Jiwa
Pemberontak W.S Rendra dalam Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia
Oleh: Pramudita Parahita Pawestri
Puisi merupakan
salah satu media untuk mengungkapkan perasaan atau kejadian yang pernah atau
sedang dialami oleh seseorang. Begitu juga dengan seorang W.S Rendra yang
menuangkan peraasaan yang sedang dialami atau hanya sekedar melukiskan kejadian
yang yang dia lihat dan dia alami sendiri kedalam sebuah puisi. Sejak diusia
muda Rendra sudah aktif dibidang sastra, bakatnya itu sudah terlihat sejak dia
masih SMP. Beranjak dewasa Rendra tidak hanya sekedar menulis puisi dan menulis
cerpen saja tetapi Rendra mulai merambah ke dunia panggung. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di
media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Dari puluhan puisi yang
telah ditelurkan Rendara, beberapa diantaranya bertemakan tentang pemberontakan,
salah satunya yaitu puisi yang berjudul Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia.
Satrawan yang mempunyai julukan burung merak ini sangat tersohor, sehingga
apapun karya yang dihasilkan selalu mendapat respons bagus dari pembaca atau
penikmat sastra.
Tidak selamanya
perbedaan pendapat harus dilontarkan dengan cara berdemo atau melakukan
tindakan yang anarkis. Rendra memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan
aspirasinya tanpa harus menggunakan cara yang anarkis. Puisi-puisinya yang
bernadakan protes seperti puisi Aku Tulis Pamlet Ini, Sajak Sebatang Lisong,
Sajak Pertemuan Mahasiswa, dan Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia. Amarah yang
memuncak disampaikan melalui butir-butir kata penuh makna. Secara tidak
langsung apa yang dia rasakan saat itu dia sampaikan dengan ocehannya yang
berbentuk coretan penuh makna.
Sosok
W.S Rendra
Bagi orang biasa
atau orang yang tidak terlalu bersinggungan langsung dengan dunia sastra pasti
hanya mengenal seorang W.S Rendra sebagai penyair yang terkenal tanpa
mengetahui latar belakang dan kehidupannya. Willibrordus Surendra Broto Rendra adalah nama
langkapnya, dia dilahirkan di Solo pada 7 November 1935. Rendra adalah anak
dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina
Ismadillah. Sejak masih remaja Rendra sudah mempunyai bakat menulis puisi,
cerpen, dan drama. Dia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967
dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya
di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, tidak berarti ia berhenti untuk
belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan
tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art
(AADA). Banyak sekali penghargaan yang didapatnya atas karya-karyanya dan
membawanya hingga menjadi orang terkenal di dalam negeri hingga ke mancanegara.
Aku tulis sajak ini di bulan gelap
raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket
di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah
kehidupan.
Pikiran kusut membentuk
simpul-simpul sejarah.
‘Bulan gelap
raja-raja’ yang dimaksud di sini adalah saat keadaan dalam pemerintah orde baru
sedang bergolak, sedangkan bangkai-bangkai tergeletak tersebut mewakili para
pendemo yang menginginkan Soeharto untuk lengser dari jabatan sebagai presiden.
Rendra juga melukiskan bahwa para demonstran tidak tahu harus kemana lagi
mereka akan meluapkan segala aspirasinya kalau pemerintahan yang selama ini
sebagai tempat bergantung pun sedang memiliki masalah besar. ‘Amarah merajalela
tanpa alamat’ itulah yang menyebabkan terjadinya demontrasi dimana-mana.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda
kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di
selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung
dalam comberan.
Adanya
carut-marut dalam dunia pemerintahan membuat resah masyarakat. Walau kata-kata
yang digunakan Rendra dalam puisi ini sedikit kasar tetapi agaknya dia ingin
menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi pada saat itu.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota
raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi,
raja-raja, dan tentara.
Pada tahun 1998 hukum di Indonesia sepertinya di
kesampingkan, melalui kata-kata ‘kitab undang-undang tergelak di selokan’
menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia saat itu memang tidak diperhitungkan
yang hanya ada pemerintah yang berkuasa.
O, kebingungan yang muncul dari
kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur
sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil
itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Dari bait tersebut terlihat jelas
bahwa keadaan msayarakat Indonesia saat itu sangat bingung dan ketakutan. Masyarakat
ebingungan melihat fakta bahwa negara Indonesia saat itu sedang carut-marut
entah karena ulah siapa dan masyarakat juga ketakutan karena pada saat itu banyak wanita tionghoa yang banyak
diperkosa, toko-toko dihancurkan dan gedung-gedung dibakar oleh massa.
Kerusuhan bulan Mei saat itu juga berhubungan dengan Tragedi Trisati yang
menewaskan puluhan mahasiswa yang sedang berdemo.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di
dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi
udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah
Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah
ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah
menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh
penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan
jalan raya.
Penggalan bait tersebut
menggambarkan bagaimana pemerintahan saat itu ingin memusnahkan orang-orang
yang meroongrong kewibawaan Presiden Soeharto. Diduga ada sekelompok
orang-orang (militer) yang menjadi pelopor terjadinya kerusuhan dan mengajak
masyarakat untuk ikut pelakukan kerusuhan, menjarah toko-toko dan setelah itu
mereka pergi menghilang. Hal tersebut sama persis dengan puisi yang ditulis
Rendra pada kalimat ‘apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka
rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar
dan jalan raya’
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir
tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam
hati ?
Apakah masih akan menipu diri
sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu
remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran
gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut
gelap
telah kamu bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah
Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
Dari penggalan puisi tersebut
terlihat Rendra ingin menyampaikan
pada sang penguasaha bahwa janganlah terlena dengan harta dan tahta sehingga
melupakan rakyat. Bagi Soeharto saat itu siapa saja yang melawan dirinya dan
pemerintahannya akan dimusnahkan, karena sikapnya yang seperti itulah rakyat
berusaha melawan maka terjadilah peristiwa Trisakti dan Mei 1998 yang menelan
banyak korban. ‘Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi. Airmata
mengalir dari sajakku ini’ kata-kata tersebut mewakili bagaimana sebenarnya
perasaan Rendra tentang peristiwa yang terjadi pada bulan Mei 1998.
Jika dilihat dari judul dan latar
tahun pembuatan puisi ini jelas penulis ingin menyampaikan sesuatu menyenai
peristiwa yang sedang terjadi saat itu. Rendra dengan keras memprotes melalui
sajak-sajaknya. Puisi yang berjudul Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia ini tidak
seperti pusi pada umumnya yang kata-katanya mendayu-dayu dan penuh makna.
Rendra yang berkecimpung di dunia seni peran sedikit banyak pempengaruhi gaya
kepenelusan puisi ini. Bukan Rendra namanya jika tidak menggunakan kata-kata
yang ‘agak’ kasar dan kaku.
Puisi yang bernada protes keras ini
berbentuk menyerupai seperti monolog tetapi dalam kata-katanya tidak lupa
Rendra menyematkan metafor-metafor yang semakin membuat puisi tersebut lebih
bermakna. Tidak hanya protes keras terhadap pemerintahan yang ingin
disampakannya tetapi rasa kesedihannya melihat negara yang dicintainya menjadi sedang
bergolak. Terbukti diakhir puisinya dia berkata ‘Cadar kabut duka cita menutup
wajah Ibu Pertiwi. Airmata mengalir dari sajakku ini’ seperti yang sudah
dikatakan di awal bahwa setiap orang memiliki cara tersendiri untuk
mengungkapkan perasaannya dan yang dilakukan Rendra untuk mengungkapkan
perasaannya atas peristiwa Mei 1998 ia membacakan puisi yang berisikan nada
protes itu langsung di gedung DPR.
Jika dilihat secara keseluruhan baik
makna maupun bentuk, puisi karya Rendra ini patut diajungi jempol, karena ia
berahasil meluapkan emosinya kedalam sajak-sajak penuh makna tanpa sedikitpun
mengurangi maksud yang hendak disampaikan. Sekiranya apa yang dilakukan Rendra
ini perludi contoh, karena banyak cara yang bias dilakukan untuk menyampaikan
aspirasi tanpa harus melakukan demo dan mebuat kerusuhan hanya untuk sekedar
aspirasinya bisa didengar.
Sumber bacaan:
Islamey, M. E. 2011. Saya dan Saksi Sejarah (Kerusuhan Mei 1998), (online), (http://sebelasipadualabsky.blogspot.com/2011/05/saya-dan-saksi-sejarah-kerusuhan-mei.html diakses 26 maret 2013)
Lampiran
SAJAK BULAN MEI
1998 DI INDONESIA
OLEH :
W.S. RENDRA
Aku tulis sajak
ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai
tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah
merajalela tanpa alamat.
Ketakutan
muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut
membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan !
O, malam kelam
pikiran insan !
Koyak-moyak
sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab
undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup
terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna
fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan
dari mahkota raja-raja !
Dari sejak
jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu
mengingatkan
bahwa hukum
harus lebih tinggi
dari keinginan
para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan
yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus
asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah
mencari ratu adil !
Ratu adil itu
tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus
kita tegakkan bersama
adalah Hukum
Adil.
Hukum Adil
adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah
yag kini memenuhi udara
menjadi saksi
yang akan berkata :
Apabila
pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila
cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat
keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat
yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi
penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa
dunia yang fana !
Wahai, jiwa
yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih
buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih
akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran
akal sehat kamu remehkan
berarti pintu
untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan
muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu
bukakan !
Cadar kabut
duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata
mengalir dari sajakku ini.
Catatan
:
Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR
(Kemarin Bengkel Teater mengirimkan dua sajak ke Jawa Pos)
Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR
(Kemarin Bengkel Teater mengirimkan dua sajak ke Jawa Pos)
0 komentar:
Posting Komentar