Kritik Politis Dalam Lakon LOS BAGADOS DE LOS PENCOS Karya
W. S. Rendra
Oleh: Redhitya Wempi Anshory
Dunia
perpolitikan merupakan sebuah arena pertarungan sengit, ibarat kata dunia
politik itu tidak kenal lawan, tidak kenal kawan dan tidak kenal saudara.
Saling tendang dan saling sikut sudah biasa dalam politik. Politik hakikatnya
adalah suatu usaha untuk mengenal sebuah sistem ketatanegaraan dengan melakukan
suatu upaya dan strategi pemerintahan yang pada tujuannya menjadikan suatu Negara
itu lebih baik. Secara kontekstual, hal ini mengalami kontradiktif antara teori
dan definisi politik secara praktis. Politik secara praktis lebih menekankan
suatu daya upaya untuk menguasai suatu pemerintahan dengan cara menghalalkan
berbagai macam cara untuk meloloskan tujuannya agar mencapai keinginan
subyektifnya. Sistem perpolitikan selalu berkaitan dengan hal-hal yang
cenderung negatif, karena banyak praktik-praktik gelap yang dilakukan. Dengan
adanya kekacauan terhadap sistem perpolitikan itu, ada sastrawan yang merasa
gerah dengan semua lelucon di panggung pemerintahan. Rendra datang dengan ciri
khas dalam kepengarangan dunia kreatif sastra yang sangat berani mengoyak dan
membrontak secara kritis tentang adanya fenomena itu. Seorang sastrawan yang
dikenal dengan kritik-kritik sosial yang sangat berani secara diksi maupun simbol
dalam puisi maupun karya dramanya.
Secara naluriah Rendra sadar sebagai seorang
sastrawan yang dapat dia lakukan untuk memberikan lontaran protes dan kritik
terhadap kondisi sosial yang kacau (chaos) dengan cara membuat karya yang
memberi suntikan semangat kepada yang membaca dan dapat memahami makna yang
dimaksud penulis, meskipun interpretasi setiap pembaca karya sastra terhadapap
karya itu sendiri berbeda-beda karena sudut pandang, pengalaman kemampuan
reseptis dan hermeneutis setiap orang itu berbeda. Setidaknya Rendra yakin
dengan garis besar maksud yang dituliskannya semua pembaca karya memiliki
skemata yang sama terhadap karyanya tersebut. Rendra sangat terkenal dengan
menyuarakan keadilan dalam puisi-puisinya yang dikenal dengan puisi pamflet. puisi
yang memberikan kobaran semangat untuk menggerakan pembaca untuk melakukan
tindakan nyata sebagai daya dan upaya perjuangannya akan keadilan . drama-drama
karya rendra berkonsep sama dengan karya-karyanya yang lain, bertemakan kritik
sosial politis yang menjadi ciri khasnya. Rendra memilih sosial politis dalam
tema-tema sajak dan karya dramanya bukan tanpa alasan dan ini melalui proses
kontemplasi yang panjang. Proses kreatif Rendra dalam karya menaungi temuan
tema yang pas yang sekarang menjadi identitas rendra sebagai seorang sastrawan.
Rendra ingin keluar dari pengaruh sastrawan-sastrwan pada zaman itu yang
kebanyakan mengangkat kredo-kredo sosial realis dalam karyanya. Daya kreatifnya
tidak bisa menerima itu sebagai seorang sastrawan yang merdeka ia memberikan
sentuhan tersendiri dan merumuskan sendiri penciptaan karyanya dengan
menciptakan kaidah estetik dalam karyanya yang bertemakan sosial politis dengan ciri khas metafora yang grafik dan
plastik yang membuat karyakarya sajak Rendra enak dibaca di jalan-jalan.
Sosok Willibrodus Surendra Bhawana Rendra
(W.S Rendra)
Untuk mengawali sebuah pembehasan tentang adanya unsur kritik sosial
politis dalam karya drama rendra alangkah lebih bijaknya diketahui siapa
sebenernya Rendra di balik karya-karya masterpiece yang ia ciptakan
sebagai seorang sastrawan sejati berdedikasi tinggi hingga akhir masa hidupnya
tetap bertarung di dunia kepengarangan. Rendra dikenal dengan nama pena W.S.
Rendra di dunia kepengarangan. Lahir pada kamis kliwon tanggal 7 november 1935,
tidak diketahui pasti mengapa disetiap biografinya jika disertakan dan
disebutkan tanggal lahirnya selalu menggunakan penanggalan jawa dihari
lahirnya, entah ini sengaja atau tidak memang Rendra orang jawa tulen yang
sejak kecil hidup dan dibesarkan dalam lingkungan tradisi jawanisme yang
kental. Hal ini tidak lain dan tidak bukan karena ayah dan ibunya merupakan
sosok yang sangat kental dengan tradisi jawa ayahnya adalah seoang guru bahasa
Indonesia dan pengajar bahasa jawa kuna disebuah SMK katolik di Surakarta. Oleh Ayahnya sejak kecil Rendra dididik untuk
menghargai kehidupan yang mandiri sebagai swasta yang bebas dari lembaga
eksekutif pemerintah. Beliau mendidik dengan keras agar Willy, begitu panggilan
Rendra menghargai disiplin analisis dan menghormati fakta-fakta obyektif di
dalam alam dan di dalam kehidupan. Selain itu dengan tanpa jemu ia juga selalu
mengajarkan gaya pemikiran Aristoteles.
Leluhur bapak
dan ibunya berasal dari Yogyakarta. Pada waktu perang revolusi kemerdekaan,
pendidikan formal WS. Rendra berhenti sebentar. Pendidikan Rendra yang terakhir
adalah SMA St. Yosef di Surakarta (tamat 1955), The American Academy of
Dramatic Arts (tamat 1967). Menjelang naik kelas 2 SMA di tahun 1953, Rendra
menetapkan diri menjadi penyair. Pada bulan Oktober 1967 ia mendirikan Bengkel
Teater. Karya-karya diterjemahkan dalam bahasa Hindi, Urdu, Korea, Jepang,
Inggris, Rusia, Jerman, Perancis, Cheko, dan Swedia. Ibu Rendra bernama Raden
Ayu Ismaidillah seorang penari serimpi keraton Yogyakarata, mengajarkan dengan
tekun peradaban Jawa yang masih mistik dan religius kepada Rendra, sang Ibu
mengajarkan bagaimana mensyukuri panca indera dan melatih kepekaannya melewati
olah kelana, olah tapa dan samadhi menghayati nafas, kelenjar-kelenjar badan,
tata syaraf, daya intuisi dan kehadiran jiwa.
Gabungan dari
dua macam aliran pendidikan yang ia dapatkan pada masa kanak-kanak dan masa
remaja itulah yang berpengaruh kepada wawasannya mengenai dinamika budaya
bangsa, emansipasi individu, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembelaan
kepada daya hidup dan daya kreatif manusia sebagai individu dan sebagai
masyarakat, dan juga kepekaannya kepada masalah-masalah pendidikan dan keadaan
sosial. Hal itu pula yang menyebabkan ia menjadi kontrofersi bagi
politisi-politisi dan budayawan-budayawan yang tidak kreatif. WS. Rendra
menamatkan SMA-nya pada tahun 1955. Di masa kanak¬kanak sebenarnya ia
bercita-cita untuk memasuki Akademi Militer tetapi cita-cita itu gagal karena
ilmu hitung dan ilmu pastinya buruk. Setelah tamat SMA ia masuk Universitas
Gajah Mada belajar sastra barat di Fakultas Sastra dan Kebudayaan.Tahun 1964,
sebagai penyair, WS. Rendra berangkat ke Amerika untuk memenuhi undangan Henry
Kissinger untuk mengikuti seminar Humaniora di Harvard University. Disusul
kemudian menjadi tamu US State Departement untuk berkeliling Amerika Serikat.
Diakibatkan situasi politik ia tidak dapat kembali ketanah air, kebetulan ia
mendapat kehormatan sebagai tamu dari The Roclefeller Foundation lalu kemudian
dilanjutkan menjadi tamu JDR IIIrd Foundation.
WS. Rendra
mengisi waktunya dengan belajar drama di American Akademy Of Dramatic Arts, di
New york. Meskipun jauh sebelum ia berangkat ke Amerika serikat ia sudah lebih
dulu membuat eksperimen-eksperimen dalam seni drama bersama grupnya ”Lingkaran
Drama Yogyakarta” yang ia dirikan pada tahun 1962. Namun begitu di bidang
Humaniora ia mendapat banyak pelajaran di Amerika Serikat, khususnya dari
kampus New York University dimana ia mengikuti kuliah-kuliah sosiologi dan
antropologi. Pengalaman-pengalaman ilmiah selama di Amerika serikat sangat
mempengaruhi keseniannya, sebagaimana seniman ia lebih terlibat terhadap
masalah-masalah sosial-politik-budaya. Itulah periode ia bergulat mencari
bentuk seni yang tepat untuk tema-tema sosial politik dari inspirasinya. Ia
tidak bisa menerima kredo-kredo sosial realisme yang banyak dianut seniman pada
waktu itu. Akhirnya ia menemukan rumusan estetik untuk sajak-sajaknya yang
bertemakan sosial politik sebagai berikut: metafora yang dipakai bersifat
grafik dan plastik. dan dalam bentuk semacam itu ternyata ia bisa menciptakan
sajak-sajak yang enak di baca di muka umum.
Masa remajanya WS. Rendra mengaku penah mengalami kondisi kejiwaan tanpa
agama. Ia mengaku hanya berketuhanan dan merasa tidak puas dengan agama yang
ada, juga dengan agama yang dianutnya saat itu (Katholik). Pada tahun 70-an ia
mengaku sempat tertular animisme jiwa karena peseona kekuatan jagat alam. Namun
ditengah kegalauan jiwa itu, muncul dalam pikirannya bahwa manusia tidak cukup
hanya berketuhanan saja. Dalam pandangan Rendra, agama memberikan liturgi,
kitab suci, kesempatan berjamaah, serta segala sesuatu pasti akan kembali
kepada-Nya, sambil menunjukkan jari ke atas.
Pada tahun
1979, suatu hari ia diajak kawan-kawannya ke Parangtritis untuk melihat
matahari terbenam. Saat asyik menyaksikan tebenamnya matahari, sambil duduk
bersila, tiba-tiba seluruh tubunhnya merinding dan bergetar hebat. Tetapi
justru ia merasakan nikmat luar biasa, dan tidak dapat mengungkapkannya dengan
kata-kata. Pada puncak kenikmatan itu tanpa sadar ia mengucapkan kalimat
syahadat dengan lantangnya, setelah itu jiwanya merasa tenang dan damai,
tubuhnya menjadi berhenti bergetar, namun konflik batin masih menghantuinya
pikirannya. Alasan lain mengapa Rendra lebih memilih masuk Islam, dalam sebuah
wawancara dengan penulis, Rendra menyatakan bahwa tempat tinggalnya dari kecil
selalu dekat dengan Masjid dan ia tertarik dengan segala aktifitasnya, dan
merasa ingin mengikutinya. Ia tertarik dengan suara azan, orang mengaji,
pujian-pujian, sampai bacaan shalawat barjaji yang sempat menjadi inspirasi
untuk kumpulan karyanya, yaitu Qasidah barzanji yang pernah dipentaskannya pada
tahun 70-an.
Sosial dan Politis
drama LOS BAGADOS DE
LOS PENCOS Karya W. S. Rendra
Banyak yang
berpendapat mengenai hakikat dan makna serta simbol yang terkait dalam drama
karya W.S. Rendra yang berjudul “Los Bagados De Los Pancos” merupakan gambaran
realitas sosial politik pada zaman orde baru zaman rezim Soeharto yang terkenal
sangat perfectsionis dan otoriter dalam memimpin bangsa Indonesia saat
itu, sehingga kebebasan publik terhalang oleh pagar beton kekuasaan Soeharto
yang melarang adanya kritik-kritik sosial dalan konteks kebebasan pers dan
media sebagai penyambung informasi. Isu-isu politik mengenai keruhnya
pemerintahan tersebar luas namun rakyat saat itu tidak bisa berbuat apa-apa,
rakyat hanya bisa membisu meskipun hati serasa terbakar ingin mengakhiri
kesewenang-wenangan pemerintah pada era itu. Soeharto yang terkenal dengan
sebutan “tangan besi” yang secara jelas tergambar dari julukannya bahwa,
pemerintahan yang dijalankan harus sesuai dengan keinginan pribadinya bukan
atas dasar kepentingan bersama sebagai warga Negara Indonesia. Secara ekonomi
memang pada masa itu sangat meningkat pesat dikarenakan adanya koreksi
besar-besaran pada masa orde lama yaitu pada masa Presiden soekarno, dengan
adanya koreksi tersebut ekonomi Indonesia berkembang pesat, namun ada
kejanggalan yang terjadi ketika ekonomi Indonesia semakin pesat, yaitu korupsi,
kolusi dan nepotisme merajalela. Terjadi kesenjangan sosial antara si kaya dan
si miskin karena proses sosial yang tidak wajar, adanya ekploitasi sumber daya
alam yang besar-besaran sehingga banyak alam yang rusak pada waktu itu. Seraca
ekonomi memang pada masa rezim soeharto perkembang pesat, namun tidak adanya
pemerataan karena terjadi kajanggalan-kejanggalan praktik pemerintahan.
Tampaknya hal tersebut disadari betul oleh Rendra yang ikut merasakan bagaimana
kerasnya hidup di masa orde baru, sebagai pengarang yang berlandaskan kritik
sosial, kemanusian dan politis hal yang dilakukan adalah berkarya. dengan
memotret situasi sosial yang terjadi yang kemudian digambarkan dari berbagai
tokoh yang representatif dalam drama yang berjudul “los bagados the los pencos”.
Tak dapat dipungkiri lagi sastra merupakan
salah satu media untuk mengemukakan pendapat, Uneg-Uneg, kritikan, dll. Biasanya
karya Sastra di buat sebagai curahan image kehidupan, hal itu dapat kita
temukan dalam drama Los Bagados De Los Pencos yang
menyajikan gambaran seorang tokoh super di negeri ini dulu yang terkenal dengan
sifat kepemimpinannya “tangan besi/ otoriter”, dan perfectionisme,tokoh tersebut tiada lain adalah mantan
presiden RI soeharto, Watak secara
psikologis, sosiologis, maupun fisiologis penulis curahkan dengan sebaik
mungkin pada seorang tokoh dalam drama ini yaitu DR rendra. Tokoh DR rendra
merupakan seorang pimpinan di Rumah sakit (rumah sakit : gambaran lingkup
negera indonesia) yang sangat mengedepankan kesempurnaan dengan egoisitasnya
yang tinggi hal ini dapat kita lihat di cuplikan dialog-dialog berikut ini :
01.
02.
03.
04.
|
Dr Rendra
Azwar
Dr Rendra
Azwar
|
:
:
:
:
|
Goblok! Jadi mantri kamu tidak bisa mengatasi kaum yang sinting dan
majnun itu. Bisamu hanya mengadu, hanya melapor melulu dan pada akhirnya rumah
sakit ini berantakan.
Biar mampus Dokter, saya tidak kuasa demi Sigmun Freut, demi Carl
Gustaf Jung. Saya sudah berusaha tapi segala-galanya sia-sia.
Tapi kamu ada disini, kamu mantri keamanan yang mengatur stabilitas
rumah sakit ini. Kamu digaji untuk bekerja bukan untuk makan minum dan
sekedar tidur belaka
Saya mengerti Dokter, semuanya sudah saya fahami sebagai mantri,
dedikasi saya besar pada rumah sakit ini.
|
Dari dialog diatas kita bisa memahami bahwa tokoh dokter memiliki watak
yang perfeksionis, penuntut, dan
seorang yang bertipe tau beres,persis
dengan tipe kepemimpinan soeharto dulu Dan sosok orang yang menilai pekerjaan
seseorang melalui materi (Kamu digaji
untuk bekerja bukan untuk makan minum dan sekedar tidur belaka), karena
karakter tersebut ada dalam dialog 01 maupun dialog 03 yang diucapkan oleh
dokter kepada Azwar. Sedangkan sosok Azwar adalah sosok yang penurut,
selalu berusaha bersikap baik kepada atasannya, dan sedikit memiliki sifat yang
percaya diri (dedikasi saya besar pada
rumah sakit ini). Dan Azwar adalah tokoh yang suka membaca filsafat, saya
kira tokoh azwar merupakan gambaran pak Habibie, karena beliau merupakan
lulusan universitas di german sedangkan german sangat identik dengan filsafat
bahkan habibie pun saya kira pernah mempelajarinya di sana. adapun bukti bahwa
tokoh ini seorang yang cinta filsafat kita bis. temukan dalam dialog “demi Sigmun Freut, demi Carl Gustaf Jung” karena
bukan sembarang orang yang mampu berucap dan bertanggung jawab atas ucapan tokoh
filsafat seperti sigmud freud yang terkenal dengan id, ego. Lokasi kejadian naskah drama Los Bagados de
los Pencos karya W.S Rendra telah dituliskan pada teks yang berada di sebuah
rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa yang disebutkan W.S Rendra sebenarnya
merujuk kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tiruan realitas pada masa orde baru tergambar
jelas pada naskah drama Los Bagados de los Pencos karya W.S Rendra. Kejelasan
tersebut nampak pada tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam naskah seperti Dokter Rendra,
Azwar, penghuni rumah sakit jiwa, Linus Suryadi, Mayon Edi Sutrisno, Emha Ainun
Najisun, dan Dedot Muradin.
Tokoh Dokter Rendra sebenarnya adalah
presiden negara Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak lain Presiden
Soeharto. Tokoh Azwar sebenarnya adalah wakil presiden negara Indonesia pada
masa Orde Baru yang tidak lain B.J. Habibie. Penghuni rumah sakit jiwa adalah
warga negara Indonesia. Linus Suryadi, Mayon Edi Sutrisno, Emha Ainun Najisun,
dan Dedot Muradin adalah para mahasiswa yang mempelopori demonstrasi memprotes
kebijakan pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi,
kolusi nepotisme (KKN). Atau bisa jadi mereka adalah para mahasiswa Trisakti
yang tewas ketika melakukan demonstrasi (Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan
Sie, dan Hafidhin Royan).
Kesamaan alur pada masa orde baru dengan
naskah drama tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:
Dialog 1 adalah ungkapan kekesalan Presiden Soeharto
kepada B.J. Habibie yang bisanya hanya mengadu, melapor, dan akhirnya bangsa
Indonesia berantakan. Dialog 4 yang
menceritakan bahwa B.J. Habibie sudah memiliki dedikasi yang besar untuk negara
Indonesia. Dialog 6 yang menjelaskan
bahwa penghuni rumah sakit mengamuk, bukan cuma dua orang saja tapi mereka
beratus-ratus. Penggambaran dialog 6 si penghuni rumah sakit yang dimaksud
sebenarnya adalah para mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Dialog 10 yang mengacu pada perbaikan
gizi yang tidak lain adalah ungkapan kekesalan mahasiswa atas pengeksploitasian
sumber daya selama masa pemerintahan sang presiden, dan pengeksploitasian sumber
daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan semakin meningkat pada tahun 1970-an dan 1980-an. Rakyat biasa melarat dan menderita
sedangkan pejabat-pejabat negara makmur karena KKN. Dialog 19 yang dilakukan Mayon selaku mahasiswa untuk memprotes
presiden yang melakukan korupsi dan selalu korupsi. Dialog 31 diucapkan oleh Linsus selaku mahasiswa yang menginginkan
agar presiden segera lengser dari kepemimpinannya. Mahasiswa mengingkinkan agar
pemilihan presiden dipilih lewat pemilu lima tahun sekali, menerapkam Pancasila
dan UUD 1945 di Indonesia. Dialog 55
yang dilakukan Emha selaku mahasiswa agar presiden segera meletakkan jabatannya
dan sang presiden pun akan selamat. Dialog
59 yang menggambarkan pengambilan sumpah presiden baru oleh Azwar (B.J.
Habibie). Pengambilan sumpah itulah yang menandakan berakhirnya masa orde baru.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya
kepada wakilnya, B.J. Habibie. Selanjutnya B.J. Habibie dilantik sebagai
Presiden RI menggantikan Soeharto.
Daftar Rujukan
Suwignyo, H. 2010. Kritik
Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori Dan Penerapannya. Malang: penerbit A3
(asih, asah, asuh)
5 komentar:
KOREKSI: naskah LOS BAGADOS DE LOS PENCOS bukan karya WS RENDRA, naskah ini karya dramawan Puntung Cm Pudjadi yang tinggal di Yogyakarta. aya tahu persis sejarah naskah ini dan saya memang berkali-kali mementaskannya. Naskah ini pertama dimuat di majalah Semangat terbilan Yogyakarta tahun 70-an.
Mohon diluruskan.
mohon maaf, kepada penulis komentar diatas. saya ingin menanyakan apa benar naskah ini bukanlah tulisan ws.rendra? karena kebetulan kelompok teater kami bakal mementaskan naskah ini.
thx
Saya dapat naskah copyan dari Perpustakaan Taman Budaya Yogyakarta, naskah Los Bagados De kos pencos tertulis karya Puntung CM Pudjiadi. Nah, saya sama kawan kawan juga tertarik mau mementaskannya. Untuk itu, siapakah kiranya bisa kami minta rujukan informasi secara pasti, dan naskah dipentaskan pertamakali tahun berapa yah? Trima.
Saya dapat naskah copyan dari Perpustakaan Taman Budaya Yogyakarta, naskah Los Bagados De kos pencos tertulis karya Puntung CM Pudjiadi. Nah, saya sama kawan kawan juga tertarik mau mementaskannya. Untuk itu, siapakah kiranya bisa kami minta rujukan informasi secara pasti, dan naskah dipentaskan pertamakali tahun berapa yah? Trims
Posting Komentar