Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Dua Cermin dalam Sajak Angin karya Bakdi Soemanto



Dua Cermin dalam Sajak Angin karya Bakdi Soemanto
Oleh: Sera Senggani
 
Sajak-sajak bernuansa alam yang indah amat lekat pada sajak yang lahir pada masa pujangga baru. Namun pada era Chairil Anwar semua konvensi lama tersebut dirombak. Gambaran alam yang indah berubah menjadi alam yang mengerikan. Setelah tiga puluh tahun kemudian, Bakdi Soemanto memunculkan sajak-sajak yang kental dengan nuansa alam dalam kumpulan puisi Kata karyanya. Bakdi Soemanto dilahirkan di Sala, 29 Oktober 1941. Ia tamat dari SMA bagian A (Sastra) di Sala. Ia melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (S1), lalu melanjutkan studi S-2 jurusan Sastra Indonesia dan Jawa. Studi S-3 pada Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Selama tiga semester ia bertugas sebagai dosen tamu di Oberlin College, Ohio dan Northern Illinois University, Chicago (1986) memberikan kuliah Sastra Indonesia lewat terjemahan. Sejak sebelum menjadi mahasiswa Bakdi sudah suka menulis puisi dan cerpen. Puisinya dimuat dalam majalah Horison, majalah Basis, harian Kedaulatan Rakyat, ada yang masuk beberapa buku kumpulan puisi bersama seperti Tonggak, Tugu, dan ada yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dalam On Foreign Shore terbitan Lontar. Di samping puisi, naskah drama dan cerpennya sudah diterbitkan dalam beberapa kumpulan cerpen dan ia juga menulis telaah drama, serta cerita rakyat. Sampai pada akhirnya ia memiliki buku antologi puisi sendiri yang berjudul Kata. Dari sekian banyak puisi dari antologi puisi tersebut, nuansa alam menjadi yang paling mendominasi. Serentetan judul-judul puisi yang menggambarkan alam tersebut yaitu “Angin”, “Kemarau”, “Langit”, “Udara Pagi”, “Malam Ini”, “Cahaya Siang”, “Sajak Senja”, “Sajak Malam”, “Malam”, “Berhadapan dengan Langit yang Biru”, “Rumputan dan Topan”, “Hujan Turun Rintik-Rintik”, “Kabut”, “Matahari”, “Hujan”, “Daun- Daun”, “Pantai Semarang”, “Senja Kala”, “Nyanyian Malam”, “Angin”, “Hujan”, “Pagi”, “Senja”. Dari sajak-sajak tersebut dapat dilihat pemilihan judul yang begitu sederhana dan singkat. Jika sekilas membaca judul-judul tersebut sambil lalu, yang terbayang dalam benak kita adalah si penyair akan mengarahkan kita pada suatu kondisi alam. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun bila ditelisik lebih dalam sebagian besar penggaambaran alam tersebut tak lain merupakan simbol dari kehidupan manusia. Yang tak kalah menarik adalah adanya dua sajak yang berjudul sama yaitu “Angin”. Sementara itu, dua sajak tersebut ditulis pada tahun yang berbeda. Sajak “Angin” yang pertama pada tahun 1974, sedangkan yang kedua pada tahun 1985.
Angin
Angin dari mana
datangnya menghiba
di saraf duka.

Menempuh ribuan
kilometer, dalam kegalauan
mencari kenang, jika sempat jadi pelabuhan.

Tak ada yang bisa ditawar
dalam kehidupan, tak bisa dihindar
di dinding hati menebar.

Dengan gampang keyakinan
yang tinggal, bukan kepastian
soalnya, hidup mengukir jalanan.


Angin yang menempuh
hidup yang menempuh angin, mengaduh
di pangkuanmu, nini, biarkan sejenak berteduh.

Hari baru bukan mesti pagi
cerah, barangkali malam hujan lebar, pasti
aku berangkat lagi.
Kutinggalkan sebagian hati,
simpanlah, nini
dalam sajak, barangkali bisa abadi.

(1974)

            Pada sajak “Angin” yang pertama, angin merupakan perlambangan cobaan yang harus dijalani  dalam kehidupan. Hidup yang kadang terombang-ambing oleh angin permasalahan dan mengalami pasang surut. Takdir dalam kehidupan yang pasti terjadi dan kita sebagai manusia tidak memiliki kuasa untuk mengelaknya. Jika sudah demikian, kita hanya bisa mempercayai apa yang telah kita yakini. Meski sepelik apapun permasalahan yang kita hadapi, kita harus selalu berusaha bangkit kembali untuk melanjutkan kehidupan. Pada sajak ini, sapaan “nini” belum diketahui ditujukan kepada siapa. Kemungkinan yang mendekati ialah ibu dari si penyair itu sendiri. Hal ini dikarenakan panggilan nini ditujukan pada seorang wanita yang telah lanjut usia. Ketika seseorang telah menghadapi suatu keputusasaan yang belum bisa teratasi, tentu ia membutuhkan tempat untuk berbagi keluh kesah. Kenyataannya sosok ibu memang tidak tergantikan sebagai seseorang yang mampu memberikan ketenangan, meski dalam keadaan terburuk sekalipun. Ketika anak tersebut sudah mampu bangkit lagi, seorang ibu harus melepaskannya kembali. Aku lirik menunjukkan kebaktian pada ibunya dengan membuat sajak ini. Melalui larik “dalam sajak, barangkali bisa abadi” menunjukkan bahwa sebuah karya dapat merekam semua kejadian dan peristiwa yang bahkan berlalu bertahun-tahun silam.
            Persamaan bunyi pada akhir larik dalam puisi ini amat kuat. Hal ini semakin mempercantik aspek bunyi dari puisi ini. Dari awal hingga akhir larik di setiap baitnya, persamaan bunyi selalu tampak, misalnya pada bait pertama. Persamaan vokal “a” pada kata “mana”, “menghiba” dan“duka”. Bait kedua, persamaan bunyi “an”, pada kata “ribuan’, “kegalauan” dan “pelabuhan”. Selain itu juga terdapat repetisi, yaitu kata “ yang menempuh” dan “angin”, sehingga menimbulkan efek bunyi tersendiri. ” Angin yang menempuh”, “hidup yang menempuh angin, mengaduh”, seolah memberikan penegasan bahwa angin yang merupakan simbol dari cobaan hidup, hanya bisa dihadapi atau justru terbawa olehnya.  Pada sajak “Angin” ini, tipografiya menggunakan susunan bait. Puisi ini terdiri dari enam bait, dengan masing-masing bait terdiri dari tiga larik. Akan tetapi pengecualian pada bait yang terakhir yang terdiri dari enam larik. Penggunaan diksi terdapat pada frasa “saraf duka”, “dinding hati”, “menempuh angin”,dan “malam hujan lebar”. Dari beberapa diksi tersebut, sangat dimungkinkan muncul beberapa penafsiran yang berbeda-beda. Misalnya pada “malam hujan lebar” dapat ditafsirkan bahwa malam itu hujan turun semalaman tanpa henti ataukah malam itu hujan turun sangat deras atau justru hujan turun dalam jangkauan wilayah yang luas. Meskipun pada dasarnya, hujan dalam puisi ini hanya menjadi sebuah simbol semata.



Angin

Engkau membenahi rambut
yang tergerai oleh angin
sesungguhnya angin membenahi rambutmu
yang kusut masai oleh peradaban
mengalir bersama angin
sejarah diputar kembali
di layar kembar matamu
waktu bersinar menatap bunga yang mekar
ada yang gugur dalam kebesaran
dan terbantai tak tercatat
bersama angin
dinilai kembali harga kita:
apakah pengkhianatan
dapat tetap dipertahankan dengan makna.
pahlawan dan pengkhianat
tinggal bertahta dalam ukuran...

(1985)

            Setelah mengkaji sajak “Angin” yang pertama, kini kita beralih pada sajak “Angin” yang kedua. Berbeda dengan simbol angin yang digunakan pada sajak yang pertama, yang merupakan penggambaran dari cobaan kehidupan. Pada sajak ini, angin seolah dimaknai lugas pada larik yang kedua. Digambarkan bahwa seseorang memperbaiki rambutnya yang tertiup angin. Lalu pada larik ketiga, kita masih berpikir bahwa angin merupakan angin dalam perwujudan yang sebenarnya. Angin yang dalam makna denotatis sesungguhnya tidak membuat rambut itu berantakan, namun justru menunjukkan sisi keindahan dari rambut itu sendiri. Akan tetapi, asumsi kita seakan terbelokkan pada larik kelima, yaitu “mengalir bersama angin”. Tentu kita tidak mungkin mengartikan secara cuma-cuma bahwa kita benar-benar mengalir bersama angin. Selanjutnya, kita dihadapkan pada larik “sejarah diputar kembali”. Jika dikaitkan dengan larik sebelumnya, angin bisa jadi merupakan simbol dari waktu. Dua larik tersebut dapat dimaknai, menjalani kehidupan dari waktu ke waktu, sampai pada saat kita teringat kembali pada kenangan-kenangan masa lampau yang telah menjadi sejarah. Pada larik kesebelas dan larik-larik selanjutnya menegaskan kembali simbol angin sebagai waktu. Berikut ini kutipan lariknya.
bersama angin
dinilai kembali harga kita:
apakah pengkhianatan
dapat tetap dipertahankan dengan makna.
pahlawan dan pengkhianat
tinggal bertahta dalam ukuran...

Seiring berjalannya waktu yang kita lalui, kita dapat menilai diri kita sendiri. Apakah kita akan merugikan orang lain atau justru berjasa untuk orang lain. Pada akhirnya yang tersisa hanyalah kadar kita sebagai orang yang buruk atau baik untuk orang lain. Seberapa besar merugikannya kita bagi orang lain ataukah seberapa berjasanya kita.
Terlepas dari makna khusus simbol angin itu sendiri, makna secara keseluruhan dari puisi ini ialah tentang perjalanan waktu dari kehidupan seseorang. Ketika seseorang telah melalui berbagai kisah dan kejadian dalam hidupnya. Saat usia terus menerus bertambah seiring dengan waktu. Ada suatu saat, kita teringat akan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dulu. Indera kita, mata kita yang merekam semuanya. Peristiwa yang menyenangkan sekaligus beriring dengan kedukaan. Mungkin juga ada hal-hal kecil yang terlewatkan begitu saja, yang sebenarnya berharga, yang baru kita sadari setelah waktu berlalu. Lalu ketika waktu terus berjalan, kita mulai mengetahui siapa diri kita sesungguhnya. Seseorang yang merugikan atau berjasa bagi orang di sekitar kita.
            Dari segi tipografi, sajak “Angin” yang kedua ini mempunyai perbedaaan yang amat mendasar dari sajak yang pertama. Sajak ini menggunakan susunan baris yang berjajar secara vertikal. Terdapat enam belas baris dari sajak ini dan semuanya ditulis huruf kecil, kecuali judul. Tidak banyak permainan bunyi yang terlalu tampak pada sajak ini, meski masih ada beberapa. Misalnya pada kata “peradaban” dengan “kebesaran”, “tercatat” dengan “pengkhianat”, “pengkhianatan” dengan “ukuran”. Bentuk pengulangan juga tidak cukup kuat, karena pola dan jaraknya yang tidak menentu atau terlalu jauh, misalnya kata “rambut”, “angin”, dan “pengkhianat”. Ada beberapa diksi yang digunakan, misalnya “kusut masai”, “layar kembar” dan “bertahta dalam ukuran”. Dari ketiga diksi tersebut tidak terlalu menimbulkan penafsiran yang rancu, seperti yang muncul pada sajak yang pertama. “Kusut masai” artinya sangat kusut. “Layar” kembar dalam konteks sajak ini bisa berarti kornea mata dan “bertahta dalam ukuran” berarti mengagungkan suatu ukuran tertentu.
            Jika boleh membandingkan, setelah mengkaji kedua puisi berjudul sama dari Bakdi Soemanto, terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Dari segi tema, sajak “Angin” yang pertama mengungkapkan pasang surut kehidupan, sedangkan sajak “Angin” yang kedua mengungkapkan peristiwa kehidupan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, keduanya sama-sama mengangkat tema kehidupan. Simbol angin pada sajak pertama menggambarkan cobaan kehidupan, sedangkan angin pada sajak kedua sebagai waktu. Sajak “Angin” yang pertama menggunakan tipografi berupa bait serta permainan bunyi yang digunakan sangat kuat jika dibandingkan dengan sajak kedua yang bertipografi baris dan tidak menggunakan permainan bunyi. Jika diksi yang digunakan pada sajak pertama lebih banyak dan berwarna, berbeda dengan sajak kedua yang lebih lugas dan sederhana, bahkan diksi yang menarikpun jarang. Dari segi pengeksploran kata, sajak pertama lebih hemat, mampat dan padat dalam mengolah kata-kata. Hal ini dipengaruhi pula oleh tipografi sajak pertama yang berupa bait-bait. Berbeda dengan sajak kedua yang lebih lengkap struktur kalimatnya, sehubungan dengan tipografi baris yang digunakan. Pada akhirnya, penilaian tentang sajak mana yang lebih baik dan berkualitas, kembali pada sudut pandang masing-masing pembaca serta relevansi sajak tersebut pada jamannya. Terlepas dari itu semua, proses kreatif dari Bakdi Soemanto dalam melahirkan karya-karya puisinya yang estetik perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar