Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NILAI KEHIDUPAN DALAM “MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL” KARYA ARIFIN C. NOOR

NILAI KEHIDUPAN DALAM  “MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL” KARYA ARIFIN C. NOOR
Oleh: Lailinda Nur janah

Drama ini menceritakan tentang kisah kehidupan para pegawai pabrik dan sebuah pembelajaran tentang jujur dan kebohongan di sebuah warung milik seorang simbok yang letaknya berdekatan dengan lokasi pabrik tersebut. Nama para tokoh dalam naskah drama tersebut tidak seperti nama-nama tokoh yang biasanya diceritakan, yakni si Tua, si Pendek, si Kurus, si Peci, si Kacamata, Simbok, Pemuda, Penjaga malam, Perempuan, dan si Sopir.
Dialog diawali dengan percakapan para buruh pabrik yang mencoba menyindir bagaimana kejamnya kehidupan saat ini meliputi merajalelanya tindak korupsi yang digambarkan penulis seperti seekor tikus dan tikus saat ini sudah berani beraksi di siang hari (para pelaku korupsi semakin berani dan tidak menggubris hukum yang ada di depannya nanti).
Si Kacamata    : Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.
Si Pendek        : Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.
Si Kurus          : Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.
Si Kacamata    : Dunia penuh tikus sekarang.
Si Kurus          : Dan tikus-tikus jaman sekarang beraqni berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong.

Selain itu topik yang dibicarakan juga membahas mengenai semakin melambungnya harga kebutuhan pokok (beras) tetapi tidak diiringi dengan naiknya gaji mereka, nasib kaum bawah (buruh dan kaum terpinggirkan) yang semakin terbawahkan.
Si Kacamata    : Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.
Si Peci             : Apa yang tidak naik?
Si Tua              : Semua naik.
Si Kurus          : Gaji kita tidak naik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MENJELAJAHI ALUR/PLOT DAN DIALOG DRAMATIK “AYAHKU PULANG” KARYA UMAR ISMAIL

MENJELAJAHI ALUR/PLOT  DAN DIALOG DRAMATIK  “AYAHKU PULANG” KARYA UMAR ISMAILOleh: Elok Kholidiyah

Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, persaaan, ide, semangat, keyakinan dalam seuatu bentuk gambaran kehidupan yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Pesona tulisan-tulisan itu membuat seorang pecinta karya sastra seperti berjelajah di atas lukisan gunung, menjulang tinggi hingga membawa angan-angan menembus cakrawala.  Menjelajahi karya sasra tidak sulit, cukup menggabungkan hati dengan apa yang kita baca, Ada dua macam karya sastra  yaitu imajinatif dan non imajinatif.  Imajinatif berupa puisi, cerpen, drama, dan lain-lain. Karya sastra itu ibarat lautan dan gunung, Jika laut kita harus mengarunginya dengan perahu kata dan imajinasi hingga titik pusat laut dengan melihat keindahan laut yang terlukis indah sehingga membuat kita ingin mengarunginya lebih jauh lagi. Tetapi jika gunung kita perlu menjelajahinya dengan mendaki ke atas melewati hutan-hutan belantara yang membuat kita penasaran. Walau penjelajahan di gunung itu melelahkan tetapi kita dapat menuju titik puncak gunung dengan memperoleh makna dan nilai tersendiri dari karya sastra itu. 
Pendakian pada karya sastra akan terus berjalan menjelajahi  pemikiran setiap pencinta karya sastra seperti berlari pada panggung tertinggi suatu karya sastra yang dipentaskan salah satunya seperti drama. Ketahuilah drama termasuk itu genre sastra imajinatif. Menurut definisi, drama adalah ragam satra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas pentas (Zaidan, 2000). Mulyawan (1997:147) adalah salah satu genre sastra yang hidup dalam dua dunia, yaitu seni satra dan seni pertunjukan atau teater.Drama memiliki bentuk sendiri, saat puisi kebanyakan berbentuk monolog dan novel atau cerpen perpaduan dialog dan monolog, maka drama drama merupakan karya sastra berupa dialog yang diperankan melalui tokoh-tokohnya. Dengan melihat naskah pun pembaca akan mengetahui bahwa karya tersebut adalah drama.Berbicara mengenai drama, terutama naskah dramanya hati ini sangat tertarik dengan salah satu drama yang berjudul “Ayahku Pulang” karya Usmar Ismail. Saat membaca naskah drama ini perahu pemikiranku seperti ingin menjelajahinya dari ujung satu ke ujung lainnya. Judul naskah drama ini sangatlah sederhana tidak ada yang menarik hanya judul sering kita dengar entah di televisi atau sebuah lagi. Tidaklah menarik jika hanya dilihat dari judul. Memang judul ibarat etalase. Jika judul itu menarik dan indah pasti orang akan penasaran dengan apa yang ada dalam etalase itu. Oleh karena itu sempat ketertarikan itu menurun karena naskah drama ini  terlalu sedahana dari segi judul maupun cerita keseluruhan. Sebenarnya keserhanaan itu lebih mengarah pada cerita yang sering terjadi di lingkungan sekitar. Tetapi setelah menjelajahi lebih jauh, ternyata penulis Umar Ismail benar-benar memberikan alur yang menarik untuk baca. Tidak hanya alur, dialognya sangatlah mudah dipahami karena gaya bahasa yang dituturkan tidaklah serumit dibayangkan. Dialog lebih akan mudah ditebak suasana maupun prasaan tokoh dari peran yang diperankannya. Oleh karena itu perahuku kini telah mengarah pada alur atau plot naskah drama ini. Tidak hanya alur tetapi juga dialognya. Walau sangatlah menarik tetapi jika dipikir seharusnya tidak perlu membuat berlebih-lebihan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pesan Sosial drama “Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi”

Pesan Sosial drama “Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi” adaptasi bebas dari Cerpen Seno Gumira Ajidarma
Oleh: Pradicta Nurhuda

Naskah drama merupakan satu karya sastra yang diterima oleh suatu masyarakat, karena mencerminkan nilai-nilai yang masih dapat diterima oleh suatu ikatan sosial, artinya dapat mencerminkan sistem nilainya dan hubungannya dari kondisi masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya naskah tersebut lebih menekankan sasarannya pada masyarakat. Tujuannya adalah untuk menyentuh perasaan individu yang berada di dalam masyarakat. Dan kandungan yang ada di dalamnya merupakan pengambaran dari konsisi masyarakat serta peristiwa-peristiwa yang di alami oleh pengarang. Seperti yang tercermin dalam drama 7 babak “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” yang diadaptasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma. Ceritanya seakan memberikan kritik pedas dalam menyoroti masalah yang selama ini ada di masyarakat. Terutama sikap lelaki yang kebanyakan mata keranjang ketika melihat seorang wanita cantik dan seksi dan sering menggoda wanita seksi ketika melintas di depannya. Disini digambarkan banyak lelaki yang berimajinasi kemana-mana ketika mendengar suara wanita bernama Zus.

Terlihat dalam drama ini, kritik sosial terhadap masalah yang terjadi dalam realita sosial masyarakat, terutama masyarakat perkotaan yang moral asusilanya sudah mulai rusak, salah satunya dikarenakan era globalisasi yang masuk ke Indonesia, misalnya dari tontonan televisi yang menyajikan tayangan sensual. Kerusakan moral tersebut bisa dilihat dari banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap kaum wanita akhir-akhir ini, baik di televisi maupun koran. Seperti halnya asap yang berasal dari api, jika api tidak dinyalakan tentu asapnya tidak ada. Jika dihubungkan dengan kejadian pelecehan seksual terhadap wanita, kebanyakan terjadinya pelecehan akibat ulah si wanita terlebih dahulu yang memancing hasrat pria untuk melakukan pelecehan, seperti pakaian yang terlalu mini, terlalu sensual, dll. Seperti yang tergambar dalam drama “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” ini, akibat nyanyian seorang wanita ketika mandi, seluruh pria di komplek perumahan menjadi berpikiran macam-macam dan negatif. Jika dihubungkan dengan hadist, memang benar kalau wanita itu dilarang bersuara dengan keras karena akan menimbulkan syahwat. Seperti dalam Islam, wanita dilarang adzan karena suaranya bisa didengarkan oleh lelaki dan ditakutkan akan menimbulkan syahwat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menguak Cerita dalam “Robohnya Surau Kami”

Menguak  Cerita dalam “Robohnya Surau Kami” 
Oleh: Pradicta Nurhuda

Cerpen sebagai salah satu karya sastra yang jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Cerpen dengan segala permasalahannya yang universal ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Seperti halnya mengkaji cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Cerpen ini memiliki keistimewaan dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang lain.
 
Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa karena Navis menceritakan cerita di dalam cerita cerpen tersebut atau bisa dikatakan cerita bertumpuk yang ada dalam cerpen dan Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Cerpen A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama yang biasa dilakukan oleh orang yang benar-benar taat beragama. Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita. Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu bunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, yakni Ajo Sidi.
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Realita Sosial dalam Puisi Taufik Ismail ‘98

Realita Sosial dalam Puisi Taufik Ismail ‘98
Oleh: Pradicta Nurhuda

’98? Tahun yang dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang bagi Indonesia. Satu sisi, banyak gejolak sosial yang terjadi pada masa itu. Sisi lain, pada zaman itulah Indonesia mengenal sebutan “REFORMASI.” Tragedi Semanggi, Trisakti, dan penggulingan tahta kepresidenan Presiden Soeharto merupakan sebagian dari banyak tragedi sejarah yang tidak begitu saja lepas dari ingatan masyarakat Indonesia. Sampai-sampai seorang sastrawan kawakan, seperti Taufiq Ismail pun seolah-olah ingin mengabadikan moment  sejarah pada tahun tersebut dengan merangkainya ke dalam kata-bait puisi. Dengan puisi yang bertemakan sosial, kebanyakan bertemakan kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan, secara tidak langsung Taufik mencoba untuk menyindir penguasa yang sedang berkuasa di zaman itu. Tidak hanya periode ’60an saja yang sangat kental dengan puisi-puisi perlawanan mengecam kediktatoran pemerintah, pada waktu itu Taufiq Ismail beraksi lagi dengan rangkaian kalimat puitisnya berbicara tentang apa yang terjadi di tahun 1998. 

Siapa yang tak kenal penyair berkharismatik dengan banyak karya dan penghargaan ini, beliau adalah pendiri majalah Horison. Puisi-puisinya seakan punya roh yang dapat membangkitkan semangat pembacanya. Setelah mempersembahkan kumpulan puisi Manifestasi di tahun 1966 bersama Goenawan Mohamad dan Hartojo Andangjaya, beliau tak pernah absen menghiasi langit sastra Indonesia. Dengan ciri khasnya puisi bebas mirip prosa dengan bertemakan cerita sosial masyarakat yang sebenarnya, pembaca seakan diajak merasakan langsung peristiwa yang terjadi di zaman itu. Terlebih di tahun ’98 dengan persembahan kumpulan puisinya, seakan semakin memanaskan suasana yang terjadi pada zaman itu. Puisi-puisi seperti, Bayi Lahir di Bulan Mei 98, Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Miskin Desa, Miskin Kota dan Seratus Juta merupakan beberapa puisi yang tak pernah berhenti memenuhi halaman majalah-majalah sastra pada zaman itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PESAN TERSELUBUNG YANNG TERSINGKAP LEWAT KESEDERHANAAN DIALOG DAN ALUR DALAM DRAMA DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI


PESAN TERSELUBUNG YANNG TERSINGKAP LEWAT KESEDERHANAAN DIALOG DAN ALUR DALAM DRAMA DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI
Oleh: Anjar Aprilia Kristanti

 Pendahuluan
            Karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang unsur-unsurnya membentuk hubungan timbal-balik (Pradopo, dalam Suwigyo, 2010: 100). Hal tersebutlah yang mendasari analisis ini mengudarkan unsur drama bagian dialog dan alur. Bagian dialog dan alur dalam naskah drama ini akakn menunjukkan bahwa salah satu unsur yang paling menunjol dalam karya sastra pun tidak bisa lepas dari unsur lainnya. Lewat dialog dan alur ini akan tampak unsur tokoh maupun penokohan yang dibawa masing-masing tokoh, latar dalam tiap adegannya, maupun pesan yang ingin disampaikan pengarang lewat tulisannya. Drama berjudul ‘Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi’ ini merupakan salah satu karya Gusmel Riyadh yang diadaptasi dari cerpen milik Seno Gumira Adjidarma. Dilihat dari pemilik cerpen yang diangkat oleh Gusmel, pantaslah tulisan ini akan menyingkap pesan yang ada dalam naskah drama ini. Seno yang dikenal kritis akan keadaan sosial di sekitarnya tampak dari perjalanan hidupnya yang dipenuhi pengembaraan dan dari karyanya yang mengangkat fenomena di Timor-timur lewat Trilogi buku, dan karya penuh maknanya lewat ‘Kitab Omong Kosong’. Jadi tidak mungkin dalam gambaran sederhana unsur dalam naskah drama ini tidak sarat pesan di dalamnya.

           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bila Malam Bertambah Malam, Memanusiakan Manusia

                               Bila Malam Bertambah Malam, Memanusiakan Manusia
                                                        Oleh: Widya Ufi Damayanti

Putu Wijaya bukanlah seorang sastrawan yang akan menulis karya sastranya dengan gaya bahasa yang rumit dan diksi yang berkelok-kelok. Lucu, lugas, dan enak untuk dibaca. Namun, meskipun tidak berumit-rumit, isi cerita atau konflik yang ada di dalam setiap karyanya sungguh luar biasa dan di luar nalar pikiran seorang biasa. Inilah yang membuat Putu Wijaya dikenal dengan teror mentalnya. Sangat sulit memperkirakan ending karya Putu Wijaya, walaupun masalah yang diangkat sangat sederhana, tetapi teror mental yang disuguhkan mampu membuat masalah itu menjadi istimewa di mata pembaca. Bukan hanya teror mental, Putu Wijaya juga dikenal tidak jarang menggunakan bermacam simbol dalam karyanya. Namun, yang paling berkesan tentu saja pemilihan kata-katanya, yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketika membaca karya Putu Wijaya, seringkali orang tidak menyangka bahwa pengarang akan menggunakan pemilihan kata yang seperti itu.
Bila Malam Bertambah Malam. Sebuah lakon yang berlatar belakang kehidupan kasta masyarakat Bali dilihat dari kehidupan sehari-hari keturunan keluarga bangsawan. Merupakan salah satu karya Putu Wijaya yang cukup terkenal.
Mengenal tokoh Bila Malam Bertambah Malam, dalam urutan pertama tentu saja muncul nama Gusti Biang. Wanita tua dan pemarah yang merupakan sosok sentral dalam lakon Bila Malam Bertambah Malam. Dialah putri tunggal seorang bangsawan, yang telah ditinggal mati oleh suaminya, yang kini kehidupan di hari tuanya selalu ditemani Wayan pelayan setianya. Tidak mempercayai siapapun selain Wayan dan sangat tegantung pada Wayan. Juga, sangat perhitungan terhadap hartanya. Memiliki keyakinan bahwa keturunan bangsawan dapat memperlakukan dan berbicara siapapun dengan sekehendak hatinya, bahkan seringkali berbicara tidak sopan. Namun demikian, Gusti Biang adalah simbol dari seorang wanita yang memegang teguh tradisi masyarakat Bali yang memang memiliki kasta, sesuai dengan agama yang mereka anut, agama Hindu. Di masa lalunya, Gusti Biang rela menikah dengan orang yang tidak dicintainya demi menjaga tradisi.
Tokoh sentral yang kedua tentu saja lelaki tua, Wayan. Pelayan paling setia dan paling sabar dalam menghadapi tindak-tanduk Gusti Biang yang seperti anak kecil. Tidak pernah lelah untuk menasehati perilaku Gusti Biang, walaupun jarang sekali didengarkan. Wayan adalah simbol seseorang yang rela melakukan sesuatu dengan tulus ikhlas karena perasaan cintanya kepada Gusti Biang yang tak pernah padam sejak dahulu kala.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Objektifitas Drama Aduh Karya Putu Wijaya

                                            Objektifitas Drama Aduh Karya Putu Wijaya

Oleh: Agustin Marta Suwandari

     Kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antarunsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu.
Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu membedah karya-karya yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang menyusun drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di dalamnya. Saat pembaca sudah mampu mengapresiasi sastra, pembaca mempunyai kesempatan untuk mengkaji sastra.
     Apakah ada kecenderungan penyingkapan realitas sosial oleh sang pengarang? Ataukah ada hal-hal lain yang bisa pengkaji sastra temukan dari kajian tersebut? Ini bisa dianalisis dengan beberapa pendekatan karena kajian sastra memiliki berbagai pendekatan. Pendekatan-pendekatan itu ialah objektif, mimetik, ekspresif, dan pragmatik. Dalam tulisan ini akan mengidentifikasi naskah drama yang berjudul Aduh karya Putu Wijaya melalui pendekatan Objektif, yaitu mengkaji dari struktur yang membangun drama, yang terdiri dari unsur intrinsik. Unsur intrinsik tersebut yaitu tema, penokohan,perwatakan, latar, alur, konflik, amanat, sudut pandang, dan gaya bahasa.
     Putu Wijaya yang selalu menghasilkan karya ini bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, Lahir di Puri Anom, Sarem, Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Banyak karya-karya baik drama maupun prosa yang ia hasilkan, misalnya Dalam Cahaya Bulan Bila Malam ,Bertambah Malam, Invalid, Tak Sampai Tiga Bulan, Orang-Orang Malam, Lautan bernyanyi, Aduh, Anu, Edan, Hum-pim-pah, Dag-dig-dug, dan lain sebagainya. Gaya penulisan Putu Wijaya sangat kental sekali, ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness. Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido seksual yang ada dalam daerah kegelapan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Teropong Kepalsuan di Balik Sebuah Manisnya Bibir dalam Naskah Drama “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” Karya Arifin C. Noer


Teropong Kepalsuan di Balik Sebuah Manisnya Bibir dalam Naskah Drama “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” Karya Arifin C. Noer Oleh: Fryskatana Wira

Sastra merupakan sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Hal tersebut disebabkan karena dalam pembahasan pembuatan sebuah karya sastra selalu mengaitkan berbagai nilai kehidupan manusia dan segalam masalah yang ada di sekitar manusia. Seperti halnya drama Arifin C. Noer “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” tersebut sangat erat dengan realitas kehidupan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “Setinggi-tingginya tupai melompat pasti jatuh juga”, sepandai-pandainya orang berbohong pasti terbongkar juga.

Matahari disebuah jalan kecil memunculkan pertentangan tokoh utama dalam suatu kondisi. Pertentangan antar pendapat dan keraguan karena pernah merasakan hal ketidakjujuran seseorang. Dan pada akhir cerita tokoh utama merasa kecewa dengan mengetahui kebenaran atas keraguan pada tokoh utama.

Awal cerita terdapat narasi yang menjelaskan bahwa di sana seperti menggambarkan kehidupan rakyat kecil sehari-hari yang di mana terlihat ada seorang penjaga malam, Simbok, dan ada pemuda yang membawa bagi di atas kepalanya.  Dialog pun diawali dengan di sebuah jalan kecil terdapat sebuah pabrik es yang sudah sangat tua. Di depan bangunan pabrik es itu ada seorang wanita tua yang berjualan makanan berupa pecel. Pelanggannya kebanyakan dari pekerja pabrik juga. Saat itu yang berada di warung pecel tersebut ada Si Tua, Si Peci, Si Kurus, Si Kacamata, dan Si Pendek. Mereka sedang makan sekaligus mengeluh tentang harga makanan dan kebutuhan pokok yang terus beranjak naik sedangkan gaji mereka tak kunjung naik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TRAGEDI CINTA MADEKUR DAN TARKENI DI ANTARA DUNIA COPET DAN KUPU-KUPU MALAM



TRAGEDI CINTA MADEKUR DAN TARKENI DI ANTARA DUNIA COPET DAN KUPU-KUPU MALAM
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari


Madekur dan Tarkeni merupakan naskah drama buah karya Arifin C. Noer. Madekur dan Tarkeni ini terdapat dalam buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI. Naskah ini adalah bagian dari pentalogi Orkes Madun. Madekur dan Tarkeni sendiri merupakan bagian pertama. Bagian kedua adalah Umang-umang, bagian ketiga adalah Ozone, sedangkan bagian keempat adalah Sandek; Pemuda Pekerja. Bagian kelima akan berjudul Magma. Sayangnya, Magma tidak dapat terealisasikan karena Arifin C. Noer meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995. Pentalogi ini merupakan karya terakhir dari Arifin C. Noer. Oleh karena itu, lakon ini menjadi legenda tersendiri bagi dunia naskah drama Indonesia karena keberadaannya yang menjadi lakon terakhir dari seorang sastrawan. Selain itu, naskah drama ini berbentuk pentalogi, dimana bentuk naskah drama seperti ini belum ditemukan di dunia sastra Indonesia.

Keempat naskah ini memiliki keterkaitan yang tidak urut. Madekur dan Tarkeni berhubungan dengan Sandek; Pemuda Pekerja, sedangkan Umang-umang berhubungan dengan Ozone. Tokoh-tokoh utama dari keempat naskah ini adalah Madekur, Tarkeni, dan Waska. Madekur dan Tarkeni adalah dua tokoh utama dari naskah Madekur dan Tarkeni serta Sandek; Pemuda Pekerja, sedangkan Waska adalah tokoh utama dari Umang-umang dan Ozone. Hubungan antara naskah Madekur dan Tarkeni dengan naskah Sandek; Pemuda Pekerja adalah inti cerita yang disampaikan sama, yaitu tentang ironi kehidupan kota Metropolitan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Punahnya Dolanan Tradisional dalam Drama ‘Padang Bulan’



Punahnya Dolanan Tradisional  dalam Drama ‘Padang Bulan’
Oleh: Zakiah Alif Syakura

            Drama ‘Padang Bulan’ ini adalah drama sederhana buat Belia karya Ucok Klasta. Tokoh-tokoh pada drama ini adalah Padang, Bulan, Jembar, Kalangan, Aki, Nini/ (sekaligus) Ibu lugu, Lugu, pejabat Pemerintah Kota, Politikus (Anggota Dewan Kota), Boss (Pengusaha), Petugas Kamtib. Drama ini terdiri atas 5 adegan.
            Drama ini kaya dengan beberapa simbol. Simbol-simbol tersebut sebagai bentuk penyampaian kepada penonton. Ucok ingin menyampaikan seberapa banyak permainan tradisional yang sudah mulai ditinggalkan oleh anak-anak modern sekarang. Kehadiran tokoh Padang, Bulan, Jembar, dan Kalang juga sebagai salah satu simbol yang terdapat dalam drama ini. Keempat tokoh tersebut menyimbolkan permainan tradisional yang punah punah terkikis dengan modernisasi.
Pada awal adegan 1 sampai 2 Ucok memperlihatkan adegan permainan anak tradisional, khususnya anak Jawa. Hal tersebut terlihat dari adegan saat keempat tokoh bermain tebak-tebakan di malam hari saat bulan purnama.  Selain itu, Ucok juga menyebutkan beberapa permainan tradisional yang sudah mulai punah melalui dialog tokoh Padang ‘Nah, main apa kita sekarang ? Kejar-kejaran? Betengan? Gaprakan ? Tebak-tebakan?’. Kemudian pada adegan 2, Ucok memperkenalkan kebiasaan Aki dan Nini yang bercerita kepada anak-anak sambil menyuguhkan jajanan tradisional, seperti klenyem (seperti dalam drama).
Pada keseluruhan drama, Ucok juga mengenalkan beberapa lagu tradisional sebagai simbol pemusnahan lagu tradisional akibat modernisasi. Lagu tradisional yang digunakan dalam drama ini adalah ‘Padang Bulan’ dan ‘Menthok-menthok’. Lagu ‘Padang Bulan’ menggambarkan kegirangan anak-anak zaman dahulu saat bulan purnama datang dan bermain. Semua anak berkumpul untuk bermain, berbeda dengan anak-anak zaman sekrang yang lebih asyik dengan kecanggihan teknologi. Hal tersebut diakhir drama diibaratkan Ucok dengan berubahnya tokoh Padang, Jembar, dan Kalang menjadi playstation, handphone, dan Buldoser.
Pada adegan ke-3 pergantian latar diawal dengan dialog Aki. Dialog Aki dari balik panggung dan keluarlah tokoh Lugu memperagakan cerita Aki seolah cerita Aki tersebut menjadi nyata dan dapat dinikmati menonton. Pada cerita Aki tersebut, Ucok menyampaikan bahwa modernisasi seperti itulah yang telah mengikis permainan tradisional. Kemewahan membuat anak-anak lupa bahwa ada permainan tradisional yang lebih baik. Keadaan yang berbinar-binar membuat permainan tradisional semakin dilupakan. Anak-anak lebih asik dengan kecanggihan teknologi daripada permainan trasdisional.Ucok juga seakan ingin mengajarkan bahwa dalam permainan tradisional mengajak untuk saling bersosial satu sama lain, saling mengasihi, saling menghargai, dan saling membantu. Sedangkan moderninasi cenderung membuat orang egois serta mementingkan diri sendiri. Hal tersebut tercermin dalam adegan dialog pejabat dan Boss serta Lugu yang meminta-minta malah dicaci oleh Boss dan diusir oleh kamtib.
065. Lugu             : Tidak mau! Saya bukan gelandangan! Saya Lugu ! Saya manusia! Saya bukan binatang!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

METROPOLISME CERPEN “Gerimis Bermata Batu”



METROPOLISME CERPEN “Gerimis Bermata Batu”
Oleh: Zakiah Alif Syakura

Ulasan singkat cerpen “Gerimis Bermata Batu” karya Gunawan Tri Atmodjo:
            Hujan rintik menyaksikan mata sembab seorang ibu dengan darter yang lusuh. Suara anak yang kegirangan melengking menyayat gendang telinganya. Sarju masih ingat hujan tiba-tiba turun di tengah musim kemarau membuat luka yang sangat dalam.
            Siang itu di tengah-tengah bekerja tiba-tiba Sarju mendapat telepon dari istrinya, Lastri. Berita duka bahwa anaknya telah menjadi korban tabrak lari. Sarju bergopoh-gopoh bergegar ke rumah sakit. Sesampainya di sana, nyawa anaknya pun sudah tak dapat ditolong lagi.
            Sarju mengumpulkan semua uang untuk biaya pemakaman yang layak bagi anaknya. Tetapi siapa sangka harga sepetak tanah untuk pemakaman sangat mahal. Bahkan Sarju masih harus merogoh kocek untuk tempat pemakaman di bantaran sungai.
            Sarju tidak menyangka saat dia kembali ke rumah, hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Sarju bergegas membawa linggis dan pacul, berlari menerobos pekatnya hujan yang semakin lebat. Di pemekaman, tubuh Sarju seakan hancur seketika saat mengetahui makan anaknya sudah dibabat habis oleh air sungai yang meluap. Sarju menyayangkan mengapa hidup anaknya sangat menyedihkan seperti itu. Hanya karena tak memiliki uang yang cukup, jasat anaknya harus hanyut terbawa sungai yang meluap.
***
Cerpen yang berjudul “Gerimis Bermata Batu” ini adalah karya Gunawan Tri Atmodjo pada Juli 2004 di kota kelahirannya, Solo. Gunawan lahir pada 1 Mei 1982. Pada lahirnya cerpen ini Gunawan masih menempuh kulih di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Surakarta.
            Karya sastra baik puisi, drama, cerpen, ataupun karya sastra yang lain memiliki pesan yang ingin disampaikan penciptanya. Dengan menggunakan pendekatan pragmatik, pembaca dapat memperoleh pesan sosial yang ingin disampaikan Gunawan. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra dari segi pembaca.
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ANAK-ANAK TEMBAKAU



ANAK-ANAK TEMBAKAU
Jamal D. Rahman

Oleh: Zakiah Alif Syakura




kepada petani tembakau di Madura

kami anak-anak tembakau
tumbuh di antara anak-anak batu
nafas kami bau kemarau campur cerutu

bila kami saling dekap,
kami berdekapan dengan tangan kemarau
bila kami saling cium,
 kami berciuman dengan bau tembakau

langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menangis
sebab kulit kami tetap coklat
secoklat tanah
tempat kami menggali airmata sendiri

langit desa kami rubuh seribu kali
tapi kami tak pernah menyerah

pada setiap daun tembakau
kami urai urat hidup kami
pada setiap pohon tembakau
kami rangkai serat doa kami

Potret Kehidupan Anak Tembakau dalam Sajak Jamal D. Rahman; “Anak-anak Tembakau”

Kritik esai ini menitik beratkan pada pendekatan mimetik. Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis yang berarti ‘meniru’,‘tiruan atau ‘perwujudan’. Secara umum mimetik dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dari dunia kehidupan nyata. Mimetik juga dapat diartikan sebagai suatu teori yang dalam metodenya membentuk suatu karya sastra dengan didasarkan pada kenyataan kehidupan sosial yang dialami dan kemudian dikembangkan menjadi suatu karya sastra dengan penambahan skenario yang timbul dari daya imajinasi dan kreatifitas pengarang dalam kehidupan nyata tersebut. Pendekatan lain yang digunakan sebagai pendekatan penunjang adalah pendekatan pragmatik dan ekspresif. Hal tersebut karena untuk dapat mengaitkan karya sastra dengan masyarakat diperlukan pengetahuan tentang latar belakang karya sastra tersebut diciptakan, latar belakang pengarang, dan latar belakang pembaca.
Jamal D. Rahman adalah sastrawan yang lahir di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, 14 Desember 1967. Dia adalah alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura dan kemudian IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah menyelesaikan S2 pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Dia terlahir sebagai penulis sajak, esai, kritik sastra, masalah kesenian dan kebudayaan di berbagai media massa. Perjalanan karir Jamal D. Rahman memang lancar. Ia kerap diundang mengikuti acara-acara sastra di dalam luar negeri, antara lain Festival Seni Ipoh III, Negeri Perak, Malaysia (1998), Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara bidang Esai di Cisarua, Bogor (1999), Seminar Kritkan Sastra Melayu Serantau, Kuala Lumpur (2001), dan Pertemuan Penulis Asia Tenggara (South-East Asian Writers Meet) di Kuala Lumpur (2001), Festival Poetry on the Road di Bremen, Jerman (2004). Selain itu, sajak-sajaknya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dan dimuat dalam berbagai antologi.  Di Indonesia tulisan-tulisannya juga dimuat dalam sejumlah buku, diantaranya Islam dan Tranformasi Sosial-Budaya (1993), Romo Mangun di Mata Para sahabat (1997), tarekat Nurcholishy (2001), dan Ulama Perempuan Indonesia (2002).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Memandang Manusia melalui Dua Cermin: Sebuah Perenungan tentang Orang Malam Karya Sony F.Maulana



Memandang Manusia melalui Dua Cermin:
Sebuah Perenungan tentang Orang Malam Karya Sony F.Maulana
Oleh: Wisnu Bramantyo

             Karya sastra merupakan sebuah jalinan indah makna yang disajikan pada penikmatnya untuk dinikmati dan diuraikan kembali. Baik itu puisi, prosa, maupun drama, karya itu akan menyampaikan suatu pesan tersendiri. Beberapa karya membawa pesan yang langsung dapat dicerna, sementara yang lain menyampaikan pesan-pesan yang lebih tersembunyi. Drama, sebagai suatu bentuk karya sastra yang dapat dinikmati dengan 2 cara (sebagai naskah dan sebagai pementasan), mempunyai sedikit perbedaan. Drama sebagai pementasan akan menuntut penikmat yang memiliki kemampuan lebih dalam mencerna pesannya. Hal ini ialah karena sifatnya sebagai pementasan yang sekejap dan real time memerlukan konsumen yang dapat segera menafsirkan pesan-pesan yang disampaikan. Memang, makna-makna juga dapat digali melalui bedah naskah ataupun diskusi bedah drama (setelah dipentaskan), namun sensasi apresiasi yang didapat tentunya berbeda.
            Orang Malam karya Sony F. Maulana ialah drama yang memiliki dua cermin di dalamnya. Dua pesan besar. Satu akan mudah ditangkap oleh penonton atau pembaca naskah, sedangkan yang satu lagi sedikit tersamar secara filosofis dan memerlukan perenungan sejenak. Drama ini menarik untuk diangkat karena tema sosial seperti yang didengungkan dalam Orang Malam biasanya merupakan inti dari pesan yang ingin disampaikan sebuah karya. Tetapi, hal sebaliknya terjadi dalam drama ini. Sony justru menjadikan plot dan makna sosial ini sebagai pintu gerbang menuju makna yang lebih instropektif dan lebih dalam. Lebih unik lagi, makna, cermin kedua ini juga masih berhubungan erat dengan cermin pertama. Pengungkapan jatidiri cermin ini di akhir drama akan memberikan sebuah kejutan bagi penonton karena dia juga berfungsi sebagai twisted plot. Pengemasan pertunjukan yang bagus akan memfungsikan kedua cermin ini sedemikian rupa, sehingga di akhir pentas penonton akan terpana dan terdiam, berpikir sejenak mengenai esensi drama dan esensi kehidupan itu sendiri.
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menyibak Sisi Gelap Jepang melalui Kucing Kiyoko



Menyibak Sisi Gelap Jepang melalui Kucing Kiyoko
Oleh: Wisnu Bramantyo

                Karya sastra selalu menjadi makhluk dunia perbatasan. Di satu sisi ia selalu mengulang pola-pola yang sama, namun dituntut untuk menawarkan sesuatu yang baru. Dia lahir dari individualitas pengarangnya, tapi menjadi konsumsi publik dengan multitafsirnya. Karya sastra juga merupakan hasil mimetisasi langsung dunia sekitar, namun sadar ataupun tak sadar juga mengandung simbol-simbol yang lebih dalam. Inilah yang membuat karya sastra yang unggul menjadi berbeda dengan karya sastra lainnya. Dalam pembacaan sekilas, ia akan menjadi sebuah hiburan. Selanjutnya, saat dibaca dengan lebih dalam, makna simbol-simbolnya akan terungkap lapis demi lapis, hingga menjadi sebuah karya yang memberikan pesan hidup dan perenungan yang penuh arti. Kucing Kiyoko, sebuah cerpen karya Rama Dira J ialah salah satu contoh karya sastra yang berlapis, sebuah karya yang menarik untuk dikupas lebih lanjut.
            Kucing Kiyoko mengisahkan seorang mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Jepang. Suatu saat, ia menemukan seorang kucing di depan flatnya. Kucing tersebut berbelang tiga, montok, terlihat terawat, namun kedinginan dan terluka cukup parah. Mahasiswa tersebut segera memberikannya makanan, susu, dan mengobatinya. Selanjutnya diketahui bahwa kucing tersebut, Takeshi, ialah kucing milik Kiyoko, tetangga flatnya, seorang wanita yang diam-diam dikagumi oleh mahasiswa tersebut. Hubungan mahasiswa tersebut dan Kiyoko dengan cepat terjalin karena faktor Takeshi. Suatu saat, ketika sedang dijamu oleh Kiyoko dengan sukiyaki di flatnya, mahasiswa tersebut menyadari sesuatu: Takeshi hilang. Ketika ia bertanya, Kiyoko menjawab bahwa Takeshi telah menjadi kulit di shamisennya. Lebih menyedihkan lagi, sukiyaki yang baru saja dimakannya juga dari daging Takeshi. Mendengar hal itu, mahasiswa tersebut merasa sangat sedih dan menyadari bahwa Takeshi adalah bagian Kiyoko yang paling ia cintai.
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Memandang Bendera Darah dan Air Mata Kami dari Kaleidoskop Sejarah



Memandang Bendera Darah dan Air Mata Kami dari Kaleidoskop Sejarah
Oleh: Wisnu Bramantyo

            Banyak penyair di Indonesia yang kurang mendapat apresiasi sesuai dengan yang pantas didapatkannya. Contohnya pengarang/ penyair seperti Saini KM, Soebagyo Sastrowardoyo, dan Kuntowijoyo yang tidak terlalu banyak diketahui publik biarpun mereka telah berkarya dengan aktif dan menghasilkan karya-karya bermutu, bahkan tidak hanya di dunia puisi saja. Saini khususnya,di samping menulis puisi, ia adalah pengarang esai, drama, prosa, dan buku nonfiksi. Kesetiannya selama hampir 20 tahun dalam membina rubrik ulasan sastra “Pertemuan Kecil” di harian Pikiran Rakyat Bandung telah menumbuhkan bakat-bakat baru dalam dunia sastra Indonesia, khususnya Jawa Barat. Acep Zamzam Noor, Wan Anwar, dan Agus R.Sardjono hanyalah sebagian kecil dari sederet nama sastrawan yang menambatkan karir dan inspirasi-inspirasi awalnya dari ulasan Saini. Walaupun begitu, peran di belakang layar ini dinikmatinya dengan sungguh-sungguh: ia benar-benar mengerti bahwa penyair sejati selalu ada di dalam kesepian, seperti nampak dalam sebuah pesannya untuk para penyair muda.

Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu
Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya
               
                Saini menulis puisi sejak masih duduk di bangku kuliah di PTPG (Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru, sekarang UPI Bandung). Puisinya pertama kali dimuat dalam majalah Siasat pada tahun 1960. Selanjutnya, salah satu puisinya (Bendera Darah dan Air Mata Kami) juga dimuat di majalah Basis edisi Agustus 1965, sebuah puisi yang menjadi salah satu puisinya yang paling terkenal dan kerap dibacakan dalam berbagai acara.
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nilai Pendidikan dan Moral dalam Dunia Totto-chan



Nilai Pendidikan dan Moral dalam Dunia Totto-chan
Oleh: Widya Uffi Damayanti

“Sekolah seperti apa yang akan kita bangun lagi?” tanyanya kepada putranya, Tomoe, yang berdiri di sampingnya. Tomoe mendengar kata-kata ayahnya, terpana, tak kuasa berkata-kata.
Kecintaan Mr. Kobayashi terhadap anak-anak dan ketulusannya dalam mengajar jauh lebih kuat daripada api yang sekarang membakar sekolahnya. Kepala Sekolah tetap riang (2011:248).

Totto-chan: The Little Girl At The Window ditulis oleh seorang artis Jepang bernama Tetsuko Kuroyanagi dalam bahasa Jepang, kemudian pada tahun 1984 diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Dorothy Britton, dan pada tahun 2008 dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Widya Kirana, judul novelnya pun berganti menjadi Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Tetsuko Kuroyanagi adalah seorang artis wanita yang paling disegani pada jamannya, dianggap sebagai salah satu selebriti Jepang pertama yang berhasil mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Selain dikagumi karena kegiatan-kegiatan amalnya bersama UNICEF, Tetsuko Kuroyanagi juga seorang penulis buku cerita anak ternama melalui Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Bahkan novel Totto-chan ini merupakan bacaan wajib para pendidik di negara Jepang.
Hampir sejalan dengan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, novel anak Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela juga menceritakan sekelumit kehidupan pengarang ketika masih kecil, persahabatan dengan teman sebayanya, juga pendidikan menarik yang ditempuhnya. Bahkan kedua novel terkenal ini juga sama-sama didedikasikan untuk seorang guru luar biasa, Laskar Pelangi untuk Ibu Muslimah dan Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela untuk seorang Sosaku Kobayashi. Selain kesamaan itu, terdapat pula beberapa perbedaan, misalnya saja jika pada Laskar Pelangi Ibu Muslimah harus memutar otak untuk menyiasati kurangnya sarana pendidikan yang diterima anak didiknya, berbeda dengan Mr. Sosaku Kobayashi yang justru menunjukkan perencanaan pendidikan yang sangat luar biasa dan matang pada jaman itu—jaman meletusnya Perang Dunia II.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Saya dan Ungkapan Batin Si Celurit Emas



Saya dan Ungkapan Batin Si Celurit Emas
Oleh: Widya Uffi Damayanti

Membaca puisi-puisi D. Zawawi Imron sama seperti membaca alam dan budaya bangsa Indonesia, utamanya alam dan kebudayaan Madura. Siapa yang sanggup menjelaskan bahwa penyair yang sangat produktif dalam dunia kesusastraan ini hanyalah orang kampung yang bahkan tidak pernah bergaul dengan dunia intelektual, apalagi bersentuhan dengan wacana dan kebudayaan asing. Menakjubkan memang, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi nyatanya sanggup menghasilkan puluhan puisi indah. Sajak Bulan Tertusuk Ilalang (1982) ciptaannya sanggup memberi inspirasi kepada sutradara Garin Nugroho dalam pembuatan film layar perak dengan judul Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata (1985) mendapat hadiah sebagai buku puisi yang terbaik dari Yayasan Buku Utama. Bahkan pada tahun 1990 kumpulan sajaknya Celurit Emas terpilih sebagai puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juga di tahun 1995, sajaknya Dialog Bukit Kamboja keluar sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Nasional Menulis Puisi 50 Tahun Kemerdekaan RI yang diadakan oleh salah satu stasiun swasta.
Kekayaan Zawawi adalah kesetiaan jiwanya pada desa tempat jasadnya dilahirkan dan tinggal—Batang-batang, Madura. Kesetiaan itulah yang membuat Zawawi lebih memilih menggunakan kosakata alam, hal ini terlihat jelas pada puisi-puisi gubahannya yang selalu saja dipenuhi kata-kata alam yang dipermainkan sedemikian rupa. Keindahan kata-kata alam yang dijalin Zawawi dalam puisinya terasa lebih istimewa tatkala butiran kata itu disibak satu-persatu untuk menemukan kata yang tersembunyi dalam kata lain. Dengan artian, puisi Zawawi bukan hanya sekedar menghadirkan nuansa alam namun juga mengandung pesan-pesan kehidupan yang disamarkan, termasuk di dalamnya kumpulan puisi Celurit Emas. Pesan-pesan kehidupan itu tidak nampak memang, tertutup oleh indahnya jalinan kata, namun setidaknya Zawawi telah memberi bocoran bahwa Celurit Emas ini memang mengandung pesan-pesan kehidupan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

TOKOH IBU DAN SISI LAINNYA DALAM SUDUT PANDANG PROSA “PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN”



TOKOH IBU DAN SISI LAINNYA DALAM SUDUT PANDANG PROSA
“PADA SUATU HARI, ADA IBU DAN RADIAN”
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari

Aku melayang. Mungkin tertidur. Tanpa mimpi, hanya gelap–dan terbangun karena kesunyian, sangat aneh untuk subuh yang biasanya riuh. Tak ada azan. Tak ada kokok ayam atau saling sahut teriakan penjual sayur dan radio tukang susu. Tempat Radian kosong, tapi masih hangat. Ia belum lama bangun. Aku tertatih keluar kamar dan mendapati anak itu di depan pintu kamar mandi yang separuh terbuka. Ia berdiri, terlalu kaku. Seperti sebuah gerakan yang tertahan di udara. Sinar yang sayu menyapu wajah kecilnya.

Kutipan di atas merupakan penggalan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian merupakan buah karya dari Arvianti Armand. Cerpen ini sendiri diterbitkan pertama kali di koran Kompas Minggu. Arvianti Armand merupakan nama baru dalam dunia sastra ketika ia menerbitkan cerpennya ini. Walaupun begitu, cerpen ini terpilih sebagai cerpen terbaik, yang pada akhirnya dibukukan dalam Antologi Cerpen Kompas Pilihan Tahun 2009. Cerpen ini mengisahkan tragedi kekerasan yang dialami seorang Ibu karena suaminya, dimana anaknya yang bernama Radian menjadi saksi mata. Memang, tidak heran jika cerpen ini terpilih menjadi cerpen terbaik kompas tahun 2009. Cerpen ini memiliki berbagai macam keunikan dalam penceritaannya. Salah satu keunikan itu terdapat pada unsur sudut pandangnya. Sudut pandang yang digunakan terdapat dua, yaitu sudut pandang pertama (tokoh Ibu) dan sudut pandang ketiga (penulis).
Apa definisi dari sudut pandang itu sendiri? Sudut pandang merupakan salah satu unsur intrinsik selain tema, latar, pesan, penokohan, alur yang membuat cerpen menjadi utuh. Sudut pandang merupakan cara pandang pengarang yang bercerita dengan menempatkan pengarang sebagai orang pertama, orang kedua, orang ketiga, atau bahkan orang yang ada di luar cerpen itu sendiri (Prabowo, 2011). Unsur ini tidak bisa dianggap remeh karena pemilihan sudut pandang juga tidak hanya akan mempengaruhi penyajian cerita, tetapi juga mempengaruhi alur cerita.
Menurut Friedman  sendiri (Prabowo, 2011), sudut pandang secara garis besar terdapat dua macam, yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Dalam sudut pandang orang pertama, pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “aku” inilah pengarang mengisahkan peristiwa atau tindakan dengan kesadaran dirinya sendiri. Tokoh “aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan. Sedangkan dalam sudut pandang orang ketiga, pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya atau kata gantinya “dia” atau “ia”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DEMOKRASI IDEAL ALA AGUS R. SARJONO DALAM SAJAK “DEMOKRASI DUNIA KETIGA”



DEMOKRASI IDEAL ALA AGUS R. SARJONO
DALAM SAJAK “DEMOKRASI DUNIA KETIGA”
Oleh: Silka Yuanti Draditaswari



Kalian harus demokratis.
Baik, tapi jauhkan tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku            
bukankah engkau tahu.
Tutup mulut!
Soal tinjuku mau kukepalkan,                                                                        
kusimpan di saku atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis.
Lagi pula kita tidak sedang bicara soal aku,
tapi soal kamu yaitu kamu harus demokratis!                                                
Tentu saja
saya setuju, bukankah selama ini saya telah mencoba.
Sudahlah!
Kami tak mau dengar apa alasannya
Tak perlu berkilah dan buang waktu.                                                            
Aku perintahkan kamu untuk demokratis, habis perkara!
Ingat gerombolan demokrasi yang kami galang akan melindasmu habis.    
Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!                                                                                           

            Puisi di atas merupakan salah satu puisi Agus R. Sarjono yang dimuat di Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi. Tangan Besi, Antologi Puisi Reformasi merupakan antologi puisi dari beberapa pengarang seperti WS. Rendra, Acep Zamzam Noor, Ahda Imran, Beni R. Budiman, Cecep Syamsul Hari, Diro Aritonang, Eriyandi Budiman, Juniarso Ridwan, Muhammad Ridlo ‘Eisy, Nenden Lilis A., Sonni Farid Maulana, Yessi Anwar, dan Agus R. Sarjono (Rendra, 2005). Demokrasi Dunia Ketiga merupakan puisi yang terlahir pada tahun 1998, dimana tahun tersebut alm. Bapak Soeharto masih menjabat menjadi Presiden RI. Puisi di atas adalah salah satu puisi yang blak-blakan, sesuai dengan gaya penulisan Agus R. Sarjono yang blak-blakan. Mengapa Agus R. Sarjono menulis puisi seperti tersebut? Semasa kuliahnya di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Bandung, Agus R. Sarjono terlibat aktif dalam kelompok Diskusi Lingkar yang mendiskusikan berbagai isu sosial, politik, budaya, dan ekonomi pada masa Orde Baru (Wikipedia, 2011). Maka tidak heran jika sisi “pemberontak” dapat dilihat dari puisi Demokrasi Dunia Ketiga ini. Lihat saja Sajak Palsu, Di Sebuah Restoran Indonesia Juni 1998, Air Mata Hujan, dan lain sebagainya. Anda akan menemukan keliaran Agus dalam menyampaikan kritik sosialnya secara dramatis di baris ke baris. Bagaimana Agus menuliskan keliarannya itu dalam puisi Demokrasi Dunia Ketiga? Berikut akan diuraikan bagian per bagian dari puisi tersebut.
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

KETIMPANGAN SOSIAL DALAM DRAMA RT NOL RW NOL KARYA IWAN SIMATUPANG



KETIMPANGAN SOSIAL DALAM DRAMA RT NOL RW NOL KARYA IWAN SIMATUPANG
Oleh: Marinda Agustina

Iwan Simatupang adalah Sastrawan tahun 1960-an yang menulis karya konvensional sebagai pertanda angin baru dalam kesusastraan Indonesia. Iwan Simatupang lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 dengan nama Iwan Martua Dongan Simatupang. Sebagai seorang wartawan, Iwan menulis banyak sketsa tentang orang-orang tersisih dan terpinggirkan. kritikus sastra menyebut karyanya sebagai avant garde terhadap buah pena Iwan Simatupang. Iwan sendiri menyebut dirinya sebagai manusia marjinal, manusia perbatasan. Karya sastra Iwan Simatupang yang berjudul RT nol RW nol ini merupakan karya sastra bergenre drama yang menarik dan berbeda dibandingkan dengan drama-drama lainnya. Drama ini memiliki daya tarik yang sudah mulai terlihat saat kita membaca judulnya. Apa makna sebenarnya dari judul RT nol RW nol yang diciptakan oleh pengarang? Mengapa pengarang mengambil judul seperti itu?. Hal ini akan segera kita ketahui jika kita membaca uraian-uraian dramanya lebih jauh lagi. Alur yang ditampilkan dalam novel ini memang sedikit membingungkan pembaca karena pengarang menggunakan sentuhan filsafat yang amat menarik dan berkesinambungan tentang kehidupan sosial yang menjadi realitas dalam negeri ini. Hal ini jelas terlihat diawal drama tentang pandangan kritis dari tokoh Kakek dan Ani yang mempunyai latar belakang seorang gelandangan, namun memiliki pandangan yang jeli untuk mengkritik dan menghujat tingkah polah pemerintah di negeri ini. Pada bagian belakang drama, pembaca diajak untuk mengikuti kisah kehidupan para tokoh gelandangang ini yang pada akhirnya menemukan kehidupannya yang baru, kemudian meninggalkan RT nol RW nol yang selama ini mereka tinggali. Ditempat itu hanya tersisa seorang kakek tua yang senantiasa hidup di bawah kolong jembatan itu seumur hidupnya. Kakek itu tidak mau pindah dari tempat itu karena merasa bahwa memang disitulah kehidupannya dimulai dan diakhiri nantinya. Kakek itu tidak mau meninggalkan tempat yang ia namai RT 0 RW 0 tersebut meskipun tempat itu bukan miliknya.    

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKNA KEMERDEKAAN MASA DEPAN DIBALIK CERPEN ‘’MERDEKA’’ KARYA PUTU WIJAYA



MAKNA KEMERDEKAAN MASA DEPAN DIBALIK CERPEN ‘’MERDEKA’’
 KARYA PUTU WIJAYA
Oleh: Marinda Agustina
 
Putu Wijaya banyak melahirkan karya-karya yang patut diperhitungkan dalam khasanah sastra Indonesia. Banyak karyanya yang telah dipublikasikan baik yang berbentuk cerpen maupun drama. Karya-karyanya kebanyakan dituangkan secara simbolik melalui pemaknaan yang sangat kaya yang pada akhirnya akan melahirkan jutaan persepsi pada masing-masing pembaca. Putu Wijaya disebut sebagai sastrawan yang serba bisa karena telah banyak menghasilkan karya yang berjumlah kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Bahkan, beliau juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, Putu Wijaya  memimpin Teater Mandiri sejak tahun 1971. Putu Wijaya juga telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron. Cerpen-cerpennya banyak bertebaran di Harian Kompas dan Sinar Harapan. I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang dikenal dengan sebutan Putu Wijaya, dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad.   Tulisan Putu Wijaya dalam karya-karyanya banyak memberikan gambaran tentang kehidupan dan kemanusiaan yang disampaikan secara implisit, sehingga para pembaca harus memaknai sendiri tentang karya tersebut. Hal ini tentunya akan menciptakan persepsi-persepsi yang berbeda pada masing-masing pembaca. Tergantung pada seberapa besar pemahaman seorang pembaca untuk menguak setiap rahasia yang tersimpan dibalik sebuah karya sastra.
Putu Wijaya disebut sebagai sastrawan yang serba bisa karena telah banyak menghasilkan karya yang berjumlah kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Bahkan, beliau juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, Putu Wijaya  memimpin Teater Mandiri sejak tahun 1971. Putu Wijaya juga telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron. Cerpen-cerpennya banyak bertebaran di Harian Kompas dan Sinar Harapan. I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang dikenal dengan sebutan Putu Wijaya, dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. Dalam sebuah tulisannya Putu Wijaya mengatakan bahwa, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. Dalam pernikahannya yang kedua, Putu Wijaya dikaruniai seorang anak yang kemudian diberi nama Taksu. Nama Taksu ini beberapa kali muncul dalam cerpen-cerpennya. Bahkan, dalam cerpen yang akan saya ulas ini, lagi-lagi nama ini juga muncul sebagai tokoh pemicu pembangunan konflik dalam cerita ini. Bagi Putu Wijaya, rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEKILAS TENTANG KEMBANG TANJUNG DALAM SAJAK SONI FARID MAULANA



SEKILAS TENTANG KEMBANG TANJUNG DALAM SAJAK SONI FARID MAULANA
Oleh: Marinda Agustina
 
Soni farid maulana adalah seorang penyair yang telah banyak menghasilkan sajak-sajak bertema variatif. Banyak sekali kita temui sajak-sajak bertemakan sosial, religius maupun yang bertemakan tentang cinta. Soni juga aktif menulis puisi, esai, prosa, dan laporan jurnalistik di Harian Umum Pikiran Rakyat. Puisi-puisi yang dibuatnya bukan hanya berbahasa Indonesia, tapi juga berbahasa Sunda. Sebagai penyair, Soni pernah membacakan sejumlah puisinya di berbagai acara, yakni South East Asian Writers Conference di Filipina (1990), Festival de Winternachten di Belanda (1999), Puisi Internasional Indonesia di Bandung (2002), International Literature Biennale 2005: Living Together di Bandung, dan sejumlah acara lainnya yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki.
Soni Farid Maulana merupakan penyair yang produktif menghasilkan karya-karya yang kreatif, meskipun ia tak setenar Chairil Anwar ataupun penyair-penyair lainnya. Penyair ini telah mengembara melewati perjalanan yang jauh hingga menghasilkan tema-tema yang estetis dalam sajak-sajaknya. Sajak-sajak Soni Farid Maulana yang sudah banyak bertebaran dan telah banyak dibukukan membuktikan bahwa ia adalah salah seorang pengarang yang produktif dalam menghasilkan karya sastranya. Banyak puisi-puisi sarat makna yang telah lahir dari jari-jari kreatifnya. Ia telah mampu menemukan bahasanya sendiri dalam upaya penyampaian pesan atas sajak-sajak yang telah ia tulis kepada para pembacanya.
Sajak-sajak yang telah ditulis Soni mampu memberikan warna yang berbeda pada khasanah kesusastraan di Indonesia. Dalam tulisan ini, saya akan mengulas sedikit tentang sajak religius Soni Farid Maulana yang berbicara tentang pergolakan batin seseorang saat akan menghadapi kematian. Sajaknya yang berjudul “Kembang Tanjung” menggambarkan tentang ketakutan seseorang menghadapi ajal saat dalam keadaan sendiri dan kesepian. Berikut ini adalah sajak berjudul “Kembang Tanjung” yang saya maksud:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

REALITAS SOSIAL DAN GLOBAL WARMING DALAM “POHON KERES” KARYA IIS WIATI



REALITAS SOSIAL DAN GLOBAL WARMING DALAM
“POHON KERES” KARYA IIS WIATI
Oleh: Lailinda Nurjanah
 
Kebajikan dan ajaran hidup yang dikemukakan, diajarkan dan diteladani oleh pribadi manusia. Seperti ajaran orang tua yang diajarkan kepada anak. Perbuatan yang bijak dari orang tua yang memberikan contoh kepada anak. Ajaran alam yang disampaikan oleh anak kepada orang tua. Tentu kesemuanya memberikan petunjuk demi kebaikan manusia, alam dan kepercayaannya masing-masing. Akan tetapi tidak semua manusia mensyukuri dengan apa yang telah diberikan dan lebih percaya dengan hal-hal yang tampak nyata tanpa memperhatikan unsur batin.
Demikianlah sekilas tentang pesan yang ada dalam karya sastra yang bejudul “Pohon Kersen”. Iis Wiati sebagai pengarang menyajikan sebuah karya sastra yang sarat dengan unsur alam. Selain itu pengarang juga mendeskripsikan unsur alam tersebut dengan kondisi masyarakat Indonesia tepatnya jawa masih mempercayai hal-hal mistis dan dianggap isu. Kesialan dan musibah yang dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa diteladani oleh manusia seharusnya.
Karya sastra “Pohon Kersen” diceritakan dengan latar belakang orang jawa. Cerita ini dikemas dengan alur maju-mundur. Karya sastra ini menceritakan tentang seorang ibu yang awalnya heran dengan puisi yang dibuat oleh anaknya, yakni tentang pohon kersen yang akan ditebang. Pohon kersen yang dimaksud berada didepan rumah. Pohon kersen yang hampir setiap hari ramai dengan orang-orang sekitar ini berlokasi sangat strategis. Dimana anak-anak bermain, bersepeda atau sekedar berkumpul denan anak tetangga lainnya.
Awalnya pohon kersen ini masih kecil, tetapi karena dijaga oleh tokoh ibu ayah dan anknya akhirnya pohon kersen itu semakin besar, tinggi dan rindang. Sehingga nyaman dipakai untuk tempat berkumpul orang-orang kampung. Dulu sebelum ada pohon kersen banyak orang yang segan berkumpul atau belanja sayur bersama. Sering juga diakai oleh penjual-penjual sayur dan kue-kue sekedar berhenti dan menjual daganggannya. 
Konfliknya “Pohon Kersen” dimulai denga ketika anak sangat bersedih dan jengkel dengan sikap tetangga yang seenaknya mau menebang pohon kersen. Kemudian tokoh ibu yang mencoba menenangkan anaknya yang sangat iba itu. Namun memang semua sia-sia karena pohon kersen yang akarnya dianggap menganggu itu akan ditebang. Sebenarnya ada cerita tersendiri lainnya tentang pohon kersen tersebut.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS