Dua
Cermin dalam Sajak Angin karya Bakdi Soemanto
Oleh: Sera Senggani
Sajak-sajak bernuansa
alam yang indah amat lekat pada sajak yang lahir pada masa pujangga baru. Namun
pada era Chairil Anwar semua konvensi lama tersebut dirombak. Gambaran alam
yang indah berubah menjadi alam yang mengerikan. Setelah tiga puluh tahun
kemudian, Bakdi Soemanto memunculkan sajak-sajak yang kental dengan nuansa alam
dalam kumpulan puisi Kata karyanya. Bakdi
Soemanto dilahirkan di Sala, 29 Oktober 1941. Ia tamat dari SMA bagian A
(Sastra) di Sala. Ia melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada (S1), lalu melanjutkan studi S-2 jurusan Sastra
Indonesia dan Jawa. Studi S-3 pada Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Selama tiga
semester ia bertugas sebagai dosen tamu di Oberlin College, Ohio dan Northern
Illinois University, Chicago (1986) memberikan kuliah Sastra Indonesia lewat
terjemahan. Sejak sebelum menjadi mahasiswa Bakdi sudah suka menulis puisi dan
cerpen. Puisinya dimuat dalam majalah Horison,
majalah Basis, harian Kedaulatan Rakyat, ada yang masuk
beberapa buku kumpulan puisi bersama seperti Tonggak, Tugu, dan ada
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dalam On Foreign Shore terbitan Lontar. Di samping puisi, naskah drama
dan cerpennya sudah diterbitkan dalam beberapa kumpulan cerpen dan ia juga
menulis telaah drama, serta cerita rakyat. Sampai pada akhirnya ia memiliki
buku antologi puisi sendiri yang berjudul Kata.
Dari sekian banyak puisi dari antologi puisi tersebut, nuansa alam menjadi yang
paling mendominasi. Serentetan judul-judul puisi yang menggambarkan alam
tersebut yaitu “Angin”, “Kemarau”, “Langit”, “Udara Pagi”, “Malam Ini”, “Cahaya
Siang”, “Sajak Senja”, “Sajak Malam”, “Malam”, “Berhadapan dengan Langit yang
Biru”, “Rumputan dan Topan”, “Hujan Turun Rintik-Rintik”, “Kabut”, “Matahari”, “Hujan”,
“Daun- Daun”, “Pantai Semarang”, “Senja Kala”, “Nyanyian Malam”, “Angin”, “Hujan”,
“Pagi”, “Senja”. Dari sajak-sajak tersebut dapat dilihat pemilihan judul yang
begitu sederhana dan singkat. Jika sekilas membaca judul-judul tersebut sambil
lalu, yang terbayang dalam benak kita adalah si penyair akan mengarahkan kita
pada suatu kondisi alam. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun bila
ditelisik lebih dalam sebagian besar penggaambaran alam tersebut tak lain
merupakan simbol dari kehidupan manusia. Yang tak kalah menarik adalah adanya
dua sajak yang berjudul sama yaitu “Angin”. Sementara itu, dua sajak tersebut
ditulis pada tahun yang berbeda. Sajak “Angin” yang pertama pada tahun 1974,
sedangkan yang kedua pada tahun 1985.
Angin
dari mana
datangnya
menghiba
di
saraf duka.
Menempuh
ribuan
kilometer,
dalam kegalauan
mencari
kenang, jika sempat jadi pelabuhan.
Tak
ada yang bisa ditawar
dalam
kehidupan, tak bisa dihindar
di
dinding hati menebar.
Dengan
gampang keyakinan
yang
tinggal, bukan kepastian
soalnya,
hidup mengukir jalanan.
Angin
yang menempuh
hidup
yang menempuh angin, mengaduh
di
pangkuanmu, nini, biarkan sejenak berteduh.
Hari
baru bukan mesti pagi
cerah,
barangkali malam hujan lebar, pasti
aku
berangkat lagi.
Kutinggalkan
sebagian hati,
simpanlah,
nini
dalam
sajak, barangkali bisa abadi.
(1974)
Pada sajak “Angin” yang pertama,
angin merupakan perlambangan cobaan yang harus dijalani dalam kehidupan. Hidup yang kadang terombang-ambing
oleh angin permasalahan dan mengalami pasang surut. Takdir dalam kehidupan yang
pasti terjadi dan kita sebagai manusia tidak memiliki kuasa untuk mengelaknya.
Jika sudah demikian, kita hanya bisa mempercayai apa yang telah kita yakini.
Meski sepelik apapun permasalahan yang kita hadapi, kita harus selalu berusaha
bangkit kembali untuk melanjutkan kehidupan. Pada sajak ini, sapaan “nini”
belum diketahui ditujukan kepada siapa. Kemungkinan yang mendekati ialah ibu
dari si penyair itu sendiri. Hal ini dikarenakan panggilan nini ditujukan pada
seorang wanita yang telah lanjut usia. Ketika seseorang telah menghadapi suatu
keputusasaan yang belum bisa teratasi, tentu ia membutuhkan tempat untuk
berbagi keluh kesah. Kenyataannya sosok ibu memang tidak tergantikan sebagai
seseorang yang mampu memberikan ketenangan, meski dalam keadaan terburuk
sekalipun. Ketika anak tersebut sudah mampu bangkit lagi, seorang ibu harus
melepaskannya kembali. Aku lirik menunjukkan kebaktian pada ibunya dengan
membuat sajak ini. Melalui larik “dalam sajak, barangkali bisa abadi”
menunjukkan bahwa sebuah karya dapat merekam semua kejadian dan peristiwa yang
bahkan berlalu bertahun-tahun silam.
Persamaan bunyi pada akhir larik
dalam puisi ini amat kuat. Hal ini semakin mempercantik aspek bunyi dari puisi
ini. Dari awal hingga akhir larik di setiap baitnya, persamaan bunyi selalu
tampak, misalnya pada bait pertama. Persamaan vokal “a” pada kata “mana”,
“menghiba” dan“duka”. Bait kedua, persamaan bunyi “an”, pada kata “ribuan’, “kegalauan”
dan “pelabuhan”. Selain itu juga terdapat repetisi, yaitu kata “ yang menempuh”
dan “angin”, sehingga menimbulkan efek bunyi tersendiri. ” Angin yang
menempuh”, “hidup yang menempuh angin, mengaduh”, seolah memberikan penegasan
bahwa angin yang merupakan simbol dari cobaan hidup, hanya bisa dihadapi atau
justru terbawa olehnya. Pada sajak “Angin”
ini, tipografiya menggunakan susunan bait. Puisi ini terdiri dari enam bait,
dengan masing-masing bait terdiri dari tiga larik. Akan tetapi pengecualian
pada bait yang terakhir yang terdiri dari enam larik. Penggunaan diksi terdapat
pada frasa “saraf duka”, “dinding hati”, “menempuh angin”,dan “malam hujan
lebar”. Dari beberapa diksi tersebut, sangat dimungkinkan muncul beberapa
penafsiran yang berbeda-beda. Misalnya pada “malam hujan lebar” dapat
ditafsirkan bahwa malam itu hujan turun semalaman tanpa henti ataukah malam itu
hujan turun sangat deras atau justru hujan turun dalam jangkauan wilayah yang
luas. Meskipun pada dasarnya, hujan dalam puisi ini hanya menjadi sebuah simbol
semata.
Angin
Engkau
membenahi rambut
yang
tergerai oleh angin
sesungguhnya
angin membenahi rambutmu
yang
kusut masai oleh peradaban
mengalir
bersama angin
sejarah
diputar kembali
di
layar kembar matamu
waktu
bersinar menatap bunga yang mekar
ada
yang gugur dalam kebesaran
dan
terbantai tak tercatat
bersama
angin
dinilai
kembali harga kita:
apakah
pengkhianatan
dapat
tetap dipertahankan dengan makna.
pahlawan
dan pengkhianat
tinggal
bertahta dalam ukuran...
(1985)
Setelah mengkaji sajak “Angin” yang
pertama, kini kita beralih pada sajak “Angin” yang kedua. Berbeda dengan simbol
angin yang digunakan pada sajak yang pertama, yang merupakan penggambaran dari
cobaan kehidupan. Pada sajak ini, angin seolah dimaknai lugas pada larik yang
kedua. Digambarkan bahwa seseorang memperbaiki rambutnya yang tertiup angin.
Lalu pada larik ketiga, kita masih berpikir bahwa angin merupakan angin dalam
perwujudan yang sebenarnya. Angin yang dalam makna denotatis sesungguhnya tidak
membuat rambut itu berantakan, namun justru menunjukkan sisi keindahan dari
rambut itu sendiri. Akan tetapi, asumsi kita seakan terbelokkan pada larik
kelima, yaitu “mengalir bersama angin”. Tentu kita tidak mungkin mengartikan
secara cuma-cuma bahwa kita benar-benar mengalir bersama angin. Selanjutnya,
kita dihadapkan pada larik “sejarah diputar kembali”. Jika dikaitkan dengan
larik sebelumnya, angin bisa jadi merupakan simbol dari waktu. Dua larik
tersebut dapat dimaknai, menjalani kehidupan dari waktu ke waktu, sampai pada
saat kita teringat kembali pada kenangan-kenangan masa lampau yang telah
menjadi sejarah. Pada larik kesebelas dan larik-larik selanjutnya menegaskan
kembali simbol angin sebagai waktu. Berikut ini kutipan lariknya.
bersama angin
dinilai kembali harga kita:
apakah pengkhianatan
dapat tetap dipertahankan dengan makna.
pahlawan dan pengkhianat
tinggal bertahta dalam ukuran...
Seiring
berjalannya waktu yang kita lalui, kita dapat menilai diri kita sendiri. Apakah
kita akan merugikan orang lain atau justru berjasa untuk orang lain. Pada
akhirnya yang tersisa hanyalah kadar kita sebagai orang yang buruk atau baik
untuk orang lain. Seberapa besar merugikannya kita bagi orang lain ataukah
seberapa berjasanya kita.
Terlepas
dari makna khusus simbol angin itu sendiri, makna secara keseluruhan dari puisi
ini ialah tentang perjalanan waktu dari kehidupan seseorang. Ketika seseorang
telah melalui berbagai kisah dan kejadian dalam hidupnya. Saat usia terus
menerus bertambah seiring dengan waktu. Ada suatu saat, kita teringat akan
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dulu. Indera kita, mata kita yang
merekam semuanya. Peristiwa yang menyenangkan sekaligus beriring dengan
kedukaan. Mungkin juga ada hal-hal kecil yang terlewatkan begitu saja, yang
sebenarnya berharga, yang baru kita sadari setelah waktu berlalu. Lalu ketika
waktu terus berjalan, kita mulai mengetahui siapa diri kita sesungguhnya.
Seseorang yang merugikan atau berjasa bagi orang di sekitar kita.
Dari segi tipografi, sajak “Angin”
yang kedua ini mempunyai perbedaaan yang amat mendasar dari sajak yang pertama.
Sajak ini menggunakan susunan baris yang berjajar secara vertikal. Terdapat
enam belas baris dari sajak ini dan semuanya ditulis huruf kecil, kecuali
judul. Tidak banyak permainan bunyi yang terlalu tampak pada sajak ini, meski
masih ada beberapa. Misalnya pada kata “peradaban” dengan “kebesaran”,
“tercatat” dengan “pengkhianat”, “pengkhianatan” dengan “ukuran”. Bentuk
pengulangan juga tidak cukup kuat, karena pola dan jaraknya yang tidak menentu
atau terlalu jauh, misalnya kata “rambut”, “angin”, dan “pengkhianat”. Ada
beberapa diksi yang digunakan, misalnya “kusut masai”, “layar kembar” dan
“bertahta dalam ukuran”. Dari ketiga diksi tersebut tidak terlalu menimbulkan
penafsiran yang rancu, seperti yang muncul pada sajak yang pertama. “Kusut masai”
artinya sangat kusut. “Layar” kembar dalam konteks sajak ini bisa berarti
kornea mata dan “bertahta dalam ukuran” berarti mengagungkan suatu ukuran
tertentu.
Jika boleh membandingkan, setelah
mengkaji kedua puisi berjudul sama dari Bakdi Soemanto, terdapat perbedaan yang
cukup mendasar. Dari segi tema, sajak “Angin” yang pertama mengungkapkan pasang
surut kehidupan, sedangkan sajak “Angin” yang kedua mengungkapkan peristiwa
kehidupan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, keduanya sama-sama mengangkat
tema kehidupan. Simbol angin pada sajak pertama menggambarkan cobaan kehidupan,
sedangkan angin pada sajak kedua sebagai waktu. Sajak “Angin” yang pertama
menggunakan tipografi berupa bait serta permainan bunyi yang digunakan sangat
kuat jika dibandingkan dengan sajak kedua yang bertipografi baris dan tidak
menggunakan permainan bunyi. Jika diksi yang digunakan pada sajak pertama lebih
banyak dan berwarna, berbeda dengan sajak kedua yang lebih lugas dan sederhana,
bahkan diksi yang menarikpun jarang. Dari segi pengeksploran kata, sajak
pertama lebih hemat, mampat dan padat dalam mengolah kata-kata. Hal ini
dipengaruhi pula oleh tipografi sajak pertama yang berupa bait-bait. Berbeda
dengan sajak kedua yang lebih lengkap struktur kalimatnya, sehubungan dengan
tipografi baris yang digunakan. Pada akhirnya, penilaian tentang sajak mana
yang lebih baik dan berkualitas, kembali pada sudut pandang masing-masing
pembaca serta relevansi sajak tersebut pada jamannya. Terlepas dari itu semua,
proses kreatif dari Bakdi Soemanto dalam melahirkan karya-karya puisinya yang
estetik perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar