Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KRITIKAN DAN REFLEKSI NASIB PEJUANG DI NEGERI YANG TELAH MERDEKA DALAM LAKON “SAMPAH NEGERI” BUAH KARYA H. ADJIM ARJADI



KRITIKAN DAN REFLEKSI NASIB PEJUANG DI NEGERI YANG TELAH MERDEKA DALAM LAKON “SAMPAH NEGERI” BUAH KARYA H. ADJIM ARJADI
Oleh: Musa Abadi

Kisah Sampah Negeri merefleksi sosok pejuang negeri ini yang mengalami kondisi ironis. Sebuah kemerdekaan bagi bangsa masih dapat dianggap semu. Kesejahteraan yang seharusnya dirasakan oleh semuanya ternyata hanya dinikmati segolongan saja. Akibatnya muncullah kasta, contohnya adanya jurang pemisah antar orang kaya dan orang miskin sangat kentara. Para pejuang yang tulus ikhlas membela tanah airpun tidak dapat mereguk manisnya hasil perjuangan tempo dulu. Mereka tidak berkehidupan layak di negeri yang dianggap gemah ripah loh jenawi.
Hal tersebut berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan kondisi pejuang bermental culas dan hipokritis yang ketika berperang dulu mereka menjadi musuh dalam selimut. Selalu ingin menyelamatkan diri sendiri dari bahaya dengan berbagai cara. Para pejuang yang tak berprinsip tersebut sekarang tertawa lepas dan bahagia. Di usia tua kehidupan layak dinikmatinya dengan hasrat kepuasan tak terbendung.  
           
Saat ini, penjajahan secara frontal berupa perang fisik oleh bangsa lain sudahlah tidak tampak lagi di Negeri Indonesia. Penjajahan sekarang lebih ke arah infiltrasi yang cakupannya dapat dipahami lebih luas dan intensif. Pada  lakon Sampah Negeri buah karya H. Adjim Arjadi nampak jelas kondisi tersebut dilukiskan. Berikut ini adalah kutipannya.
PENGEMIS              Nah, kebetulan, saya banyak menyimpan nasi bungkus,
            (SIBUK MENCARI DIANTARA ISI KERANJANGNYA)
GEL. GADIS                        Dari pesta perkawinan ?
PENGEMIS              Ah, kita tak usah perduli, dari mana datangnya. Nah, ini  
                                    mari kita sarapan bersama
                                    (Menyuguhkan)
Mari
(Mengajak Si Gadis)
GEL. TUA                 (Membuka Bungkusan) Kok, Cuma tulang melulu
PENGEMIS              Rezeki jangan ditampik.  Rezeki harus disyukuri.  Tulang
tulang sekalipun tapi banyak sum-sumnya.  Makanan   
bergizi.  Ayah, jangan malu-malu, nanti keburu siang.
GEL. TUA                 Ah, (Mencoba Mengunyah Tulang, Tapi Giginya Patah)
Waduh, bagaimana bisa mendapatkan sumsum
PENGEMIS              Jangan cari enaknya saja, Pak, Mendapatkan sumsum ayam
sama saja dengan menggali batu intan. Mana mungkin, batu
intan datang sendiri.
GEL. TUA                 Ya, tapi gigi ini.  Nih, lihat.
                                    (MENUNJUKKAN PATAHAN GIGI)
PENGEMIS              Tulang memang keras, sukar dipecahkan.  Nah, tulang
ayam muda.
(GEL. TUA MENOLAK)
PENGEMIS              Nih, bantu ayahmu, coba kau pecahkan dengan gigimu
MEREKA SEDANG ASYIK MAKAN, KEMUDIAN MEREKA DIKEJUTKAN OLEH PEMILIK TOKO
CINA                          Hayyaaa ! Bagaimana ini, kalian bikin rusak pemandangan. 
Ayo minggir, Toko mau dibuka
PENGEMIS              Kok, tak libur Ngkoh
CINA                          Apa libur libur.  Mau malas-malasan, akan makan batu ?
Hayyaa, Hidup tak boleh malas-malasan. Harus rajin, kau malas, nah akibatnya sedang kau rasakan bukan ?
PENGEMIS              Maksud saya, bukan mengatakan Ngkoh malas.  Tapi hari
ini hari libur Nasional.  Hari Raya Indonesia.
GEL.TUA                  Iya ya.. Tujuh Belas Agustus
GEL. GADIS                        Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
CINA                          Siapa larang orang mau jualan, sana minggir, halaman toko
jangan dikotori.  Kalian hamburkan tulang tulang itu ya ? Kalian hamburkan wabah penyakit.  Itu kotor merusak kota.  Pemadangan jelek.
CINA                          Siapa larang orang mau jualan, sana minggir, halaman toko
jangan dikotori.  Kalian hamburkan tulang tulang itu ya ? Kalian hamburkan wabah penyakit.  Itu kotor merusak kota.  Pemadangan jelek.
GEL. GADIS                        Ayah. Ayahkan tak pernah pisah dengan bendera
GEL. TUA                 O….. ya aku lupa dengan hari bersejarah kita
(MENGAMBIL) DI DALAM BAJUNYA, RUPA-RUPANYA BENDERA ITU TERBELIT DI PINGGANGNYA).
Ini dia.  Merah Putih.
CINA                          Mau dipasang itu Bendera ?   Disini tidak boleh
PENGEMIS              Dan saya juga banyak menyimpan hiasan merah putih
(MENGAMBILNYA DARI DALAM KERANJANG). 
Nah..
(HIASAN RANTAI KERTA MERAH PUTIH).
GEL. GADIS            Bagus sekali.  Kita harus turut merayakan.  Dan kita harus menghiasi tempat tinggal kita ini.
CINA                          Apa ! Menghias tempat tinggal kalian ? Dimana ?
PENGEMIS              Saya tak punya tanah dan tak punya rumah.  Di desa memang ada.  Tapi luas tanah terbatas pada seluas kuburan orang tua dan isteri saya.  Cuma itu.  Nah, kalau boleh saya ungin menghias muka took ini saja.
CINA                          Tidak bisa !
GEL. TUA                 Betul juga.  Ini bukan milik kita
PENGEMIS              Tapi hari kemerdekaan harus kita sambut dengan meriah.  Kita punya bendera Merah Putih.  Dan kita juga punya hiasan kebangsaan.
CINA                          Pokoknya kalian jangan bikin kacau dengan sampah-sampah itu.  Ayah ! Menjauh.  Akibat kalian buka toko ini jadi berantakan dan kotor.  Ayah !! sebelum polisi kota menyalahkan saya, agar kalian menjauh dengan segera

Kritikan pedas diutarakan secara implisit oleh pengarang kepada penguasa dalam naskah ini.  Kritikan tersebut berbentuk simbol dialog yang sarat akan muatan politis. Untuk lebih menangkap dan memahami makna simbol dialog tersebut perlu adanya kontemplasi secara komprehensif yang dilakukan melalui bantuan sebuah pemikiran analogi secara mendalam yang menghubungkan dialog  tersebut dengan sebuah fakta dan realitas sosial yang terjadi di sekitar kita.  
Dalam karya ini memiliki pesan yang tersembunyi. Pengarang berpesan kepada para penguasa agar memperhatikan nasib para pejuang dengan lihat secara kasat mata kondisi mereka dan pengaran juga berpesan bahwa dalam negara yang berdaulat ini terdapat gambaran sosok sebagian etnis di Indonesia yang dianggap kurang memiliki rasa nasionalisme.
Mereka berperilaku layaknya pedagang yang tak mau rugi dan selalu mengambil keuntungan di setiap kesulitan bangsa terutama rakyat pribumi. Mereka tega memberikan ampas dari sesuatu yang telah ia nikmati kepada rakyat pribumi asli. Bermuka manis dihadapan penguasa adalah tabiat utamanya yang secara turun temurun mendarah daging. Tujuan utamanya hanyalah memperlicin gerak langkah mereka di berbagai bidang demi mengeruk sebuah keuntungan yang sangat besar dan fantastis. Etnis yang dimaksud adalah etnis Cina.
Para pejuang yang notabene adalah bangsa pribumi menjadi penduduk yang secara tidak langsung termarginalkan di tanah tumpah darahnya sendiri. Bahkan, hal yang membuat hati kita lebih miris adalah antar penduduk pribumi di adu domba oleh segelintir etnis ini. Memang etnis ini lahir dan berdomisili di Indonesia namun sikap mereka menunjukkan hal yang sangat kontradiktif dengan rasa nasionalisme. Sang pengarang menggambarkan sikap mereka kurang menghormati hari yang sangat bersejarah di Indonesia. Mereka tetap membuka toko ketika sedang diperingati hari libur nasional yaitu hari lahirnya Bangsa Indonesia.  
Kritik pedas terhadap para penguasa tidak hanya berhenti pada dialog tersebut diata. Kritikan pedas masih berlanjut pada dialog selanjutnya. Seperti berikut ini.
LELAKI                    Semua kita perlu makan. Rezeki diatas bumi Indonesia ini tidak saja untuk si Ngkoh. Tidak pula untuk nyonya parlente itu. Semuanya adalah milik kita.
PENGEMIS              Termasuk emas intan di dalam toko cina itu.
CINA                          Mana bisa. Harta benda itu milik saya. Milik kalian ? Hayyyaaaa.
GEL. TUA                 Saya berjuang dengan darah dan keberanian. Semata untuk kemerdekaan.
GEL. GADIS                        Kita sekarang sudah merdeka
PENGEMIS              Harta kekayaan ada diatas darah dan kemerdekaan
LELAKI                    Yah, ada di dalam toko Cina itu.
CINA                          Mau apa kalian ?
PENGEMIS              Selama ini santapan saya cuma nasi dan sisa tulang-tulang.
GEL. TUA                 Kita punya hak.

                        Terjadinya sikap yang arogansi yang ditunjukkan oleh GEL. TUA pada dialog tersebut merupakan suatu respek atas tindakan Cina yang kurang memiliki hati nurani terhadap penduduk pribumi. Sikap Cina menyulut emosi karena secara fundamental mereka tidak turut dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan Negara Indonesia.  
Kritikan tajam juga terdapat pada dialog berikut ini. Ketika pengemis mengajak tokoh SUAMI yang notabene dalam cerita merupakan pejabat diajak untuk ikut menjarah toko CINA tetapi dihalang-halangi oleh tokoh ISTERI. Tokoh PENGEMIS menuduh tokoh SUAMI dengan sebuah ungkapan yang secara maknawi kurang berempati dan penuh dengan keculasan. Terdapat juga sebuah makna pembenaran sikap yang sebetulnya salah.
SUAMI                       Untuk keperluan apa ?
PENGEMIS              Sok moralis.
LELAKI                    Yah, sok jujur. Apa beda pekerjaan saya ini dengan manipulasi yang kau lakukan selama ini.
ISTERI                      Kau jangan menghina suami saya. Sudah hamper separo dari kekayaan suami saya disumbangkan untuk kepentingan sosial.
LELAKI                    Separo dari kekayaan suami nyonya sudah diamalkan.
ISTERI                      Untuk kepentingan pendidikan dan anak yatim
LELAKI                    Lantas kau anggap bahwa noda hitam didahimu ini sudah bisa dihapuskan ?
           
Makna simbolis yang terdapat dalam naskah drama ini tidak hanya terdapat pada dialog tetapi juga ditemukan pada narasi. Seperti yang terdapat pada dialog berikut ini.
CINA MENGAMBIL KESEMPATAN UNTUK LARI, PENGEMIS MENCEGAT DENGAN TOMBAK.

LELAKI                    Dasar Cina ! Mau lari dengan cara tidak jujur ?
ISTERI                      Begini saja. Daripada kalian terkena tindak criminal. Lebih baik berbuat jujur saja.
LELAKI                    Kami sudah terlalu jujur.
ISTERI                      Dengan merampok harta si Cina ?
LELAKI                    Dan kau masih ingat ? Apa yang kamu ingat di zaman perang ? Berapa banyak korban nyawa pejuang, akibat penghianatanmu.
SUAMI                       Masa lalu, bukan lagi masa kini
GEL. TUA                 Bagi kamu justru punya kesamaan antara masa lalu dengan masa kini. Dulu pada saat Pemerintahan Belanda sedang Berjaya, kamu ikut Berjaya.
LELAKI                    Tampangmu saja sebagai pejuang, tapi wataknya selicin belut.
GEL. GADIS                        Manusia licik !
GEL. TUA                 Dan sekarang, disaat pejuang sejati tengah menata Negara ini, kami tahu kamu tampil sebagai orang pintar sebagai orang nomor satu dibarisan kemerdekaan.
PENGEMIS              Zaman tak akan pernah merobah kita jadi bodoh, tapi           orang-orang pinterlah yang selalu menganggap dirinya pinter, dan menciptakan diri seperti kita jadi bodoh.
GEL. TUA                 Masuk pinter juga kamu.
PENGEMIS              Tapi masih banyak orang lebih pinter yang menganggap kita orang bodoh.

            Pada narasi tersebut tokoh Cina dianggap berakal bulus yang selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan orang lain. Hal tersebut merupakan sindiran yang ditujukan kepada segolongan etnis yang tinggal di Negara Indonesia bermental kerdil. Sedangkan pada dialog selanjutnya pengarang ingin menunjukkan bahwa diantara para pejuang ternyata ada yang tidak secara ikhlas berjuang demi bangsa dan negaranya. Mereka berwatakkan bunglon. Pada dialog berikut ini menggambarkan ungkapan yang terdalam dari dalam hati oleh sosok pejuang yang berperan menjadi gelandangan tua.
GEL. TUA                 Saya inikan pejuang. Pangeran Kumba Karna itu, pernah jadi komandan saya. Lalu Belanda angkat kaki dari bumi Haram Manyarah ini. Setalah Indonesia merdeka, sebahagian para pejuang banyak yang iri kepada orang-orang pejuang yang pinter bersama orang-orang yang tidak pernah berjuang, mendapat kedudukan yang nyaman serta jadi kaya. Tapi yang merasa kecewa menghimpun kekuatan. Oleh pemerintah yang berkuasa disebut gerombolan jahat, dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Memang benar. Mereka diburu. Mereka ditindas. Mereka dibunuh. Na, Puteri saya hamper jadi korban. Saya jadi bingung. Dari pihak gerombolan menganggap saya musuhnya, dengan menculik puteri saya ini. Sementara dari penguasa tidak menghiraukan saya. Maka jadilah saya seperti sekarang ini. Tak ada uang jasa atau uang pensiun.
ISTERI                      Itu kesalahan bapak sendiri. Terlalu pasrah. Tidak mau memperjuangkan nasib sendiri.

            Naskah lakon Sampah Negeri merupakan naskah yang ditulis di kota Banjarmasin, 10 Agustus 1982 dan direvisi pada bulan Januari 2001. Naskah ini sarat akan kritikan tajam kepada penguasa negeri ini. Setiap dialog mengandung makna yang sedikit banyak masih relevan dengan nasib para pejuang atau pahlawan bangsa hingga saat ini. Naskah drama ini dapat dinikmati dengan dibaca dan dipertontonkan. Apabila naskah drama ini dipertontonkan maka kesan yang ditampilkan lebih jauh bermakna.
Naskah drama ini secara komprehensif sangat bagus dan menarik. Isu-isu yang diangkat dapat dianggap tidak ketinggalan jaman walaupun sudah ditulis 31 tahun lalu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar