Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

MUATAN SEJARAH 60-an dalam “PIDATO SEORANG DEMONSTRAN”



MUATAN SEJARAH 60-an
dalam “PIDATO SEORANG DEMONSTRAN”
Oleh: Frety Amora Pradiska

Mansur samin adalah seorang penyair, teaterawan, juga beberapa kali terlibat dunia film. Ia lahir di Batangtoru, Tapanuli Selatan 14 mei 1945, ia pergi meninggalkan banyak torehan karya yang termaktub pada sejumlah buku, antara lain kamus Bahasa Angkola/ mandailing-Indonesia(1978), kumpulan terjemahan sastra angkola/mandailing (1992), Morfologi dan Sintaksis Bahasa Nias  (1984), kamus isitilah seni drama (1985), kamus Karo-Indonesia (1985), khazanah, biografi sastrawan Sumatera utara (1986), struktur sastra lisan Melayu Serdang (1990) dan sastra lisan karo  (1993), apresiasi puisi (1994) dan Genta, Guru Besar dan Sarjana USU Baca Puisi, kumpulan Puisi dan Essay (1997).
Ia juga banyak menulis drama dan cerita anak-anak. Karya-karyanya: Perlawanan (1966), Kebinasaan Negeri Senja (1968), Tanah Air (1969), Dendang Kabut Senja (1988), Sajak-sajak Putih (1996), Sontanglelo (1996), Srabara (1996). Adapun karyanya yang berupa cerita anak, yaitu: Hadiah Alam, Hidup adalah Kerja, Kesukaran Terkalahkan, Percik Air Batang Toru, Warna dan Kasih, dan Urip yang Tabah.
Seperti yang kita ketahui, karya sastra adalah tiruan kenyataan yang telah melalui proses kreatif. Di dalamnya, terdapat torehan kehidupan dari zaman ke zaman. Ibarat pepatah, “sambil menyelam minum air”. Menyelami karya sastra berarti menyelami kehidupan, budaya, dan sejarah.
Kenyataan sejarah menyebutkan bahwa perkembangan sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang cukup serius terhadap bidang politik. Mulai dari para pengarang zaman perang sampai pasca kemerdekaan banyak yang aktif dalam bidang politik. Pada masa-masa tertentu, bahkan beberapa pengarang malah lebih terkenal dengan sebutan politikus daripada sastrawan karena pengarang tersebut menyibukkan diri mereka dalam organisasi pergerakan nasional yang tentunya berkaitan dengan bidang politik.
Perkembangan sastra Indonesia pada periode ’60—’80an mengalami problematika, mulai dari masalah sosial hingga permasalahan politik. Berawal dari mulai terbentuknya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) pada tahun 1950. LEKRA yang pada awalnya belum merupakan organ kebudayaan dari PKI, lalu akhirnya menjadi organ kebudayaan PKI, dan semenjak itu PKI sendiri semakin mengembangkan sayapnya kembali untuk menguasai pemerintahan Indonesia. Sampai pada tahun 1959 melalui Dekrit Presiden, dibentuklah Manifesto Politik (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Malangnya, hal ini semakin memperluas ruang gerak PKI yaitu dengan memberikan angin kepada Presiden Soekarno untuk menjadi tiran (diktator) dan pada pihak lain mengobarkan ketidakpuasan rakyat melalui berbagai macam slogan yang dibuat.
Tidak berhenti sampai disini. Menjelang 1 Oktober 1965, PKI semakin melebarkan sayapnya dengan melakuan metode komunisme melalui LEKRA, yaitu dengan menteror orang-orang atau golongan yang dianggap tidak sepaham dengan PKI. Akhirnya, banyak seniman dan budayawan yang bergabung dengan LEKRA. Alasannya, mereka tak ingin dibunuh apabila tidak segera bergabung. Adapun pengarang dan budayawan yang tetap kukuh pada non-komunisme bergabung dengan organisasi-organisasi kebudayaan yang bernaung di bawah partai Nasakom pada saat itu.
Pada tanggal 17 Agustus 1963, diumumkan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Dengan adanya Manikebu, dapat dijadikan sebagai juru selamat bagi pengarang maupun penyair yang selama ini mendapatkan tekanan mental dan teror dari LEKRA. Akan tetapi, bagi LEKRA dengan adanya Manifes Kebudayaan mereka menjadi lebih mudah untuk menghancurkan orang-orang yang selama ini tidak sepaham dengan mereka.
Di tengah perlawanan dari pihak Manikebu kepada LEKRA, Soekarno menyatakan bahwa Manifes Kebudayaan ‘terlarang’, dan hal ini merupakan pukulan hebat bagi pihak Manifes Kebudayaan, semua pihak Manikebu diusir dari setiap kegiatan, dilarang untuk mempublikasikan karya-karyanya, dan dilakukan pembersihan besar-besaran di seluruh penjuru tanah air. Para pengarang dan seniman dilarang untuk mempublikasikan karya-karyanya melalui Manifes Kebudayaan, dan secara terpaksa, pihak pengarang, penyair dan seniman Manikebu mempublikasikan karyanya dengan nama samaran. Situasi ini memberikan ciri-ciri kepada karya sastra periode ini. Di tengah sajak-sajak, cerpen-cerpen dan essai-essai yang menyanyikan kemenangan oleh pihak LEKRA, muncul perlawanan dari pengarang dan penyair yang ingin membela martabat manusia, ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik. Sajak, cerpen dan essai-essai yang ditulis pada masa itu banyak yang bertemakan protes sosial-politik serta protes terhadap penginjak-injakan martabat manusia.
“Pidato Seorang Demonstran” adalah salah satu sajak karya Mansur Samin yang syarat akan protes sosial-politik. Beliau menggambarkan kondisi rakyat Indonesia pada tahun 60-an. Bagaimana perlakuan keji militer, kesewanang-wenangan pemerintah, dan penderitaan rakyat saat itu ia torehkan dalam Pidato Seorang Demonstran. Adanya krisis sosial, politik, dan ekonomi tergambar jelas dalam puisinya.


PIDATO SEORANG DEMONSTRAN
Karya: Mansur Samin

Mereka telah tembak teman kita
ketika mendobrak sekretariat negara
sekarang jelas bagi saudara
sampai mana kebenaran hukum di Indonesia

Ketika kesukaran tambah menjadi
para menteri sibuk ke luar negeri
tapi korupsi tetap meraja
sebab percaya keadaan berubah
rakyat diam saja

Ketika produksi negara kosong
para pemimpin asyik ngomong
tapi harga-harga terus menanjak
sebab percaya diatasi dengan mupakat
rakyat diam saja

Di masa gestok rakyat dibunuh
para menteri saling menuduh
kaum penjilat mulai beraksi
maka fitnah makin berjangkit
tapi rakyat masih terus diam saja

Mereka diupah oleh jerih orang tua kita
tapi tak tahu cara terima kasih, bahkan memfitnah
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara
apakah kita masih terus diam saja?

1966
Puisi “Pidato Seorang Demonstran” berisi sejarah bangsa Indonesia pada tahun 60-an. Pada saat itu, terjadi beberapa peristiwa penting yang menggambarkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia tahun 60-an. Pada tanggal 23 Februari 1966 terjadi peristiwa demonstrasi mahasiswa dan pelajar di depan gedung Sekretariat Negara. Mereka melakukan demo untuk menolak pelantikan kabinet 100 Menteri dalam Dwikora. Para mahasiswa  ingin kabinet Dwikora dibebaskan dari intervensi menteri-menteri Gestapu, yaitu dengan cara memasukkan menteri-menteri yang anti-Gestapu. Akan tetapi, Soeharto, yang pada saat itu memegang kekuasaan atas “Surat Perintah 11 Maret”, malah memasukkan lebih banyak menteri-menteri Gestapu dalam kabinet Dwikora.
 Demonstrasi yang awalnya hanya upaya menggagalkan pelantikan kabinet Dwikora yang baru, namun pada kenyataannya malah berujung pada penembakan terhadap mahasiswa karena bentrokan-bentrokan lebih lanjut memang tak terelakkan lagi. Dalam insiden penembakan itu, dua orang mahasiswa tewas tertembak, yang salah satunya adalah mahasiswa kedokteran UI, Arief Rachman Hakim. Arief tewas pada hari ke-3 demonstrasi yaitu tanggal 25 Februari 1966. Ia tewas sebagai pahlawan AMPERA. Peristiwa ini tercermin dalam bait pertama “Pidato Seorang Demonstran”.
Bait kedua dan ketiga menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat itu. Terjadinya inflasi yang mencapai 650% begitu menyengsarakan rakyat. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Dalam kondisi demikian, rakyat pun tetap tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa diam dan patuh pada “tirani”.
Dini hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965, terjadilah peristiwa pembunuhan para perwira tinggi militer Indonesia. Oleh karena itu G 30S/PKI juga disebut dengan Gestok, yaitu Gerakan 1 Oktober seperti yang ada pada baris pertama bait keempat “Di masa gestok rakyat dibunuh”. Peristiwa tersebut telah menewaskan 6 perwira tinggi Angkatan Darat yaitu:
1.       Letjen TNI Ahmad Yani
2.       Mayjen TNI Raden Suprapto
3.       Mayjen TNI Mas Tirtodarmo
4.       Mayjen TNI Siswondo Parman
5.       Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan
6.       Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Ø  Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
1.       Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
2.       Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
3.       Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
*      Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Dalam isu adanya upaya kudeta terhadap pemerintahan Soekarno oleh “Dewan Jenderal” tersebut, yang dituduh bersalah atas pembunuhan keenam jenderal tersebut adalah para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol Untung, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu. Peristiwa ini ditorehkan oleh Mansur Samin dalam bait ke-4 “Pidato Seorang Demonstran”.
Adapun dalam bait ke-5, Mansur Samin berusaha membuka mata rakyat Indonesia agar berani melawan tirani. Rakyat jangan diam saja. Mereka dibayar oleh jerih payah rakyat. Mereka makan dan hidup enak dari uang rakyat. Tidak sepantasnya rakyat diinjak-injak, diperlakukan sewenang-wenang bahkan dituduh mendongkel wibawa kepala negara dan dihukum bahkan dibunuh dengan alasan itu. Menyaksikan dan mengalami keadaan seperti itu, apakah rakyat masih diam saja?
Dengan membaca puisi ini, setidaknya menimbulkan rasa penasaran tentang sejarah Indonesia tahun 60-an, khususnya bagi pembaca yang asing dengan “sejarah”. Akan muncul di benaknya berbagai pertanyaan. Peristiwa apa saja yang terjadi saat itu? Bagaimanakah kondisi bangsa Indonesia saat itu? Kenapa dalam puisi ini tertulis seperti ini? Dengan adanya stimulus ini, ia akan berusaha mencari jawabannya dengan bertanya pada orang yang dianggap tahu atau dengan membuka lembaran-lembaran sejarah yang telah usang dan berdebu.
Rasanya, 5 bait, 23 baris, dan 110 kata dalam sajak “Pidato Seorang Demonstran” telah mewakili dahsyatnya peristiwa sejarah tahun 60-an yang terjadi di Indonesia. Penyair begitu apik merangkai kata-kata sederhana namun bermuatan sejarah yang padat. Melalui puisi ini, banyak hal bisa kita dapat. Banyak hal bisa kita pelajari. Ingatlah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Makasihh :) sanagat bermanfaat sekali :)

Anonim mengatakan...

hebat

Posting Komentar