Wajah Pertiwi dalam Puisi Safari Nur Zaman
“Hilangnya Wajah-Wajah”
Oleh: Lailinda Nurjanah
Usaha
memboyong sebuah sajak, tidak lepas dari sebuah imaji yang beragam. Bisa
melalui penyajian sebuah sajak yang beragam pula, dan semuanya akan bermula
pada sebuah wajah. Wajah puisi yang akan menjawab batin puisi. Kemudian
berlanjut pada batin puisi yang akan terangkum dan bersembunyi pada lahan yang
lebih sempit lagi. Bahasa. Kata. Bisa-bisa melalui wajah puisi yang berimaji
dan kode-kode bahasa itu, pembaca tidak perlu mencari repotase kabar kesialan
orang-orang di koran pagi dan berpikir apa yang dapat direnungkan? Demikianlah
bahasa figuratif dalam sajak “Hilangnya Wajah-wajah” milik Safari Nur Zaman,
akan menjawab pertanyaan tersebut. Mungkin bukan kesialan yang secara struktural
saja dapat dilaporkan tetapi juga renungan yang masih bersembunyi di balik
bahasa figuratifnya.
Melihat
wajah puisi Safari seakan-akan melihat wajah pertiwi saat ini. Kondisi wajah
pertiwi digambarkan oleh Safari melalui “seorang anak” yang menjadi tokoh aktif
dan “bapak” sebagai tokoh pasif. Dari simbol tokoh tersebutlah dapat dipahami
jika perwakilan seorang anak ini merupakan simbol dari anak-anak bangsa
Indonesia.
Judul
yang diangkat dalam puisi ini merupakan kisah dari tokoh tersebut, yakni
“Hilangnya Wajah-wajah”. Wajah-wajah disini
mengarah pada putra-putri Indonesia yang diwakilkan oleh tokoh “seorang anak”. Memang
beragam permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia salah satunya adalah
masalah sosial. Jika Sumarsono (2012: 5) mengatakan bahwa sosiologi mencampuri
urusan hubungan antar anggota, struktur hingga peraturan-peraturan yang berlaku.
Demikian juga dalam puisi ini, yakni masalah hubungan antara masyarakat dengan
pemerintah, putra-putri Indonesia dengan peraturan-peraturan yang berlaku atau
yang belum diberlakukan berdasarkan peraturan perundangan yang seharusnya
menjadi petunjuk atau arah untuk menyelesaikan permasalahan seadil-adilnya.
Sehingga dalam puisi ini pengarang lebih memaparkan tentang tokoh yang
terlantar atau dilantarkan oleh pertiwi sebagai negaranya.
Selanjutnya
untuk membuka hal-hal lain yang masih bersembunyi dalam unsur-unsur semiotika
tersebut, maka diperlukan pemaknaan untuk mengetahui makna-makna yang ada di bahasa
figuratif yang imajinatif. Menurut Suwignyo (2009:49), semiotik merupakan
ulasan yang bertolak dari anggapan bahwa sastra merupakan salah satu sistem
tanda yang bermakna dengan memanfaatkan medium bahasa. Sedangkan bahasa juga
merupakan sistem tanda atau lambang yang bermakna. Untuk itu sebelum memahami
unsur kesosialan dari puisi Safari tersebut, maka diperlukan ulasan tentang
simbol-simbol dari diksi yang ada di puisi tersebut. Hal ini bisa dilakukan
dengan proses pemaknaan.
Dimulai
dengan bait pertama, dengan menyoroti kata “ranting” merupakan simbol dimana ranting
adalah tempat pijakan bagi tokoh “anak” bangsa yang rapuh, jika dibandingkan
dengan batang pohon. Sedangkan di sini dijelaskan bahwa pijakan atau sandaran
itu telah hancur dari ungkapan pada baris ke-2“patah dan remuk”. “Ranting” sendiri jika dikaitkan
dengan bangsa Indonesia menggambarkan tentang peraturan Indonesia yang rapuh.
Sehingga pengarang mengatakan jika hal itu mudah remuk dan patah. Karena memang
sudak tidak banyak lagi yang diharapkan dari sebuah ranting, dari sebuah
pijakan yang saat ini mereka miliki, termasuk juga pertiwi yang hingga saat itu
belum bisa menjawab, atau hal lain seperti terlupakannya butir undang-undang
yang mengatur anak-anak terlantar. Hal ini karena masih belum berlakunya
undang-undang tersebut meski sudah diresmikan puluhan tahun yang lalu.
“Padahal
dia ingin memanjat lebih tinggi”, memberikan makna bahwa harapan mereka juga
ingin seperti yang lain, meratakan ilmu, sosial, bahkan mungkin ekonomi pada
nantinya. Dilanjutkan dengan kata “buah” yang diartikan sebagai hasil atau
kebahagiaan yang menjadi tujuan tokoh anak. Sehingga bait pertama jika
dikaitkan dengan pemerintahan memiliki makna yaitu sebuah negara yang menjadi
pijakan seorang anak yang memiliki cita-cita yang tinggi telah hancur. Sehingga
cita-cita tokoh anak terabaikan. Padahal tokoh anak ingin cita-citanya dapat
bermanfaat bagi bangsa dan negaranya (Untuk siapa saja yang mau merasakan).
Selanjutnya
pada bait kedua, terdapat simbol “cermin” dalam arti yang sebenarnya adalah
tempat di mana seseorang dapat melihat dirinya sendiri. Hanya di dalam cermin tokoh
anak mampu melihat masa depan yang ingin dicapainya. Sedangkan ketika
pijakannya hancur, cermin yang ada di depannya menjadi tidak jelas dan hanya
berupa khayalan atau sebatas bayangan saja. Bukan lagi impian yang cemerlang dan
jelas lagi keberadaannya.
Bait
ketiga, terdapat beberapa pencitraan berupa sarana retorika dengan gaya
repetisi kata “sehingga”. Sedang sebelum repetisi tersebut muncul deskripsi
keadaan seperti yang tergambarkan pada bait pertama dan ke-2, tokoh anak sedang
menaya-nanyakan penyebab nasipnya dan mencoba mencari orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban. Dalam keadaan seperti ini tokoh anak merasa hidupnya tidak
pasti. Hal ini dapat tercermin dalam ungkapan repetisi “sehinga” dengan
kata-kata “menggelantung”, “bertanya-tanya” dan “kehilangan wajah”. Sudah jelas
jika tokoh anak ingin menunjukkan betapa terlantarnya ia, betapa tidak pastinya
ia hidup di tanah pertiwi ini. Padahal
ia ingin melihat kepastian dalam menggapai cita-citanya untuk negara dan
bangsa, yang diperjelas dalam larik “Padahal dia ingin menjadi lebih pasti—Mengabdi
pertiwi”.
Bait
keempat, simbol “kursi” dalam makna yang sebenarnya yaitu bermakna tempat duduk
atau tempat yang dapat ditempati oleh orang. Sedangkan dalam bait ini kursi
berarti tempat pijakan orang-orang yang telah meruntuhkan cita-cita tokoh anak.
Demikian sampainya kepolosannya mempertanyakan dan meminta pertanggungjawaban
dari sebuah ketidaknyamanan atau ketidak beruntungan tokoh anak terhapat
pertiwi yang diungkapakan pada baris terakhir, “bapak di mana negeriku?” disinilah
pengarang mengkritik pertiwi dengan pertanyaan yang sederhana tersebut, karena
dapat menumbuhkan berbagai gejolak yang harus direnungkan bersama.
Demikian
pemaknaan puisi Safari ini, sehingga dapat diperoleh tema yang dapat dijadikan
sari dari makna puisi “Hilangnya Wajah-Wajah” yakni seorang anak yang ingin
menggapai cita-citanya harus terhalang oleh negerinya sendiri yang seharusnya
menjadi pijakannya. Seperti inilah wajah pertiwi berdasarkan ungkapan seorang
penyair yang menyembunyikan simbol-simbol itu dengan sangat berbeda.
Penyajian
makna tersebut memang sangat melekat dengan kenyataan sosial yang terjadi di
bumi pertiwi sekarang. Negara yang seharusnya bisa menjadi pijakan seorang anak
bangsa ternyata sulit untuk dimintai pertanggungjawaban. Seperti kasus-kasus
penangkapan anak-anak jalanan, kasus ketidakadilan hukum, dan pemanfaatan SDM
yang tidak maksimal sehingga banyak yang tidak mendapatkan pemerataan yang
tidak baik pula.
Tidak
begitu berbeda dengan kasus tersebut seperti kasus agraria yang akhir-akhir
menjadi berita yang paling disorot. Sengketa ini melibatkan peran masyarakat
yang kesehariannya menjadi petani yang tidak memiliki peraturan tentang
penggarapan tanah yang kosong. Sedangkan mereka ingin bercocoktanam, sedang
mereka tidak diberi undang-undang yang mengatur hal itu, sedang mereka harus
berhadapan dengan investor yang jelas-jelas memberikan loyalty kepada
pemerintah dengan peraturan undang-undang yang jelas pula.
Belum
lagi masalah pemanfaatan SDM yang tidak maksimal. Hal ini melibatkan juga kaum
akademisi. Seperti misalnya para ilmuan pertiwi yang mencari ilmu diberbagai negeri
untuk pertiwi. Namun ketika kembali yang di dapat selama ini seperti sia-sia.
Anak-anak bangsa seperti inilah yang akan bertanya-tana seperti pada akhir
puisi di atas “Bapak, dimana negeriku?”
Sebuah
kritik sosial memang sering disampaiakan dengan berbagai cara. Mungkin
pemilihan cara dan pengemasan melalui karya sastra berupa puisi “Hilangnya
Wajah-wajah” inilah yang dilakukan oleh pengarang. Puisi Safari mengandung
kritik dengan pengemasan yang membedakan dengan puisi-puisi yang lain, yakni
sangat halus dan mengena.
Dilihat
dari diksinya memang tidak ada yang sulit diartikan namun penggambaran
simbol-simbol yang dibicarakan dalam puisi dimetaforkan secara halus dan
memudahkan pembaca untuk meraba-raba maknanya, sehingga mudah difahami. Selain
itu, meskipun mudah difahami tetap memberikan renungan yang mendalam jika
dikaitkan dengan beberapa permasalahan di atas. Pemilihan judul dan karakter
tokoh yang dipilih oleh pengarang juga saling berhubungan dan sama-sama kuat,
sehingga memberikan kesan tentang kondisi pertiwi melalui tokoh yang diangkat
dengan mudah.
Persembunyian
makna yang secara implisit merupakan sebuah kritikan atau teguran bersama
tentang pijakan manakah yang seharusnya kita tempati di negeri Indonesia. imaji
yang seperti inilah yang juga akan menjawab dari kode-kode bahasa yang secara
tidak langsung pula membuka kenyataan yang cukup tidak baik tentang wajah
pertiwi Indonesia. Melalui karya Safari kita seperti menatap renungan sebagai
putra-dan putri Indoesia untuk saling bertanggungjawab kepada kewajibannya dan
menerima haknya sebagai apa yang sudah diberikan kepada pertiwi. Sebab renungan
seperti ini memang akan terus ada, tapi pemikiran tentang seberapa satuankah
anak bangsa juga memberikan jasa atau apasajalah kepada negeri? Mari
berimajinasi seperti Safari.
HILANGNYA
WAJAH-WAJAH
Seorang
anak menangis
Saat
ranting pijakannya patah dan remuk
Padahal
dia ingin memanjat lebih tinggi
Menggapai
buah
Untuk
siapa saja yang mau merasakan
Seorang
anak kehilangan cermin
Dan
dia meraba dalam remang dan khayalan
Setiap
langkah dia memaki semua sebab
Sehingga
dia menggelantung
Sehingga
dia bertanya-tanya
Sehingga
dia kehilangan wajah
Padahal
dia ingin menjadi lebih pasti
Mengabdi
pada pertiwi
Seorang
anak terhempas
Dari
sejumlah kursi suara-suara dan asa
Bapak,
di mana negeriku?
Sumber
Judul
Kumpulan: Sabda Terakhir-Nyanyian Orang Terluka
Pengarang:
Safari Nurzaman
Halaman: 24
DAFTAR
RUJUKAN
Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan
Pustaka Pelajar.
Suwignyo, H. 2010. Kritik
Sastra Indonesia Modern. Malang: Asih Asah Asuh.
1 komentar:
Terima kasih. Semoga dunia puisi Indonesia makin berjaya. Amin
Posting Komentar