Sikap Kejujuran
Seorang Anak dalam Naskah Drama
“Sang
Pemahat” Karya Arswendo Atmowiloto
Karya:
Febri Dwi Hariyanto
I.
Pendahuluan
Drama merupakan salah
satu jenis karya sastra yang dapat dipentaskan di depan khalayak umum. Menurut
KBBI, drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat
menggambarkan kehidupan atau watak melalui tingkah laku dan dialog yang
dipentaskan. Akan tetapi, sebelum sebuah drama dipentaskan di depan khalayak
umum, ada kalanya jika drama harus ada naskahnya terlebih dahulu. Naskah drama adalah bentuk penyajian dalam tulisan yang disusun
sedemikian rupa berdasarkan alur cerita. Ciri khas naskah drama, yakni adanya
cakapan atau lakon dalam naskah drama
tersebut. Dalam penyusunan dialog ini, pengarang harus benar-benar
memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari.
Berawal dari naskahlah suatu drama dapat dipentaskan karena di dalam naskah
segala bentuk petunjuk lakuan sudah ada, seperti dialog, prolog, kramagung,
monolog, dan epilog serta bagian-bagian penting dalam naskah drama.
Naskah
drama Sang Pemahat karya Arswendo
Atmowiloto ini pernah memenangkan hadiah pada sayembara penulisan naskah
sandiwara anak-anak, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976.
Dalam menulis naskah drama ini, Arswendo memilih tema kejujuran dan rasa
semangat yang dimiliki oleh anak usia 11 tahun. Anak yang masih bersekolah
sebagai pelajar kelas 5 SD dengan segala kepolosannya. Selain itu, penulis juga
menjadikan anak usia 11 tahun sebagai tokoh utama dalam naskah drama ini.
Disamping itu, naskah drama ini akan jauh lebih “hidup” apabila dipentaskan.
Cerita yang menarik yang penuh akan nilai-nilai kejujuran dan rasa semangat juga
menjadi nilai tambah dalam naskah drama ini.
Amat
adalah seorang anak berusia 11 tahun dan masih bersekolah sebagai pelajar kelas
5 SD. Amat adalah seorang anak yang hidup di daerah Kali Putih, sebuah desa
yang berada tepat di bawah lereng gunung Merapi dan merupakan desa yang penuh
akan bebatuan besar. Selain itu, Amat adalah sosok anak yang jujur dan penuh
dengan kepolosan. Akan tetapi, dibalik itu semua dia juga pandai dalam memahat
batu-batu besar yang ada di sekitar tempat tinggalnya menjadi sebuah
patung-patung yang unik dan menarik ditambah lagi dengan rasa semangat yang
membara dalam memahat batu-batu besar itu menjadi patung-patung yang unik.
Kepandaian yang dimiliki Amat dalam memahat diwariskan oleh ayahnya. Ayahnya
memang seorang pemahat yang ulung. Hal itu dibuktikan dengan hasil pahatan yang
bagus dan unik. Salah satu hasil pahatannya ialah patung Adipati Karna yang
dipamerkan di salah satu museum di Semarang dan dibeli oleh seorang pejabat di
sana.
Suatu
ketika kejujuran Amat diuji. Suatu hari setelah mendapat kabar bahwa patung
Adipati Karna hasil karya ayah Amat yang dipamerkan di Semarang mendapat
penghargaan nomor satu dari pak Gubernur dan dibeli dengan harga yang bisa
dibilang sudah tinggi dan mahal, walau hanya sebesar lima puluh ribu rupiah.
Akan tetapi, bagi orang desa Kali Putih harga lima puluh ribu sudah mahal.
Mendengar berita akan penghargaan dan terjualnya patung Adipati Karna karya pahatan
ayah Amat, Pak Bupati dan Pak Gubernur memberikan hadiah berupa penghargaan dan
uang kepada Amat yang diserahkan di sekolah. Namun, tak disangka setelah
beberapa hari kemudian, Amat mengembalikan semua hadiah tersebut. Tindakan Amat
tersebut membuat semua pihak sekolah dan teman-teman Amat kaget dan kecewa.
Keputusan Amat untuk mengembalikan semua hadiah tersebut penuh dengan
pertimbangan salah satunya ialah bahwa hasil pahatan berupa patung Adipati
Karna bukanlah hasil karya Amat, melainkan hasil karya ayahnya sedangkan Amat
hanya membantu saja.
