Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

“Sekayu” Karya Nh. Dini Sebagai Catatan Kearifan Lokal



“Sekayu” Karya Nh. Dini Sebagai Catatan Kearifan Lokal
Oleh: Redhitya Wempi Ansori


Kepada ramuna guruku
Kepada kampungku sekayu
Dengan harapan dia tidak akan
Berganti nama di masa mendatang

Itulah cuplikan yang dituliskan Nh. Dini untuk mengawali cerita-cerita dalam novel yang berjudul sekayu, novel yang ditulis dengan latar desa tempat tinggal masa kecilnya yang penuh dengan kenangan dan lika-liku hidup. Kenangan ketika ayahnya masih hidup dan dan menemani hari-harinya menjalani berbagai aktivitas pada masa kecilnya hingga ia jadikan pundi-pundi inspirasi dalam karya-karyanya termasuk dalam sekayu . dalam kehadirannya suatu karya sastra tidak akan pernah lepas dari suatu proses kreatif yang selalu mendampingi terciptanya suatu karya sastra. Proses kreatif yang dialami Nh. Dini dalam menciptakan karya-karyanya termasuk novel sekayu adalah pengalaman dan kisah-kisah hidupnya pada masa kecil hingga ia remaja bahkan dewasa. Jika kita membaca karya Nh. Dini kita seperti diajak berputar-putar pada sebuah kisah masa lalu yang dialami penulis. Setiap kejadian yang  digambarkan penulis melalui untaian kata demi kata hingga membentuk kalimat yang mampu ditangkap, sehingga membentuk imajinasi membaca yang seolah tampak nyata. Setiap peristiwa dari masa ke masa ia tuliskan dengan tidak melewatkan selembar kisah pun yang ia alami untuk dijadikannya suatu kisah yang menjadi sumber inspirasinya. Sebuah kisah kecil yang tertuang dalam novel sekayu mengungkapkan beberapa ciri khas budaya yang tidak dimiliki daerah lain dalam lingkup kecil bahkan dalam lingkup besar tidak dimiliki Negara lain. Kisah-kisah yang mengungkapkan betapa besarnya budaya dan ciri khas budaya yang terdapat dalam suatu desa kecil di daerah Sekayu, yang berada di Semarang Jawa Tengah yang mempunyai banyak kearifan lokal. Melalui karya sastra Nh. Dini ingin menjadi sebuah catatan kecil menganai desa sekayu pada masa itu, dengan goresan pena-pena yang membalut kisah-kisah sederhana penulis ingin menjadikan karyanya secara tidak langsung menjadi sebuah catatan sejarah yang diilhami dari cerita yang dituliskan dalam suatu karya. Meskipun A. Teew dalam bukunya pernah menyebutkan bahwa sastra bukan merupakan catatan sejarah, dengan berbagai pertimbangan bahwa karya sastra kebanyakan merupakan karya fiksi dan rekaan dari penciptanya untuk menimbulkan suatu kepuasaan dalam batin penulis atau sastrawan. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep sejarah yang merupakan hasil yang tidak dibuat-buat dan benar-benar terjadi di masa lalu. Memang dalam karya sastra tidak dapat mewakili konteks sejarah yang sesungguhnya, tapi setidaknya dalam karya sastra dapat mengungkapkan suatu kejadian pada masa yang melingkupi inspirasi pengarang ketika menulis suatu karya. Termasuk dalam konteks melihat suatu kearifan lokal yang berada dalam suatu daerah pada masa lalu yang diungkapkan melalui suatu karya sastra. Seiring berjalannya waktu terkadang nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di suatu daerah itu tidak bisa bertahan hingga hanya menyisakan puing-puing kecil dari kearifal lokal itu sendiri, bahkan terkadang kearifan itu ikut hanyut dalam arus modernisasi dan globalisasi, sehingga tidak tersisa sama sekali bahkan tidak ada bangkainya. Dalam hal ini diperlukan suatu catatan kecil yang dapat mengangkat kembali suatu kearifan lokal yang terdapat dalam suatu daerah dalam konteks ini catatan tersebut adalah karya sastra. Nh. Dini sebagai sastrawan telah melakukan hal tersebut, meskipun tampaknya dia tidak menyadarinya yang  dilakukan pada masa itu adalah berkarya dengan tujuan menghasilkan suatu karya yang dapat memuaskan batinnya sebagai seorang sastrawan. Kearifan lokal yang digambarkan dalam suatu pengkaryaan sastra yang merupakan esensi dari suatu catatan yang secara tidak langsung turut serta melestarikan suatu budaya dan kearifan lokal yang terjadi pada suatu masa.



Sosok Nh. Dini
Penulis Indonesia yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, atau lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini lahir di Sekayu, Semarang, Jawa Tengah 29 Februari 1936. Nh. Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya yang penuh larangan ini tertuang dalam kumpulan ceritanya yang berjudul “Sekayu”.  NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
 Nh. Dini lebih dikenal sebagai seorang sastrawan yang kebanyakan dari kisah yang ditulisnya mengisahkan tokoh wanita yang memberontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia dari kecaman laki-laki. Novel pertama Ibu dari Marie Claire Lintang dan Pierre Louris Padang ini berjudul Dua Dunia (1956) yang dengan ringannya ia menyatakan bahwa tulisan-tulisannya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya khayalan. Disusul dengan karya Nh. Dini selanjutnya yaitu La Barka (1973) dan Pada Sebuah Kapal (1985) yang tidak dipungkiri telah memberinya sebuah pengakuan sebagai seorang sastrawan.
N.H. Dini menikah dengan seorang diplomat Perancis bernama Yves Coffin. Dini berpisah dengan suaminya itu pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta. Pada saat bersuamikan Yves, Dini benar-benar memanfaatkan keadaannya sebagai seorang istri diplomat yang berkesempatan menetap di berbagai Negara. Dia menulis cerita-cerita yang bersetting di berbagai Negara berdasarkan pengalamannya. Pada periode ini hadirlah novel-novel N.H. Dini yang berjudul Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), dan Namaku Hiroko (1977). Selain novel-novel yang bersettingkan di berbagai Negara tersebut, Nh. Dini juga menulis novel yang berlatar di tempat kelahirannya di Semarang seperti Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979). Selain novel-novel tersebut, Nh. Dini pun menulis Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989; perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), dan Kemayoran (2000).
Karena karya-karyanya itu, ia diakui sebagai salah seorang penulis pertama yang mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara terbuka dan blak-blakan ke dalam tulisan. Selain itu, tidak heran jika penghargaan-penghargaan telah berhasil diperolehnya, yaitu : Penghargaan sastra terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), SEA Write Award bidang sastra dari Pemerintah Thailand. Walaupun banyak kenangannya berpusat pada kehidupannya di Semarang dan kemudian di Paris, Ia kini tinggal di Yogyakarta.
Perannya di dunia sastra tidak diragukan karena dia adalah perempuan pertama yang dengan blak-blakan menceritakan pengalaman hidupnya melalui cerita-ceritanya. Selain Nh. Dini pada periode ini tercatat oleh Rosidi beberapa perempuan pengarang wanita lain, yaitu Surtiningsing, Nj. Dyiantinah B Supeno, dan Hartini. Mereka adalah para penulis cerpen yang dimuat di sejumlah majalah.
Hingga kini, Nh. Dini telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra. Cerita kenangan “Sekayu” sebagai karya sastra yang diinspirasikan dari kehidupan dan pengalaman-pengalaman Nh. Dini secara tidak langsung menuntun pembacanya untuk dapat mengenali kehidupan Nh. Dini semasa remaja yang patut diteladani.  
Kearifan Lokal dalam Novel “sekayu”
            Novel “sekayu” karya salah satu novelis perempuan Indonesia yang bernama Nh. Dini disadari atau tidak oleh penikmat karya sastra dalam hal ini adalah penggemar karya-karya masterpiece Nh. Dini banyak terdapat unsur-unsur kearifan lokal. Kearifan lokal dalam “sekayu” tidak bisa dilewatkan begitu saja karena unsur ini penting sebagai sebuah catatan identitas suatu bangsa Indonesia dalam konteks ini adalah kearifan lokal dari budaya jawa. Kebanyakan dari penikmat karya sastra Nh. Dini ketika membaca akan terlalu terbuai dengan kisah-kisah yang dikemas secara sederhana dan indah dengan dihiasi peristiwa dan kejadian yang tampak nyata, sehingga menghidupkan imajinasi pembaca. Hal lain yang menjadi fokus pembaca karya-karya Nh. Dini adalah mereka hanya terfokus dengan tokoh-tokoh yang berada dalam novel tersebut seperti telah diketahui bahwa Nh. Dini merupakan tokoh feminis. Karya-karya Nh. Dini selalu identik dengan penyetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan dan juga tentang bagaimana kehidupan perempuan itu tidak hanya dianggap sebagai orang yang hanya di dapur saja, tapi lebih dari itu perempuan mampu melaukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki ini tergambar dari salah satu kutipan yang ada dalam novel sekayu berikut ini “aku tidak akan melupakan perbantahaanku dengan nugroho, sampai-sampi dia hampir memukulku seandainya Utono tidak segera muncul untuk melerai kami”  kejadian dalam kutipan tersebut terjadi karena tokoh ‘aku’ ingin dianggap sebagai seseorang yang telah dewasa, sebagai wanita yang mulai beranjak dewasa yang sudah tidak seperti anak kecil lagi sehingga dia tidak mau diatur lagi dalam arti tidak banyak larangan dan tokoh ‘Nugroho’ yang merupakan kakak dari tokoh ‘aku’ ingin selalu bersikap melindungi adik perempuannya, karena adiknya merupakan sosok perempuan yang dianggapnya lemah dan memerlukan sosok laki-laki untuk melindunginya. dari hal tersebut dapat dilihat bahwa sosok Nh. Dini merupakan sosok feminisme dalam karya-karyanya. Hal itulah yang terkadang banyak menjadi fokus atau tinjauan telaah untuk menjadi pijakan dalam mengkritisi karya-karya Nh. Dini. Bertolak dari keadaan tersebut memerlukan adanya nuansa baru dalam menelaah karya Nh. Dini yang berjdul sekayu yang dapat ditinaju dari perspektif lain seperti yang telah dipaparkan di atas mengenai kearifan lokal dalam novel tersebut. Seiring perkembangan zaman di sadari atau tidak oleh bangsa Indonesia sendiri, bahwa bangsa Indonesia kehilangan unsur-unsur kearifan lokal yang menjadi identitas bangsa Indonesia, karena tergerus arus globalisasi dan modernisasi yang melahap habis kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai warisan nenek moyang yang seharusnya dilestarikan sebagai sebuah dasar pijakan untuk mengatur interaksi kehidupan di dalam masyarakat. para pemuda Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa tidak mengenali budaya dari bangsanya sendiri, tapi malah mengetahui dan paham dengan budaya bangsa lain. Hal ini ironis bagi bangsa Indonesia sendiri, dalam konteks pembangunan diberbagai sektor justru bangsa ini terpuruk, karena adanya krisis budaya. Dari sekian pemuda-pemudi di zaman ini jika di survey hanya beberapa saja yang sadar dan menyenangi budaya Indonesia, begitu juga mengenai hubungan yang mengatur pergaulan pemuda pada era ini,kecenderungan mereka bercermin dari budaya bangsa lain sebagai titik tolak gaya hidup yang mengatur suatu tingkah laku mereka. Ini merupakan gambaran nyata hilangnya kearifan lokal yang ada dalam suatu budaya bangsa. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu elemen yang merevitalisasi kearifan lokal dari suatu daerah tersebut, sehingga tidak tergerus arus globalisasi yang kian tidak terbendung lajunya. Karya sastra merupakan salah satu elemen penting yang secara tidak disadari sekian banyak orang untuk dijadikan sebagai pijakan untuk membangun kembali kearifan lokal masa lalu yang dulunya menjadi suatu pola yang mengatur secara harmonis hubungan manusia dengan manusia di dalam masyarakat dan juga mengatur hubungan manusia dengan alamnya yang sudah banyak tidak di sadari oleh manusia pada zaman ini. Karya Nh. Dini yang berjudul sekayu  ini banyak sekali menggambarkan kearifan lokal pada zaman itu yang sangat penting diketahui oleh orang-orang pada zaman ini umumnya dan remaja pada era ini khususnya. Fungsi karya sastra dalam kegiatan ini dapat diberdayakan secara maksimal tidak hanya sebagai suatu unsur seni dan keindahan saja (dulce) dalam karya sastra itu tapi juga ada manfaat(utile) yang memberikan sumbangsih terhadapat pelestarian budaya bangsa dalam konteks ini adalah kearifan lokal dan nilai-nilai luhur budaya jawa yang terdapat dalam novel sekayu. Diantara terdapat dalam kutipan sebagai berikut “pada waktu ibu memaksaku menahan nafas untuk minum jamu penyembuh penyakit gatal atau jamu perangsang nafsu makan” dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa pengobatan tradisional asli Indonesia masih dipakai meskipun tidak dipungkiri pada zaman itu sudah ada dokter dan peralatan medis sudah lumayan canggih tapi masyarakat pada zaman itu masih setia akan ramuan tradisonal warisan leluhur seperti jamu. Ini merupakan kearifan lokal warisan luluhur menganai pengobatan yang harusnya dilestarikan karena secara kualitas efeknya juga tidak kalah dengan pengobatan-pengobatan modern karena memang menggunakan bahan-bahan alami bukan dari proses kimia yang mempunyai kecenderungan efek yang berbahaya bagi tubuh manusia. Hal tersebut kontradiktif dengan yang ada pada zaman sekarang, kebanyakan orang-orang di zaman ini lebih percaya dengan pengobatan medis yang menggunakan teknologi dalam proses pengobatannya akibatnya adalah pengobatan tradisional sekian lama semakin sedikit dan bahkan bisa punah jika tidak di lestarikan. Tradisi minum jamu ini pada zaman dahulu bukan hanya untuk pengobatan saja melainkan juga sebagai minuman tradisonal yang yang menyehatkan ini dibuktikan dalam kutipan novel berikut “kadang-kadang meskipun tidak sakit, ibu mewajibkan kami meminum beberapa teguk jamu yang dijajakan oleh mbok jamu. Akar-akar dan daun-daun itu amat baik buat pertumbuhan badan, buat peredaran darah, demikian kata ibu”. Dari kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa minum jamu merupakan suatu tradisi yang menyehatkan selain terbuat dari bahan alami yang menyehatkan badan jamu juga memberikan efek pengobatan seperti fungsi awalnya. Jamu juga dikonsumsi ketika santai meskipun rasanya tidak seenak minuman-minuaman kemasan yang ada pada zaman ini yang tentunya orang-orang akan memilih minuman dengan rasa yang enak tapi tidak disadari kebanyakan minuman kemasan terbuat dari bahan-bahan yang tidak sehat tidak baik untuk tubuh.
Tidak hanya mengenai pengobatan tradisonal dalam hal ini jamu kearifan lokal yang ada dalam sekayu,tetapi juga cara berpakaian yang menunjukan suatu kesantunan dan terdapat nilai kesopanan yang merepresentasikan kearifan lokal dalam konteks busana hal ini terdapat dalam kutipan sebagai berikut “penjualnya perempuan tua-muda, selalu berpakaian rapi dan menyenangkan dipandang. Sanggulnya selalu dengan sunggaran yang mengembang lebar di atas kuping, amat pantas dengan bentuk kepala. Kebayanya terbuat dari bahan berbunga-bunga, terang dan bersorak di tengah-tengah lapangan rumput itu, seperti menyimpan sinar tersendiri”. tata cara berpakaian yang pada zaman ini sudah mulai hilang adalah kesopan santunan dan etika dalam berbusana, banyak pemuda pada zaman sekarang khususnya wanita tidak memperhatikan tata cara dan etika berpaiakan yang baik. Kecenderungan mereka terhadap budaya bangsa lain membuat pola pikir mereka berubah dalam hal berpakaian. Mereka lebih memandang budaya bangsa lain lebih unggul dan memandang budaya bangsa sendiri itu terlalu kolot dan tidak modern. Masalah ini yang menjadikan kini kebaya dan pakaian tradisonal lainnya hanya dipakai pada acara tertentu saja dan yang memakai kebanyakan adalah orang-orang yang sudah berumur jarang dari perempuan yang masih muda. Akibatnya kearifan lokal mengenai tata cara berbusana jawa kian lama kian habis, bukan tidak mungkin kebaya hanya akan ada di mesium karena sudah jarang digunakan. Dalam interkasi sosial di suatu masyarakat tidak jarang terjadi konflik-konflik sosial yang sifatnya ringan dan wajar dan hal itu tidak berlangsung lama. Masyarakat jawa khususnya jika ada suatu hal yang tidak disukai terhadap suatu hal orang jawa akan memilih diam karena orang jawa terkenal dengan sifat yang menghindari konflik, mereka lebih menghindari situasi-situasi yang dapat menimbulkan ketegangan sosial dengan cara memendam sesuatu hal tersebut, seperti dalam kutipan dalam novel sebagai berikut “sejak itu aku tidak pernah berkunjung ke rumah pak Yanto lagi. Kukatakan kepadanya bahwa aku sudah mengerti soal-soal hitungan dan pada kesempatan penen buah manga yang lebat, ibu tidak lupa mengirim selusin buah manga golek kepadanya. Kami tidak saling bermarahan, oh, tidak. Dia kadang-kadang juga muncul, berkunjung ke rumah kami, karena ada keperluan dengan Teguh”. Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa, orang jawa meskipun ada suatu konflik sosial antar individu di dalam masyarakat. mereka cenderung menutupinya dengan cara saling memperbaiki hubungan karena sifat orang jawa yang telah dipaparkan diatas, orang jawa akan lebih senang dengan keadaan cinta damai. Mereka lebih baik menghindari adanya konflik dan memilih diam dalam suatu kondisi yang membuatnya tidak nyaman. Ketika ada masalah pun seperti yang terjadi dalam kutipan novel tersebut. Mereka tetap baik dengan orang yang bersangkutan dengan cara memberikan manga ketika sedang panen mangga.
Nevel ini secara garis besar menarik karena terdapat unsur-unsur kearifan lokal yang dapat diangkat menjadi sebuah pembelajaran dan juga dapat dijadikan sebagai catatan sejarah kearifan lokal yang semakin lama semakin habis tergerus oleh budaya modernisasi dan globalisasi. Dalam konteksnya yang sederhana novel ini mampu membius pembaca dengan cara khas penulis menyajikan bentuk-bentuk bahasa novel yang sederhana yang mudah dipahami. Membaca novel ini juga seperti membaca sebuah peristiwa pada zaman yang di alami penulis, karena novel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis pada masa kecilnya.
Daftar Rujukan
Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori  Dan Penerapannya. Malang: penerbit A3 (asih, asah, asuh)
Sumardjo. S. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Qalam

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar