Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KEHIDUPAN SOSIAL DALAM DAUN-DAUN WARU DI SAMIRONO KARYA NH DINI



KEHIDUPAN SOSIAL DALAM DAUN-DAUN WARU DI SAMIRONO KARYA NH DINI
Oleh: Nurus Dwi Ariska
 
Manusia tidak bisa hidup sendiri, mereka hidup saling membutuhkan dan tolong menolong. Siapa saja yang harus kita tolong? Kita harus menolong semua orang yang membutuhkan. Menolong seseorang merupakan suatu hal mulia yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh semua orang. Sikap saling tolong menolong yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang dapat membuat semua orang hidup rukun dan tidak saling mencela. Sungguh mulia seseorang yang dapat membantu orang lain meskipun orang itu bukan saudaranya. Meskipun orang yang ditolong itu tidak mempunyai hubungan darah sama sekali dengan orang itu.
Manusia, ternyata memiliki kelebihan. Yakni, bersedia menolong dan mengulurkan tangan, melewati kelompok keluarga, kenalan atau komunitasnya. Mereka siap menolong orang yang tidak dikenal, dari etnis atau bangsa lain tanpa pamrih dan tanpa meminta imbalan.
Tentu saja di balik tindakan tanpa pamrih itu, selalu muncul pertanyaan, apakah memang betul-betul tindakannya tidak mengharap imbalan? Apakah dalam dunia yang sudah sangat materialistik, dimana segala sesuatu diukur dengan uang dan imbalan, sikap tanpa pamrih dan sukarela masih dapat eksis? Keuntungan apa yang dapat diperoleh dengan sikap semacam itu? Ternyata memang masih banyak orang-orang yang tanpa rasa pamrih mau menolong orang-orang di sekitarnya yang memang membutuhkan pertolongan. Jika sikap saling tolong-menolong tanpa rasa pamrih ini tidak terdapat di dalam diri setiap masing-masing manusia, maka tidak akan ada kerukunan antar manusia.
Sikap saling tolong menolong inilah yang ada dalam diri seorang ibu guru, salah satu tokoh dalam cerpen karya Nh Dini yang berjudul "Daun-daun Waru di Samirono". Cerpen "Daun-daun Waru di Samirono" dipilih karena di dalam cerpen karya Nh dini yang termuat dalam kumpulan cerpen kompas ini mengandung nilai moral tolong menolong yang kuat. Hal ini tercermin dari sifat tokoh ibu guru yang menolong seorang nenek yang sudah tidak mempunyai keluarga akibat bencana alam yang terjadi. Selain itu, dalam cerpen yang ditulis oleh Nh Dini ini menceritakan tentang kehidupan sosial seorang pencari daun waru.
Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936; umur 77 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Nh Dini. Nh Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Belbeliauu anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunbelbeliauu dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilbelbeliauu penuh larangan. Konon belbeliauu masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalabelbeliauu muncul, ibubelbeliauu acap berujar, “Nah, darah Bugisbelbeliauu muncul".
Nh Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajaran belbeliauu penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaan belbeliauu sendiri. Beliau sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati beliau. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita pada beliau tentang apa yang diketahui dan dibaca beliau dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Bagi beliau, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahaman beliau akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibu beliau kepada beliau, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi sopir lokomotif atau masinis. Tapi beliau tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya beliau menjadi penulis, itu karena beliau memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuan beliau. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya beliau berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya beliau memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasai beliau.
Beliau ditinggal wafat ayah beliau ketika masih duduk di bangku SMP, sedangkan ibu beliau hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, beliau jadi suka melamun. Bakat beliau menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, beliau sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Beliau menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usia beliau 15 tahun. Sejak itu beliau rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Semarang dalam acara Tunas Mekar.
Secara garis besar, cerpen Daun-daun Waru di Samirono karyanya ini menceritakan tentang seorang nenek yang biasa dipanggil dengan sebutan mulai dari lik Jum, mak Jum, hingga berubah menjadi mbah Jum sesuai dengan perubahan bentuk fisiknya yang mulai kelihatan berubah terutama warna rambutnya. Mbah Jum merupakan seorang yang hidup sebatang kara akibat dari korban kecelakaan bis dan juga korban merapi yang menghancurkan seluruh kampung di lereng merapi. Kecelakaan itu pula yang menyebabkan Mbah Jum hilang ingatan dan tidak tahu siapa keluarganya. Kemudian Mbah Jum diajak oleh keluarga Bu Guru untuk tinggal bersamanya.
Mbah Jum mau tinggal bersama keluarga Bu Guru dan juga merawat anak-anak Bu Guru hingga mereka sudah dewasa dan Bu Guru meninggal. Seiring dengan berjalannya waktu, bergantilah sekarang Mbah Jum yang dirawat oleh cucu Bu Guru. Tidak ada yang tahu berapa usia Mbah Jum yang sebenarnya, kepala desa setempat juga hanya memberi tanggal dan tahun kelahiran yang dikira-kira saja. Banyak orang yang sudah mengetahui Mbah Jum, kecuali orang-orang yang baru pindah pada kampung tersebut. Pekerjaan utama yang dimiliki Mbah Jum adalah mencari daun waru untuk dijual kepada pembuat tempe gembus di kampungnya. Selain itu, Mbah Jum juga sering mendapat panggilan rewang ketika tetangganya sedang ada hajatan. Mbah Jum pun sering membantu para tetangganya itu walaupun hanya sekedar untuk mengupas, membersihkan, atau mengiris sayur.
Ditinjau dari unsur intrinsik yang mencakup enam komponen, yang antara lain berupa tema, amanat, latar, alur, tokoh dan penokohan, dan sudut pandang, cerpen Nh Dini mempunyai unsur intrinsik sebagai berikut.
Tema
Tema atau pokok persoalan yang ada dalam cerpen Daun-daun Waru di Samirono ini terletak pada hampir keseluruhan cerpen. Misalnya pada kutipan berikut ini.
Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru. Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. Bila ledeng tidak mengalir, dia mengangs dari sumur di tengah kampung. Di belakang kepalanya bercampur aduk selaksa kenangan yang tidak pernah jelas gambarannya. Paling menonjol adalah kata-kata mengungsi, diiringi penguburan bersama setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Lalu dia dibawa Bu Guru ke kota raja. Dia hanya mampu mengikuti pelajaran hingga kelas 3 Sekolah Rakyat. Untuk seterusnya dia turut mengasuh anak-anak Bu Guru hingga besar, hingga Bu Guru meninggal dan anak-anak bergiliran berumah-tangga.

Kemudian tema dari cerpen ini juga terdapat dalam kutipan berikut ini.
Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum. Karena dia masih bertenaga untuk mengupas, membersihkan atau mengiris sayur.

Selain itu, juga terdapat dalam kutipan berikut ini.
Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan jalan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambu yang diselipkan di antara dahan pohon waru.

Dengan demikian, apabila dibuat kesimpulan atas kutipan-kutipan di atas maka tema cerpen ini adalah besarnya rasa saling tolong menolong yang ada dalam diri masyarakat. Meskipun orang yang membutuhkan pertolongan itu bukan saudara atau anggota keluarganya, akan tetapi mereka tidak pernah malu untuk memberikan pertolongan. Begitupun dengan orang yang ditolong akan membalas pertolongan kepada orang yang menolongnya apabila membutuhkannya. Selain itu, kehidupan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat juga tercermin dari kutipan di atas. Misalnya ketika sedang ada hajatan, maka tetangga yang lain akan membantu orang yang mempunyai hajat tersebut. Sikap ramah tamah dalam kehidupan sosial juga ada dalam cerpen tersebut. Selain itu, tidak hanya pada kutipan-kutipan di atas, tema cerpen ini juga terdapat dalam percakapan-percakapan yang ada dalam cerpen. Jadi, untuk mengetahui tema yang terkandung dalam cerpen ini harus membaca secara keseluruhan isi cerpen ini. Jika tidak demikian, maka tidak akan diketahui tema secara keseluruhan dari cerpen ini.

Amanat
Amanat yang terdapat dalam cerpen Daun-daun Waru di Samirono ini yang paling ingin ditunjukkan oleh pengarang adalah rasa saling tolong menolong yang kuat antar sesama manusia. Selain itu, masih ada amanat-amanat lain yang terdapat pada keseluruhan cerita.
a)    Peliharalah rasa saling tolong menolong antar sesama agar terjadi kehidupan yang rukun dan damai. Amanat ini terdapat pada kutipan berikut ini.
Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru. Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. ... Paling menonjol adalah kata-kata mengungsi, diiringi penguburan bersama setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Lalu dia dibawa Bu Guru ke kota raja.

b)   Kita harus membaur dengan tetangga yang lain ketika ada seorang tetangga yang sedang memiliki hajatan dan membantunya. Amanat ini terdapat pada kutipan berikut ini.
Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum. Karena dia masih bertenaga untuk mengupas, membersihkan atau mengiris sayur.

c)    Keramahtamahan orang-orang kampung yang selalu menyapa orang lain ketika bertemu dengan warga yang lain. Amanat ini terdapat pada kutipan berikut ini.
“Mana galahnya, Mak?” seseorang menegur, berteriak dari seberang ketika dia tiba di puncak tanjakan.

Selain itu, terdapat juga dalam kutipan berikut ini.
“Berangkat cari daun waru, Lik Jum?”
Selain itu, terdapat juga dalam kutipan berikut ini.
Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan jalan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah.

Selain itu, terdapat juga dalam kutipan berikut ini.
“Biar nanti saya bantu mengambilnya, Mbah,” kata kuli yang lain.

Selain itu, terdapat juga dalam kutipan berikut ini.
Dua kuli mendekat, menggotong lalu membaringkan wanita itu di tempat yang datar.

d)   Bekerjalah dengan giat selama kita masih bisa dan jangan hanya mengharapkan bantuan dari orang lain. Amanat ini terdapat pada kutipan berikut ini.
Namun, pekerjaan tetapnya adalah mencari daun waru.

Selain itu, terdapat juga dalam kutipan berikut ini.
Sejak dia disebut Lik sampai kini, Mbah Jum merupakan satu-satunya pemasok daun waru sebagai pembungkus tempe gembus spesial dari kampung tersebut.

e)    Jangan terlalu lama membuang-buang waktu selama waktu itu masih dapat kita manfaatkan. Amanat ini terdapat pada kutipan berikut ini.
Tanpa menunggu, dia langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting yang bisa dia gapai.

Selain itu, terdapat juga dalam kutipan berikut ini.
Dia harus memanfaatkan waktu. Pedagang tempe sekarang sudah hampir semua tidak menggunakan daun pisang lagi. Juragan tempe gembus bahkan berkata akan meniru orang-orang di lain kampung, menggunakan kantongan plastik ukuran kecil. Jika saat itu tiba, Mbah Jum akan kehilangan satu-satunya andalan pemasukan nafkahnya yang pasti.

Semua amanat di atas, ingin ditunjukkan pengarang kepada pembaca agar pembaca dapat beajar dari cerpen ini.

Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar suasana, dan latar sosial.
a)    Latar Tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini disebutkan oleh pengarangnya secara menyeluruh dalam cerpen, seperti bumi Mataram, ketika Mbah Jum berdiri di pinggir trotoar, ketika Mbah Jum tinggal di rumah Bu Guru dan amben di kamarnya yang ada di bilik belakang rumah Bu Guru, kemudian di jalan ketika Mbah Jum disapa seorang lelaki, dan tempat Mbah Jum mencari daun waru sehari-hari. Latar-latar tersebut seperti dalam kutipan berikut ini.
·      ... hujan yang mendadak menyiram bumi Mataram membikin orang-orang kaget namun berlega hati.
·      Mak Jum berhenti, berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang.
·      Hingga saat keluarga Bu Guru menyuruh pembantu memanggil dia supaya makan di dapur, Mbah Jum masih tergeletak di ambèn-nya.
·      Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru.
·      “Mana galahnya, Mak?” seseorang menegur, berteriak dari seberang ketika dia tiba di puncak tanjakan.
·      Lalu pandangannya tertuju ke kelokan. Di pojok sedang dibangun sesuatu, tampak luas dan besar. Bagian tepi dikelilingi pagar dari seng, namun tepat di belokan muncul dahan-dahan pohon waru, berkilau dalam kehijauannya yang pekat. Setiap daun tampak segar.

b)   Latar Waktu
Latar waktu yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, akan tetapi ada juga yang muncul tidak bersama dengan latar tempat, bahkan ada juga yang tidak secara langsung menunjukkan latar waktu. Latar waktu dalam cerpen ini diantaranya ada pagi hari, tadi malam, kemarin sore, selama tiga malam, dan sebagainya. Berikut ini kutipan mengenai latar waktu yang ada dalam cerpen Dun-daun  Waru di Samirono.
·         Matahari bersinar lembut.
·         Tadi malam hujan yang mendadak menyiram bumi Mataram membikin orang-orang kaget namun berlega hati.
·         Kemarau tiba-tiba terputus sejenak walaupun mungkin akan diteruskan selama dua atau tiga bulan mendatang.
·         Padahal kemarin sore, untuk ke sekian kalinya dia menerima hantaman keras di dada kirinya.
·         ... wanita itu menyaksikan sendiri bagaimana selama tiga malam ...
·         Jalan yang dulu hanya dilalui kereta kuda ...
·         Kali itu, sebutan Mak tentu diucapkan oleh seseorang ...
·         Barangkali mereka gembira setelah mandi-mandi air hujan malam kemarin.
·         Sejak tabrakan bus, sebelum Bu Guru meninggal, Mbah Jum tidak dapat mengerjakan apa pun ...
·         Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum.
·         Lebaran mendatang dia ingin membeli kain bercorak parang yang sudah lama dia idamkan.
·         “Hari ini tidak bawa capingnya to Mbah?” kuli bangunan bersuara lagi.

c)    Latar Suasana
Kebanyakan latar suasana dalam cerpen ini adalah suasana yang mengharukan dan menyedihkan. Latar suasana itu ditunjukkan ketika Mbah Jum kehilangan tempat tinggalnya dan harus tinggal dengan keluarga Bu Guru, kemudian Mbah Jum yang sudah tua masih harus bekerja keras untuk mencari daun waru setiap harinya, dan sampai akhirnya Mbah Jum meninggal ketika dia sedang bekerja mencari daun waru. Berikut ini kutipan-kutipannya.
·         Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru. ... Di belakang kepalanya bercampur aduk selaksa kenangan yang tidak pernah jelas gambarannya. Paling menonjol adalah kata-kata mengungsi, diiringi penguburan bersama setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Lalu dia dibawa Bu Guru ke kota raja.
·         Namun, pekerjaan tetapnya adalah mencari daun waru.
·         Dua kuli mendekat, menggotong lalu membaringkan wanita itu di tempat yang datar. Dia sempat berpikir bahwa pasti itu adalah ujung selendangnya yang telah dicelup ke ember buat mengaduk semen. Sesudah itu, dia tidak merasa apa pun. Tidak mendengar apa pun.

d)   Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut.
·         Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum. Karena dia masih bertenaga untuk mengupas, membersihkan atau mengiris sayur.

Alur
Alur yang digunakan dalam cerpen ini adalah alur campuran atau yang biasa disebut alur maju-mundur. Akan tetapi, alur maju-mundur dalam cerpen ini diawali dengan pengenalan tokoh utama yang diceritakan dalam cerpen. Kemudian menceritakan tokoh utama dalam waktu sekarang. Setelah itu, cerpen ini menceritakan tentang masa lalu tokoh utama sehingga bisa sampai seperti saat ini. Kemudian alur kembali maju menceritakan mengenai masa sekarang tokoh utama hingga masa depan tokoh utama.
Awal cerita dalam cerpen ini yaitu mengenalkan sosok tokoh utama yang akan diceritakan dalam cerpen. Tokoh utama dalam cerpen ini bernama Mbah Jum. Mbah Jum adalah seorang nenek tua yang percaya pada mitos-mitos yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Mitos itu diantaranya percaya bahwa jika ada seorang bangsawan dari kampungnya yang meninggal, maka alam akan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan keluarga bangsawan itu. Misalnya akan terjadi hujan yang sangat deras dan lama berhentinya. Akan tetapi, jika rakyat kecil yang meninggal, maka alam tidak akan mengubah kondisinya seperti ketika ada seorang bangsawan yang meninggal. Selain itu, perkenalan awal yang diberikan pengarang dalam cerpen ini adalah mengenalkan bahwa Mbah Jum sering mengalami masuk angin. Ketika masuk angin datang melanda dirinya, maka Mbah Jum akan mengerok sendiri bagian tubuhnya, diantaranya leher, dada, dan bahunya. Warna bulirnya pun merah nyaris ungu ketika Mbah Jum mengerok dirinya sendiri saat mengalami masuk angin.
Kemudian di pertengahan cerita, pengarang kembali pada masa sekarang dan menceritakan tokoh utama yang akan berangkat bekerja. Pekerjaan tokoh utama adalah mencari daun waru. Ketika tokoh utama berangkat bekerja, di tengah jalan dia disapa oleh seorang lelaki yang mengenal Mbah Jum, maka Mbah Jum pun berhenti dan menoleh mencari siapa yang menegurnya. Setelah Mbah Jum mengetahui orang yang menegurnya, maka Mbah Jum menjawab teguran yang diberikan. Setelah itu, Mbah Jum pun kembali melanjutkan perjalanannya, ketika di tengah jalan, banyak orang-orang yang mengenal Mbah Jum dan menyapanya dengan ramah.
Setelah menceritakan mengenai masa sekarang tokoh utama, pengarang menceritakan tentang masa lalu tokoh utama. Bagaimana tokoh utama bisa pindah ke kota lain, dengan siapa dia sekarang tinggal, dan apa yang pernah terjadi padanya. Dalam cerita ini, tokoh utama yaitu Mbah Jum tinggal bersama dengan keluarga Bu Guru. Dia diajak pindah oleh Bu Guru karena pernah terjadi kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung dan setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Hingga Bu Guru meninggal dan Mbah Jum kemudian tinggal bersama dengan cucu Bu Guru. Mbah Jum juga membantu merawat anak-anak Bu Guru sebelum Bu Guru meninggal. Saat makan pun Mbah Jum tidak pernah kebingungan karena di rumah Bu Guru, Mbah Jum sudah disediakan makanan yang cukup. Selain itu, para tetangganya juga sering memberikan makanan kepada Bu Guru. Ketika ada hajatan pada salah satu warga kampung, maka Mbah Jum akan membantu tetangganya, walaupun hanya sekedar membersihkan, mengupas, dan mengiris sayur.
Pada tahap berikutnya pengarang kembali menceritakan tentang masa sekarang Mbah Jum ketika Mbah Jum sedang mencari daun waru. Ketika Mbah Jum sedang mencari daun waru, Mbah Jum disapa dengan ramah oleh tukang becak yang sedang mangkal di sekitar tempatnya mencari daun waru. Selain itu, Mbah Jum juga disapa oleh kuli bangunan yang sedang mengerjakan proyek bangunan yang tempatnya juga di sekitar Mbah Jum mencari daun waru. Hingga akhirnya pengarang menceritakan tentang masa depan Mbah Jum yang akhirnya Mbah Jum meninggal dunia. Ketika Mbah Jum sedang sibuk mengambil daun waru, tiba-tiba saja terasa sakit yang sangat di dadanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Setelah merasakan sakit yang luar biasa, Mbah Jum tiba-tiba pingsan. Kemudian Mbah Jum ditolong oleh kuli bangunan yang bekerja di sekitarnya. Tidak lama dari itu, Mbah Jum sempat merasakan ada kain basah yang digosokkan di lehernya. Kemudian Mbah Jum sudah tidak merasakan apa pun dan tidak mendengar apa pun.

Tokoh dan Penokohan
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. Nh Dini menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a)    Mbah Jum
Dalam cerpen karya Nh Dini ini tokoh Mbah Jum merupakan tokoh utama yang diceritakan dalam cerpen. Mbah Jum tinggal bersama keluarga Bu Guru hingga Bu Guru meninggal. Mbah Jum mempunyai watak yang pendiam dan tidak terlalu banyak bicara, mungkin karena dia hilang ingatan. Akan tetapi, meskipun Mbah Jum pendiam, Mbah Jum juga ramah kepada semua orang. Setiap kali ada orang yang menyapanya, dia pasti akan menoleh. Akan tetapi, Mbah Jum juga terkadang sedikit acuh kepada orang. Mbah Jum juga seseorang yang pekerja keras meskipun dia sudah tua renta. Mbah Jum juga sering membantu warga kampung yang mempunyai hajatan, walaupun hanya sekedar membersihkan dan mengiris sayur. Berikut beberapa kutipan yang menunjukkan watak seorang Mbah Jum dalam cerpen.
·         Mak Jum berhenti, berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang. Dia berseru menjawab.
·         Mbah Jum mendengar komentar itu, tetapi tidak peduli. Dia terus menengadah.
·         Tanpa menunggu, dia langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting yang bisa dia gapai.
·         Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum. Karena dia masih bertenaga untuk mengupas, membersihkan atau mengiris sayur.
b)   Bu Guru
Bu Guru adalah orang yang mengajak Mbah Jum untuk pindah ke kota lain. Bu Guru menolong Mbah Jum yang terkena musibah. Dalam cerpen tidak disebutkan ada hubungan apa Bu Guru dengan Mbah Jum, akan tetapi terdapat kalimat bahwa Mbah Jum tetaplah keluarga Bu Guru. Bu Guru mempunyai watak dan sifat yang baik, suka menolong orang. Gambaran watak tersebut sebagai berikut.
·         Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru. ... Di belakang kepalanya bercampur aduk selaksa kenangan yang tidak pernah jelas gambarannya. Paling menonjol adalah kata-kata mengungsi, diiringi penguburan bersama setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Lalu dia dibawa Bu Guru ke kota raja.
c)    Lelaki
Lelaki dalam cerpen ini tidak diceritakan secara mendetail. Akan tetapi meskipun demikian, lelaki ini mempunyai watak yang cukup jelas yakni ramah kepada Mbah Jum. Hal itu terlihat ketika Mbah Jum yang hendak berangkat mencari daun waru di tengah jalan disapa oleh lelaki itu. Berikut kutipan yang menunjukkan watak lelaki dalam cerpen ini.
·         Laki-laki yang duduk di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur.
d)   Warga Kampung
Warga kampung dalam cerpen ini diceritakan bahwa semua warga kampung di tempat tinggal Mbah Jum ramah tamah dan selalu memberikan sapaan-sapaan yang ramah ketika bertemu dengan Mbah Jum, seperti dalam kutipan berikut.
·         “Berangkat cari daun waru, Lik Jum?”
·         “Sudah mendapat banyak daunnya, Mbah Jum?”
·         “Mari saya bantu menghitung daun warunya ya Mak Jum!”
·         Semua orang mengenal dia.
e)    Tukang Becak
Begitupun dengan beberapa tukang becak yang muncul dalam cerpen ini. Tukang becak dalam cerpen ini digambarkan sangat ramah kepada Mbah Jum dan menolong Mbah Jum mengambil galah yang biasa digunakan oleh Mbah Jum untuk mengambil daun waru dan berikut kutipannya.
·         Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan jalan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambu yang diselipkan di antara dahan pohon waru.
·         “Daunnya hari ini bersih-bersih, Mbah,” katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut abu-abu itu.
f)    Kuli Bangunan
Kuli bangunan yang diceritakan dalam cerpen ini mempunyai watak yang suka menolong orang lain dan juga bersikap rama kepada orang. Hal itu tergambar ketika Mbah Jum mencari daun waru di sekitar proyek bangunan, para kuli menyapa Mbah Jum dengan sopan. Begitupun ketika Mbah Jum mendadak jatuh pingsan, maka kuli bangunan yang ada di sekitar tempat itu segera menolong Mbah Jum untuk dibawa ke tempat yang lebih aman. Hal-hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut ini.
·         “Sebentar lagi panas terik, Mbah,” kata seorang kuli bangunan yang mengaduk pasir dan semen ...”
·         “Hari ini tidak bawa capingnya to Mbah?” kuli bangunan bersuara lagi.
·         Dua kuli mendekat, menggotong lalu membaringkan wanita itu di tempat yang datar.

Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang ketiga sebagai pelaku utama sebab pengarang menggunakan orang lain dalam ceritanya. Hal ini tercermin jelas pada nama-nama tokoh yang ada di dalam cerpen. Tokoh-tokoh itu misalnya pada tokoh utama yang diceritakan yaitu Mbah Jum, seperti pada kutipan berikut.
Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya.

Kemudian tokoh utama kedua yang membantu Mbah Jum setelah kecelakaan yang menimpanya yaitu Bu Guru, seperti pada kutipan berikut.
Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru.

Kemudian tokoh-tokoh yang lain, diantaranya lelaki yang menyapa Mbah Jum.
Laki-laki yang duduk di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur.

Para tetangga yang juga dengan ramah menyapa Mbah Jum.
“Berangkat cari daun waru, Lik Jum?”
“Sudah mendapat banyak daunnya, Mbah Jum?”
“Mari saya bantu menghitung daun warunya ya Mak Jum!”
Semua orang mengenal dia.

Beberapa tukang becak yang mengenal Mbah Jum.
Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan jalan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambu yang diselipkan di antara dahan pohon waru.
“Daunnya hari ini bersih-bersih, Mbah,” katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut abu-abu itu.

Kuli-kuli bangunan yang bekerja di sekitar tempat Mbah Jum mencari daun waru.
“Sebentar lagi panas terik, Mbah,” kata seorang kuli bangunan yang mengaduk pasir dan semen...”

Cerpen ini memberikan banyak pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Dari cerpen ini pembaca dapat memperoleh pembelajaran mengenai kehidupan sosial, mengenai kehidupan rakyat yang seharusnya saling tolong menolong, mengenai manusia yang harus bekerja keras dan tidak boleh membuang-buang waktu. Selain itu, cerpen ini juga memberikan pembelajran mengenai bagaimana kita seharusnya bersikap kepada semua orang. Kita harus bersikap ramah kepada semua orang, terutama orang-orang yang sudah kita kenal. Meskipun demikian, kita juga harus bersikap ramah kepada orang-orang yang tidak kita kenal. Dalam cerpen itu juga diberikan pelajaran tentang kehidupan masyarakat yang saling membantu. Ketika ada hajatan, sebagai tetangga yang baik, kita seharusnya membantu tetangga kita yang sedang mempunyai hajatan. Cerpen ini baik untuk dibaca oleh semua orang, karena dalam cerpen ini kita dapat belajar mengenai banyak hal dalam kehidupan sosial, dalam kehidupan bermasyarakat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar