Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Dunia Keterasingan Tokoh Utama dalam Naskah Drama Berjudul “Hedda Gabler”



Dunia Keterasingan Tokoh Utama dalam Naskah Drama 
Berjudul “Hedda Gabler”
Oleh: Muhammad Irfan Faisal

Watak manusia terbentuk melalui proses interaksi dengan sesama dan lingkungannya. Proses interaksi inilah yang merangsang kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Sayang, seiring berkembangnya zaman, interaksi sosial tersebut semakin terlupakan. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial kian terdegradasi sehingga menumbuhkan sikap individualis dalam diri manusia. Tanpa disadari individualisme mendorong masyarakat menuju sebuah bentuk belenggu atau keterasingan dalam lingkungan sosial. Hal ini terjadi pada tokoh utama Hedda dalam drama Hedda Gabler karya Hendrik Ibsen. Hedda Gabler merupakan seorang perempuan sebagai tokoh sentral dalam karya ini dan merepresentasikan perasaan terbelenggu dan terasing sehingga dia harus menipu diri sendiri. Secara teoritis keterasingan dalam dunia social biasa disebut alienasi, alienasi sendiiri adalah tindakan manusia yang tidak berdasarkan pada kebebasan otonomi individunya melainkan sebuah aktivitas yang berdasarkan kekuatan-kekuatan di luar dirinya  (Rosyadi, 2000:13). Yang di maksud teori ini adalah kejadian-kejadian di luar diri tokoh dapat menjadi konflik yang dialami seorang tokoh sebagai akibat dari kesenjangan sosial dengan tokoh lain atau dengan masyarakat. Kesenjangan sosial ini memunculkan beberapa bentuk keterasingan yang dialami oleh Hedda Gabler. Bila diperhatikan dengan seksama, permaslahan kehidupan yang dialami Hedda dapat dicermati melalui tiga hal yaitu ketidakberdayaan, tak punya makna hidup, dan keterasingan diri.
Ketidakberdayaan merupakan kondisi ketika seseorang tidak mampu melawan kekuatan dari luar yang tidak dia kira. Kekuatan ini memaksa seseorang untuk melakukan penyesuaia agar sesuai dengan tuntutan kebutuhanya tersebut. Secara perlahan-lahan, penyesuaian ini dapat mengasingkan tokoh dari kepribadiannya yang asli atau dari seorang manusia yang nyata. Dalam Hedda Gabler, ketidakberdayaan Hedda disebabkan oleh kekangan norma-norma sosial yang berlaku. Norma kesopanan yang berlaku memaksa Hedda untuk bersikap sensitif dan lembut terhadap orang lain, terutama orang yang lebih tua. Hal ini terlihat dari kekhawatiran Hedda terhadap perasaan bibi suaminya, Nyonya Tesman, saat tanpa sengaja Hedda menyinggung topi miliknya,
         HEDDA : (beranjak dari pintu kaca) : “Menurutmu apa dia betul-betul tersinggung karena urusan topi itu?”.
Dialog antara Hedda dan suaminya menunjukkan karakter sensitif yang sekaligus menekankan sisi feminin Hedda. Kenyataannya, ketika pembaca memasuki pertengahan babak dari kisah Hedda Gabler, pembaca akan menyadari sosok munafik dalam diri Hedda sebagaimana tercermin melalui perkataanya sendiri,
         HEDDA : “Betul, ada sesuatu. Aku ingin, sekali saja selama hidupku memiliki daya kekuatan terhadap nasib seorang manusia.”
Dari dialog ditas dapat disimpulkan makna bahwa Hedda mempunyai sifat yang dominan dengan sifat dan karekter pria. Karakter yang bersebrangan ini menekankan bagaimana Hedda harus berpura-pura menjadi orang yang sama sekali bukan dirinya. Norma kesopanan telah membatasi ruang gerak kepribadian Hedda yang sebenarnya tomboi dan memaksa Hedda untuk menjadi sosok yang feminin. Perubahan sosok yang dilakukan Hedda untuk menjadi wanita feminin memperlihatkan ketidakberdayaan Hedda untuk melawan nilai-nilai masyarakat yang ada. Ia menyerah kepada permasalahan sosial yang mengelilinginya.
             Interaksi sosial mengajarkan manusia untuk memahami makna hubungannya dengan orang lain. Namun, di era modern, makna hubungan antar manusia hanya dianggap sebagai objek untuk meraih ambisinya. Pengobjekan manusia ini mengerdilkan makna manusia lain. Ketika manusia berpola pikir seperti ini, mereka telah mengalami ketiadaan makna dalam kehidupan. Dalam Hedda Gabler, ketiadaan makna akan hidup tercermin melalui absennya cinta. Hedda memanfaatkan suaminya Tesman untuk meraih kesuksesesan dan kestabilan dalam kasta sosial. Sebagai seorang terpelajar, Tesman jelas akan memiliki karir yang cemerlang di masa depan. Karir ini akan menjamin kelangsungan hidup Hedda dan memudahkannya sampai pada status sosial yang dihormati. Pernikahannya dengan Tesman dipakai sebagai loncatan Hedda untuk mempertahankan derajat sosialnya. Hedda menganggap Tesman sebagai objek semata tanpa cinta yang tulus. Hedda telah mati rasa terhadap cinta demi ambisinya. Di pihak lain, Tesman terlalu sibuk dengan dunia ilmu pengetahuannya sendiri tanpa memikirkan Hedda. Akibatnya, tak sedikit pun Tesman memahami Hedda. Hidup tanpa dipahami merupakan siksaan batin yang tak terkira. Hedda bukan perempuan yang menikahi cintanya, melainkan menikahi ambisinya. Meskipun sudah bersuami, pembaca akan menyadari kekosongan dalam diri Hedda.  Pernikahan Hedda justru menjebaknya dalam kesendirian yang mendalam. 
Kesimpulanya, drama ini membicrakan proses bagaimana kekuatan eksternal bias mempengaruhi pembentukan kepribadian kita. Modernisasi memaksa manusia untuk bersikap semakin individualis dan berorientasi pada keuntungan diri sendiri. Hal ini mendegradasi moral dan nilai manusia sebagai makhluk sosial. Hedda Gabler  merupakan sarana bagi penulisnya untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap perubahan nilai ini. Penggambaran dalam dunia Hedda, keterasingan yang dialami Hedda dapat dijadikan cerminan bagi masyarakat masa kini yang semakin lupa akan pentingnya berinteraksi dengan sesamanya.

Daftar Rujukan
Rosyadi, Khoirul. 2000. "Alienasi Dalam Masyarakat Modern:" Cinta & keterasingan cet1. Yogyakarta: LKIS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Bisa jadi referensi nih. Thx..

Posting Komentar