Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sikap Kejujuran Seorang Anak dalam Naskah Drama “Sang Pemahat” Karya Arswendo Atmowiloto



Sikap Kejujuran Seorang Anak dalam Naskah Drama
“Sang Pemahat” Karya Arswendo Atmowiloto
Karya: Febri Dwi Hariyanto

I.     Pendahuluan
Drama merupakan salah satu jenis karya sastra yang dapat dipentaskan di depan khalayak umum. Menurut KBBI, drama adalah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan atau watak melalui tingkah laku dan dialog yang dipentaskan. Akan tetapi, sebelum sebuah drama dipentaskan di depan khalayak umum, ada kalanya jika drama harus ada naskahnya terlebih dahulu. Naskah drama adalah bentuk penyajian dalam tulisan yang disusun sedemikian rupa berdasarkan alur cerita. Ciri khas naskah drama, yakni adanya cakapan atau lakon dalam naskah drama tersebut. Dalam penyusunan dialog ini, pengarang harus benar-benar memperhatikan pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Berawal dari naskahlah suatu drama dapat dipentaskan karena di dalam naskah segala bentuk petunjuk lakuan sudah ada, seperti dialog, prolog, kramagung, monolog, dan epilog serta bagian-bagian penting dalam naskah drama.
Naskah drama Sang Pemahat karya Arswendo Atmowiloto ini pernah memenangkan hadiah pada sayembara penulisan naskah sandiwara anak-anak, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976. Dalam menulis naskah drama ini, Arswendo memilih tema kejujuran dan rasa semangat yang dimiliki oleh anak usia 11 tahun. Anak yang masih bersekolah sebagai pelajar kelas 5 SD dengan segala kepolosannya. Selain itu, penulis juga menjadikan anak usia 11 tahun sebagai tokoh utama dalam naskah drama ini. Disamping itu, naskah drama ini akan jauh lebih “hidup” apabila dipentaskan. Cerita yang menarik yang penuh akan nilai-nilai kejujuran dan rasa semangat juga menjadi nilai tambah dalam naskah drama ini.
II.  Analisis
Amat adalah seorang anak berusia 11 tahun dan masih bersekolah sebagai pelajar kelas 5 SD. Amat adalah seorang anak yang hidup di daerah Kali Putih, sebuah desa yang berada tepat di bawah lereng gunung Merapi dan merupakan desa yang penuh akan bebatuan besar. Selain itu, Amat adalah sosok anak yang jujur dan penuh dengan kepolosan. Akan tetapi, dibalik itu semua dia juga pandai dalam memahat batu-batu besar yang ada di sekitar tempat tinggalnya menjadi sebuah patung-patung yang unik dan menarik ditambah lagi dengan rasa semangat yang membara dalam memahat batu-batu besar itu menjadi patung-patung yang unik. Kepandaian yang dimiliki Amat dalam memahat diwariskan oleh ayahnya. Ayahnya memang seorang pemahat yang ulung. Hal itu dibuktikan dengan hasil pahatan yang bagus dan unik. Salah satu hasil pahatannya ialah patung Adipati Karna yang dipamerkan di salah satu museum di Semarang dan dibeli oleh seorang pejabat di sana.
Suatu ketika kejujuran Amat diuji. Suatu hari setelah mendapat kabar bahwa patung Adipati Karna hasil karya ayah Amat yang dipamerkan di Semarang mendapat penghargaan nomor satu dari pak Gubernur dan dibeli dengan harga yang bisa dibilang sudah tinggi dan mahal, walau hanya sebesar lima puluh ribu rupiah. Akan tetapi, bagi orang desa Kali Putih harga lima puluh ribu sudah mahal. Mendengar berita akan penghargaan dan terjualnya patung Adipati Karna karya pahatan ayah Amat, Pak Bupati dan Pak Gubernur memberikan hadiah berupa penghargaan dan uang kepada Amat yang diserahkan di sekolah. Namun, tak disangka setelah beberapa hari kemudian, Amat mengembalikan semua hadiah tersebut. Tindakan Amat tersebut membuat semua pihak sekolah dan teman-teman Amat kaget dan kecewa. Keputusan Amat untuk mengembalikan semua hadiah tersebut penuh dengan pertimbangan salah satunya ialah bahwa hasil pahatan berupa patung Adipati Karna bukanlah hasil karya Amat, melainkan hasil karya ayahnya sedangkan Amat hanya membantu saja.
Kejujuran Amat ini membuat semua pihak kecewa bahkan semua teman-teman Amat menjauhi Amat. Namun, Amat tidak merasa dijauhi, justru dengan tindakannya tersebut Amat berpikir bahwa ia harus membuat patung yang memang murni hasil karyanya sendiri. Sehingga hadiah dari pak bupati dan pak gubernur pantas untuk ia dapatkan. Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, Amat pergi meninggalkan rumah demi mewujudkan semua impiannya, yakni dapat membuat patung hasil patahannya sendiri. Amat mempunyai rencana bahwa ia akan membuat patung Budha bersemadi seperti pada candi Borobudur dari batu-batu besar milik ayahnya. Melihat kesungguhan Amat, membuat para pejabat di daerah Kali Putih merasa bangga akan rasa semangat yang tinggi dan rasa kejujuran yang dimiliki Amat, anak berusia 11 tahun. Hal ini membuat para pejabat yang dulu pernah memberi penghargaan kepada Amat, sekarang kembali lagi ke sekolah Amat untuk memberikan penghargaan yang dulu Amat kembalikan. Walaupun Amat belum selesai membuat patung Budha bersemadi, tetapi usaha dan kerja keras dan rasa semangat yang tinggi dalam diri Amat membuat nama Amat dan desanya menjadi terkenal dan maju akan hasil pahatan yang unik dan menarik.
Sikap jujur yang penuh akan keluguan yang ditunjukkan oleh Amat, nampak sekali dalam kutipan dialog naskah drama Sang Pemahat berikut ini.
Amat : Itu soal mudah. Kawan semua, jangan berkecil hati. Kalaupun saya menang itu bukan berarti lebih dari kalian semua. Bapak Gubernur ingin membantu sekolahan kita. Jadi kalau aku tidak ikut, hadiah itu akan diberikan salah seorang dari kita.
Yanti : Mengapa kau begitu lancang?
Amat : Apakah ada yang keliru tata bahasanya?
Permadi : Mengapa kau berkata seperti itu?
Amat : Bukankah itu wajar? Kalian tahu sendiri. Kita semua membuat patung batu. Patungku tidak istimewa. Kristanto membuat patung Karna juga. Manowo malah membuat patung Gatotkaca. Lebih besar dan lebih bagus. Semua anak Kali Putih membuat patung. Seperti juga orang tuanya.
Permadi : Tapi kaulah yang terbaik.
Amat : Ini tidak jujur.
Yanti : Apa?
Amat : Ini tidak jujur.
Yanti : Apanya yang tidak jujur?
Amat : Aku mengerjakan bersama ayah.
Semua : Ssssssttttttt….
Yanti : Jangan keras-keras nanti kedengaran Pak Bupati.
Amat : Jadi kau tahu?
Yanti : Ya.
Amat : Sejak semula kau tahu?
Yanti : Ya. Bahwa ayah yang memilih batu. Meski kau yang memberikan sketsa Karna sedang mendongak ke langit.
Amat : Seharusnya Ayah yang menerima hadiah itu.
Yanti : Tak mungkin.
Amat : Memang tidak. Karena ayah tidak sekolah. Aku sendiri tidak berhak menerima. Sebaiknya kukembalikan saja. Sebelum Bapak Bupati pergi.
(Amat memberontak dari kerumunan, ia mencoba lepas. Permadi menahan sekuat tenaga. Memegang baju Amat dengan serentak keras dan menarik)
Permadi : Jangan, Mat. Jangan, Mat. Jangan. Tidakkah kau berpikir bahwa jika kau kembalikan sekolah kita tidak nomer satu?
Amat : Memang tidak.
Permadi : Gila kau.
Amat : Tetapi aku tidak berhak atas uang itu. Bayangkan lima puluh ribu rupiah. Betapa besar dosa yang kutanggung.
Tedi : Itu soal uang. Tapi yang kita persoalkan, mengenai penghargaan yang diberikan sekolah kita. Apakah kebanggaan ini akan kau buyarkan begitu saja? Sebagai ketua umum aku tak suka kamu main gila.
(Amat menahan langkah. Semua memandang ke arahnya. Yanti mendekati dan membelai adiknya).
Yanti : Meskipun kita tidak serumah, karena aku di rumah paman, tetapi aku mengetahui pasti kerisauanmu. Aku menyadari. Namun kau tak usah mengembalikan.
Amat : Aku tak bisa membohongi diriku sendiri.
Yanti : Kau perlu berkorban sedikit. Untuk kepentingan bersama.
Tedi : Seluruh sekolahan…
Yanti : Memang berat, tapi kau harus menahan diri. Supaya kita semua tidak malu.
(Amat bimbang. Teman-temannya senang melihat perubahan ini).
Amat : Aku harus mengembalikan.
Yanti : Jika aku melarang?
Tedi : dan seluruh teman menghalangimu?
Manowo : Jangan serahkan dulu. Kita panggil Pak Guru.
(Manowo berjalan diantara kerumunan. Kemudian kembali bersama Pak Broto yang kemudian membujuk namun kelihatannya tiada hasil. Jalan buntu. Pak Broto pergi dan kembali bersama Pak Indra, Pak Lurah dan Pak Camat. Amat dikelilingi).
Pak Indra : Apakah putusanmu tidak berubah?
Amat : Tetap, Pak.   
Pak Indra : Apakah kau ingin kelihatan gagah?
Ataukah kau merasa seorang jagoan?
(Amat menunduk. Tangannya yang memegang amplop gemetar).
Amat : Tidak.
Pak Indra : Uang itu bisa disimpan dalam Tabanas. Dikemudian hari kau pasti memerlukan. Pasti. Untuk bayaran sekolah bulan lalu dan untuk sekolahmu yang akan datang. Pikirkan dulu sebelum kau serahkan.
Amat : Semalam saya telah yakin apa yang harus saya kerjakan. Saya malu karena ini bukan hak saya.
Pak Indra : Kau mengerti akibatnya untuk sekolahan kita?
Amat : Ya. Telah saya pikirkan. Apakah Pak Indra melarang saya mengembalikan?
Pak Indra : Tidak. Saya tak melarang. Pak Lurah tak melarang. Pak Camat tak melarang. Tetapi ingatlah. Akibat untuk dirimu, untuk sekolahmu, dan untuk desa semua. Saran saya boleh diturut dan boleh tidak.
(Amat mendongak, dipegangnya amplop itu).
Amat : Akan Saya Kembalikan. (Amat Berjalan. Menuju Pak Bupati. Dengan Gemetar Diserahkan Kembali Amplop Itu). Maaf. Dengan sangat menyesal saya kembalikan amplop dan penghargaan dari Pak Gubernur. Saya tidak berhak menerima. Patung tersebut saya kerjakan bersama ayah saya.
Sikap jujur Amat tersebut juga diapresiasi oleh Pak Gubernur seperti pada cuplikan dialog berikut ini.
Pak Gubernur : Saya hanya ingin menjabat tangan Amat. Supaya kejujuran mengalir pada saya. Kejujuran sangat dibutuhkan, pada saat-saat dilalaikan. Amat telah memperlihatkan. Ketika mengembalikan hadiah. Akan tetapi sesungguhnya Amat sah mendapat hadiah itu. (TERDENGAR TEPUK TANGAN). Bahwa sketsa patung Adipati Karna mendongak ke langit itu dibuat Amat adalah suatu bukti. Bahwa ia masih ikut mengerjakan bersama dengan ayahnya, itu suatu bukti. Bahwa Amat pemahat. Di jaman maju kini, kerja sudah demikian erat dan besarnya. Seorang desainer batik hanya merancang malahan. Ia bekerja sama dengan pembuat batik. Saya tak ingin pidato panjang lebar. Karena semua sudah tahu apa yang terjadi. Kalau saya memuji Amat sebagai anak jujur dan mampu, itu tidak untuk membuatnya besar kepala. Semoga pujian ini dapat mendorong langkahnya lebih jauh. Mendorong teman-temannya. Mendorong desa Kali Putih. Semoga keinginannya membuat “Borobudur kedua” bukan hanya angan-angan kala sedih. (TERHENTI SEBENTAR). Yang mengatakan Amat seorang pemahat bukan saya. Tetapi pendapat pemahat lain yang lebih mengetahui. Semoga keterangan ini bisa lebih memuaskan Amat, dan keluarganya. (SUASANA BENAR-BENAR GEMBIRA SETELAH AMAT MENERIMA PENGHARGAAN).
Dari kutipan dialog yang diucapkan oleh Pak Gubernur, nampak bahwa pak Gubernur sangat bangga akan sikap Amat yang masih menjunjung tinggi rasa kejujuran. Selain pak Gubernur yang menyatakan bahwa Amat adalah anak yang jujur, pernyataan jujur pun dinyatakan oleh Amat sendiri, seperti nampak pada kutipan dialog berikut.
Suroto : Apakah benar jika kau tidak mengatakan bahwa itu patung buatanmu bersama tak ada yang tahu?
Amat : Mungkin. Tetapi, kejujuran bermula dari hatiku sendiri.
Dari kutipan dialog tersebut menyiratkan bahwa, sikap jujur yang dimiliki Amat sudah ia miliki sejak kecil dan orang tuanyalah yang mengajari Amat untuk selalu berbuat jujur pada siapa saja termasuk pada dirinya sendiri, terbukti dengan kutipan dialog “Mungkin. Tetapi, kejujuran bermula dari hatiku sendiri”. Sikap jujur memang sangat perlu ditanamkan sejak kecil. Dengan sikap jujur yang sudah dimiliki dan ditanamkan sejak kecil, maka dalam menjalani kehidupan sehari-hari akan merasa tenang dan nyaman tanpa dibayang-bayangi rasa takut akan kesalahan.
Secara keseluruhan, sikap jujur memang sudah sepatutnya kita junjung tinggi. Terlebih lagi, pada zaman yang sudah modern ini banyak sekali para penguasa yang masih banyak melakukan perbuatan atau sikap tidak jujur, seperti pada kasus para pejabat yang melakukan KKN atau menyalahgunakan hak-hak untuk rakyat kecil. Hal-hal tersebut seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pejabat yang menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, sikap dan perbuatan mereka justru sebaliknya. Berkaitan dengan peryataan di atas, setidaknya para pejabat bisa bercermin dan belajar dari kisah dalam naskah drama Sang Pemahat karya Arswendo Atmowiloto, yang menceritakan sikap dan nilai-nilai kejujuran yang dimiliki oleh seorang anak berusia 11 tahun. Dengan banyak pilihan untuk menerima atau mengembalikan sebuah penghargaan yang diberikan kepadanya dengan tujuan untuk memajukan dan mengharumkan nama sekolahnya, ia rela mengembalikan penghargaan tersebut karena ia tahu yang sebenarnya layak untuk menerima penghargaan itu ialah ayahnya karena ayahnyalah yang membuat sesuatu karya seni yang menjadikan penghargaan tersebut diberikan kepadanya. Walaupun pada awalnya semua teman-teman dan gurunya menganggap sikap jujur yang ia lakukan adalah tindakan bodoh yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Akan tetapi, sikap jujur yang ia punyai dan pegang teguh akhirnya berbuah manis. Maka dari itu, bersikap dan bertindaklah jujur karena dengan sikap jujur yang kita miliki akan menjadikan kehidupan kita menjadi tenang dan tentram tanpa dibayang-bayangi rasa bersalah.
III.   Penilaian
            Membaca dan melihat keseluruhan naskah drama Sang Pemahat karya Arswendo Atmowiloto ini sangat menarik. Kemenarikan naskah drama ini dikarenakan dalam menulis naskah drama ini, penulis menjadikan anak usia 11 tahun yang berstatus sebagai pelajar kelas 5 SD sebagai tokoh utama. Dengan mengangkat tokoh utama anak usia 11 tahun yang penuh akan keluguannya dan sifat kejujurannya, menjadikan naskah drama ini meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976 dalam sayembara penulisan naskah sandiwara anak-anak. Selain itu, penghargaan dan kemenangan yang diberikan pada penulis memang layak dan pantas karena tema cerita yang diangkat dan keseluruhan isi cerita yang sarat akan nilai-nilai kejujuran dan rasa semangat yang tinggi yang dimiliki oleh seorang anak usia 11 tahun. Alangkah lebih bagus dan lebih “hidup” bila naskah drama Sang Pemahat karya Arswendo Atmowiloto ini dipentaskan dengan karakter tokoh utama dan para tokoh pendukung lainnya sesuai dengan naskah drama ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar