Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Potongan Kenangan dalam Cerpen “Kain Perca Ibu” karya Andrei Aksana



Potongan Kenangan dalam Cerpen “Kain Perca Ibu” karya Andrei Aksana
Oleh: Mita Indriani

            Kain perca bukan barang yang berharga. Bahkan bisa dibilang adalah limbah yang identik dengan barang yang hanya mengotori dan tidak ada manfaatnya. Namun tidak bagi Andrei Aksana, dia tertarik pada “perca” untuk melukiskan makna yang tersirat dalam cerpen yang dibuatnya. Andrei Aksana pertama kali memulai debutnya sebagai penulis novel di tahun 1992, dengan meluncurkan Mengukir Mimpi Terlalu Pagi.
Ia adalah cucu pujangga Sanoesi Pane dan Armijn Pane, dan merupakan anak kedua novelis Nina Pane dan Jopie Boediarto. Kakek buyutnya adalah Sultan Pangurabaan Pane, pendiri surat kabar Surya di Tapanuli, penulis roman Tolbok Haleon, dan pengelola kelompok musik tradisional uning-ungingan. Ketika dianggap jadi penulis hanya bermodalkan faktor keturunan, ia berkomentar, "Buat saya, bakat hanya 1%, selebihnya adalah kerja keras dan keringat." Dengan keluarganya yang berlatar belakang sastra maka ia telah akrab dengan sastra sejak kecil, tepatnya sejak ia masuk Taman Kanak-kanak puisi pertamnya dimuat di majalah Zaman, sedangkan cerpen pertamanya dimuat di majalah Kawanku. Darah seni yang mengalir deras dalam dirinya juga selalu membawanya menjadi pememnag dalam lomba membaca puisi dan menyanyi.       
Novelnya yang berjudul Abadilah Cinta menjadi fenomena sejarah pembukuan di Indonesia. Novel pertama di dunia yang memiliki soundtrack, dan berhasil dicetak ulang dalam waktu 5 hari. Tidak cukup sampai di situ, sang penulis sendiri yang menyanyikannya.
Cerpen ini masuk dalam kategori cerpen yang bertema keluarga, mengisahkan tentang seorang ibu yang penuh dedikasi dalam mengurus keluarganya. Terutama dengan bakatnya menjahit, sang ibu mencurahkan hidupnya dan sejarahnya dalam jahitan yang dibuat untuk membuat sebuah pakaian, entah itu baju untuk pengantin, baju dinas suaminya, baju khusus untuk anak-anaknya yang juga di pakai untuk acara khusus, seperti acara Kartini di sekolah.
Dengan keahliannya menjahit dan membuat baju sendiri membuat keluarga ini mempunyai tradsisi yang unik. Setiap lebaran tiba maka yang dinanti-nanti oleh keempat saudara dalam keluarga ini yang semuanya perempuan adalah kebiasaan sang ibu menceritakan kisah-kisah hidupnya dahulu yang tentu saja sangat menarik bagi anak-anaknya. Di akhir cerita sang ibu selalu mewariskan satu dari sekian koleksi pakaian simpanannya untuk salah satu putrinya. Tentu saja yang mendapat baju tersebut sangat merasa bangga dan yang tidak mendapat giliran mendapatkannya pasti langsung berjalan menunduk ke dalam kamar dengan rasa kecewa.
Kebiasaan yang sungguh unik yang jarang terjadi pada keluarga-keluarga yang lain. Tradisi ini pun terus berlanjut sampai mempunyai cucu. Tentu saja bagi cucunya cerita-cerita masa lampau tersebut seperti dongeng sebelum tidur. Namun tetap saja mereka mendengarnya dengan serius. Apalagi sekarang putri-putrinya telah berkeluarga dan berada di luar kota semuanya.
Tradisi ini terhenti ketika sang ayah telah meninggal. Sang ibu tidak ingin mengenang lagi ayah yang telah meninggal dan sebelumnya sangat berat diikhlaskannya. Cinta sang ibu kepada sang ayah begitu besar karena selama bertahun-tahun mereka selalu bersama. Sekarang mereka te;ah terpisah ruang dan waktu sehingga berat bagi sang ibu untuk bisa menerima kenyataan bahwa teman hidupnya yang selama ini selalu di sampingnya telah tiada. Apalagi kisah cinta mereka terjadi begitu dramatis. Sang ayah yang seorang tentara setelah menikah langsung meninggalkan ibu sendiri di rumah bahkan saat Mbak Ratih lahir. Hal ini tentu membuat keempat putrinya tidak tega meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Meskipun sang ibu tetap bersikeras untuk tinggal di rumahnya daripada ikut tinggal di rumah salah satu putrinya. Mungkin sang ibu tidak ingin melupakan kenangan-kenangan bersama sang ayah selama ini dengan segala kebiasaannya. Jadi keempat putrinya memutuskan untuk secara bergiliran membelikan tiket pesawat untuk ibunya agar bisa berjalan-jalan ke rumah putri-putrinya. Lagi-lagi sang ibu menolak dan lebih memilih naik kereta api, mungkin dengan naik kereta sang ibu bisa mengenang kembali masa-masa saat masih berpacaran dengan suaminya yang begitu romantis.
Lebaran berikutnya atau tepatnya lebaran pertama tanpa kehadirang sang ayah, baju-baju yang dianggap bersejarah selama ini ternyata telah dipotong-potong dan dijahit menjadi selembar bed cover. Kenangan yang telah dipelihara selama ini telah menjadi lembaran yang begitu lebar yang berisi begitu banyak macam kain yang warnanya juga beragam.  Keluaga  yang awalnya sangat menghargai sejarahnya kini setelah sang ayah meninggal menjadi biasa untuk menertawakan sejarahnya sendiri. Kebiasaan sang ibu membuat barang-barang bermanfaat seperti tatakan piring dan gelas atau yang lain dari baju yang tidak dipakai menjadi kebiasaan yang tidak asing lagi. Meskipun sebenarnya baju yang didaur ulang itu adalah baju yang bernilai sejarah bagi keluaga mereka.
Namun kebiasaan ini kembali terhenti ketika sang ibu meninggal. Kebiasaan untuk mendaur ulang kain baju ayng telah tidak terpakai. Keempat putrinya tentu saja sangat kehilangan sosok ibu yang selama ini menginspirasi mereka. Bahkan mereka tidak sanggup untuk membereskan barang-barang ibunya. Mereka baru mampu membuka barang-barang sang ibu di lemari seminggu kemudian. Keempat putrinya sangat terkejut ketika menemui tumpukan baju-baju ayah mereka yang tertata rapi di dalam lemari. Padahal sebelumnya sang ibu mengatakan untuk tidak mengenang lagi sesuatu yang telah berlalu.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa sosok ibu yang selalu berusaha tegar di depan putri-putri dan cucu-cucunya ternyata masih tetap menyimpan kenangan tentang suaminya yang begitu dicintainya. Hanya baju-baju itu yang bisa mengobati rindunya terhadap suaminya. Terlihat dari tumpukan baju yang masih utuh dan terlipat rapi. Tentu sang ibu punya alasan sendiri mengapa ia tetap menyimpan baju-baju suaminya yang tak seorang pun tahu dan ia bawa alasan itu sampai ajal menjemput.
Sosok ibu pada cerpen ini sangat menginspirasi keempat putrinya. Terbukti dari kebiasaan ibunya yang gemar menjahit juga menjadi kebiasaan keemmpat putrinya. Begitu juga setelah sang ibu mempunyai kebiasaan mendaur ulang baju yang tak terpakai, keempat putrinya juga sangat mendukung dengan memberikan baju-baju yang tak terpakai di keluarganya. Sosok ibu yang diceritakan dalam cerpen ini juga sosok yang penuh ketabahan, kesabaran, dan tanggung jawab yang besar. Sungguh cermin seorang ibu yang dapat memberi contoh kepada anak-anaknya.
Pesan dari cerpen ini adalah kain yang dirajut dan dijahit kemudian menjadi pakaian memiliki arti dan makna yang mendalam bila dibuat dengan sepenuh hati, dirawat dan dijaga pula dengan sepenuh hati. Bukan karena kekeramatannya atau kesakralannya, tapi menghargai setiap karya yang dibuat maka nilai dari sebuah karya pun akan sama seperti jati dirinya sendiri, dan itu harganya sangat tak ternilai. Sampai pada satu titik pun akhirnya sang ibu memahami, bahwa, ”… kita ndak boleh termakan kenangan, kita bisa mati merana….”. Dan dengan konsep baru itu sang ibu mulai melakukan eksperimen dengan potongan-potongan kain bekas, entah itu baju, kain sarung, celana, gorden atau bekas kain yang lainnya, untuk kemudian dijadikan bermacam-macam fungsi, seperti bed cover, lap, serbet ataupun tatakan gelas. Dengan konsep baru menjahit ibunya, pesan yang lainnya adalah, seperti yang diungkapkan oleh penutur cerita, ”aku” Sri, ”…kini kami terbiasa menertawakan sejarah…”.
Cerpen ini sangat menarik dari segi penceritaannya. Dapat dilihat dari segi judul yaitu “Kain Perca Ibu” tentu diawal sudah menebak isi dari cerpen ini. Penokohan yang ada di dalamnya juga sangat mendukung karakter ibu yang menjadi tokoh utama. Cerpen ini mampu membawa pembacanya larut dalam cerita. Meskipun gaya penceritaannya relatif sederhana dan mudah dipahami.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar