Dunia
Keterasingan Tokoh Utama dalam Naskah Drama
Berjudul
“Hedda Gabler”
Oleh: Muhammad Irfan Faisal
Watak manusia
terbentuk melalui proses interaksi dengan sesama dan lingkungannya. Proses
interaksi inilah yang merangsang kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Sayang,
seiring berkembangnya zaman, interaksi sosial tersebut semakin terlupakan.
Kodrat manusia sebagai makhluk sosial kian terdegradasi sehingga menumbuhkan
sikap individualis dalam diri manusia. Tanpa disadari individualisme mendorong
masyarakat menuju sebuah bentuk belenggu atau keterasingan dalam lingkungan
sosial. Hal ini terjadi pada tokoh utama Hedda dalam drama Hedda Gabler karya
Hendrik Ibsen. Hedda Gabler merupakan seorang perempuan sebagai tokoh sentral
dalam karya ini dan merepresentasikan perasaan terbelenggu dan terasing
sehingga dia harus menipu diri sendiri. Secara teoritis keterasingan dalam dunia social biasa
disebut alienasi, alienasi sendiiri adalah tindakan manusia yang tidak
berdasarkan pada kebebasan otonomi individunya melainkan sebuah aktivitas yang berdasarkan
kekuatan-kekuatan di luar dirinya (Rosyadi, 2000:13). Yang di maksud
teori ini adalah kejadian-kejadian di luar diri tokoh dapat menjadi konflik
yang dialami seorang tokoh sebagai akibat dari kesenjangan sosial dengan tokoh
lain atau dengan masyarakat. Kesenjangan sosial ini memunculkan beberapa bentuk
keterasingan yang dialami oleh Hedda Gabler. Bila diperhatikan dengan seksama, permaslahan
kehidupan yang dialami Hedda dapat dicermati melalui tiga hal yaitu
ketidakberdayaan, tak punya makna hidup, dan keterasingan diri.
Ketidakberdayaan
merupakan kondisi ketika seseorang tidak mampu melawan kekuatan dari luar yang
tidak dia kira. Kekuatan ini memaksa seseorang untuk melakukan penyesuaia agar
sesuai dengan tuntutan kebutuhanya tersebut. Secara perlahan-lahan, penyesuaian
ini dapat mengasingkan tokoh dari kepribadiannya yang asli atau dari seorang
manusia yang nyata. Dalam Hedda Gabler, ketidakberdayaan Hedda disebabkan
oleh kekangan norma-norma sosial yang berlaku. Norma kesopanan yang berlaku memaksa
Hedda untuk bersikap sensitif dan lembut terhadap orang lain, terutama orang
yang lebih tua. Hal ini terlihat dari kekhawatiran Hedda terhadap perasaan bibi
suaminya, Nyonya Tesman, saat tanpa sengaja Hedda menyinggung topi miliknya,
HEDDA : (beranjak dari pintu kaca)
: “Menurutmu apa dia betul-betul tersinggung karena urusan topi itu?”.
Dialog antara Hedda dan
suaminya menunjukkan karakter sensitif yang sekaligus menekankan sisi feminin
Hedda. Kenyataannya, ketika pembaca memasuki pertengahan babak dari kisah Hedda
Gabler, pembaca akan menyadari sosok munafik dalam diri Hedda sebagaimana
tercermin melalui perkataanya sendiri,
HEDDA : “Betul, ada sesuatu.
Aku ingin, sekali saja selama hidupku memiliki daya kekuatan terhadap nasib
seorang manusia.”
Interaksi sosial
mengajarkan manusia untuk memahami makna hubungannya dengan orang lain. Namun,
di era modern, makna hubungan antar manusia hanya dianggap sebagai objek untuk
meraih ambisinya. Pengobjekan manusia ini mengerdilkan makna manusia lain.
Ketika manusia berpola pikir seperti ini, mereka telah mengalami ketiadaan
makna dalam kehidupan. Dalam Hedda Gabler, ketiadaan makna akan hidup
tercermin melalui absennya cinta. Hedda memanfaatkan suaminya Tesman untuk
meraih kesuksesesan dan kestabilan dalam kasta sosial. Sebagai seorang
terpelajar, Tesman jelas akan memiliki karir yang cemerlang di masa depan.
Karir ini akan menjamin kelangsungan hidup Hedda dan memudahkannya sampai pada
status sosial yang dihormati. Pernikahannya dengan Tesman dipakai sebagai
loncatan Hedda untuk mempertahankan derajat sosialnya. Hedda menganggap Tesman
sebagai objek semata tanpa cinta yang tulus. Hedda telah mati rasa terhadap
cinta demi ambisinya. Di pihak lain, Tesman terlalu sibuk dengan dunia ilmu
pengetahuannya sendiri tanpa memikirkan Hedda. Akibatnya, tak sedikit pun
Tesman memahami Hedda. Hidup tanpa dipahami merupakan siksaan batin yang tak
terkira. Hedda bukan perempuan yang menikahi cintanya, melainkan menikahi
ambisinya. Meskipun sudah bersuami, pembaca akan menyadari kekosongan dalam
diri Hedda. Pernikahan Hedda justru menjebaknya dalam kesendirian
yang mendalam.
Kesimpulanya, drama
ini membicrakan proses bagaimana kekuatan eksternal bias mempengaruhi
pembentukan kepribadian kita. Modernisasi memaksa manusia untuk bersikap
semakin individualis dan berorientasi pada keuntungan diri sendiri. Hal ini
mendegradasi moral dan nilai manusia sebagai makhluk sosial. Hedda Gabler
merupakan sarana bagi penulisnya untuk menunjukkan keprihatinannya terhadap
perubahan nilai ini. Penggambaran dalam dunia Hedda, keterasingan yang dialami
Hedda dapat dijadikan cerminan bagi masyarakat masa kini yang semakin lupa akan
pentingnya berinteraksi dengan sesamanya.
Daftar Rujukan
Rosyadi, Khoirul. 2000. "Alienasi Dalam Masyarakat Modern:" Cinta
& keterasingan cet1. Yogyakarta: LKIS
1 komentar:
Bisa jadi referensi nih. Thx..
Posting Komentar