Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Jiwa Pemberontak W.S Rendra dalam Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia



Jiwa Pemberontak W.S Rendra dalam Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia
Oleh: Pramudita Parahita Pawestri
 
Puisi merupakan salah satu media untuk mengungkapkan perasaan atau kejadian yang pernah atau sedang dialami oleh seseorang. Begitu juga dengan seorang W.S Rendra yang menuangkan peraasaan yang sedang dialami atau hanya sekedar melukiskan kejadian yang yang dia lihat dan dia alami sendiri kedalam sebuah puisi. Sejak diusia muda Rendra sudah aktif dibidang sastra, bakatnya itu sudah terlihat sejak dia masih SMP. Beranjak dewasa Rendra tidak hanya sekedar menulis puisi dan menulis cerpen saja tetapi Rendra mulai merambah ke dunia panggung. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Dari puluhan puisi yang telah ditelurkan Rendara, beberapa diantaranya bertemakan tentang pemberontakan, salah satunya yaitu puisi yang berjudul Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia. Satrawan yang mempunyai julukan burung merak ini sangat tersohor, sehingga apapun karya yang dihasilkan selalu mendapat respons bagus dari pembaca atau penikmat sastra.
Tidak selamanya perbedaan pendapat harus dilontarkan dengan cara berdemo atau melakukan tindakan yang anarkis. Rendra memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan aspirasinya tanpa harus menggunakan cara yang anarkis. Puisi-puisinya yang bernadakan protes seperti puisi Aku Tulis Pamlet Ini, Sajak Sebatang Lisong, Sajak Pertemuan Mahasiswa, dan Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia. Amarah yang memuncak disampaikan melalui butir-butir kata penuh makna. Secara tidak langsung apa yang dia rasakan saat itu dia sampaikan dengan ocehannya yang berbentuk coretan penuh makna.
Sosok W.S Rendra
Bagi orang biasa atau orang yang tidak terlalu bersinggungan langsung dengan dunia sastra pasti hanya mengenal seorang W.S Rendra sebagai penyair yang terkenal tanpa mengetahui latar belakang dan kehidupannya. Willibrordus Surendra Broto Rendra adalah nama langkapnya, dia dilahirkan di Solo pada 7 November 1935. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Sejak masih remaja Rendra sudah mempunyai bakat menulis puisi, cerpen, dan drama. Dia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Banyak sekali penghargaan yang didapatnya atas karya-karyanya dan membawanya hingga menjadi orang terkenal di dalam negeri hingga ke mancanegara.
Puisi yang berjudul Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia dibuat di Jakarta 17 Mei pada tahun 1998 dan dibacakan Rendra di gedung DPR. Puisi ini bertemakan tentang protes kepada pemerintah. Sebuah puisi yang bernadakan protes keras terwakili oleh kata penuh makna. Puisi ini tidak seperti puisi pada umumnya yang terikat dengan berbagai aturan. Dalam puisi ini Rendra menggunakan bahasa seperti berbicara langsung dengan menggunakan kata kiasan sebagai pemanis tanpa sedikit pun mengurangi makna yang ingin disampaikan.  
Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.

‘Bulan gelap raja-raja’ yang dimaksud di sini adalah saat keadaan dalam pemerintah orde baru sedang bergolak, sedangkan bangkai-bangkai tergeletak tersebut mewakili para pendemo yang menginginkan Soeharto untuk lengser dari jabatan sebagai presiden. Rendra juga melukiskan bahwa para demonstran tidak tahu harus kemana lagi mereka akan meluapkan segala aspirasinya kalau pemerintahan yang selama ini sebagai tempat bergantung pun sedang memiliki masalah besar. ‘Amarah merajalela tanpa alamat’ itulah yang menyebabkan terjadinya demontrasi dimana-mana.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.

Adanya carut-marut dalam dunia pemerintahan membuat resah masyarakat. Walau kata-kata yang digunakan Rendra dalam puisi ini sedikit kasar tetapi agaknya dia ingin menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi pada saat itu.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
Pada tahun 1998 hukum di Indonesia sepertinya di kesampingkan, melalui kata-kata ‘kitab undang-undang tergelak di selokan’ menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia saat itu memang tidak diperhitungkan yang hanya ada pemerintah yang berkuasa.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.

Dari bait tersebut terlihat jelas bahwa keadaan msayarakat Indonesia saat itu sangat bingung dan ketakutan. Masyarakat ebingungan melihat fakta bahwa negara Indonesia saat itu sedang carut-marut entah karena ulah siapa dan masyarakat juga ketakutan karena  pada saat itu banyak wanita tionghoa yang banyak diperkosa, toko-toko dihancurkan dan gedung-gedung dibakar oleh massa. Kerusuhan bulan Mei saat itu juga berhubungan dengan Tragedi Trisati yang menewaskan puluhan mahasiswa yang sedang berdemo.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Penggalan bait tersebut menggambarkan bagaimana pemerintahan saat itu ingin memusnahkan orang-orang yang meroongrong kewibawaan Presiden Soeharto. Diduga ada sekelompok orang-orang (militer) yang menjadi pelopor terjadinya kerusuhan dan mengajak masyarakat untuk ikut pelakukan kerusuhan, menjarah toko-toko dan setelah itu mereka pergi menghilang. Hal tersebut sama persis dengan puisi yang ditulis Rendra pada kalimat ‘apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya’
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

Dari penggalan puisi tersebut terlihat Rendra ingin menyampaikan pada sang penguasaha bahwa janganlah terlena dengan harta dan tahta sehingga melupakan rakyat. Bagi Soeharto saat itu siapa saja yang melawan dirinya dan pemerintahannya akan dimusnahkan, karena sikapnya yang seperti itulah rakyat berusaha melawan maka terjadilah peristiwa Trisakti dan Mei 1998 yang menelan banyak korban. ‘Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi. Airmata mengalir dari sajakku ini’ kata-kata tersebut mewakili bagaimana sebenarnya perasaan Rendra tentang peristiwa yang terjadi pada bulan Mei 1998.
Jika dilihat dari judul dan latar tahun pembuatan puisi ini jelas penulis ingin menyampaikan sesuatu menyenai peristiwa yang sedang terjadi saat itu. Rendra dengan keras memprotes melalui sajak-sajaknya. Puisi yang berjudul Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia ini tidak seperti pusi pada umumnya yang kata-katanya mendayu-dayu dan penuh makna. Rendra yang berkecimpung di dunia seni peran sedikit banyak pempengaruhi gaya kepenelusan puisi ini. Bukan Rendra namanya jika tidak menggunakan kata-kata yang ‘agak’ kasar dan kaku.
Puisi yang bernada protes keras ini berbentuk menyerupai seperti monolog tetapi dalam kata-katanya tidak lupa Rendra menyematkan metafor-metafor yang semakin membuat puisi tersebut lebih bermakna. Tidak hanya protes keras terhadap pemerintahan yang ingin disampakannya tetapi rasa kesedihannya melihat negara yang dicintainya menjadi sedang bergolak. Terbukti diakhir puisinya dia berkata ‘Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi. Airmata mengalir dari sajakku ini’ seperti yang sudah dikatakan di awal bahwa setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengungkapkan perasaannya dan yang dilakukan Rendra untuk mengungkapkan perasaannya atas peristiwa Mei 1998 ia membacakan puisi yang berisikan nada protes itu langsung di gedung DPR.
Jika dilihat secara keseluruhan baik makna maupun bentuk, puisi karya Rendra ini patut diajungi jempol, karena ia berahasil meluapkan emosinya kedalam sajak-sajak penuh makna tanpa sedikitpun mengurangi maksud yang hendak disampaikan. Sekiranya apa yang dilakukan Rendra ini perludi contoh, karena banyak cara yang bias dilakukan untuk menyampaikan aspirasi tanpa harus melakukan demo dan mebuat kerusuhan hanya untuk sekedar aspirasinya bisa didengar.

Sumber bacaan:

IslameySaya dan Saksi Sejarah (Kerusuhan Mei 1998), (online), (http://sebelasipadualabsky.blogspot.com/2011/05/saya-dan-saksi-sejarah-kerusuhan-mei.html diakses 26 maret 2013)










Lampiran

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

OLEH :

W.S. RENDRA


Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.


Catatan :
Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR
(Kemarin Bengkel Teater mengirimkan dua sajak ke Jawa Pos)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar