaikan S2 pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Dia terlahir sebagai penulis sajak, esai, kritik sastra, masalah kesenian dan kebudayaan di berbagai media massa. Perjalanan karir Jamal D. Rahman memang lancar. Ia kerap diundang mengikuti acara-acara sastra di dalam luar negeri, antara lain Festival Seni Ipoh III, Negeri Perak, Malaysia (1998), Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara bidang Esai di Cisarua, Bogor (1999), Seminar Kritkan Sastra Melayu Serantau, Kuala Lumpur (2001), dan Pertemuan Penulis Asia Tenggara (South-East Asian Writers Meet) di Kuala Lumpur (2001), Festival Poetry on the Road di Bremen, Jerman (2004). Selain itu, sajak-sajaknya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dan dimuat dalam berbagai antologi.  Di Indonesia tulisan-tulisannya juga dimuat dalam sejumlah buku, diantaranya Islam dan Tranformasi Sosial-Budaya (1993), Romo Mangun di Mata Para sahabat (1997), tarekat Nurcholishy (2001), dan Ulama Perempuan Indonesia (2002).
Selain menciptakan karya sendiri, Jamal D. Rahman juga menjadi editor (bersama) lebih dari 20 buku, di antaranya: Wacana Baru Fiqih Sosial : 70 Tahun KH Ali Yafie (Bandung, Mizan, 1997), dari Fansuri ke Handayani: Sastra Indonesia dalam Program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (Jakarta, Horison, 2001), Horison Sastra Indonesia 1-4 (Jakarta, Horison, 2002), Kaki langit Sastra Pelajar (Jakarta, Horison, 2002), dan Horison Esai Indonesia 1-2 (Jakarta, Horison, 2003). Ia juga pernah menjadi redaktur jurnal pemikiran Islam Islamika (1993-1995), Wartawan majalah Ummat (1995-1999), dan redaktur majalah sastra Horison (sejak 1993). Kini, dia adalah pemimpin redaksi majalah sastra Horison. Kumpulan sajaknya: Airmata Diam (1993), Reruntuhan Cahaya (2003), Garam-Garam Hujan (2004). Jamal D. Rahman juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2003 - 2006.
Setelah mengetahui sekilas latar belakang penulis di atas, kritik esai ini akan lebih berfokus pada salah satu karya sajak Jamal D. Rahman, “Anak-anak Tembakau”, yang terlahir pada tahun 2000. Sesuai dengan tempat dia tumbuh, dalam sajak ini tercermin kehidupan anak-anak tembakau. Hal itu juga tercermin dalam tulisan kepada petani tembakau di Madura yang tertera di awal sajaknya. Jamal mempermudah pembaca ataupun pengkritik mengetahui sajak tersebut telah diperuntukkan pada petani tembakau di Madura.
kami anak-anak tembakau
tumbuh di antara anak-anak batu
nafas kami bau kemarau campur cerutu

            Bait pertama ini seakan mengondisikan Jamal sebagai bagian dari sajak. Itu ditunjukkan dalam pesona kami. Dari sajak tersebut, Jamal memberitahukan bahwa di Madura—mungkin tepatnya di Sumenep, karena sesuai dengan lingkungan Jamal pada saat di Madura—banyak tembakau. Pada larik nafas kami bau kemarau campur cerutu, Jamal menggambarkan secara tersirat kehidupan petani tembakau—dari kecil hingga dewasa, dari muda hingga tua—penuh dengan kesengsaraan. Kesengsaraan itu tergambar karena dalam kehidupan yang nyata hampir semua anak yang berada di lingkungan perkebunan tembakau adalah pemakai tembakau itu sendiri. Kemalangan hidup anak tembakau membuat tangan Jamal bangkit menuliskan sajak ini.
            Masyarakat tembakau saling berdekapan dengan kemiskinan, yang dalam hal ini diwakili dengan kata kemarau. Kemarau dianggap masa yang paling membawa kesengsaraan bagi petani. Kegersangan pada musim kemarau membuat tumbuhan sukar tumbuh dengan baik dan berdampak pada penghasilan masyarakat itu sendiri. Jamal juga mengungkapkan bahwa baik suka maupun duka masyarakat Madura itu tetap pada hasil tembakau.
            Jamal tidak lupa mengungkapkan sisi psikologi masyarakat Madura di antara kondisi lingkungannya. Dia mengungkapkan masyarakat Madura bukanlah orang yang mudah putus asa, mereka adalah orang yang gigih. Itu tertulis dalam sajaknya:
            langit desa kami rubuh seribu kali
            tapi kami tak pernah menangis

            langit desa kami rubuh seribu kali
            tapi kami tak pernah menyerah

            Kemudian pada sajak berikutnya:
sebab kulit kami tetap coklat
secoklat tanah
tempat kami menggali airmata sendiri

Bentuk pengungkapan Jamal bahwa masyarakat tembakau memiliki pedoman hidup yang kokoh. Hal itu tergambar dari cuplikan sajak di atas, yang bermakna baik suka maupun duka mereka tetap mengadu nasip di tempat mereka dilahirkan.
pada setiap daun tembakau
kami urai urat hidup kami
pada setiap pohon tembakau
kami rangkai serat doa kami

            Pada bait terakhir, Jamal memberi gambaran kegigihan masyarakat Madura sebagai petani tembakau. pada setiap daun tembakau, kami urai urat hidup kami mengisyaratkan masyarakat tersebut melangsungkan hidupnya dari daun tembakau. Daun yang dikeringkan dan diolah menjadi rokok-rokok yang dijual di masyarakat luas. pada setiap pohon tembakau, kami rangkai serat doa kami mengisyaratkan masyarakat Madura membangun doa dan harapan seperti pohon tembakau yang kokoh.
            Jamal dengan indah menggambarkan kehidupan masyarakat Madura dalam sajak “Anak-anak Tembakau” ini. Dengan menelaah sajak tersebut, orang dapat mengetahui kehidupan masyarakat Madura, mata pencahariannya, dan karakter masyarakat Madura dalam bekerja.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Pengobatan Nyeri Sendi Bahu mengatakan...

Blog dan artikelnya sangat bagus sekali gan...

Posting Komentar