Kejujuran
Amat ini membuat semua pihak kecewa bahkan semua teman-teman Amat menjauhi
Amat. Namun, Amat tidak merasa dijauhi, justru dengan tindakannya tersebut Amat
berpikir bahwa ia harus membuat patung yang memang murni hasil karyanya
sendiri. Sehingga hadiah dari pak bupati dan pak gubernur pantas untuk ia
dapatkan. Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, Amat pergi meninggalkan
rumah demi mewujudkan semua impiannya, yakni dapat membuat patung hasil
patahannya sendiri. Amat mempunyai rencana bahwa ia akan membuat patung Budha
bersemadi seperti pada candi Borobudur dari batu-batu besar milik ayahnya.
Melihat kesungguhan Amat, membuat para pejabat di daerah Kali Putih merasa bangga
akan rasa semangat yang tinggi dan rasa kejujuran yang dimiliki Amat, anak
berusia 11 tahun. Hal ini membuat para pejabat yang dulu pernah memberi
penghargaan kepada Amat, sekarang kembali lagi ke sekolah Amat untuk memberikan
penghargaan yang dulu Amat kembalikan. Walaupun Amat belum selesai membuat
patung Budha bersemadi, tetapi usaha dan kerja keras dan rasa semangat yang
tinggi dalam diri Amat membuat nama Amat dan desanya menjadi terkenal dan maju
akan hasil pahatan yang unik dan menarik.
Sikap
jujur yang penuh akan keluguan yang ditunjukkan oleh Amat, nampak sekali dalam
kutipan dialog naskah drama Sang Pemahat
berikut ini.
Amat : Itu soal mudah. Kawan semua,
jangan berkecil hati. Kalaupun saya menang itu bukan berarti lebih dari kalian
semua. Bapak Gubernur ingin membantu sekolahan kita. Jadi kalau aku tidak ikut,
hadiah itu akan diberikan salah seorang dari kita.
Yanti
: Mengapa kau begitu lancang?
Amat
: Apakah ada yang keliru tata bahasanya?
Permadi : Mengapa kau berkata
seperti itu?
Amat : Bukankah itu wajar? Kalian
tahu sendiri. Kita semua membuat patung batu. Patungku tidak istimewa.
Kristanto membuat patung Karna juga. Manowo malah membuat patung Gatotkaca.
Lebih besar dan lebih bagus. Semua anak Kali Putih membuat patung. Seperti juga
orang tuanya.
Permadi : Tapi kaulah yang terbaik.
Amat : Ini tidak jujur.
Yanti : Apa?
Amat : Ini tidak
jujur.
Yanti : Apanya yang tidak jujur?
Amat : Aku mengerjakan bersama
ayah.
Semua : Ssssssttttttt….
Yanti : Jangan keras-keras nanti
kedengaran Pak Bupati.
Amat : Jadi kau tahu?
Yanti : Ya.
Amat : Sejak semula kau tahu?
Yanti : Ya. Bahwa ayah yang memilih
batu. Meski kau yang memberikan sketsa Karna sedang mendongak ke langit.
Amat : Seharusnya Ayah yang
menerima hadiah itu.
Yanti : Tak mungkin.
Amat : Memang tidak. Karena ayah
tidak sekolah. Aku sendiri tidak berhak menerima. Sebaiknya kukembalikan saja.
Sebelum Bapak Bupati pergi.
(Amat memberontak dari kerumunan,
ia mencoba lepas. Permadi menahan sekuat tenaga. Memegang baju Amat dengan
serentak keras dan menarik)
Permadi : Jangan, Mat. Jangan, Mat.
Jangan. Tidakkah kau berpikir bahwa jika kau kembalikan sekolah kita tidak
nomer satu?
Amat : Memang tidak.
Permadi : Gila kau.
Amat : Tetapi aku tidak berhak atas
uang itu. Bayangkan lima puluh ribu rupiah. Betapa besar dosa yang kutanggung.
Tedi : Itu soal uang. Tapi yang
kita persoalkan, mengenai penghargaan yang diberikan sekolah kita. Apakah
kebanggaan ini akan kau buyarkan begitu saja? Sebagai ketua umum aku tak suka
kamu main gila.
(Amat menahan langkah. Semua
memandang ke arahnya. Yanti mendekati dan membelai adiknya).
Yanti : Meskipun kita tidak
serumah, karena aku di rumah paman, tetapi aku mengetahui pasti kerisauanmu.
Aku menyadari. Namun kau tak usah mengembalikan.
Amat : Aku tak bisa membohongi
diriku sendiri.
Yanti : Kau perlu berkorban
sedikit. Untuk kepentingan bersama.
Tedi : Seluruh sekolahan…
Yanti : Memang berat, tapi kau
harus menahan diri. Supaya kita semua tidak malu.
(Amat bimbang. Teman-temannya
senang melihat perubahan ini).
Amat : Aku harus mengembalikan.
Yanti : Jika aku melarang?
Tedi : dan seluruh teman
menghalangimu?
Manowo : Jangan serahkan dulu. Kita
panggil Pak Guru.
(Manowo berjalan diantara
kerumunan. Kemudian kembali bersama Pak Broto yang kemudian membujuk namun
kelihatannya tiada hasil. Jalan buntu. Pak Broto pergi dan kembali bersama Pak
Indra, Pak Lurah dan Pak Camat. Amat dikelilingi).
Pak Indra : Apakah putusanmu tidak
berubah?
Amat
: Tetap, Pak.
Pak Indra : Apakah kau ingin
kelihatan gagah?
Ataukah kau merasa seorang jagoan?
(Amat menunduk. Tangannya yang
memegang amplop gemetar).
Amat : Tidak.
Pak Indra : Uang itu bisa disimpan
dalam Tabanas. Dikemudian hari kau pasti memerlukan. Pasti. Untuk bayaran
sekolah bulan lalu dan untuk sekolahmu yang akan datang. Pikirkan dulu sebelum
kau serahkan.
Amat : Semalam saya telah yakin apa
yang harus saya kerjakan. Saya malu karena ini bukan hak saya.
Pak Indra : Kau mengerti akibatnya
untuk sekolahan kita?
Amat : Ya. Telah saya pikirkan.
Apakah Pak Indra melarang saya mengembalikan?
Pak Indra : Tidak. Saya tak
melarang. Pak Lurah tak melarang. Pak Camat tak melarang. Tetapi ingatlah.
Akibat untuk dirimu, untuk sekolahmu, dan untuk desa semua. Saran saya boleh
diturut dan boleh tidak.
(Amat mendongak, dipegangnya amplop
itu).
Amat : Akan Saya Kembalikan. (Amat
Berjalan. Menuju Pak Bupati. Dengan Gemetar Diserahkan Kembali Amplop Itu). Maaf.
Dengan sangat menyesal saya kembalikan amplop dan penghargaan dari Pak
Gubernur. Saya tidak berhak menerima. Patung tersebut saya kerjakan bersama ayah
saya.
Sikap
jujur Amat tersebut juga diapresiasi oleh Pak Gubernur seperti pada cuplikan
dialog berikut ini.
Pak Gubernur : Saya hanya ingin
menjabat tangan Amat. Supaya kejujuran mengalir pada saya. Kejujuran sangat
dibutuhkan, pada saat-saat dilalaikan. Amat telah memperlihatkan. Ketika
mengembalikan hadiah. Akan tetapi sesungguhnya Amat sah mendapat hadiah itu.
(TERDENGAR TEPUK TANGAN). Bahwa sketsa patung Adipati Karna mendongak ke langit
itu dibuat Amat adalah suatu bukti. Bahwa ia masih ikut mengerjakan bersama
dengan ayahnya, itu suatu bukti. Bahwa Amat pemahat. Di jaman maju kini, kerja
sudah demikian erat dan besarnya. Seorang desainer batik hanya merancang
malahan. Ia bekerja sama dengan pembuat batik. Saya tak ingin pidato panjang
lebar. Karena semua sudah tahu apa yang terjadi. Kalau saya memuji Amat sebagai
anak jujur dan mampu, itu tidak untuk membuatnya besar kepala. Semoga pujian
ini dapat mendorong langkahnya lebih jauh. Mendorong teman-temannya. Mendorong
desa Kali Putih. Semoga keinginannya membuat “Borobudur kedua” bukan hanya
angan-angan kala sedih. (TERHENTI SEBENTAR). Yang mengatakan Amat seorang
pemahat bukan saya. Tetapi pendapat pemahat lain yang lebih mengetahui. Semoga
keterangan ini bisa lebih memuaskan Amat, dan keluarganya. (SUASANA BENAR-BENAR
GEMBIRA SETELAH AMAT MENERIMA PENGHARGAAN).
Dari kutipan dialog
yang diucapkan oleh Pak Gubernur, nampak bahwa pak Gubernur sangat bangga akan
sikap Amat yang masih menjunjung tinggi rasa kejujuran. Selain pak Gubernur
yang menyatakan bahwa Amat adalah anak yang jujur, pernyataan jujur pun
dinyatakan oleh Amat sendiri, seperti nampak pada kutipan dialog berikut.
Suroto : Apakah benar jika kau
tidak mengatakan bahwa itu patung buatanmu bersama tak ada yang tahu?
Amat : Mungkin. Tetapi, kejujuran
bermula dari hatiku sendiri.
Dari kutipan dialog
tersebut menyiratkan bahwa, sikap jujur yang dimiliki Amat sudah ia miliki
sejak kecil dan orang tuanyalah yang mengajari Amat untuk selalu berbuat jujur
pada siapa saja termasuk pada dirinya sendiri, terbukti dengan kutipan dialog “Mungkin. Tetapi, kejujuran bermula dari
hatiku sendiri”. Sikap jujur memang sangat perlu ditanamkan sejak kecil.
Dengan sikap jujur yang sudah dimiliki dan ditanamkan sejak kecil, maka dalam
menjalani kehidupan sehari-hari akan merasa tenang dan nyaman tanpa
dibayang-bayangi rasa takut akan kesalahan.
Secara keseluruhan,
sikap jujur memang sudah sepatutnya kita junjung tinggi. Terlebih lagi, pada
zaman yang sudah modern ini banyak sekali para penguasa yang masih banyak
melakukan perbuatan atau sikap tidak jujur, seperti pada kasus para pejabat
yang melakukan KKN atau menyalahgunakan hak-hak untuk rakyat kecil. Hal-hal
tersebut seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pejabat yang menjadi wakil
rakyat. Akan tetapi, sikap dan perbuatan mereka justru sebaliknya. Berkaitan
dengan peryataan di atas, setidaknya para pejabat bisa bercermin dan belajar
dari kisah dalam naskah drama Sang
Pemahat karya Arswendo Atmowiloto, yang menceritakan sikap dan nilai-nilai
kejujuran yang dimiliki oleh seorang anak berusia 11 tahun. Dengan banyak
pilihan untuk menerima atau mengembalikan sebuah penghargaan yang diberikan
kepadanya dengan tujuan untuk memajukan dan mengharumkan nama sekolahnya, ia
rela mengembalikan penghargaan tersebut karena ia tahu yang sebenarnya layak
untuk menerima penghargaan itu ialah ayahnya karena ayahnyalah yang membuat
sesuatu karya seni yang menjadikan penghargaan tersebut diberikan kepadanya. Walaupun
pada awalnya semua teman-teman dan gurunya menganggap sikap jujur yang ia
lakukan adalah tindakan bodoh yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Akan
tetapi, sikap jujur yang ia punyai dan pegang teguh akhirnya berbuah manis. Maka
dari itu, bersikap dan bertindaklah jujur karena dengan sikap jujur yang kita
miliki akan menjadikan kehidupan kita menjadi tenang dan tentram tanpa
dibayang-bayangi rasa bersalah.
III.
Penilaian
Membaca dan
melihat keseluruhan naskah drama Sang
Pemahat karya Arswendo Atmowiloto ini sangat menarik. Kemenarikan naskah
drama ini dikarenakan dalam menulis naskah drama ini, penulis menjadikan anak
usia 11 tahun yang berstatus sebagai pelajar kelas 5 SD sebagai tokoh utama. Dengan
mengangkat tokoh utama anak usia 11 tahun yang penuh akan keluguannya dan sifat
kejujurannya, menjadikan naskah drama ini meraih penghargaan dari Dewan
Kesenian Jakarta pada tahun 1976 dalam sayembara penulisan naskah sandiwara
anak-anak. Selain itu, penghargaan dan kemenangan yang diberikan pada penulis
memang layak dan pantas karena tema cerita yang diangkat dan keseluruhan isi cerita
yang sarat akan nilai-nilai kejujuran dan rasa semangat yang tinggi yang
dimiliki oleh seorang anak usia 11 tahun. Alangkah lebih bagus dan lebih “hidup”
bila naskah drama Sang Pemahat karya
Arswendo Atmowiloto ini dipentaskan dengan karakter tokoh utama dan para tokoh
pendukung lainnya sesuai dengan naskah drama ini.
0 komentar:
Posting Komentar