Tragedi Krisis Ekonomi
dan Politik Bangsa Indonesia Pasca Reformasi dalam Puisi Taufiq Ismail
Oleh
Lidya Devega Slamet
Pada tahun 1998 terjadi krisis finansial Asia yang
secara tidak terduga juga berdampak besar terhadap perekonomian bangsa
Indonesia. Krisis tersebut tercatat sebagai periode
paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak, setelah
berpuluh-puluh tahun terbuai dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup mengagumkan,
hanya dalam satu tahun perubahan drastis terjadi. Dana Moneter Internasional
(IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera
memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Krisis yang semula hanya berawal
dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan
cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, yang berlanjut pada krisis sosial dan
politik.
Sikap pemerintah yang
waktu itu dinilai plin-plan dalam mengambil kebijakan menyebabkan krisis
kepercayaan,ditambah dengan hutang luar negeri yang segera jatuh tempo.
Kehidupan bangsa pun menjadi semrawut. Dampak krisis ekonomi ini dirasakan oleh
seluruh sendi-sendi bangsa. Anjloknya rupiah menyebabkan pasar uang dan pasar
modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat
internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot
ke level di bawah junk. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari
skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan.
Sektor
yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan
perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Krisis
kepercayaan yang terjadi menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen
moneter tak mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Situasi
yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan
orientasi dalam menangani krisis. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan
pemerintah mengendalikan krisis di tengah harga-harga yang terus melonjak dan
gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan
berdarah di ibu kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntut tumbangnya
Soeharto pada 21 Mei 1998.
Dengarkan
itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Pada bait ini menggambarkan bahwa jika ada seorang
bayi lahir pada Mei 1998 maka secara tidak langsung dia akan menanggung hutang
sebesar Rp. 10.000.000 yang merupakan warisan dari hutang negara. Dari total utang
luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar 72,5
milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, yang
mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara
pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS. Bait ini
menggambarkan betapa terpuruknya perekonomian bangsa saat itu karena
pengambilan kebijakan yang kurang tepat oleh pemerintahan Soeharto.
Pada puisi Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis, Lalu Kalian
Paksa Kami Masuk Masa Penjajahan Baru (1998)
Kata
Si Toni
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini
Pada
baris pertama hingga keenam, Taufiq menggambarkan mental pemerintahan bangsa
yang sangat bergantung dengan bantuan dari luar negeri, yang tentunya berupa
hutang. Pada baris-baris selanjutnya, tergambarkan dampak dari buruknya mental
pemerintahan terhadap keadaan bangsa yang semakin terpuruk. Hutang luar negeri
yang terus berkepanjangan dan belum terbayarkan karena pola hidup yang
konsumtif. Pemerintahan yang sangat hedonis dan kurang memikirkan nasib rakyat,
hingga banyak rakyat yang sengsara. Sebagaimana yang
telah dikatakan oleh banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia ternyata sudah
melebar menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis juga mulai masuk ke
politik yang selama ini praktis menjadi "kawasan tabu". Akibatnya,
kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara perlahan namun pasti, mulai
pupus.
Semakin banyak
hutang bangsa pada negara lain secara tidak langsung mempengaruhi pengambilan
kebijakan politik pemerintah, bisa saja pengambilan kebijakan pemerintah telah
disetir oleh negara lain. Begitu rendah dirinya pemerintahan bangsa hingga
peniti pun harus impor dari luar negeri. Pemerintah tidak bisa menanamkan rasa
percaya diri dan memfasilitasi generasi muda untuk mengolah kekayaan alam tanah
air, justru membiarkan orang-orang asing memanfaatkan kekayaan Indonesia tanpa
memberi konpensasi yang layak. Hingga akhirnya mungkin bangsa Indonesia tidak
lagi merdeka sepenuhnya, perekonomian sebagai alat vital kesejahteraan bangsa
telah dikuasai oleh pihak asing karena budaya berhutang pemerintah.
Puisi
ini merupakan bentuk demonstrasi, kecaman Taufiq Ismail terhadap pemerintahan
bangsa pada saat itu yang mentalnya sangat buruk. Mereka tidak berusaha
memanfaatkan kekayaan alam seoptimal mungkin, tapi hanya memikirkan keuntungan
semu yang bisa diterima dari perjanjian pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak
asing dan kemudahan semu hutang luar negeri.
Selanjutnya,
pada puisi Ketika Sebagai Kakek Di Tahun
2040, Kau Menjawab Pertanyaan Cucumu., Taufiq Ismail menceritakan
demontrasi besar-besaran oleh mahasiswa pasca terjadinya tragedi Trisakti yang
menggugurkan empat mahasiswa universitas Trisakti.
Cucu
kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami, katamu
Hasil penataan dan penataran yang kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru, katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu.
Semua
pergolakan yang terjadi adalah akibat gaya kepemimpinan pemerintahan orde baru
yang sangat diktator. Kemarahan rakyat memuncak pasca aksi
penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di
Jakarta. Hal tersebut berdampak pada nilai rupiah
yang cenderung melemah di pasar. Bahkan, begitu Soeharto menyatakan
mengundurkan diri sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998, yang diinginkan
pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang, tidak juga mampu menolong
rupiah.
Puisi-puisi
Taufiq Ismail tersebut merupakan bentuk demonstrasi atas ketidakadilan dan
protes sosial terhadap kebijakan politik pemerintahan orde baru yang tidak
mampu mengantisipasi dan mengatasi krisis ekonomi yang kemudian meluas ke
segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga keadaan sosial
ekonomi rakyat waktu itu mencapai titik terendah dan menyebabkan kesengsaraan
rakyat Indonesia. Puisi Taufiq Ismail juga merupakan catatan sejarah
peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di era 1998.
Taufiq memiliki kepekaan sosial yang
luar biasa, dengan bahasa yang sederhana dan lugas dalam puisinya ini, Ia ingin
memberikan protes sosial pada pemerintahan yang pada waktu itu cenderung arogan
untuk mempertahankan kekuasaannya dari pada mengatasi krisis yang terjadi.
DAFTAR RUJUKAN
http://ragampuisiindonesia.blogspot.com/p/kumpulan-puisi-taufiq-ismail.html
0 komentar:
Posting Komentar