MUATAN SEJARAH 60-an
dalam “PIDATO SEORANG DEMONSTRAN”
Oleh: Frety Amora Pradiska
Mansur samin adalah
seorang penyair, teaterawan, juga beberapa kali terlibat dunia film. Ia
lahir di Batangtoru, Tapanuli Selatan 14 mei 1945, ia pergi meninggalkan banyak
torehan karya yang termaktub pada sejumlah buku, antara lain kamus Bahasa
Angkola/ mandailing-Indonesia(1978), kumpulan terjemahan sastra
angkola/mandailing (1992), Morfologi dan Sintaksis Bahasa Nias (1984),
kamus isitilah seni drama (1985), kamus Karo-Indonesia (1985), khazanah,
biografi sastrawan Sumatera utara (1986), struktur sastra lisan Melayu Serdang
(1990) dan sastra lisan karo (1993), apresiasi puisi (1994) dan Genta,
Guru Besar dan Sarjana USU Baca Puisi, kumpulan Puisi dan Essay (1997).
Ia
juga banyak menulis drama dan cerita anak-anak. Karya-karyanya: Perlawanan
(1966), Kebinasaan Negeri Senja (1968), Tanah Air (1969), Dendang Kabut Senja
(1988), Sajak-sajak Putih (1996), Sontanglelo (1996), Srabara (1996). Adapun
karyanya yang berupa cerita anak, yaitu: Hadiah Alam, Hidup adalah Kerja,
Kesukaran Terkalahkan, Percik Air Batang Toru, Warna dan Kasih, dan Urip yang
Tabah.
Seperti yang
kita ketahui, karya sastra adalah tiruan kenyataan yang telah melalui proses
kreatif. Di dalamnya, terdapat torehan kehidupan dari zaman ke zaman. Ibarat
pepatah, “sambil menyelam minum air”. Menyelami karya sastra berarti menyelami
kehidupan, budaya, dan sejarah.
Perkembangan sastra Indonesia pada periode
’60—’80an mengalami problematika, mulai dari masalah sosial hingga permasalahan
politik. Berawal dari mulai terbentuknya Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) pada
tahun 1950. LEKRA yang pada awalnya belum merupakan organ kebudayaan dari PKI,
lalu akhirnya menjadi organ kebudayaan PKI, dan semenjak itu PKI sendiri semakin
mengembangkan sayapnya kembali untuk menguasai pemerintahan Indonesia. Sampai
pada tahun 1959 melalui Dekrit Presiden, dibentuklah Manifesto Politik
(Manipol) sebagai dasar haluan negara. Malangnya, hal ini semakin memperluas
ruang gerak PKI yaitu dengan memberikan angin kepada Presiden Soekarno untuk
menjadi tiran (diktator) dan pada pihak lain mengobarkan ketidakpuasan rakyat
melalui berbagai macam slogan yang dibuat.
Tidak berhenti
sampai disini. Menjelang 1 Oktober
1965, PKI semakin melebarkan sayapnya dengan melakuan metode komunisme melalui
LEKRA, yaitu dengan menteror orang-orang atau golongan yang dianggap tidak
sepaham dengan PKI. Akhirnya, banyak seniman dan budayawan yang bergabung
dengan LEKRA. Alasannya, mereka tak
ingin dibunuh apabila tidak segera bergabung. Adapun pengarang dan budayawan yang tetap kukuh pada
non-komunisme bergabung dengan organisasi-organisasi
kebudayaan yang bernaung di bawah partai Nasakom pada saat itu.
Pada tanggal 17 Agustus 1963, diumumkan Manifes
Kebudayaan (Manikebu). Dengan adanya Manikebu, dapat dijadikan sebagai juru selamat
bagi pengarang maupun penyair yang selama ini mendapatkan tekanan mental dan teror dari LEKRA. Akan tetapi,
bagi LEKRA dengan adanya Manifes Kebudayaan mereka menjadi
lebih mudah untuk menghancurkan orang-orang yang selama ini tidak sepaham
dengan mereka.
Di tengah perlawanan dari pihak Manikebu kepada
LEKRA, Soekarno menyatakan bahwa Manifes Kebudayaan ‘terlarang’, dan hal ini merupakan pukulan hebat bagi pihak Manifes
Kebudayaan, semua pihak Manikebu diusir dari setiap kegiatan, dilarang untuk
mempublikasikan karya-karyanya, dan dilakukan pembersihan besar-besaran di seluruh penjuru tanah air. Para
pengarang dan seniman dilarang untuk mempublikasikan karya-karyanya melalui
Manifes Kebudayaan, dan secara terpaksa, pihak pengarang, penyair dan seniman
Manikebu mempublikasikan karyanya dengan nama samaran. Situasi ini memberikan
ciri-ciri kepada karya sastra periode ini. Di tengah sajak-sajak, cerpen-cerpen
dan essai-essai yang menyanyikan kemenangan oleh pihak LEKRA, muncul perlawanan
dari pengarang dan penyair yang ingin membela martabat manusia, ingin membela
kemerdekaan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik. Sajak,
cerpen dan essai-essai yang ditulis pada masa itu banyak yang bertemakan protes
sosial-politik serta protes terhadap penginjak-injakan martabat manusia.
“Pidato
Seorang Demonstran” adalah salah satu sajak karya Mansur Samin yang syarat akan
protes sosial-politik. Beliau menggambarkan kondisi rakyat Indonesia pada tahun
60-an. Bagaimana perlakuan keji militer, kesewanang-wenangan pemerintah, dan
penderitaan rakyat saat itu ia torehkan dalam Pidato Seorang Demonstran. Adanya
krisis sosial, politik, dan ekonomi tergambar jelas dalam puisinya.
PIDATO SEORANG DEMONSTRAN
Karya:
Mansur Samin
Mereka telah tembak teman kita
ketika mendobrak sekretariat negara
sekarang jelas bagi saudara
sampai
mana kebenaran hukum di Indonesia
Ketika kesukaran tambah menjadi
para menteri sibuk ke luar negeri
tapi korupsi tetap meraja
sebab percaya keadaan berubah
rakyat diam saja
Ketika produksi negara kosong
para pemimpin asyik ngomong
tapi harga-harga terus menanjak
sebab percaya diatasi dengan mupakat
rakyat diam saja
Di masa gestok rakyat dibunuh
para menteri saling menuduh
kaum penjilat mulai beraksi
maka fitnah makin berjangkit
tapi rakyat masih terus diam saja
Mereka diupah oleh jerih orang tua kita
tapi tak tahu cara terima kasih, bahkan memfitnah
Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara
apakah kita masih terus diam saja?
1966
Puisi “Pidato Seorang Demonstran” berisi sejarah bangsa Indonesia pada
tahun 60-an. Pada saat itu, terjadi beberapa peristiwa penting yang
menggambarkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia tahun
60-an. Pada tanggal 23 Februari 1966 terjadi peristiwa demonstrasi mahasiswa
dan pelajar di depan gedung Sekretariat Negara. Mereka melakukan demo untuk
menolak pelantikan kabinet 100 Menteri dalam Dwikora. Para mahasiswa ingin kabinet Dwikora dibebaskan dari
intervensi menteri-menteri Gestapu, yaitu dengan cara memasukkan
menteri-menteri yang anti-Gestapu. Akan tetapi, Soeharto, yang pada saat itu
memegang kekuasaan atas “Surat Perintah 11 Maret”, malah memasukkan lebih
banyak menteri-menteri Gestapu dalam kabinet Dwikora.
Demonstrasi yang
awalnya hanya upaya menggagalkan pelantikan kabinet Dwikora yang baru, namun
pada kenyataannya malah berujung pada penembakan terhadap mahasiswa karena
bentrokan-bentrokan lebih lanjut memang tak terelakkan lagi. Dalam insiden
penembakan itu, dua orang mahasiswa tewas tertembak, yang salah satunya adalah
mahasiswa kedokteran UI, Arief Rachman Hakim. Arief tewas pada hari ke-3
demonstrasi yaitu tanggal 25 Februari 1966. Ia tewas sebagai pahlawan AMPERA. Peristiwa ini
tercermin dalam bait pertama “Pidato Seorang Demonstran”.
Bait kedua dan ketiga menggambarkan
kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat itu. Terjadinya inflasi yang mencapai
650% begitu menyengsarakan rakyat. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga
ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500%
dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur.
Dalam kondisi demikian, rakyat pun tetap tidak bisa berbuat banyak. Mereka
hanya bisa diam dan patuh pada “tirani”.
Dini hari menjelang tanggal 1 Oktober
1965, terjadilah peristiwa pembunuhan para perwira tinggi militer Indonesia.
Oleh karena itu G 30S/PKI juga disebut dengan Gestok, yaitu Gerakan 1 Oktober
seperti yang ada pada baris pertama bait keempat “Di masa gestok rakyat dibunuh”.
Peristiwa tersebut telah menewaskan 6 perwira tinggi Angkatan Darat yaitu:
1. Letjen TNI Ahmad Yani
2. Mayjen TNI Raden Suprapto
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo
4. Mayjen TNI Siswondo Parman
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Ø Jenderal
TNI Abdul Harris Nasution
yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya,
putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas
Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain
itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
1. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan
Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
3. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala
Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang
ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya.
Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Dalam isu adanya upaya kudeta terhadap pemerintahan Soekarno
oleh “Dewan Jenderal” tersebut, yang dituduh bersalah atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut adalah para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol Untung, Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat saat itu. Peristiwa ini ditorehkan oleh Mansur Samin
dalam bait ke-4 “Pidato Seorang Demonstran”.
Adapun dalam bait ke-5, Mansur Samin berusaha membuka mata
rakyat Indonesia agar berani melawan tirani. Rakyat jangan diam saja. Mereka
dibayar oleh jerih payah rakyat. Mereka makan dan hidup enak dari uang rakyat.
Tidak sepantasnya rakyat diinjak-injak, diperlakukan sewenang-wenang bahkan
dituduh mendongkel wibawa kepala negara dan dihukum bahkan dibunuh dengan
alasan itu. Menyaksikan dan mengalami keadaan seperti itu, apakah rakyat masih
diam saja?
Dengan membaca puisi ini, setidaknya menimbulkan rasa
penasaran tentang sejarah Indonesia tahun 60-an, khususnya bagi pembaca yang
asing dengan “sejarah”. Akan muncul di benaknya berbagai pertanyaan. Peristiwa
apa saja yang terjadi saat itu? Bagaimanakah kondisi bangsa Indonesia saat itu?
Kenapa dalam puisi ini tertulis seperti ini? Dengan adanya stimulus ini, ia
akan berusaha mencari jawabannya dengan bertanya pada orang yang dianggap tahu
atau dengan membuka lembaran-lembaran sejarah yang telah usang dan berdebu.
Rasanya, 5 bait, 23 baris, dan 110 kata dalam sajak “Pidato
Seorang Demonstran” telah mewakili dahsyatnya peristiwa sejarah tahun 60-an
yang terjadi di Indonesia. Penyair begitu apik merangkai kata-kata sederhana
namun bermuatan sejarah yang padat. Melalui puisi ini, banyak hal bisa kita
dapat. Banyak hal bisa kita pelajari. Ingatlah bahwa bangsa yang besar adalah
bangsa yang tidak melupakan sejarah.
2 komentar:
Makasihh :) sanagat bermanfaat sekali :)
hebat
Posting Komentar