Potongan Kenangan dalam Cerpen “Kain Perca Ibu” karya Andrei Aksana
Oleh: Mita Indriani
Kain perca
bukan barang yang berharga. Bahkan bisa dibilang adalah limbah yang identik
dengan barang yang hanya mengotori dan tidak ada manfaatnya. Namun tidak bagi
Andrei Aksana, dia tertarik pada “perca” untuk melukiskan makna yang tersirat
dalam cerpen yang dibuatnya. Andrei Aksana pertama kali memulai debutnya
sebagai penulis novel di tahun 1992, dengan meluncurkan Mengukir Mimpi Terlalu
Pagi.
Ia adalah cucu pujangga Sanoesi
Pane dan Armijn Pane, dan merupakan anak kedua novelis Nina Pane dan Jopie
Boediarto. Kakek buyutnya adalah Sultan Pangurabaan Pane, pendiri surat kabar
Surya di Tapanuli, penulis roman Tolbok Haleon, dan pengelola kelompok musik
tradisional uning-ungingan. Ketika dianggap jadi penulis hanya bermodalkan
faktor keturunan, ia berkomentar, "Buat saya, bakat hanya 1%, selebihnya
adalah kerja keras dan keringat." Dengan keluarganya yang berlatar
belakang sastra maka ia telah akrab dengan sastra sejak kecil, tepatnya sejak
ia masuk Taman Kanak-kanak puisi pertamnya dimuat di majalah Zaman, sedangkan
cerpen pertamanya dimuat di majalah Kawanku. Darah seni yang mengalir deras
dalam dirinya juga selalu membawanya menjadi pememnag dalam lomba membaca puisi
dan menyanyi.
Novelnya yang berjudul Abadilah
Cinta menjadi fenomena sejarah pembukuan di Indonesia. Novel pertama di dunia yang
memiliki soundtrack, dan berhasil dicetak ulang dalam waktu 5 hari. Tidak cukup
sampai di situ, sang penulis sendiri yang menyanyikannya.
Cerpen ini masuk dalam kategori cerpen yang bertema keluarga, mengisahkan tentang seorang ibu
yang penuh dedikasi dalam mengurus keluarganya. Terutama dengan bakatnya
menjahit, sang ibu mencurahkan hidupnya dan sejarahnya dalam jahitan yang
dibuat untuk membuat sebuah pakaian, entah itu baju untuk pengantin, baju dinas
suaminya, baju khusus untuk anak-anaknya yang juga di pakai untuk acara khusus,
seperti acara Kartini di sekolah.
Kebiasaan yang sungguh unik yang
jarang terjadi pada keluarga-keluarga yang lain. Tradisi ini pun terus
berlanjut sampai mempunyai cucu. Tentu saja bagi cucunya cerita-cerita masa
lampau tersebut seperti dongeng sebelum tidur. Namun tetap saja mereka
mendengarnya dengan serius. Apalagi sekarang putri-putrinya telah berkeluarga
dan berada di luar kota semuanya.
Tradisi ini terhenti ketika sang
ayah telah meninggal. Sang ibu tidak ingin mengenang lagi ayah yang telah
meninggal dan sebelumnya sangat berat diikhlaskannya. Cinta sang ibu kepada
sang ayah begitu besar karena selama bertahun-tahun mereka selalu bersama.
Sekarang mereka te;ah terpisah ruang dan waktu sehingga berat bagi sang ibu
untuk bisa menerima kenyataan bahwa teman hidupnya yang selama ini selalu di
sampingnya telah tiada. Apalagi kisah cinta mereka terjadi begitu dramatis. Sang
ayah yang seorang tentara setelah menikah langsung meninggalkan ibu sendiri di
rumah bahkan saat Mbak Ratih lahir. Hal ini tentu membuat keempat putrinya
tidak tega meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Meskipun sang ibu tetap
bersikeras untuk tinggal di rumahnya daripada ikut tinggal di rumah salah satu
putrinya. Mungkin sang ibu tidak ingin melupakan kenangan-kenangan bersama sang
ayah selama ini dengan segala kebiasaannya. Jadi keempat putrinya memutuskan
untuk secara bergiliran membelikan tiket pesawat untuk ibunya agar bisa
berjalan-jalan ke rumah putri-putrinya. Lagi-lagi sang ibu menolak dan lebih
memilih naik kereta api, mungkin dengan naik kereta sang ibu bisa mengenang
kembali masa-masa saat masih berpacaran dengan suaminya yang begitu romantis.
Lebaran berikutnya atau tepatnya
lebaran pertama tanpa kehadirang sang ayah, baju-baju yang dianggap bersejarah
selama ini ternyata telah dipotong-potong dan dijahit menjadi selembar bed cover. Kenangan yang telah dipelihara
selama ini telah menjadi lembaran yang begitu lebar yang berisi begitu banyak
macam kain yang warnanya juga beragam. Keluaga
yang awalnya sangat menghargai
sejarahnya kini setelah sang ayah meninggal menjadi biasa untuk menertawakan
sejarahnya sendiri. Kebiasaan sang ibu membuat barang-barang bermanfaat seperti
tatakan piring dan gelas atau yang lain dari baju yang tidak dipakai menjadi
kebiasaan yang tidak asing lagi. Meskipun sebenarnya baju yang didaur ulang itu
adalah baju yang bernilai sejarah bagi keluaga mereka.
Namun kebiasaan ini kembali
terhenti ketika sang ibu meninggal. Kebiasaan untuk mendaur ulang kain baju
ayng telah tidak terpakai. Keempat putrinya tentu saja sangat kehilangan sosok
ibu yang selama ini menginspirasi mereka. Bahkan mereka tidak sanggup untuk membereskan
barang-barang ibunya. Mereka baru mampu membuka barang-barang sang ibu di
lemari seminggu kemudian. Keempat putrinya sangat terkejut ketika menemui
tumpukan baju-baju ayah mereka yang tertata rapi di dalam lemari. Padahal
sebelumnya sang ibu mengatakan untuk tidak mengenang lagi sesuatu yang telah
berlalu.
Dari keterangan di atas dapat
diketahui bahwa sosok ibu yang selalu berusaha tegar di depan putri-putri dan
cucu-cucunya ternyata masih tetap menyimpan kenangan tentang suaminya yang
begitu dicintainya. Hanya baju-baju itu yang bisa mengobati rindunya terhadap
suaminya. Terlihat dari tumpukan baju yang masih utuh dan terlipat rapi. Tentu
sang ibu punya alasan sendiri mengapa ia tetap menyimpan baju-baju suaminya
yang tak seorang pun tahu dan ia bawa alasan itu sampai ajal menjemput.
Sosok ibu pada cerpen ini sangat
menginspirasi keempat putrinya. Terbukti dari kebiasaan ibunya yang gemar
menjahit juga menjadi kebiasaan keemmpat putrinya. Begitu juga setelah sang ibu
mempunyai kebiasaan mendaur ulang baju yang tak terpakai, keempat putrinya juga
sangat mendukung dengan memberikan baju-baju yang tak terpakai di keluarganya.
Sosok ibu yang diceritakan dalam cerpen ini juga sosok yang penuh ketabahan,
kesabaran, dan tanggung jawab yang besar. Sungguh cermin seorang ibu yang dapat
memberi contoh kepada anak-anaknya.
Pesan dari cerpen ini adalah
kain yang dirajut dan dijahit kemudian menjadi pakaian memiliki arti dan makna
yang mendalam bila dibuat dengan sepenuh hati, dirawat dan dijaga pula dengan
sepenuh hati. Bukan karena kekeramatannya atau kesakralannya, tapi menghargai
setiap karya yang dibuat maka nilai dari sebuah karya pun akan sama seperti
jati dirinya sendiri, dan itu harganya sangat tak ternilai. Sampai pada satu
titik pun akhirnya sang ibu memahami, bahwa, ”… kita ndak boleh termakan
kenangan, kita bisa mati merana….”. Dan dengan konsep baru itu sang ibu mulai
melakukan eksperimen dengan potongan-potongan kain bekas, entah itu baju, kain
sarung, celana, gorden atau bekas kain yang lainnya, untuk kemudian dijadikan
bermacam-macam fungsi, seperti bed cover, lap, serbet ataupun tatakan gelas.
Dengan konsep baru menjahit ibunya, pesan yang lainnya adalah, seperti yang
diungkapkan oleh penutur cerita, ”aku” Sri, ”…kini kami terbiasa menertawakan sejarah…”.
Cerpen ini sangat menarik dari
segi penceritaannya. Dapat dilihat dari segi judul yaitu “Kain Perca Ibu” tentu
diawal sudah menebak isi dari cerpen ini. Penokohan yang ada di dalamnya juga
sangat mendukung karakter ibu yang menjadi tokoh utama. Cerpen ini mampu
membawa pembacanya larut dalam cerita. Meskipun gaya penceritaannya relatif
sederhana dan mudah dipahami.
0 komentar:
Posting Komentar