Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kritik Politis Dalam Lakon LOS BAGADOS DE LOS PENCOS Karya W. S. Rendra



Kritik Politis Dalam Lakon LOS BAGADOS DE LOS PENCOS Karya W. S. Rendra
Oleh: Redhitya Wempi Anshory

            Dunia perpolitikan merupakan sebuah arena pertarungan sengit, ibarat kata dunia politik itu tidak kenal lawan, tidak kenal kawan dan tidak kenal saudara. Saling tendang dan saling sikut sudah biasa dalam politik. Politik hakikatnya adalah suatu usaha untuk mengenal sebuah sistem ketatanegaraan dengan melakukan suatu upaya dan strategi pemerintahan yang pada tujuannya menjadikan suatu Negara itu lebih baik. Secara kontekstual, hal ini mengalami kontradiktif antara teori dan definisi politik secara praktis. Politik secara praktis lebih menekankan suatu daya upaya untuk menguasai suatu pemerintahan dengan cara menghalalkan berbagai macam cara untuk meloloskan tujuannya agar mencapai keinginan subyektifnya. Sistem perpolitikan selalu berkaitan dengan hal-hal yang cenderung negatif, karena banyak praktik-praktik gelap yang dilakukan. Dengan adanya kekacauan terhadap sistem perpolitikan itu, ada sastrawan yang merasa gerah dengan semua lelucon di panggung pemerintahan. Rendra datang dengan ciri khas dalam kepengarangan dunia kreatif sastra yang sangat berani mengoyak dan membrontak secara kritis tentang adanya fenomena itu. Seorang sastrawan yang dikenal dengan kritik-kritik sosial yang sangat berani secara diksi maupun simbol dalam puisi maupun karya dramanya.
Secara naluriah Rendra sadar sebagai seorang sastrawan yang dapat dia lakukan untuk memberikan lontaran protes dan kritik terhadap kondisi sosial yang kacau (chaos) dengan cara membuat karya yang memberi suntikan semangat kepada yang membaca dan dapat memahami makna yang dimaksud penulis, meskipun interpretasi setiap pembaca karya sastra terhadapap karya itu sendiri berbeda-beda karena sudut pandang, pengalaman kemampuan reseptis dan hermeneutis setiap orang itu berbeda. Setidaknya Rendra yakin dengan garis besar maksud yang dituliskannya semua pembaca karya memiliki skemata yang sama terhadap karyanya tersebut. Rendra sangat terkenal dengan menyuarakan keadilan dalam puisi-puisinya yang dikenal dengan puisi pamflet. puisi yang memberikan kobaran semangat untuk menggerakan pembaca untuk melakukan tindakan nyata sebagai daya dan upaya perjuangannya akan keadilan . drama-drama karya rendra berkonsep sama dengan karya-karyanya yang lain, bertemakan kritik sosial politis yang menjadi ciri khasnya. Rendra memilih sosial politis dalam tema-tema sajak dan karya dramanya bukan tanpa alasan dan ini melalui proses kontemplasi yang panjang. Proses kreatif Rendra dalam karya menaungi temuan tema yang pas yang sekarang menjadi identitas rendra sebagai seorang sastrawan. Rendra ingin keluar dari pengaruh sastrawan-sastrwan pada zaman itu yang kebanyakan mengangkat kredo-kredo sosial realis dalam karyanya. Daya kreatifnya tidak bisa menerima itu sebagai seorang sastrawan yang merdeka ia memberikan sentuhan tersendiri dan merumuskan sendiri penciptaan karyanya dengan menciptakan kaidah estetik dalam karyanya yang bertemakan sosial politis  dengan ciri khas metafora yang grafik dan plastik yang membuat karyakarya sajak Rendra enak dibaca di jalan-jalan.


Sosok Willibrodus Surendra Bhawana Rendra (W.S Rendra)
            Untuk mengawali sebuah pembehasan tentang adanya unsur kritik sosial politis dalam karya drama rendra alangkah lebih bijaknya diketahui siapa sebenernya Rendra di balik karya-karya masterpiece yang ia ciptakan sebagai seorang sastrawan sejati berdedikasi tinggi hingga akhir masa hidupnya tetap bertarung di dunia kepengarangan. Rendra dikenal dengan nama pena W.S. Rendra di dunia kepengarangan. Lahir pada kamis kliwon tanggal 7 november 1935, tidak diketahui pasti mengapa disetiap biografinya jika disertakan dan disebutkan tanggal lahirnya selalu menggunakan penanggalan jawa dihari lahirnya, entah ini sengaja atau tidak memang Rendra orang jawa tulen yang sejak kecil hidup dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi jawanisme yang kental. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena ayah dan ibunya merupakan sosok yang sangat kental dengan tradisi jawa ayahnya adalah seoang guru bahasa Indonesia dan pengajar bahasa jawa kuna disebuah SMK katolik di Surakarta. Oleh Ayahnya sejak kecil Rendra dididik untuk menghargai kehidupan yang mandiri sebagai swasta yang bebas dari lembaga eksekutif pemerintah. Beliau mendidik dengan keras agar Willy, begitu panggilan Rendra menghargai disiplin analisis dan menghormati fakta-fakta obyektif di dalam alam dan di dalam kehidupan. Selain itu dengan tanpa jemu ia juga selalu mengajarkan gaya pemikiran Aristoteles.
Leluhur bapak dan ibunya berasal dari Yogyakarta. Pada waktu perang revolusi kemerdekaan, pendidikan formal WS. Rendra berhenti sebentar. Pendidikan Rendra yang terakhir adalah SMA St. Yosef di Surakarta (tamat 1955), The American Academy of Dramatic Arts (tamat 1967). Menjelang naik kelas 2 SMA di tahun 1953, Rendra menetapkan diri menjadi penyair. Pada bulan Oktober 1967 ia mendirikan Bengkel Teater. Karya-karya diterjemahkan dalam bahasa Hindi, Urdu, Korea, Jepang, Inggris, Rusia, Jerman, Perancis, Cheko, dan Swedia. Ibu Rendra bernama Raden Ayu Ismaidillah seorang penari serimpi keraton Yogyakarata, mengajarkan dengan tekun peradaban Jawa yang masih mistik dan religius kepada Rendra, sang Ibu mengajarkan bagaimana mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati olah kelana, olah tapa dan samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar badan, tata syaraf, daya intuisi dan kehadiran jiwa.
Gabungan dari dua macam aliran pendidikan yang ia dapatkan pada masa kanak-kanak dan masa remaja itulah yang berpengaruh kepada wawasannya mengenai dinamika budaya bangsa, emansipasi individu, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembelaan kepada daya hidup dan daya kreatif manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat, dan juga kepekaannya kepada masalah-masalah pendidikan dan keadaan sosial. Hal itu pula yang menyebabkan ia menjadi kontrofersi bagi politisi-politisi dan budayawan-budayawan yang tidak kreatif. WS. Rendra menamatkan SMA-nya pada tahun 1955. Di masa kanak¬kanak sebenarnya ia bercita-cita untuk memasuki Akademi Militer tetapi cita-cita itu gagal karena ilmu hitung dan ilmu pastinya buruk. Setelah tamat SMA ia masuk Universitas Gajah Mada belajar sastra barat di Fakultas Sastra dan Kebudayaan.Tahun 1964, sebagai penyair, WS. Rendra berangkat ke Amerika untuk memenuhi undangan Henry Kissinger untuk mengikuti seminar Humaniora di Harvard University. Disusul kemudian menjadi tamu US State Departement untuk berkeliling Amerika Serikat. Diakibatkan situasi politik ia tidak dapat kembali ketanah air, kebetulan ia mendapat kehormatan sebagai tamu dari The Roclefeller Foundation lalu kemudian dilanjutkan menjadi tamu JDR IIIrd Foundation.
WS. Rendra mengisi waktunya dengan belajar drama di American Akademy Of Dramatic Arts, di New york. Meskipun jauh sebelum ia berangkat ke Amerika serikat ia sudah lebih dulu membuat eksperimen-eksperimen dalam seni drama bersama grupnya ”Lingkaran Drama Yogyakarta” yang ia dirikan pada tahun 1962. Namun begitu di bidang Humaniora ia mendapat banyak pelajaran di Amerika Serikat, khususnya dari kampus New York University dimana ia mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dan antropologi. Pengalaman-pengalaman ilmiah selama di Amerika serikat sangat mempengaruhi keseniannya, sebagaimana seniman ia lebih terlibat terhadap masalah-masalah sosial-politik-budaya. Itulah periode ia bergulat mencari bentuk seni yang tepat untuk tema-tema sosial politik dari inspirasinya. Ia tidak bisa menerima kredo-kredo sosial realisme yang banyak dianut seniman pada waktu itu. Akhirnya ia menemukan rumusan estetik untuk sajak-sajaknya yang bertemakan sosial politik sebagai berikut: metafora yang dipakai bersifat grafik dan plastik. dan dalam bentuk semacam itu ternyata ia bisa menciptakan sajak-sajak yang enak di baca di muka umum.  Masa remajanya WS. Rendra mengaku penah mengalami kondisi kejiwaan tanpa agama. Ia mengaku hanya berketuhanan dan merasa tidak puas dengan agama yang ada, juga dengan agama yang dianutnya saat itu (Katholik). Pada tahun 70-an ia mengaku sempat tertular animisme jiwa karena peseona kekuatan jagat alam. Namun ditengah kegalauan jiwa itu, muncul dalam pikirannya bahwa manusia tidak cukup hanya berketuhanan saja. Dalam pandangan Rendra, agama memberikan liturgi, kitab suci, kesempatan berjamaah, serta segala sesuatu pasti akan kembali kepada-Nya, sambil menunjukkan jari ke atas.
Pada tahun 1979, suatu hari ia diajak kawan-kawannya ke Parangtritis untuk melihat matahari terbenam. Saat asyik menyaksikan tebenamnya matahari, sambil duduk bersila, tiba-tiba seluruh tubunhnya merinding dan bergetar hebat. Tetapi justru ia merasakan nikmat luar biasa, dan tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Pada puncak kenikmatan itu tanpa sadar ia mengucapkan kalimat syahadat dengan lantangnya, setelah itu jiwanya merasa tenang dan damai, tubuhnya menjadi berhenti bergetar, namun konflik batin masih menghantuinya pikirannya. Alasan lain mengapa Rendra lebih memilih masuk Islam, dalam sebuah wawancara dengan penulis, Rendra menyatakan bahwa tempat tinggalnya dari kecil selalu dekat dengan Masjid dan ia tertarik dengan segala aktifitasnya, dan merasa ingin mengikutinya. Ia tertarik dengan suara azan, orang mengaji, pujian-pujian, sampai bacaan shalawat barjaji yang sempat menjadi inspirasi untuk kumpulan karyanya, yaitu Qasidah barzanji yang pernah dipentaskannya pada tahun 70-an.


Sosial dan Politis drama LOS BAGADOS DE LOS PENCOS Karya W. S. Rendra
            Banyak yang berpendapat mengenai hakikat dan makna serta simbol yang terkait dalam drama karya W.S. Rendra yang berjudul “Los Bagados De Los Pancos” merupakan gambaran realitas sosial politik pada zaman orde baru zaman rezim Soeharto yang terkenal sangat perfectsionis dan otoriter dalam memimpin bangsa Indonesia saat itu, sehingga kebebasan publik terhalang oleh pagar beton kekuasaan Soeharto yang melarang adanya kritik-kritik sosial dalan konteks kebebasan pers dan media sebagai penyambung informasi. Isu-isu politik mengenai keruhnya pemerintahan tersebar luas namun rakyat saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, rakyat hanya bisa membisu meskipun hati serasa terbakar ingin mengakhiri kesewenang-wenangan pemerintah pada era itu. Soeharto yang terkenal dengan sebutan “tangan besi” yang secara jelas tergambar dari julukannya bahwa, pemerintahan yang dijalankan harus sesuai dengan keinginan pribadinya bukan atas dasar kepentingan bersama sebagai warga Negara Indonesia. Secara ekonomi memang pada masa itu sangat meningkat pesat dikarenakan adanya koreksi besar-besaran pada masa orde lama yaitu pada masa Presiden soekarno, dengan adanya koreksi tersebut ekonomi Indonesia berkembang pesat, namun ada kejanggalan yang terjadi ketika ekonomi Indonesia semakin pesat, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Terjadi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin karena proses sosial yang tidak wajar, adanya ekploitasi sumber daya alam yang besar-besaran sehingga banyak alam yang rusak pada waktu itu. Seraca ekonomi memang pada masa rezim soeharto perkembang pesat, namun tidak adanya pemerataan karena terjadi kajanggalan-kejanggalan praktik pemerintahan. Tampaknya hal tersebut disadari betul oleh Rendra yang ikut merasakan bagaimana kerasnya hidup di masa orde baru, sebagai pengarang yang berlandaskan kritik sosial, kemanusian dan politis hal yang dilakukan adalah berkarya. dengan memotret situasi sosial yang terjadi yang kemudian digambarkan dari berbagai tokoh yang representatif dalam drama yang berjudul “los bagados the los pencos”. Tak dapat dipungkiri lagi sastra merupakan salah satu media untuk mengemukakan pendapat, Uneg-Uneg, kritikan, dll. Biasanya karya Sastra di buat sebagai curahan image kehidupan, hal itu dapat kita temukan dalam drama Los Bagados De Los Pencos yang menyajikan gambaran seorang tokoh super di negeri ini dulu yang terkenal dengan sifat kepemimpinannya “tangan besi/ otoriter”, dan perfectionisme,tokoh tersebut tiada lain adalah mantan  presiden RI  soeharto, Watak secara psikologis, sosiologis, maupun fisiologis penulis curahkan dengan sebaik mungkin pada seorang tokoh dalam drama ini yaitu DR rendra. Tokoh DR rendra merupakan seorang pimpinan di Rumah sakit (rumah sakit : gambaran lingkup negera indonesia) yang sangat mengedepankan kesempurnaan dengan egoisitasnya yang tinggi hal ini dapat kita lihat di cuplikan dialog-dialog berikut ini :

01.



02.


03.



04.
Dr Rendra



Azwar


Dr Rendra



Azwar
:



:


:



:
Goblok! Jadi mantri kamu tidak bisa mengatasi kaum yang sinting dan majnun itu. Bisamu hanya mengadu, hanya melapor melulu dan pada akhirnya rumah sakit ini berantakan.

Biar mampus Dokter, saya tidak kuasa demi Sigmun Freut, demi Carl Gustaf Jung. Saya sudah berusaha tapi segala-galanya sia-sia.
Tapi kamu ada disini, kamu mantri keamanan yang mengatur stabilitas rumah sakit ini. Kamu digaji untuk bekerja bukan untuk makan minum dan sekedar tidur belaka


Saya mengerti Dokter, semuanya sudah saya fahami sebagai mantri, dedikasi saya besar pada rumah sakit ini.

            Dari dialog diatas kita bisa memahami bahwa tokoh dokter memiliki watak yang perfeksionis, penuntut, dan seorang yang bertipe tau beres,persis dengan tipe kepemimpinan soeharto dulu Dan sosok orang yang menilai pekerjaan seseorang melalui materi (Kamu digaji untuk bekerja bukan untuk makan minum dan sekedar tidur belaka), karena karakter tersebut ada dalam dialog 01 maupun dialog 03 yang diucapkan oleh dokter kepada Azwar.  Sedangkan sosok Azwar adalah sosok yang penurut, selalu berusaha bersikap baik kepada atasannya, dan sedikit memiliki sifat yang percaya diri (dedikasi saya besar pada rumah sakit ini). Dan Azwar adalah tokoh yang suka membaca filsafat, saya kira tokoh azwar merupakan gambaran pak Habibie, karena beliau merupakan lulusan universitas di german sedangkan german sangat identik dengan filsafat bahkan habibie pun saya kira pernah mempelajarinya di sana. adapun bukti bahwa tokoh ini seorang yang cinta filsafat kita bis. temukan dalam dialog “demi Sigmun Freut, demi Carl Gustaf Jung” karena bukan sembarang orang yang mampu berucap dan bertanggung jawab atas ucapan tokoh filsafat seperti sigmud freud yang terkenal dengan id, ego. Lokasi kejadian naskah drama Los Bagados de los Pencos karya W.S Rendra telah dituliskan pada teks yang berada di sebuah rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa yang disebutkan W.S Rendra sebenarnya merujuk kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tiruan realitas pada masa orde baru tergambar jelas pada naskah drama Los Bagados de los Pencos karya W.S Rendra. Kejelasan tersebut nampak pada tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam naskah seperti Dokter Rendra, Azwar, penghuni rumah sakit jiwa, Linus Suryadi, Mayon Edi Sutrisno, Emha Ainun Najisun, dan Dedot Muradin.
Tokoh Dokter Rendra sebenarnya adalah presiden negara Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak lain Presiden Soeharto. Tokoh Azwar sebenarnya adalah wakil presiden negara Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak lain B.J. Habibie. Penghuni rumah sakit jiwa adalah warga negara Indonesia. Linus Suryadi, Mayon Edi Sutrisno, Emha Ainun Najisun, dan Dedot Muradin adalah para mahasiswa yang mempelopori demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi, kolusi nepotisme (KKN). Atau bisa jadi mereka adalah para mahasiswa Trisakti yang tewas ketika melakukan demonstrasi (Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan).
Kesamaan alur pada masa orde baru dengan naskah drama tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:
Dialog 1 adalah ungkapan kekesalan Presiden Soeharto kepada B.J. Habibie yang bisanya hanya mengadu, melapor, dan akhirnya bangsa Indonesia berantakan. Dialog 4 yang menceritakan bahwa B.J. Habibie sudah memiliki dedikasi yang besar untuk negara Indonesia. Dialog 6 yang menjelaskan bahwa penghuni rumah sakit mengamuk, bukan cuma dua orang saja tapi mereka beratus-ratus. Penggambaran dialog 6 si penghuni rumah sakit yang dimaksud sebenarnya adalah para mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Dialog 10 yang mengacu pada perbaikan gizi yang tidak lain adalah ungkapan kekesalan mahasiswa atas pengeksploitasian sumber daya selama masa pemerintahan sang presiden, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan semakin meningkat pada tahun 1970-an dan 1980-an. Rakyat biasa melarat dan menderita sedangkan pejabat-pejabat negara makmur karena KKN. Dialog 19 yang dilakukan Mayon selaku mahasiswa untuk memprotes presiden yang melakukan korupsi dan selalu korupsi. Dialog 31 diucapkan oleh Linsus selaku mahasiswa yang menginginkan agar presiden segera lengser dari kepemimpinannya. Mahasiswa mengingkinkan agar pemilihan presiden dipilih lewat pemilu lima tahun sekali, menerapkam Pancasila dan UUD 1945 di Indonesia. Dialog 55 yang dilakukan Emha selaku mahasiswa agar presiden segera meletakkan jabatannya dan sang presiden pun akan selamat. Dialog 59 yang menggambarkan pengambilan sumpah presiden baru oleh Azwar (B.J. Habibie). Pengambilan sumpah itulah yang menandakan berakhirnya masa orde baru. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada wakilnya, B.J. Habibie. Selanjutnya B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto.
Daftar Rujukan
Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori  Dan Penerapannya. Malang: penerbit A3 (asih, asah, asuh)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

5 komentar:

Unknown mengatakan...

KOREKSI: naskah LOS BAGADOS DE LOS PENCOS bukan karya WS RENDRA, naskah ini karya dramawan Puntung Cm Pudjadi yang tinggal di Yogyakarta. aya tahu persis sejarah naskah ini dan saya memang berkali-kali mementaskannya. Naskah ini pertama dimuat di majalah Semangat terbilan Yogyakarta tahun 70-an.
Mohon diluruskan.

Anonim mengatakan...

mohon maaf, kepada penulis komentar diatas. saya ingin menanyakan apa benar naskah ini bukanlah tulisan ws.rendra? karena kebetulan kelompok teater kami bakal mementaskan naskah ini.
thx

Unknown mengatakan...

Saya dapat naskah copyan dari Perpustakaan Taman Budaya Yogyakarta, naskah Los Bagados De kos pencos tertulis karya Puntung CM Pudjiadi. Nah, saya sama kawan kawan juga tertarik mau mementaskannya. Untuk itu, siapakah kiranya bisa kami minta rujukan informasi secara pasti, dan naskah dipentaskan pertamakali tahun berapa yah? Trima.

Unknown mengatakan...

Saya dapat naskah copyan dari Perpustakaan Taman Budaya Yogyakarta, naskah Los Bagados De kos pencos tertulis karya Puntung CM Pudjiadi. Nah, saya sama kawan kawan juga tertarik mau mementaskannya. Untuk itu, siapakah kiranya bisa kami minta rujukan informasi secara pasti, dan naskah dipentaskan pertamakali tahun berapa yah? Trims

Khofifatul Msy mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar