Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PESAN ‘CERITA DARI TAPAL BATAS’ OLEH KURNIA HADINATA



PESAN ‘CERITA DARI TAPAL BATAS’ OLEH KURNIA HADINATA
Oleh: Dwi Sastra Nurokhma

Suatu karya diciptakan untuk dibaca dan diapresiasi. Penciptaan suatu karya secara tidak langsung diniatkan untuk dapat mempengaruhi pembaca. Akan tetapi, cara setiap individu dalam menyikapi suatu hal tentu berbeda. ‘Cerita dari tapal batas’ yang mengisahkan mengenai kehidupan seorang prajurit selama dia ditugaskan di salah satu wilayah terluar Indonesia yang sedang terjadi konflik yaitu Papua tentu melahirkan berbagai persepsi berbeda dari para pembacanya.
Ada kalanya pembaca akan berpikir bahwa pengarang menciptakan ‘Cerita Dari Tapal Batas’ agar masyarakat Indonesia yang memiliki skemata bahwa aparat bukan pengayom masyarakat akan tetapi musuh masyarakat dapat berubah. Akan timbul pula pendapat bahwa aparat yang bertugas dan masyarakat Papua hanyalah korban. Berbagai persepsi yang timbul dalam benak saya menggiring saya untuk lebih mengerti siapa pengarang dan apa yang terjadi di di Papua sehingga memacu pengarang untuk menciptakan cerpen tersebut.
Pengarang sendiri dilahirkan 17 Desember 1981 silam di kota budaya Batusangkar, Sumatera Barat. Merupakan alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa Sastra dan Seni (FBSS) Universitas Negeri Padang (UNP) tahun 2004. Dari sedikit data yang saya peroleh mengenai pengarang, tentu pengarang bukan orang yang mengalami langsung menjadi masyarakat Papua yang hidup di lingkungan konflik. Pengarang juga bukan seorang mantan atau calon prajurit yang ditugaskan di wilayah konflik.
Saya mulai menghubungkan apakah ada suatu kejadian dalam jangka waktu yang berdekatan dengan diterbitkannya cerpen ini di majalah Horison pada September 2010 karena tidak ditemukan kapan cerpen tersebut diciptakan. Bulan Mei tepatnya 1 Mei dari posting di blog yang saya baca dijelaskan bahwa 47 tahun lalu, pada tanggal tersebut Papua kembali ke tangan Indonesia. Mungkin hal tersebut merupakan salah satu aspek yang melatar belakangi pengarang untuk menuangkan pikirannya pada cerpen ‘Cerita Dari Tapal Batas’ ini. Sebagai pembaca saya kembali berpikir kenapa pengarang tidak menuliskan dari sisi masyarakat papua yang tinggal di daerah konflik selama bertahun-tahun dimana banyak korban baik yang bersangkutan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun rakyat biasa ikut menjadi korban, akan tetapi lebih pada kisah prajurit yang ditugaskan di wilayah tersebut. Padahal dari blog yang saya baca, Dalam Dialog Nasional Papua: Sebuah Kisah Memoria Passionis Papua, Budi Hernawan dan Theo van den Broek mengungkapkan bahwa kenyataan-kenyataan seperti disinggung di atas tersusun selama puluhan tahun dan menggelora sebagai sejarah bangsa Papua. Sejarah ini tidak pernah menjadi sejarah resmi bangsa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Rangkaian peristiwa itu ‘hanya’ menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa Papua yang yang dengan tajam dan jernih mencatat rekaman peristiwa-peristiwa ini. Sebagaimana yang saya kutip berikut,
“Di sungai ini kami punya bapa dibunuh; di lereng gunung itu dulu ada sejumlah kampung yang dikasih habis sama ABRI; di lapangan itu tete moyang kami dulu dipaksa untuk membakar koteka karena dianggap primitif; gunung itu dulu kami punya sekarang orang sudah kasih rusak kami punya mama; dulu kami gampang cari binatang di hutan tapi sekarang kami tidak boleh masuk karena katanya milik perusahaan yang dilindungi Undang-undang negara; kami punya anak tidak bisa maju karena guru-guru di sekolah hampir tidak ada, susah dapat obat karena mahal; dsb.”
OPM sendiri timbul karena mereka, penduduk papua merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Cerita-cerita mengenai penindasan yang masyarakat alami ini tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Nada dasar segala ungkapan ini adalah: kami dinilai bukan manusia. Artinya, orang Papua merasa bahwa mereka tidak diperlakukan sebagai manusia tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme, dan sebagainya. Kutipan dari blog yang berisi dialog antara Budi Hernawan dan Theo van den Broek, Theo van den Broek yang merupakan narasumber menyampaikan rasa sakit hatinya kepada pihak yang  berwajib atas yang dilakukan terhadap keluarga narasumber.
Pengarang dalam cerpennya menuliskan sedikit mengenai kehidupan penduduk yang masih primitif dimana mereka masih makan hasil buruan yang mereka dapat. Mungkin sesuatu yang alami, yang belum mengikuti arus perubahan itu perlu dibiarkan bagaimana adanya agar keragaman tetap terjaga. Pengarang memilih menuliskan cerpen dari sudut pandang seorang prajurit baru dimana sebenarnya tokoh utama dalam cerpen tidak dengan sungguh-sungguh ingin menjadi prajurit. Dia hanya ingin menuruti kehendak sang ayah yang igin sekali anaknya menjadi prajurit.
Inilah kehidupan seorang tentara, menjadi prajurit TNI, kehidupan di tapal batas. Inikah cita-citaku? Jujur saja, mungkin tidak. Awalnya menjadi tentara hanyalah karena aku ingin memenuhi keinginan dan cuma membahagiakan ayahku saja. Ayahku sangat ingin aku menjadi tentara, dan untuk itu dia mau melakukan apa pun.
Tapi, kemudian pengarang menuliskan bahwa jiwa nasionalisme yang dipupuk selama masa studynya membuat tokoh utama diharuskan untuk mencintai profesi dan bertekad untuk siap mati membela tanah air. Pedoman mereka adalah NKRI harga mati. Lebih baik pulang membawa nama dari pada gagal dalam menjalankan tugas. Dalam masa pendidikan, pemikiran mengenai siap mati bela Negara dipupuk agar mereka benar-benar mengabdi. Dijelaskan juga akan perjuangan yang dilakukan sang ayah agar tokoh utama dapat masuk di akademi militer agar tokoh utama mengikuti jejak sang kakek. Dijelaskan pula mengenai seorang prajurit, teman tokoh utama yang justru berada di kubu OPM karena membutuhkan materi lebih setelah menikah dan memiliki seorang anak. Kemudian terjadi konflik batin pada diri tokoh utama. Sahabat, kakak seperjuangan yang dulu begitu berjiwa nasionalis berubah menjadi penghianat. Hal ini seakan membuat cerpen sedikit timpang, terjadi pergolakan antara memihak prajurit atau masyarakat Papua. Akan tetapi kemudian saya kembali beranggapan bahwa mungkin yang dimaksudkan oleh pengarang di sini adalah sedikitnya gaji yang diterima prajurit selama masa jabatannya membela dan mempertahankan bagian Negara Indonesia. Padahal di daerah konflik, mereka dapat terbunuh kapan saja. Sebagaimana yang pengarang tuliskan sebagai berikut
Tuan tahu berapa gaji prajurit TNI berpangkat rendah di negeri ini? Ya, mungkin terlalu kecil bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan luas wilayah yang harus diamankan, atau dibandingkan dengan negara tetangga kita. Inilah dilemanya, pemerintah kita menuntut profesionalisme TNI, namun di sisi lain pemerintah masih minim dalam meningkatkan kesejahteraan hidup prajuritnya. Lihat saja anggaran pembelian alat keamanan dan pemeliharaan. Sangat minim. Jelas, peralatan TNI sangat di bawah standar, ketinggalan zaman dan berusia lanjut. Armada pesawat TNI, misalnya, jauh dari standar modern, sudah tua. Tidak mengherankan kalau banyak peristiwa kecelakaan pesawat militer di negeri ini, dan menelan korban yang tidak sedikit setiap tahun. Berapa banyak prajurit yang gugur sia-sia? Tidak mengherankan pula jika banyak oknum TNI yang berprofesi ganda menjadi tentara bayaran, bekingan pejabat dan pengusaha, sampai menjadi bandit kelas kakap dan penjahat negara yang jelas-jelas melanggar kode etik profesi bahkan menanggalkan janji yang terpatri sewaktu pendidikan dulu.
Dari kutipan di atas, terlihat opini pengarang yang menyudutkan pemerintah pusat yang kurang tanngap. Pengarang menuliskan setiap kata dalam cerpen dengan utuh dimana semua tertata rapi dengan bahasa yang mudah di pahami dan pemilihan kata yang beragam. Seakan sedang membaca syair dalam bentuk prosa. Hal ini tidak lepas dari jiwa pengarang yang juga merupakan seorang penyair.
Peristiwa pembuka dan penutup pada cerpen dimana tokoh utama mengalami kecelakaan pesawat dengan tokoh yang sengaja dijabarkan oleh pengarang kembali mengusik pikiran pembaca apakah cerpen ini dibuat berdasarkan kisah nyata atau hasil imaji pengarang yang dikembangkan dari peristiwa yang diketahuinya. Peristiwa jatuhnya pesawat militer seringkali terjadi, hal mengenai jatuhnya pesawat yang sering terjadi juga diungkapkan pengarang dalam cerpen tersebu. Memang jenis pesawat helikopter Super Puma SA 330 pernah jatuh pada juni 2009 di Lanud Atang Sanjaya, Bogor, dan masih banyak lagi kecelakaan pesawat militer. Sebagian besar fakta yang dicantumkan dalam cerpen seakan ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai kemiliteran di Indonesia. Pengarang mengarahkan pembaca untuk tidak hanya memikirkan masyarakat Papua yang menjadi korban OPM, tetapi juga prajurit yang gugur selama bertugas mengamankan bagian dari wilayah Indonesia yang dijajah. Sampai saat ini konflik di Papua masih terjadi. Masih juga ada prajurit baru yang ditugaskan di daerah tapal batas Indonesia tersebut. Pengarang mencoba mengajak kita melalui cerpennya untuk tidak saling menyalahkan dan bersatu mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari tangan bangsa lain. Karena, tidak dapat dipugkiri bahwa gerakan OPM, GAM, dan juga Timor-Timor yang telah lepas dari Indonesia tidak menutup kemungkinan akan adanya campur tangan dari bangsa lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar